Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.
Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini. Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras. "Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata. Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!" Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padaku? Aku bahkan tidak ingat siapa diriku, dan kamu malah terus menuduhku seperti ini!" suaranya pecah, tangisannya semakin histeris. Leo mendekat lagi, matanya penuh amarah bercampur luka. "Kalau kamu tidak ingat, kenapa kamu bisa begitu mudah mempercayai orang lain? Kenapa kamu terlihat begitu bahagia dengannya, sedangkan aku hanya mendapatkan tatapan ketakutan darimu?" "Karena kamu yang membuatku takut, Leo!" Sandra berteriak, suaranya menggema di ruangan itu. "Kamu menekanku, kamu menghinaku, dan sekarang kamu memperlakukan aku seperti ini. Bagaimana aku bisa merasa nyaman denganmu?" Suasana menjadi semakin panas sampai akhirnya langkah cepat terdengar mendekat. Bagas dan Amar tiba di tempat itu, ekspresi keduanya penuh dengan kebingungan. "Sandra, apa yang terjadi?" tanya Bagas dengan nada prihatin. Ia melihat Sandra menangis dengan terisak-isak. Sandra dengan cepat menghapus air matanya, mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Ini... bukan apa-apa. Aku hanya mendapat kabar buruk. Sahabatku masuk rumah sakit, jadi aku harus pergi segera mungkin." Bagas tampak heran, tetapi kemudian mengangguk dengan penuh empati. "Oh, saya turut prihatin. Kalau begitu,biar saya mengantarmu." Sandra mengangguk pelan, tanpa melihat ke arah Leo. Ia berjalan melewati pria itu dengan kepala tertunduk, sementara Bagas mengikutinya. Leo hanya berdiri di tempatnya, menyaksikan Sandra pergi bersama pria yang membuatnya merasa tersingkir. Hatinya semakin dipenuhi kemarahan dan penyesalan. Setelah pintu kafe menutup di belakang Sandra dan Bagas, Leo merasa dunianya runtuh. Ia menyentuh pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Sandra, lalu jatuh terduduk di lantai. "Apa yang sudah kulakukan..." gumam Leo pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Ia menyesali kata-kata kasarnya, tuduhannya, dan caranya memperlakukan Sandra. Di sisi lain, Amar yang berdiri di belakang Leo hanya memasang senyum tipis. Dalam hatinya, ia merasa puas melihat Leo dan Sandra bertengkar. "Rencana ini berjalan lebih baik dari yang kuduga," pikirnya sambil menyembunyikan senyum liciknya. Di dalam mobil, Sandra menangis terisak-isak, bahunya terguncang. Bagas yang duduk di sebelahnya, tampak bingung dan sedikit cemas. Ia menunggu beberapa saat sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati. "Sandra, alamat rumah sakitnya di mana? Biar aku antar langsung ke sana." Mendengar pertanyaan itu, Sandra tertegun. Ia lupa bahwa tangisannya tadi hanyalah alasan untuk menutupi kejadian sebenarnya. Sekarang, ia tidak tahu harus menjawab apa. "Uh... itu... sebenarnya..." Sandra tergagap, mencoba mencari alasan lain. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata dengan suara pelan, "Sebenarnya... kejadiannya sudah lama. Sahabatku dirawat waktu itu, tapi baru sekarang aku teringat..." Bagas berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Sandra dengan alis terangkat. "Jadi, sahabatmu sudah tidak di rumah sakit?" tanyanya, mencoba memastikan. Sandra mengangguk dengan canggung. "Iya... maaf, saya tadi terlalu emosional..." Seketika, Bagas tak kuasa menahan tawa. Ia tertawa lepas, hingga matanya menyipit. "Sandra, kamu membuatku kaget setengah mati dengan tangisanmu tadi.Kukira ada masalah besar! Eh, ternyata kamu hanya ingat sesuatu yang sudah lama terjadi." Sandra menatap Bagas dengan wajah memerah karena malu. Ia pun ikut tersenyum kecil, merasa dirinya memang konyol. "Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud membuat Anda khawatir." Bagas masih tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Kamu ini memang unik, ya. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya sekarang kamu kelihatan lebih baik." Sandra hanya tersenyum malu-malu, merasa lega karena suasana di antara mereka menjadi lebih santai. Bagas, yang mulai sadar bahwa Sandra memang tidak dalam kondisi terbaiknya, mengubah rencana awalnya. "Sandra, kamu kelihatannya benar-benar lelah. Bagaimana kalau aku antar kamu pulang saja? Kamu butuh istirahat." Sandra terkejut dengan kebaikan bosnya. "Oh, tidak perlu, Tuan. Saya bisa pulang sendiri." Bagas mengangkat tangannya untuk menghentikan penolakan Sandra. "Tidak ada tapi-tapian. Kamu sudah bekerja keras, dan sekarang kamu butuh waktu untuk tenang. Anggap ini perintah." Akhirnya, Sandra mengangguk pelan. "Baik, Tuan. Terima kasih banyak." Bagas mengantarkan Sandra ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, Sandra terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Begitu tiba, Bagas memastikan Sandra masuk ke rumah dengan selamat sebelum ia pergi. Setelah pintu rumah tertutup, Sandra menyandarkan punggungnya ke dinding, menarik napas panjang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Leo, tatapan matanya, dan bagaimana segalanya menjadi begitu kacau. Di sisi lain, perhatian Bagas membuatnya merasa dihargai, meskipun ia tahu itu tidak akan menyelesaikan masalah yang lebih besar di hadapannya. Bi Rina masuk ke ruang tamu dengan wajah cemas saat melihat Sandra terduduk lemas di sofa. "Sandra, ada apa? Kamu kenapa?" tanyanya sambil mendekat. Sandra mendongak dengan mata merah dan wajah yang basah oleh air mata. "Bi..Aku mau tanya sesuatu," ucapnya dengan suara serak. "Apa, Nak? Bilang saja," jawabnya lembut, meskipun ada kekhawatiran di wajahnya. Sandra menatap Bi Rina dengan tajam, lalu bertanya, "Leo... dia bilang kalau dia tunanganku. Apa itu benar?" Bi Rina terdiam sejenak, matanya membulat kaget. Setelah menghela napas panjang, ia mengangguk pelan. "Iya, Nak. Leo memang tunanganmu." Sandra langsung berdiri, tangannya mengepal. "Kalau begitu, kenapa Bi Rina tidak pernah bilang apa-apa? Kenapa Bi Rina membiarkan aku terus disalahkan oleh orang-orang, terutama Leo? Dia memaksaku untuk mengingat, tapi aku tidak tahu apa-apa!" Isak tangis Sandra kembali pecah. Bi Rina merasa bersalah, lalu mendekat dan memegang tangan Sandra. "Maafkan Bibi, Nak. Bibi cuma tidak mau kamu merasa lebih terbebani dengan semua ini. Bibi pikir, lebih baik kamu pelan-pelan mencari tahu sendiri, tanpa dipaksa." Sandra menatap Bi Rina dengan tatapan penuh luka, tetapi ia tahu wanita tua itu tidak berniat buruk. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. "Aku paham, Bi. Tapi... kata-kata Leo tadi benar-benar menyakitiku. Dia menyebutku... wanita murahan." Bi Rina menghela napas panjang, terlihat sedih mendengar pengakuan Sandra. "Leo memang orang yang keras kepala dan emosional, Nak. Bibi tahu itu tidak mudah untukmu." Sandra memalingkan wajah, masih merasa perih. "Aku tidak tahu bagaimana menghadapi dia, Bi. Dia selalu marah, selalu menekanku. Aku bahkan tidak ingat apa-apa tentang kami, tapi dia terus menuntutku!" Bi Rina memegang tangan Sandra erat-erat. "Nak, Bibi tahu Leo memang punya sifat tempramen. Tapi kalau kamu ingin menenangkan dia, ada cara yang bisa dicoba." Sandra menoleh dengan wajah penasaran. "Cara apa, Bi?" Bi Rina tersenyum tipis, penuh kasih sayang. "Kalau Leo sedang marah, sebaiknya kamu mengalah dulu, Nak. Jangan terlalu banyak bicara atau melawan. Dia hanya butuh waktu untuk meredakan emosinya. Setelah itu, beri dia kesempatan untuk menjelaskan suasana hatinya dengan jujur. Kadang, Leo cuma butuh rasa tenang dari orang yang dia sayangi." Sandra mendengarkan dengan ragu. "Apa itu akan berhasil?" "Setidaknya, itu lebih baik daripada membalas kemarahannya dengan amarah juga. Bibi tahu, kamu sedang merasa terluka, tapi Leo bukan orang jahat. Dia hanya terlalu takut kehilangan kamu." Sandra terdiam, mencoba mencerna nasihat itu. Namun, ia merasa butuh waktu untuk menenangkan diri. Tanpa banyak bicara, ia meraih ponselnya dan menelpon sahabatnya. "Siska, aku butuh bicara. Bisa ketemu sekarang?" "Tentu. Di mana kita ketemu?" Sandra memberi tahu lokasi pertemuan, lalu menutup ponselnya. Ia menoleh ke Bi Rina dengan pandangan datar. "Bi, terima kasih atas sarannya. Aku akan mencoba menghadapinya... tapi untuk sekarang, aku butuh bicara dengan temanku." Bi Rina mengangguk pengertian. "Pergilah, Nak. Tapi hati-hati, ya." Sandra mengambil tasnya dan keluar dari rumah, mencoba menata pikirannya. Meski hatinya masih terluka, ia tahu harus menemukan cara untuk menghadapi Leo dan mencari kedamaian dalam dirinya sendiri.Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p
Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke