Home / Romansa / Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia / Bab 2 : Keluarga Ariatama Marten

Share

Bab 2 : Keluarga Ariatama Marten

last update Last Updated: 2024-11-23 10:16:32

Leon yang semula berdiri dengan penuh keyakinan di ruang makan itu perlahan mencairkan suasana yang sempat menegang. Ia melirik ke arah Lara yang masih terdiam, lalu tersenyum tipis, mencoba memberikan rasa tenang dan mulai duduk kembali.

"Tapi tenang saja, semuanya," ujar Leon, suaranya terdengar lembut namun tetap berwibawa. "Saya tidak akan memaksa Lara untuk menjawab sekarang. Mungkin dia juga kaget dengan pengakuan saya barusan. Saya hanya ingin kalian tahu keseriusan niat saya."

Pak Darma mengangguk pelan, sementara Tante Vina tersenyum kecil meski terlihat sedikit terkejut. Cantika hanya duduk diam dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Leon melanjutkan, "Saya juga ingin meyakinkan, ini tidak akan memengaruhi profesionalisme saya di kantor. Bapak dan Tante tidak perlu khawatir."

Ia berdiri dari kursinya, menghela napas panjang sebelum melirik jam di pergelangan tangannya. "Mohon izin saya harus melanjutkan perjalanan ke kantor. Terima kasih sudah mengizinkan saya mampir pagi ini."

Pak Darma berdiri, menjabat tangan Leon. "Baik, Leon. Saya menghargai keberanianmu. Kami akan memikirkannya. Hati-hati di jalan."

Leon menundukkan kepala hormat. "Terima kasih, Pak. Dan maaf kalau hari ini saya tidak bisa berangkat bersama Cantika seperti biasa."

Cantika hanya mengangguk kecil, terlihat masih terkejut dengan perkembangan situasi.

Sebelum melangkah keluar, Leon menatap Lara sejenak. "Lara, saya harap kamu tidak terlalu terbebani. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan."

Lara hanya mampu mengangguk pelan, masih bingung dengan perasaannya sendiri.

Leon akhirnya berpamitan dan keluar dari rumah itu, menyusuri jalan menuju mobilnya. Pagi yang ia rencanakan untuk menjadi awal dari sebuah langkah besar terasa lebih berat dari yang ia bayangkan.

Leon Sebastian Winata, nama itu kini begitu akrab di lingkungan perusahaan Marten Energy. Bukan hanya karena statusnya sebagai kepala divisi keuangan yang cerdas dan kompeten, tetapi juga karena karisma yang ia miliki. Dengan postur tegap, sorot mata tajam, dan sikap penuh percaya diri, Leon selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Namun, di balik pesonanya yang memukau, ada cerita yang tak banyak orang tahu. Leon bukan hanya seorang profesional muda yang sukses, tetapi juga seseorang yang membawa luka masa lalu.

Leon duduk di balik kemudi mobilnya, menatap lurus ke jalan yang membentang di depannya. Di balik wajahnya yang tenang, pikirannya berputar dengan rencana yang telah ia susun selama bertahun-tahun. Ucapannya tadi pagi di depan orang tua Lara terulang kembali di benaknya—pernyataan bahwa ia ingin menikahi Lara.

"Hanya satu langkah lagi," gumam Leon, suaranya nyaris tenggelam di tengah deru mesin mobil. "Pernikahan ini hanyalah formalitas. Aku tidak punya pilihan lain jika ingin masuk lebih dalam."

Ia menarik napas panjang, kedua tangannya menggenggam setir dengan erat. Di matanya, nama besar Marten Energy—dulunya MW Energy—seolah menari-nari, mengingatkan kembali akan tragedi besar yang telah mengubah hidupnya. Kebakaran itu. Kehilangan itu. Kemudian, kecelakaan misterius yang merenggut nyawa kedua orang tuanya sehari setelah tragedi itu terjadi.

Leon mengepalkan tangan, menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. "Aku tidak akan berhenti sampai aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kalau mereka terlibat…," suaranya menggantung, dingin dan penuh tekad.

Ia melirik ke kursi penumpang kosong di sampingnya, seolah membayangkan Lara duduk di sana. "Maafkan aku, Lara," bisiknya lirih, nyaris seperti ucapan pada dirinya sendiri. "Kamu hanya bagian dari rencana ini. Aku tahu ini tidak adil, tapi aku harus melakukannya. Ini satu-satunya cara."

Leon kembali fokus ke jalan. Gedung tinggi Marten Energy mulai terlihat di kejauhan, berdiri megah seperti simbol kekuasaan yang selama ini ia incar. Ia memantapkan hatinya. Bagi orang lain, ia adalah Direktur Keuangan yang berdedikasi dan ambisius. Namun, di balik itu semua, Leon tahu bahwa langkah yang ia ambil bukan hanya soal karier—ini soal membongkar kebenaran, menuntaskan dendam, dan mengambil kembali apa yang menjadi hak keluarganya.

"Ini bukan soal cinta atau keluarga," Leon berkata lagi, nadanya lebih dingin. "Ini soal keadilan."

Dan dengan itu, ia menginjak pedal gas lebih dalam, mengantar dirinya semakin dekat pada tujuan akhir yang telah ia tunggu selama bertahun-tahun.

Disisi lain Cantika, yang biasanya ceria dan penuh percaya diri, tertegun mendengar pengakuan Leon tadi pagi. Kata-kata Leon masih menggema di benaknya, membuatnya tak mampu berkata-kata. Kepergian Leon pun hanya ia pandangi dengan diam, tanpa mampu memberikan reaksi. Pagi yang biasanya diisi canda dan tawa bersama Lara berubah menjadi penuh kecanggungan.

Sebagai adik tiri Lara, Cantika adalah sosok yang energik dan selalu mampu menarik perhatian. Ia merupakan anak dari pernikahan kedua Darma, ayah Lara, setelah ibu Lara meninggal ketika Lara masih berusia tiga tahun. Meski memiliki latar belakang keluarga yang berbeda, Cantika dan Lara tumbuh bersama sebagai saudara, meskipun hubungan mereka tak selalu mulus.

Cantika dikenal dengan kecantikannya yang manis, senyumnya yang menawan,  kepribadian yang ramah dan kecerdasannya yang luar biasa. Namun, di balik semua itu, Cantika menyimpan ambisi besar untuk membuktikan dirinya sebagai bagian dari keluarga Ariatama Marten yang terpandang.

Lara yang biasanya merasa seperti bayangan di tengah keluarganya sendiri sejak ibunya meninggal, posisinya di keluarga maupun perusahaan seakan-akan tersisih, berbeda dengan Cantika yang begitu mudah mendapatkan segalanya, pagi ini dia merasa berbeda dan lebih unggul dari Cantika.

Di perjalanan menuju kantor, Lara menatap ayahnya yang berada di depan, sosok yang  ia kagumi sepenuhnya ayah yang mencintai dua anaknya dan senantiasa mengajarkan kedisiplinan dan kesederhanaan kepada anak-anaknya. Pak Darma adalah Direktur Utama perusahaan yang didirikan oleh Ariatama Marten Komisaris Utama yang masih mengawasi jalannya bisnis, dan pasangan Winata, mendiang ibu dan ayah Leon, Sebastian Winata. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1990, sebelum kelahiran Leon di tahun 1996, sebuah fakta yang terasa ironi mengingat tragedi yang terjadi di tahun 1998, ketika kedua orang tua Leon tewas dalam kecelakaan selang sehari setelah kebakaran yang misterius kantor lama. Kecelakaan itu meninggalkan Leon menjadi yatim piatu di usia dua tahun.

Mobil melaju pelan keluar dari kompleks perumahan mewah. Lara duduk di kursi belakang bersama ayahnya, Darma, sementara sopir keluarga mereka mengendalikan kemudi dengan santai namun teratur. Pandangan Lara terus tertuju pada rumah besar di sebelah rumahnya—milik kakeknya, Ariatama Maarten.

“Rumah itu megah banget ya, Mbak,” ujar sopir, mencoba mencairkan suasana yang hening. “Setiap lewat sini, saya selalu mikir, kira-kira butuh berapa lama ya bangun rumah sebesar itu?”

Lara tersenyum tipis. “Bukan cuma soal waktu, Pak. Tapi rumah itu… kayak punya ceritanya sendiri.”

