Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.
Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini. Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras. "Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata. Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!" Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padaku? Aku bahkan tidak ingat siapa diriku, dan kamu malah terus menuduhku seperti ini!" suaranya pecah, tangisannya semakin histeris. Leo mendekat lagi, matanya penuh amarah bercampur luka. "Kalau kamu tidak ingat, kenapa kamu bisa begitu mudah mempercayai orang lain? Kenapa kamu terlihat begitu bahagia dengannya, sedangkan aku hanya mendapatkan tatapan ketakutan darimu?" "Karena kamu yang membuatku takut, Leo!" Sandra berteriak, suaranya menggema di ruangan itu. "Kamu menekanku, kamu menghinaku, dan sekarang kamu memperlakukan aku seperti ini. Bagaimana aku bisa merasa nyaman denganmu?" Suasana menjadi semakin panas sampai akhirnya langkah cepat terdengar mendekat. Bagas dan Amar tiba di tempat itu, ekspresi keduanya penuh dengan kebingungan. "Sandra, apa yang terjadi?" tanya Bagas dengan nada prihatin. Ia melihat Sandra menangis dengan terisak-isak. Sandra dengan cepat menghapus air matanya, mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Ini... bukan apa-apa. Aku hanya mendapat kabar buruk. Sahabatku masuk rumah sakit, jadi aku harus pergi segera mungkin." Bagas tampak heran, tetapi kemudian mengangguk dengan penuh empati. "Oh, saya turut prihatin. Kalau begitu,biar saya mengantarmu." Sandra mengangguk pelan, tanpa melihat ke arah Leo. Ia berjalan melewati pria itu dengan kepala tertunduk, sementara Bagas mengikutinya. Leo hanya berdiri di tempatnya, menyaksikan Sandra pergi bersama pria yang membuatnya merasa tersingkir. Hatinya semakin dipenuhi kemarahan dan penyesalan. Setelah pintu kafe menutup di belakang Sandra dan Bagas, Leo merasa dunianya runtuh. Ia menyentuh pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Sandra, lalu jatuh terduduk di lantai. "Apa yang sudah kulakukan..." gumam Leo pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Ia menyesali kata-kata kasarnya, tuduhannya, dan caranya memperlakukan Sandra. Di sisi lain, Amar yang berdiri di belakang Leo hanya memasang senyum tipis. Dalam hatinya, ia merasa puas melihat Leo dan Sandra bertengkar. "Rencana ini berjalan lebih baik dari yang kuduga," pikirnya sambil menyembunyikan senyum liciknya. Di dalam mobil, Sandra menangis terisak-isak, bahunya terguncang. Bagas yang duduk di sebelahnya, tampak bingung dan sedikit cemas. Ia menunggu beberapa saat sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati. "Sandra, alamat rumah sakitnya di mana? Biar aku antar langsung ke sana." Mendengar pertanyaan itu, Sandra tertegun. Ia lupa bahwa tangisannya tadi hanyalah alasan untuk menutupi kejadian sebenarnya. Sekarang, ia tidak tahu harus menjawab apa. "Uh... itu... sebenarnya..." Sandra tergagap, mencoba mencari alasan lain. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata dengan suara pelan, "Sebenarnya... kejadiannya sudah lama. Sahabatku dirawat waktu itu, tapi baru sekarang aku teringat..." Bagas berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Sandra dengan alis terangkat. "Jadi, sahabatmu sudah tidak di rumah sakit?" tanyanya, mencoba memastikan. Sandra mengangguk dengan canggung. "Iya... maaf, saya tadi terlalu emosional..." Seketika, Bagas tak kuasa menahan tawa. Ia tertawa lepas, hingga matanya menyipit. "Sandra, kamu membuatku kaget setengah mati dengan tangisanmu tadi.Kukira ada masalah besar! Eh, ternyata kamu hanya ingat sesuatu yang sudah lama terjadi." Sandra menatap Bagas dengan wajah memerah karena malu. Ia pun ikut tersenyum kecil, merasa dirinya memang konyol. "Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud membuat Anda khawatir." Bagas masih tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Kamu ini memang unik, ya. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya sekarang kamu kelihatan lebih baik." Sandra hanya tersenyum malu-malu, merasa lega karena suasana di antara mereka menjadi lebih santai. Bagas, yang mulai sadar bahwa Sandra memang tidak dalam kondisi terbaiknya, mengubah rencana awalnya. "Sandra, kamu kelihatannya benar-benar lelah. Bagaimana kalau aku antar kamu pulang saja? Kamu butuh istirahat." Sandra terkejut dengan kebaikan bosnya. "Oh, tidak perlu, Tuan. Saya bisa pulang sendiri." Bagas mengangkat tangannya untuk menghentikan penolakan Sandra. "Tidak ada tapi-tapian. Kamu sudah bekerja keras, dan sekarang kamu butuh waktu untuk tenang. Anggap ini perintah." Akhirnya, Sandra mengangguk pelan. "Baik, Tuan. Terima kasih banyak." Bagas mengantarkan Sandra ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, Sandra terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Begitu tiba, Bagas memastikan Sandra masuk ke rumah dengan selamat sebelum ia pergi. Setelah pintu rumah tertutup, Sandra menyandarkan punggungnya ke dinding, menarik napas panjang. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Leo, tatapan matanya, dan bagaimana segalanya menjadi begitu kacau. Di sisi lain, perhatian Bagas membuatnya merasa dihargai, meskipun ia tahu itu tidak akan menyelesaikan masalah yang lebih besar di hadapannya. Bi Rina masuk ke ruang tamu dengan wajah cemas saat melihat Sandra terduduk lemas di sofa. "Sandra, ada apa? Kamu kenapa?" tanyanya sambil mendekat. Sandra mendongak dengan mata merah dan wajah yang basah oleh air mata. "Bi..Aku mau tanya sesuatu," ucapnya dengan suara serak. "Apa, Nak? Bilang saja," jawabnya lembut, meskipun ada kekhawatiran di wajahnya. Sandra menatap Bi Rina dengan tajam, lalu bertanya, "Leo... dia bilang kalau dia tunanganku. Apa itu benar?" Bi Rina terdiam sejenak, matanya membulat kaget. Setelah menghela napas panjang, ia mengangguk pelan. "Iya, Nak. Leo memang tunanganmu." Sandra langsung berdiri, tangannya mengepal. "Kalau begitu, kenapa Bi Rina tidak pernah bilang apa-apa? Kenapa Bi Rina membiarkan aku terus disalahkan oleh orang-orang, terutama Leo? Dia memaksaku untuk mengingat, tapi aku tidak tahu apa-apa!" Isak tangis Sandra kembali pecah. Bi Rina merasa bersalah, lalu mendekat dan memegang tangan Sandra. "Maafkan Bibi, Nak. Bibi cuma tidak mau kamu merasa lebih terbebani dengan semua ini. Bibi pikir, lebih baik kamu pelan-pelan mencari tahu sendiri, tanpa dipaksa." Sandra menatap Bi Rina dengan tatapan penuh luka, tetapi ia tahu wanita tua itu tidak berniat buruk. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. "Aku paham, Bi. Tapi... kata-kata Leo tadi benar-benar menyakitiku. Dia menyebutku... wanita murahan." Bi Rina menghela napas panjang, terlihat sedih mendengar pengakuan Sandra. "Leo memang orang yang keras kepala dan emosional, Nak. Bibi tahu itu tidak mudah untukmu." Sandra memalingkan wajah, masih merasa perih. "Aku tidak tahu bagaimana menghadapi dia, Bi. Dia selalu marah, selalu menekanku. Aku bahkan tidak ingat apa-apa tentang kami, tapi dia terus menuntutku!" Bi Rina memegang tangan Sandra erat-erat. "Nak, Bibi tahu Leo memang punya sifat tempramen. Tapi kalau kamu ingin menenangkan dia, ada cara yang bisa dicoba." Sandra menoleh dengan wajah penasaran. "Cara apa, Bi?" Bi Rina tersenyum tipis, penuh kasih sayang. "Kalau Leo sedang marah, sebaiknya kamu mengalah dulu, Nak. Jangan terlalu banyak bicara atau melawan. Dia hanya butuh waktu untuk meredakan emosinya. Setelah itu, beri dia kesempatan untuk menjelaskan suasana hatinya dengan jujur. Kadang, Leo cuma butuh rasa tenang dari orang yang dia sayangi." Sandra mendengarkan dengan ragu. "Apa itu akan berhasil?" "Setidaknya, itu lebih baik daripada membalas kemarahannya dengan amarah juga. Bibi tahu, kamu sedang merasa terluka, tapi Leo bukan orang jahat. Dia hanya terlalu takut kehilangan kamu." Sandra terdiam, mencoba mencerna nasihat itu. Namun, ia merasa butuh waktu untuk menenangkan diri. Tanpa banyak bicara, ia meraih ponselnya dan menelpon sahabatnya. "Siska, aku butuh bicara. Bisa ketemu sekarang?" "Tentu. Di mana kita ketemu?" Sandra memberi tahu lokasi pertemuan, lalu menutup ponselnya. Ia menoleh ke Bi Rina dengan pandangan datar. "Bi, terima kasih atas sarannya. Aku akan mencoba menghadapinya... tapi untuk sekarang, aku butuh bicara dengan temanku." Bi Rina mengangguk pengertian. "Pergilah, Nak. Tapi hati-hati, ya." Sandra mengambil tasnya dan keluar dari rumah, mencoba menata pikirannya. Meski hatinya masih terluka, ia tahu harus menemukan cara untuk menghadapi Leo dan mencari kedamaian dalam dirinya sendiri.Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p