Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan.
"Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali mengisi hatimu!" Ucapan Fiona menghantam Leo seperti palu. Ia melihat beberapa rekan kerjanya melintas, melirik situasi mereka dengan rasa ingin tahu. Panik, Leo segera menarik Fiona ke dalam pelukannya, mencoba menenangkannya. "Fiona, jangan seperti ini. Kumohon, berhenti menangis," bisiknya lembut. Ia mengusap punggung Fiona dengan hati-hati, berusaha menenangkan emosi wanita itu. Fiona tersedu-sedu, namun perlahan mulai mereda. Setelah beberapa saat, ia tersenyum kecil di balik air matanya. "Kamu masih peduli padaku kan, Leo? Kamu tidak akan benar-benar meninggalkanku?" Leo menarik napas dalam. "Fiona, dengarkan aku." Suaranya tegas, tapi lembut. "Aku janji akan menyelesaikan semua ini. Tapi kamu harus bersabar dan patuh. Tolong jangan buat situasi semakin rumit." Fiona mengangguk kecil, meskipun matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Baiklah, aku akan percaya padamu... untuk kali ini." Leo hanya bisa menghela napas, merasa terjebak dalam jaring yang semakin sulit ia kendalikan. Ia tahu bahwa janji itu adalah beban berat yang harus segera ia lunasi, atau semuanya akan hancur di hadapannya. Fiona menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sepenuhnya. Kemudian, ia mengangkat wajahnya, menatap Leo dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan. "Leo, aku ingin kita makan malam bersama," pintanya dengan nada manja, kedua tangannya masih menggenggam lengan Leo erat seolah takut kehilangannya. Leo terdiam, mencoba mencari alasan untuk menolak tanpa menyakiti perasaan Fiona. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Fiona sudah melanjutkan, "Anggap saja ini cara kita menghabiskan waktu berdua. Sudah lama kita tidak makan bersama, kan?" Ia menambahkan nada lembut dan tatapan penuh harap yang membuat Leo sulit berkata tidak. Ia tahu, jika menolak permintaan ini, suasana bisa semakin buruk. Akhirnya, dengan helaan napas berat, ia mengangguk. "Baiklah, Fiona. Tapi tidak terlalu lama ya? Aku ingin pulang lebih awal malam ini." Fiona langsung tersenyum lebar, seolah tangisan beberapa menit lalu tidak pernah terjadi. "Terima kasih, Leo! Aku tahu kamu pasti mengerti." Dengan cepat, ia menarik tangan Leo dan mulai melangkah menuju tempat parkir. --- Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah restoran mewah yang cukup ramai. Fiona memilih meja di sudut, jauh dari keramaian, dan memesan makanan favoritnya dengan penuh semangat. Selama itu, Leo hanya memandangnya dengan perasaan campur aduk. Senyum bahagia Fiona membuatnya merasa bersalah, tetapi pikirannya terus kembali pada Sandra. "Leo?" suara Fiona memecah lamunannya. Ia menatapnya sambil menopang dagu dengan satu tangan. "Kenapa melamun? Apa kamu tidak senang di sini?" Leo menggeleng cepat, mencoba terlihat tenang. "Tidak, aku hanya lelah. Hari ini cukup berat di kantor." Fiona menyipitkan matanya, seolah mencoba membaca pikiran Leo. Namun, ia segera mengubah ekspresinya menjadi ceria. "Baiklah, kita lupakan itu. Aku hanya ingin kita menikmati malam ini. Jangan pikirkan yang lain, oke?" Leo mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Percakapan di antara mereka berlangsung ringan, tetapi Leo lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Fiona tampak menikmati suasana, sementara Leo terus dihantui rasa bersalah yang semakin dalam. Di tengah makan malam, Fiona tiba-tiba berkata, "Leo, aku ingin kita pergi liburan bersama. Hanya kita berdua. Mungkin itu bisa membuat hubungan kita... kembali seperti dulu." Kata-kata itu membuat Leo menelan ludah. Ia menyadari bahwa semakin lama, Fiona semakin sulit dilepaskan. Di satu sisi, ia ingin mengatakan bahwa liburan bersama hanya akan memperumit situasi. Namun, melihat senyum Fiona yang penuh harap, ia merasa kata-kata itu tidak akan keluar. "Liburan ya?" balas Leo, mencoba menunda jawaban pasti. "Kita bicarakan nanti, Fiona. Aku tidak bisa memastikan sekarang." Fiona tersenyum kecil, meskipun ada kekecewaan di matanya. "Baiklah. Aku akan menunggu." Namun, dalam hati, ia tahu bahwa menunggu Leo hanya akan menambah rasa gelisahnya. Ia bertekad untuk tidak membiarkan Leo pergi begitu saja, terutama jika Sandra benar-benar menjadi ancaman bagi rumah tangga mereka. --- Saat sedang makan malam, pandangan Leo tiba-tiba tertuju ke salah satu sudut restoran. Jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat Sandra duduk bersama bosnya,Bagas. Mereka terlihat akrab, berbicara dengan santai sambil tertawa bersama. Senyum lebar Sandra memancarkan kehangatan yang selalu membuat Leo tak bisa berpaling. Namun, pemandangan itu justru melukai hatinya. Melihat Sandra tertawa begitu lepas dengan pria lain—apalagi bosnya sendiri—menimbulkan rasa cemburu yang tidak bisa ia kendalikan. Ia menggenggam garpu di tangannya sedikit lebih erat, mencoba menenangkan gelombang emosi yang tiba-tiba melandanya. "Leo," suara Fiona yang lembut namun mendesak membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, mendapati Fiona menatapnya dengan ekspresi sedikit kesal. "Kenapa malah melamun lagi? Aku sudah bilang, lupakan masalah kantor," kata Fiona sambil mengerucutkan bibirnya. "Maaf, aku hanya..." Leo mencoba mencari alasan, tapi Fiona memotongnya dengan nada manja. "Aku mau kamu menyuapiku," pintanya sambil menyodorkan garpu ke arah Leo. Leo terdiam, merasa situasinya semakin sulit. Fiona benar-benar membuatnya terjebak dalam momen yang tak bisa ia hindari, sementara pandangannya terus melirik ke arah Sandra tanpa disadari. "Leo?" Fiona memiringkan kepalanya, menatap Leo dengan bingung. "Kamu kenapa sih? Kalau kamu tidak mau, ya sudah, aku makan sendiri." Nada Fiona terdengar sedikit tersinggung, dan Leo tahu ia harus segera merespons. Dengan enggan, ia mengambil garpu dari tangan Fiona dan menyuapinya sedikit potongan steak yang ada di piring. "Nah begitu dong," ujar Fiona sambil tersenyum cerah. "Kan tidak susah buat aku bahagia." Leo memaksakan senyum, tetapi pikirannya masih tertuju pada Sandra. Ia mencuri pandang lagi ke arah meja tempat Sandra duduk. Kali ini, ia melihat Sandra mendekatkan tubuhnya sedikit pada Bagas, seolah mencoba lebih intim dalam percakapan. Hatinya kembali bergejolak. Ia tahu, tidak seharusnya ia merasa seperti ini, tapi melihat Sandra bersama pria lain terasa seperti pengkhianatan, meski ia sendiri sadar bahwa ia sudah tidak punya hak untuk cemburu. "Leo," suara Fiona kembali menariknya kembali ke realitas. Ia menatap Fiona yang kini memandangnya dengan curiga. "Kamu kenapa sih, dari tadi kelihatan tidak fokus?" tanyanya, nada suaranya sedikit berubah menjadi serius. Leo berdehem pelan, mencoba menguasai dirinya. "Tidak apa-apa, Fiona. Aku cuma lelah." Fiona memandangnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Kalau gitu, kita cepat selesai makan, ya. Nanti kamu bisa istirahat di rumah." Leo mengangguk, meski matanya masih sesekali melirik ke arah Sandra. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah Sandra menyadari kehadirannya di restoran itu? Dan jika iya, apa yang akan ia katakan jika mereka saling bertemu? --- Sementara Leo duduk bersama Fiona, Sandra yang duduk di meja lain tiba-tiba panik ketika tangannya tanpa sengaja menyenggol gelas wine di hadapannya. Cairan merah tumpah, sebagian besar mengenai jas bosnya. "Aduh! Maaf Tuan!" ucap Sandra dengan nada penuh penyesalan. Wajahnya langsung memerah karena malu. Bagas menatap jasnya yang terkena noda, lalu tersenyum kecil. "Ah, tidak apa-apa, Sandra. Hanya kecelakaan kecil. Jangan terlalu khawatir." Namun, Sandra merasa sangat bersalah. Ia segera meraih beberapa tisu dari meja dan mulai mengelap bagian jas yang terkena tumpahan itu dengan hati-hati. "Saya benar-benar minta maaf Tuan. Saya ceroboh sekali," katanya, suaranya terdengar penuh rasa bersalah. Bagas tertawa ringan, mencoba membuat Sandra merasa lebih tenang. "Sudahlah, ini bukan masalah besar. Nanti juga bisa dibersihkan." Tetapi Sandra tetap melanjutkan usahanya mengelap noda itu. Ia mendekatkan dirinya, dengan cermat membersihkan bagian yang terkena tumpahan, memastikan tidak ada bekas yang tertinggal. Dalam prosesnya, ia terlihat begitu serius dan penuh perhatian, yang membuat Bagas tersenyum tipis melihatnya. "Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Sandra. Kamu ini pekerja yang luar biasa, dan kejadian seperti ini tidak akan mengubah itu," kata Bagas,suaranya lembut. Sandra akhirnya berhenti mengelap, menatap bosnya dengan ekspresi lega, meski masih ada sedikit rasa bersalah di wajahnya. "Terima kasih,Tuan. Tapi tetap saja, saya akan mengganti biaya dry cleaning jas ini." Bagas menggeleng sambil tertawa kecil. "Tidak perlu, sungguh. Kalau kamu merasa bersalah, cukup temani saya makan malam ini. Itu lebih dari cukup." Sandra tersenyum tipis, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar ucapan bosnya. "Baiklah,Tuan. Terima kasih sudah mengerti." Namun, tanpa disadari Sandra, dari kejauhan Leo mengamati seluruh kejadian itu dengan perasaan yang campur aduk. Melihat Sandra begitu perhatian pada Bagas hanya membuat rasa cemburunya semakin membara. Hatinya ingin memprotes, tapi ia sadar posisinya tidak memungkinkan untuk bertindak apa pun. Di meja Leo, Fiona yang sibuk dengan makanannya tiba-tiba mengangkat wajah dan menatap Leo. "Kamu kenapa lagi? Kok, kayaknya pikiranmu melayang terus?" tanyanya dengan nada kesal. Leo hanya tersenyum kecil dan menggeleng, berusaha menyembunyikan emosinya. Namun, dalam hati ia bergejolak."Sandra... apa kamu benar-benar sudah mulai melupakanku?" --- Leo merasa dadanya semakin sesak setiap kali melihat Sandra tersenyum dan berbicara akrab dengan bosnya. Ia tidak sanggup lagi duduk di sana, membiarkan pikirannya semakin dipenuhi kecemburuan yang tak beralasan. "Fiona," kata Leo tiba-tiba, suaranya terdengar berat namun tegas. Fiona yang sedang sibuk memotong makanannya langsung mengangkat wajah, menatapnya dengan bingung. "Aku rasa kita harus pulang sekarang. Aku benar-benar lelah. Sepertinya butuh istirahat lebih cepat malam ini," lanjutnya sambil menghindari tatapan Fiona. Fiona meletakkan garpunya dan memiringkan kepalanya, jelas merasa tidak puas. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya tadi kamu bilang tidak apa-apa untuk makan malam dulu?" Leo menghela napas, berusaha tetap tenang. "Aku pikir aku bisa bertahan, tapi ternyata tubuhku benar-benar kelelahan. Maaf, Fiona. Kamu bisa tetap di sini kalau mau menyelesaikan makananmu." Fiona menatap Leo dengan raut kecewa, tetapi akhirnya mengalah. "Kalau kamu benar-benar tidak kuat, aku ikut saja. Aku tidak mau kamu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini." Leo buru-buru menggeleng. "Tidak usah, Fiona. Aku bisa pulang sendiri. Kamu lanjutkan saja makannya, aku janji akan langsung istirahat di rumah." Fiona tampak ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, tapi kamu harus benar-benar istirahat, Leo. Jangan kerja terlalu keras," ujarnya, nadanya masih mengandung kekhawatiran. Leo tersenyum tipis. "Terima kasih, Fiona. Aku akan akan segera istirahat." Ia berdiri dari kursinya, mengenakan jasnya dengan cepat, dan melangkah keluar restoran dengan langkah tergesa-gesa. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik sekali lagi ke arah Sandra. Ia melihatnya tertawa bersama Bagas sambil bersulang, sebuah pemandangan yang membuat rasa sakit di hatinya semakin menusuk. Leo menghela napas panjang dan memalingkan wajah, memilih untuk tidak lagi membiarkan dirinya terjebak dalam perasaan itu. Sesampainya di luar restoran, udara malam yang dingin menyambutnya, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan kekacauan dalam pikirannya. "Sandra... kenapa semuanya harus serumit ini?" batinnya sebelum melangkah menuju mobilnya, berharap perjalanan pulang bisa memberinya sedikit ketenangan. --- Malam itu, kamar terasa sunyi, namun pikiran Leo penuh dengan keramaian yang tidak bisa ia redam. Sosok Sandra terus bermain di kepalanya, senyumnya, tawanya, bahkan keakraban yang ia tunjukkan pada Bagas. Rasa cemburu dan penyesalan membelit hatinya, membuat matanya tetap terbuka meski tubuhnya terasa lelah. Di sampingnya, Fiona yang semula memunggunginya mulai merasa ada yang aneh. Ia berbalik dan menatap Leo yang masih terjaga, dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Katanya tadi ingin cepat istirahat?" tegur Fiona dengan nada yang mencampur rasa heran dan sedikit kesal. "Tapi kenapa belum tidur?" Leo tersentak, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Ia berdeham pelan, lalu menjawab dengan nada datar, "Aku hanya memikirkan proyek besok. Banyak hal yang harus aku siapkan." Fiona mengerutkan dahi, lalu mendesah pendek. "Sudahlah, Leo. Kamu kan pemilik perusahaan. Tidak usah terlalu repot memikirkan hal itu. Kan ada anak buahmu yang bisa mengurusnya." Fiona mendekat, merapatkan tubuhnya ke Leo dan memeluknya erat. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri," bisiknya lembut. Namun Leo tetap diam, pikirannya masih melayang-layang, bukan pada proyek, tapi pada Sandra. Fiona yang menyadari Leo tidak merespons pelukannya merasa tidak puas. Dengan perlahan, ia mengangkat wajahnya dan mendekat, lalu mencium bibir Leo secara tiba-tiba, berharap itu akan mengalihkan perhatiannya. "Fiona!" Leo tersentak, matanya membelalak kaget. Fiona menatapnya dengan tatapan tegas. "Kenapa? Aku kan istrimu. Apa aku tidak boleh menunjukkan rasa sayangku?" ucapnya dengan nada yang sedikit menantang. Fiona kembali memeluk Leo, mencoba mendekatkan dirinya lebih lagi, tapi Leo tetap tidak memberikan respons yang diinginkannya. Tubuhnya kaku, dan tatapannya kosong, seolah berada di tempat lain. "Leo," panggil Fiona pelan, mencoba mencari perhatian suaminya. Namun, ia hanya mendapatkan keheningan. Leo memejamkan matanya, berusaha mengontrol pikirannya, tapi bayangan Sandra tidak mau pergi. Ia tidak tahu sampai kapan ia bisa terus berpura-pura, tapi malam ini, ia hanya bisa membiarkan dirinya terjebak di antara dua dunia.Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p