“Cerita apa tuh, Mbak? Kalau saya sih cuma bisa lihat dari luar aja, kagum. Kayaknya orang di rumah itu kerja keras banget ya.”

“Kerja keras, iya,” jawab Lara pelan. “Tapi di balik itu, ada banyak hal yang nggak semua orang tahu. Kakekku, misalnya, bukan cuma kepala keluarga. Dia seperti pusat segalanya. Semua keputusan penting pasti lewat dia dulu.”

“Bener juga ya,” sopir itu tertawa kecil. “Nggak heran tiap pagi mobil beliau selalu yang paling duluan keluar. Itu aja barusan udah lewat.”

Lara mengangguk, matanya masih tertuju ke arah mobil sedan hitam yang tadi melaju keluar dari gerbang rumah besar itu. “Iya, Kakek selalu disiplin. Semua orang di keluarga ini kayaknya nggak bisa santai.”

Darma, yang duduk di sebelahnya, menimpali singkat, “Itu kebiasaan yang harus dijaga, Lara.”

Sopir tertawa lagi. “Tapi nggak semua orang kan bisa kayak Kakek Mbak. Saya lihat Mbak Monic barusan juga lewat. Wah, kalau itu, auranya beda. Kayak orang yang selalu pengen menonjol.”

Lara tersenyum kecil. “Monic memang suka jadi pusat perhatian. Dia ambisius, percaya diri, dan... agak ribet.”

“Kalau ribet, Mbak Lara juga ribet nggak?” sopir bercanda, membuat Lara tertawa kecil.

“Enggak, saya nggak seribet Monic,” jawab Lara dengan nada bercanda juga. “Tapi Monic itu pintar. Dia selalu tahu gimana caranya bikin orang lain setuju sama dia.”

Mobil kembali melaju, melewati rumah lain. Sebuah mobil putih keluar dari garasi rumah itu.

“Lho, itu kayaknya mobil Mbak Syifa, ya?” tanya sopir.

“Iya,” Lara menjawab. “Syifa beda lagi. Kalau Monic seperti api, Syifa itu lebih tenang. Tapi jangan salah, dia juga nggak kalah berbahaya.”

“Berbahaya gimana, Mbak?” Sopir itu melirik melalui kaca spion, penasaran.

“Syifa itu orangnya anggun, tenang, tapi dia selalu punya rencana. Kalau Monic pakai kekuatan langsung, Syifa lebih seperti main catur. Geraknya pelan, tapi pasti.”

“Wah, keren juga ya keluarga Mbak Lara ini,” ujar sopir sambil mengangguk-angguk. “Berarti Mbak Lara ini seperti apa dong? Api atau air?”

Lara tertawa kecil. “Mungkin aku cuma angin. Ada, tapi nggak terlalu kelihatan.”

Darma hanya tersenyum tipis mendengar percakapan mereka. “Yang penting, Lara tahu perannya di keluarga ini.”

Sopir kembali berbicara, “Tapi ya, Mbak, saya nggak bisa bayangin jadi bagian dari keluarga sebesar ini. Rasanya kayak hidup di bawah tekanan terus.”

Lara menghela napas pelan. “Kadang memang terasa seperti itu. Semua orang selalu terlihat sibuk dan disiplin, tapi di balik itu semua... ada banyak yang nggak pernah terlihat.”

“Rahasia, ya?” Sopir menebak sambil tersenyum.

Lara mengangguk pelan, lalu memandang jauh ke depan. “Rahasia yang mungkin nggak semua orang perlu tahu.”

Setelah percakapan ringan itu, suasana di dalam mobil kembali sunyi. Hanya suara deru mesin dan gesekan ban dengan jalan yang terdengar. Lara mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memandangi gedung-gedung tinggi yang mulai tampak di kejauhan sebari bertanya dalam hatinya, “apa sebenarnya tujuan Leon masuk ke Perusahaan Keluargaku, dan sekarang mencoba masuk kedalam Keluargaku, apakah untuk mencari tahu hal yang sebenarnya begitu menyakitinya dimasa lalu atau membalas dendam untuk itu semua ditambah lagi ada kekecewaan dan kemarahannya pada Cantika.” Namun, pikirannya juga melayang jauh ke masa lalu ke saat pertama kali ia mengenal Leon lebih dari sekadar hubungan profesional.

