Lara syok setelah mengetahui bahwa keluarganya terlibat dalam kematian orang tua Leon, direktur divisi di perusahaan keluarganya dan juga pria yang diam-diam dia cintai. Belum sempat memproses semua, Leon mendadak meminta Lara menikah kontrak dengannya. Akankah Lara menerimanya atau justru menolak tawaran yang begitu mendadak, tetapi membuatnya penasaran?
View MoreLeon mengangkat pandangannya, menatap Lara dengan dalam penuh keseriusan, lalu terkekeh kecil. Ia menatapnya dengan senyum penuh arti.“Kenapa kamu tanyakan itu?” katanya, nadanya sedikit meledek. “Apa ini artinya, kamu ingin pernikahan yang selamanya?”Lara menatap Leon dengan ekspresi bingung, mencoba menahan senyum kecil yang muncul tanpa sadar.“Bukan gitu maksudnya,” jawabnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.Leon mengangkat alis, tatapannya semakin menggoda. “Jadi maksudmu apa?”“Kenapa kamu nggak nyari pasangan yang sebenarnya saja? Kamu tampan, punya pekerjaan yang jelas, masa depan yang menjanjikan. Di luar sana pasti banyak wanita yang tergila-gila sama kamu,” kata Lara dengan nada serius.Leon menyipitkan matanya sambil tersenyum. “Termasuk kamu?”“Apaan sih, Leon!” Lara menatapnya dengan kesal, meskipun rona merah mulai terlihat di wajahnya. “Aku serius, tau!”Leon mengangkat bahu ringan, tapi senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Apa kamu serius pengin aku nikah
Lara pun menatap Leon, mencoba menjaga ketenangannya meski pikirannya menegang karena yang akan dia biacarakan adalah tentang pernikahan dengan pria yang diam-diam selama ini dia cintai.“Aku ingin membahas soal pernikahan,” ucapnya pelan tapi tegas.Leon menatap Lara, ekspresinya tetap serius. “Oke. Lalu?”Lara mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan.“Jadi, alasan kamu ingin segera menikah itu... karena untuk Ibu kamu? Meski pernikahan itu palsu?”Leon mengangguk, tanpa ragu. “Ya. Aku cuma mau Ibu bahagia, dia juga sering bilang dia memang sangat menginginkan aku untuk segera menikah,” jawabnya.“Katanya, supaya kalau ke sini, aku nggak sendirian lagi. Rumah juga jadi nggak selalu sepi.” jawabnya kembali sebari memandang foto ibunya di dinding.Lalu Leon menatap lurus ke arah meja di depannya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.“Ibu sangat mengkhawatirkan masa tuaku kalau aku sendirian, katanya.” Ia menghela napas singkat, lalu melanjutkan.“Aku nggak mau bikin dia khawatir
“Leon…” suara Lara nyaris berbisik. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati.Leon tidak bergerak. Hanya napasnya yang terdengar, berat dan terputus-putus. Lara menyadari apa yang terjadi—Leon sedang berjuang menahan air matanya, berusaha menutupi perasaannya.Lara berdiri di sampingnya, meletakkan tangan lembut di punggung Leon. "Leon, kamu nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.Leon tetap diam, hanya menggigit rahangnya untuk menahan tangis. Lara merasakan tubuhnya gemetar halus.Dengan perlahan, Lara meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Sini, duduk dulu,” ajaknya, suaranya lembut tapi tegas.Leon menurut, meski gerakannya kaku. Ia membiarkan Lara menuntunnya ke kursi di dapur. Begitu duduk, Leon menyandarkan siku di lutut dan menundukkan kepala, kedua tangannya menutupi wajahnya.“Aku tahu ini berat,” kata Lara pelan, duduk di depan Leon. Ia tidak melepaskan genggamannya, mencoba memberikan rasa hangat yang mungkin Leon butuhkan saat itu. “Tapi kamu nggak sendiri,
Leon memarkir mobilnya perlahan di depan sebuah rumah sederhana bercat putih gading. Cat dindingnya sudah mulai memudar.Di depan rumah itu, sebuah toko bunga kecil berdiri, dengan papan nama kayu tua bertuliskan “Melati Florist”.Rak kayu di depan toko dipenuhi pot bunga—mawar, anggrek, dan melati. Namun, beberapa daun tampak mulai menguning, dan tanah di beberapa pot terlihat kering. Seolah-olah toko itu sedang menunggu sentuhan penuh kasih yang sudah lama tidak diberikan.Leon mematikan mesin mobil. Ia duduk diam beberapa saat, memandang ke arah toko tanpa banyak ekspresi, tetapi jelas ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia akhirnya menoleh ke arah Lara, yang duduk diam di kursi penumpang, ragu untuk berbicara.“Lara,” Leon memanggilnya singkat, suaranya serak namun tegas. “Turun.”Lara menatapnya sejenak sebelum membuka pintu mobil. Ia melangkah keluar, gerakannya perlahan, seperti takut mengganggu suasana yang sudah berat.Leon berjalan mendahului, langkahnya panjang tap
Lara berdiri dan tersenyum ramah, mengangguk singkat. "Lara," katanya, menjaga nada suaranya tetap netral.Ika membalas senyum dan mengulurkan tangan. "Mbak Lara, saya Ika."Mereka bersalaman sejenak sebelum Ika beralih lagi ke Leon. "Kalau perlu, saya bisa bantu mengambil barang-barangnya, Pak," tawar Ika.Leon menggeleng. "Tidak perlu, Ika. Dari tadi kamu sudah bolak balik pasti cape, biar saya sendiri yang akan urus. Sekalian, biar saya bisa memastikan semuanya lengkap."Leon menoleh lagi ke Lara. "Lara, kamu bisa ikut sebentar?" tanyanya.Lara menatapnya dengan sedikit bingung tetapi mengangguk. "Tentu."***Dalam perjalanan ke rumah Leon, mobil melaju tenang, hanya suara mesin dan lalu lintas yang terdengar. Leon fokus menyetir, wajahnya dingin dan tenang seperti biasanya. Lara meliriknya beberapa kali, mencoba membaca ekspresinya yang hampir tidak berubah sejak mereka meninggalkan rumah sakit."Itu tadi ibu kamu?" Lara akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan di dalam
Siang itu, Lara tiba di rumah sakit Sepanjang perjalanan, ia bertanya-tanya siapa yang sedang ia tuju. Leon hanya memberikan alamat dan nomor yang sepertinya nomor lantai dan kamar, tanpa menjelaskan apapun. Setibanya di lantai yang dimaksud, Lara melangkah menuju kamar dengan nomor yang disebutkan. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengintip ke dalam.Di dalam, ia melihat Leon Di dalam ruangan, Leon duduk di sisi tempat tidur seorang pasien wanita yang terbaring lemah, tatapannya penuh kehangatan dan harapan. Leon tampak begitu tenang, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya penuh perhatian. Ada sesuatu di wajah Leon yang belum pernah Lara lihat sebelumnya campuran kasih, kepedihan, dan harapan.Ya tempat itu adalah rumah sakit, nomor dari lantai dan pintu yang dituju Lara adalah pintu kamar ruangan seorang pasien dirawat.Lara ragu sejenak, merasa seperti mengganggu momen yang begitu pribadi. Namun, ia menguatkan hati, mengetuk pelan pi
Kehidupan di rumah keluarga Darma berjalan seperti biasa, baru Satu minggu telah berlalu sejak Leon menyatakan keinginannya untuk menikahi Lara, namun ada perubahan kecil yang sulit diabaikan. Leon, yang biasanya sering mampir untuk menjemput atau mengantar Cantika, kini tak pernah lagi terlihat di depan rumah.Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Seminggu setelah Darma duduk di kursi utama, tangannya menyentuh gagang kursi kayu dengan tatapan serius. Vina di sampingnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tipis. Lara dan Cantika duduk di sofa panjang yang menghadap mereka. Keduanya terdiam, seperti menunggu ayahnya yang memanggil mereka memulai pembicaraan.“Baiklah,” Darma memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Aku sudah memikirkan hal ini sejak Leon menyampaikan niatnya untuk menikahi Lara.”Cantika langsung mendengus kecil, memalingkan wajah ke jendela.“Ka Lara dan Leon ya?” gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar semua oran
Seminggu berlalu sejak Leon mengutarakan niatnya untuk menikahi Lara kepada keluarganya. Dalam percakapan itu, Leon dengan tegas menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan memengaruhi profesionalismenya di kantor. Perusahaan tetap menjadi prioritas utama, dan ia memastikan hubungan kerja antara dirinya dan Lara tetap berjalan seperti biasa.Siang itu suasana ruang rapat terasa seperti biasa, penuh dengan pembahasan serius dan diskusi tajam. Leon duduk di ujung meja dengan tatapan tajam ke arah layar laptopnya. Anggota timnya mulai memaparkan progres terbaru tentang proyek ekspansi perusahaan."Pak Leon, kami sudah merancang beberapa ide untuk proyek di area Alfa dan Beta," ujar salah seorang anggota tim divisi dengan suara percaya diri. "Kami butuh keputusan segera terkait alokasi dana. Apakah tetap sesuai dengan anggaran awal atau perlu revisi?"Leon mengangguk kecil sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Anggaran seperti itu akan bertahan, tapi saya rasa beberapa detail perlu di
Setelah kembali dari lamunannya tentang awal kedekatannya dengan Leon, Lara menghela napas panjang. Dia melangkah masuk ke kantor, mengenakan sikap profesional yang menjadi ciri khasnya. Tak ada yang bisa menebak apa yang baru saja berkecamuk di pikirannya.Di ruangan Leon, pria itu tampak tenang seperti biasa, fokus pada tumpukan dokumen yang sedang ia pelajari. Mereka saling menyapa dengan formalitas yang biasa dilakukan rekan kerja, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing tanpa membahas apa pun yang terjadi tadi pagi.Namun, menjelang waktu makan siang, ponsel Lara bergetar. Sebuah pesan dari Leon muncul di layar:"Ke rooftop, kita perlu bicara."Lara menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Jantungnya sedikit berdebar, tetapi ia menenangkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia menuju rooftop gedung kantor.Saat tiba di sana, Leon sudah menunggu di tepi pagar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Angin siang yang sejuk membuat rambutnya
“Kalau Leon tahu semuanya… apa dia masih mau mengenalku?” gumamnya pelan, seolah bertanya pada keheningan.Lara menatap kosong ke dinding kamar, bibirnya gemetarBayangan wajah Leon kembali menyeruak, membuatnya semakin tersiksa. “Haruskah aku jujur? Atau aku menyimpan semua ini sampai mati?” pikirnya dalam hati, tapi bahkan imajinasi Leon yang penuh amarah membuat tubuhnya melemas.“Kenapa harus begini?” gumamnya lirih, menggenggam erat selimut di dadanya. “Leon yang malang” Matanya memandang kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban di balik malam yang kelam.Malam itu, Lara terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya menggigil meski kamar terasa hangat. Matanya basah, dan rasa bersalah yang menyesakkan memenuhi hatinya. Dalam mimpi, wajah Leon yang penuh kekecewaan kembali menghantuinya—tatapan tajam itu muncul ketika Leon mengetahui kebenaran tentang Cantika.Lara teringat bagaimana Leon secara tak sengaja mengetahui bahwa Cantika, adik tirinya, tidak benar-benar mencintainya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments