Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi.
Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria masuk, dan tatapan mereka bertemu. Sandra memperhatikan pria itu—matanya yang tajam namun lelah, rahangnya yang tegas, dan aura penuh beban yang menyertainya. "Sandra," ucap Leo pelan dengan senyum tipis. Ada kehangatan sekaligus kekhawatiran dalam tatapannya. "Leo," terima kasih sudah datang,balas Sandra Leo hanya mengangguk . Mereka duduk berhadapan, suasana hening sejenak. Leo menatapnya dengan intens, seolah berusaha memastikan bahwa Sandra benar-benar ada di depannya. "Aku tidak tahu kenapa aku merasa harus menghubungimu," Sandra membuka pembicaraan. "Tapi... aku hanya ingin tahu. Apa kamu tahu sesuatu tentang aku? Tentang siapa aku sebenarnya? terutama keluargaku?" Leo terdiam, tubuhnya sedikit kaku. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan perasaan yang berkecamuk. "Sandra... aku tidak tahu banyak soal masa lalumu. Kamu tidak pernah banyak bicara soal itu." "Tidak pernah bicara? Sama sekali?" Sandra menatapnya dengan ragu. Leo mengangguk pelan, berusaha menutupi kenyataan bahwa Sandra pernah mengatakan ayahnya tidak akan pernah kembali. Ia tahu ucapan itu terlalu menyakitkan untuk diungkit sekarang. "Ya... kamu hanya bilang bahwa kamu dibesarkan oleh Bi Rina." Sandra terdiam, perasaan kosong kembali menghantui dirinya. "Jadi... tidak ada yang bisa kamu ceritakan tentang keluargaku?" Leo menggeleng pelan, hatinya terasa berat. Ia ingin membantu, tetapi kenyataannya ia benar-benar tidak tahu. Sandra menatap Leo dengan tatapan penuh harap. "Kalau begitu... bisa jelaskan kenapa aku merasa ada sesuatu yang belum selesai antara kita? Ada apa sebenarnya antara aku dan kamu?" Pertanyaan itu membuat napas Leo tercekat. Ia menunduk sejenak, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Suaranya serak saat akhirnya ia menjawab, "Semua ini... salahku. Aku yang terlalu cepat mengambil keputusan." Sandra menyipitkan mata, bingung. "Keputusan apa maksudmu?" Namun sebelum Leo bisa menjawab, ponsel Sandra berdering. Nama bosnya muncul di layar, dan Sandra mengangkatnya. "Ya, Pak? Oh, baik, saya bisa mengantar Anda ke luar kota sore ini. Baiklah, saya siapkan," jawab Sandra dengan nada ramah sebelum menutup panggilan. Leo menatapnya tajam. Nada ramah Sandra membuat perasaan cemburu membakar dadanya. Wajahnya menegang, dan ia tidak bisa menahan diri lagi. "Jadi Arman benar," gumamnya dengan suara dingin. Sandra mengernyit. "Apa maksudmu?" Leo menyadari ucapannya, tetapi rasa sakit dan kecemburuannya terlalu besar untuk ditahan. "Dulu, aku diberi tahu kalau kamu punya hubungan dengan bosmu. Itu sebabnya aku..." Suaranya terputus, dia menggertakkan rahang untuk menahan amarah. Sandra menatap Leo dengan bingung sekaligus terluka. "Kamu pikir aku—" "Aku tidak tahu lagi apa yang harus kupikirkan!" potong Leo, suaranya meninggi. "Kamu menghilang begitu saja tanpa penjelasan, dan aku... aku terlalu bodoh untuk percaya apa yang mereka katakan!" Sandra terdiam, kata-kata Leo menghujamnya seperti pisau. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar salah paham di antara mereka. "Leo," ucapnya dengan suara pelan, "aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku ingin tahu. Aku ingin ingat. Tolong... bantu aku." Leo menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Baik," kata akhirnya. "Aku akan membantumu, Sandra. Tapi aku juga ingin kamu jujur padaku." Sandra mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan. Sementara Leo, meski dihantui rasa bersalah dan cemburu, memutuskan bahwa ia tidak akan membiarkan Sandra hilang lagi dari hidupnya. ---------- Leo duduk di ruang kerjanya dengan wajah murung, merenungkan masa lalu. Ia teringat saat ia menawarkan posisi sebagai sekretaris kepadanya. "Sandra, kamu bisa bekerja di sini. Aku membutuhkan seseorang yang bisa kupercaya di dekatku. Kau lebih dari cukup untuk mengisi posisi itu." Namun, jawaban Sandra saat itu masih terngiang di telinganya. "Aku menghargai tawaranmu, Leo, tapi aku tidak bisa menerimanya. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Kalau aku bekerja untukmu, itu akan terlihat seperti aku hanya bergantung padamu." Kala itu, Leo menghormati keputusannya. Namun sekarang, ia merasa menyesal. Jika saja Sandra menerima tawarannya, ia tidak akan bekerja di perusahaan lain. Prang! Leo memecahkan sebuah vas bunga,tampak frustasi.Kemudian duduk di kursinya dengan gelisah setelah memecahkan vas bunga yang biasa menghiasi ruang kerjanya. Pecahan kaca berserakan, dan lantai kini dipenuhi serpihan kecil. Amarahnya membara, tetapi rasa sakit dan cemburu yang ia rasakan jauh lebih dalam daripada sekadar kemarahan biasa. Ia berteriak memanggil para pekerja kantor. Dua orang staf kebersihan bergegas masuk, tetapi ketegangan di wajah mereka meningkat saat mendengar bentakan Leo. "Apa ini kerja kalian? Kenapa ruanganku jadi begini? Cepat bersihkan sekarang!" suaranya menggema, penuh tekanan. Para pekerja hanya mengangguk ketakutan dan segera melakukan yang diperintahkan tanpa sepatah kata. Leo tahu dirinya sedang tidak adil, tetapi ia tidak peduli. Hatinya dipenuhi oleh pikiran tentang Sandra, tentang kemungkinan pengkhianatan yang ia takutkan dan tidak ingin percayai. Setelah amarahnya sedikit reda, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas panjang. Tangannya mengambil ponsel, dan ia segera menelepon Thomas, salah satu orang kepercayaannya. "Thomas, aku butuh bantuanmu," suaranya dingin. "Ikuti Sandra dan bosnya. Aku ingin tahu setiap langkah mereka." Thomas tidak menanyakan apa pun. Ia hanya menjawab singkat, "Akan segera saya lakukan." Beberapa waktu kemudian, telepon Leo bergetar. Pesan dari Thomas masuk. "Mereka sedang berada di hotel. Nama hotelnya Greenview Inn." Leo membaca pesan itu dengan rahang mengeras. Darahnya mendidih, pikirannya kacau. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan mengenakan jasnya. Namun, saat ia hendak keluar, Amar, asistennya, menghadang di depan pintu. "Tuan Leo, tunggu. Jangan gegabah," kata Amar dengan tenang, tetapi tegas. Ia tahu betul apa yang sedang direncanakan bosnya. "Kalau Bapak datang ke sana sekarang, itu hanya akan memperburuk keadaan. Pikirkan dampaknya." "Amar, jangan coba-coba hentikan aku!" Leo membalas tajam. "Aku tidak bisa membiarkan Sandra mempermainkanku seperti ini." Amar tetap tenang. "Justru karena itu, kita harus bertindak cerdas, bukan dengan emosi. Kalau memang Sandra bersalah, buktikan dengan cara yang tidak merugikan posisi Anda." Kata-kata Amar membuat Leo terdiam sejenak. Namun, dalam hatinya, amarah masih membara. "Apa yang kamu sarankan, Amar? Aku tidak akan diam saja." Amar menatap Leo dengan tatapan penuh perhitungan. "Kita perlu rencana. Saya bisa mengatur seseorang untuk mengambil foto atau rekaman mereka di hotel. Dengan bukti itu, Anda bisa menekan Sandra. Bahkan jika perlu, kita bisa membuat publik percaya bahwa dia memang tidak pantas Anda pertahankan." Leo memandangi Amar dengan tajam. "Kau ingin aku menjatuhkannya?" "Bukan menjatuhkan, Pak. Ini tentang melindungi Anda. Jangan biarkan emosi membuat Anda bertindak tanpa perhitungan. Serahkan pada saya. Saya akan mengurus semuanya," jawab Amar dengan nada meyakinkan. Leo akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Lakukan apa yang perlu dilakukan. Aku ingin tahu kebenarannya, dan aku ingin Sandra tahu kalau aku tidak mudah diperdaya." Amar tersenyum tipis, lalu membungkuk sedikit sebelum meninggalkan ruang kerja. Namun, dalam hatinya, ia sudah merencanakan sesuatu yang jauh lebih licik dari sekadar mengungkapkan kebenaran. Amar melihat ini sebagai kesempatan untuk mengambil keuntungan, baik dari situasi Leo maupun Sandra. Sementara itu, di hotel, Sandra sedang berbicara serius dengan bosnya, tanpa menyadari badai yang sedang menuju ke arahnya.Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p
Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p
Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke