Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya.
"Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-alih menghubungi Sandra, Leo menekan kontak lain. "Thomas," suaranya bergetar saat anak buahnya menjawab. "Ya, Tuan?" "Aku butuh kamu temukan seseorang." Ada jeda di seberang telepon. Thomas tahu betul siapa yang dimaksud Leo. Ini bukan pertama kalinya bosnya itu memintanya mencari Sandra, namun sejauh ini, hasilnya nihil. "Tuan Leo... apakah Anda yakin ingin—" "Aku tak ingin mendengar pertanyaan, Thomas," potong Leo, suaranya tiba-tiba berubah tajam. "Aku hanya ingin hasil." "Baik, Tuan. Saya akan coba lagi." Leo mengakhiri panggilan dengan tangan yang gemetar. Ia tahu tindakannya salah, tapi ia tak bisa berhenti. Dalam hatinya, ia percaya bahwa jika Sandra melihat dirinya yang sekarang, semuanya bisa diperbaiki. ---------- Tak lama setelah panggilan itu, Fiona masuk ke ruang kerjanya. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya penuh perhatian. "Leo," panggilnya lembut. "Kamu kenapa? Seharian ini kamu terlihat tidak fokus." Leo mendongak. Ia memaksakan senyum, tetapi wajahnya jelas menyimpan sesuatu. "Ah, aku hanya lelah, Fiona. Banyak pekerjaan," jawabnya singkat. Fiona mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut. "Leo, aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku. Kamu selalu seperti ini setiap kali memikirkan... dia." Kata "dia" terucap seperti duri yang menyakiti Fiona sendiri. Leo mengalihkan pandangan, tak berani menatap istrinya. "Sandra sudah lama pergi, Leo. Kenapa kamu masih memikirkannya? Aku istrimu sekarang. Apa aku tidak cukup?" Pertanyaan itu menusuk hati Leo, tapi ia tetap diam. Ia tahu Fiona tidak salah. Ia telah memilih Fiona dengan sadar, meninggalkan Sandra di masa lalu. Tapi penyesalan itu datang terlambat, dan kini menghantui setiap langkahnya. "Fiona, aku... aku hanya butuh waktu." "Berapa lama lagi, Leo?" Fiona menahan suaranya agar tidak pecah. "Berapa lama aku harus menunggu sampai kamu benar-benar melepaskan dia?" Leo berdiri, menghindari konfrontasi lebih jauh. "Fiona, aku sedang banyak pikiran. Aku butuh waktu sendiri." Fiona memandangi suaminya dengan tatapan terluka, tetapi ia memilih untuk mundur. ---------- Malam itu, Leo duduk di sofa sambil memandangi ponselnya. Pesan dari Thomas masuk: [Saya mendapat informasi tentang Sandra. Dia sekarang bekerja sebagai asisten di sebuah perusahaan properti di Bandung.] Hati Leo berdebar. Ia merasa ada harapan baru untuk bertemu dengannya. Tapi di saat bersamaan, bayangan Sandra terakhir kali datang menghantuinya. Ia ingat terakhir kali menjelang pernikahannya,Sandra malah menghilang tanpa alasan yang jelas.Dan ia malah memilih Fiona sebagai penggantinya. Kenangan itu membuat dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena rasa bersalah, tapi juga karena ia tahu bahwa Sandra mungkin tak akan pernah memaafkannya. Namun, Leo sudah membuat keputusan. Ia harus bertemu Sandra, apa pun risikonya. ---------- Keesokan harinya, Leo duduk di mobil, memandang gedung kantor tempat Sandra bekerja. Ia melihatnya keluar bersama beberapa rekan kerja. Sosok Sandra yang dulu tampak rapuh kini berubah. Hati Leo berdesir. Ia merasa Sandra tak lagi sama. Perubahan itu membuatnya ingin mendekat, tapi sekaligus merasa gentar. "Pak, apakah Anda ingin saya mengantar Anda masuk?" tanya Thomas, membuyarkan lamunannya. Leo menggeleng. "Tidak sekarang. Aku... aku butuh waktu untuk berpikir." Dari dalam mobil, Leo terus menatap Sandra, yang tampak sibuk dengan pekerjaannya. Ia bertanya-tanya apakah setelah ingatannya kembali,perempuan itu masih menyimpan perasaan untuknya, atau apakah ia hanyalah kenangan buruk yang ingin Sandra lupakan selamanya. ---------- Di sisi lain, Fiona duduk sendiri di ruang kerjanya. Tatapan matanya kosong, pikirannya berkecamuk. Belakangan ini, Leo terasa begitu jauh. Fiona bukan orang bodoh—ia tahu ada sesuatu yang Leo sembunyikan, sesuatu yang terus mengganggunya. Frustrasi, Fiona meraih ponselnya dan menghubungi salah satu anak buahnya, Tony, seorang pria yang dikenal cekatan dan dapat diandalkan. “Tony, aku butuh bantuanmu,” ujar Fiona, suaranya datar namun tegas. “Apa yang bisa saya lakukan, Bu?” “Aku butuh info tentang seorang wanita... seseorang yang mungkin berhubungan dengan suamiku di masa lalu. Namanya Sandra.” Fiona menggigit bibirnya, merasa ragu sejenak. “Cari tahu semuanya. Aku ingin tahu siapa dia dan apa hubungannya dengan Leo.” “Baik, Bu. Saya akan segera mencari informasi.” Fiona menutup telepon dan menghela napas panjang. Ia tahu tindakannya ini mungkin tidak sepenuhnya benar, tetapi ia merasa tak punya pilihan lain. Ia ingin tahu apa yang membuat Leo terusik, dan ia ingin melindungi pernikahannya. ---------- Leo berdiri di sudut kafe kecil yang sunyi, mengamati dari kejauhan. Di seberang jalan, ia melihat Sandra duduk sendirian, ekspresi wajahnya tetap kosong, seolah-olah dunia di sekitarnya tidak berarti apa-apa. Sandra yang sekarang berbeda jauh dari yang Leo kenal dulu. Perempuan itu telah kehilangan ingatannya setelah kecelakaan yang tak terduga. Ia bahkan tak lagi mengingat Leo—seseorang yang dulu pernah ia benci dengan begitu dalam. Leo menelan ludah, mencoba menahan perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Ia merindukan Sandra, meskipun ia tahu perasaannya itu salah. Bagaimanapun, Fiona adalah istrinya, dan ia tak ingin melukai hati perempuan yang mencintainya dengan tulus. Namun, melihat Sandra di sana, begitu dekat tapi terasa begitu jauh, membuat hatinya hancur. Ia ingin mendekat, ingin berbicara dengannya, tetapi ia tahu itu hanya akan memperburuk semuanya. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk pergi. ---------- Leo beristirahat sejenak ke rumah ibunya untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau karena memikirkan Sandra,tak lama kemudian handphonenya berdering. Leo menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong.Dia hanya menjawab singkat,namun percakapan singkat dengan Fiona itu malah menambah sesak di dadanya. Di satu sisi, ia tahu bahwa Fiona adalah cinta sejatinya, seseorang yang telah bersamanya melewati suka dan duka. Namun di sisi lain, bayangan masa lalunya terus menghantui, mengoyak ketenangannya. “Leo,” suara lembut ibunya, Bu Rosa, menyadarkannya. Perempuan paruh baya itu masih berdiri di sana, menyaksikan anaknya yang terlihat begitu rapuh. “Apa pun yang sedang kamu pikirkan, pulanglah. Fiona membutuhkanmu.” “Ibu...” Leo mendesah, suaranya berat. “Aku takut, Bu. Kalau aku jujur, semuanya bisa berantakan.” Bu Rosa mendekatinya, menyentuh bahunya dengan lembut. “Leo, lari dari kenyataan itu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kalau kamu peduli dengan Fiona, kamu harus terbuka. Masa lalu itu bagian dari hidupmu, tapi Fiona adalah masa depanmu. Jangan biarkan yang sudah berlalu menghancurkan yang kamu punya sekarang.” Leo terdiam. Kata-kata ibunya menembus pertahanannya, tapi rasa bersalah dan kebimbangan tetap menghantuinya. Akhirnya, ia hanya mengangguk kecil. “Aku akan coba, Bu. Terima kasih.” ----------- Malam itu, Leo pulang ke rumah, berusaha mengalihkan pikirannya dari Sandra. Fiona menunggu di ruang tamu, dengan senyuman yang hangat meskipun hatinya sedang gelisah. “Aku tahu kamu lelah,” kata Fiona lembut, meraih tangan suaminya. “Mari kita habiskan malam ini bersama.” Leo mengangguk, merasa bersalah karena pikirannya sempat melayang pada Sandra. Namun, ia ingin mencoba memperbaiki hubungannya dengan Fiona. Dalam keheningan malam, mereka saling mendekat, membiarkan kehangatan menyelimuti mereka. Leo memeluk Fiona erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah yang terbaik. Namun, setelah keintiman mereka usai, bayangan Sandra kembali menyeruak di pikirannya. Leo berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. “Sandra...” pikirnya lirih, rasa bersalah dan kerinduan bercampur menjadi satu. Fiona yang masih terjaga di sisinya merasakan ada yang aneh pada Leo. Ia menoleh, tetapi memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Di dalam hatinya, ia tahu masih ada yang belum selesai di antara Leo dan masa lalunya.Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p