Related chapters

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 3 Awal Kedekatan Leon & Lara

    Lara mengingat dengan jelas awal mula kedekatannya dengan Leon, pria yang kini menjadi Direktur Keuangan di Marten Energy. Sebagai manajer perencanaan keuangan, interaksi profesional mereka seharusnya biasa saja. Namun, semuanya mulai berubah ketika Leon menunjukkan ketertarikannya pada Cantika, adik tirinya.Pada saat itu suasana kantor pagi itu terasa tenang, dengan hanya suara keyboard dan percakapan pelan antar karyawan yang mengisi ruangan. Lara sedang serius menatap layar komputer ketika ia merasakan sentuhan ringan di pundaknya."Permisi," terdengar suara yang dalam dan formal. Lara menoleh dan mendapati Leon berdiri di belakangnya. Sontak, ia menahan napas sesaat, jantungnya berdebar lebih cepat. Dengan sedikit gugup, ia bergeser ke samping untuk memberi jalan.“Silakan, Pa Leon,” ucapnya dengan sopan.Leon membalas dengan anggukan kecil, senyum sekilas di wajahnya sebelum ia melangkah melewatinya menuju ruang kerjanya yang berdinding kaca. Setelah kepergian Leon, Lara menghel

    Last Updated : 2024-11-23
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 4 : Jatuh Di Dada Leon

    Lift terasa sunyi. Hanya terdengar dengungan halus dari mesin dan detak jantung Lara yang semakin keras di dadanya. Ia berdiri sedikit kaku, berusaha menjaga jarak dari Leon tanpa terlihat canggung, meski ada rasa tegang yang tak bisa ia kendalikan. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu yang berdiri tenang di sebelahnya, dengan tatapan mata fokus pada angka-angka di atas pintu lift yang menunjukkan lantai demi lantai yang terlewati.“Lara, kamu mau turun di lobi atau lantai tiga?” suara Leon memecah keheningan, nadanya ringan, tetapi cukup untuk membuat Lara sedikit tersentak.“Oh, tidak, Pak. Saya ke lantai tiga dulu, ada yang harus saya sampaikan ke Cantika,” jawab Lara, suaranya terdengar ragu-ragu, sedikit gugup.Leon tertawa kecil, membuat jantung Lara berdebar lebih kencang. “ini sudah di luar jam kerja, jangan panggil saya ‘Pak’.”Lara semakin salah tingkah. Senyum kecil Leon yang tulus namun menawan itu membuatnya merasa semakin grogi. Sebelum ia sempat membalas perkat

    Last Updated : 2024-11-23
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 5 : Berdua Di Mobil

    “Lara?” Leon memanggilnya dengan nada lembut, menariknya kembali ke kenyataan.Lara terkejut, segera menatap Leon dengan senyum yang agak dipaksakan. “Ya, Leon?”Leon tersenyum tipis, namun matanya menatapnya dengan cara yang tidak bisa Lara artikan sepenuhnya. "Kamu masih banyak berpikir, ya?"Lara hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya mulai tak tentu arah. “Aku... hanya memikirkan beberapa hal,” jawabnya, berusaha menjaga penampilannya tetap tenang meski di dalam hatinya seribu pertanyaan bergemuruh.Lara memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya. “Oh ya, Leon, aku dengar kamu sebelumnya juga dekat sama Syifa, sepupuku. Malah, aku sempat dengar kamu mantannya Monic. Kamu datang ke pernikahan Monic kemarin bareng Cantika, kan? Kayaknya sengaja banget nunjukin ke Monic, ya? Buset deh, semua sepupu-sepupuku sekarang malah kamu dekati, bahkan adik tiriku! Bisa gitu, ya?” Lara berkata perlahan, sambil sedikit mengejek, berusaha menggali lebih jauh dan mencari tahu motif Leon.Leon ter

    Last Updated : 2024-11-23
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 6 : Asal Kamu Senang Leon

    Setelah kembali dari lamunannya tentang awal kedekatannya dengan Leon, Lara menghela napas panjang. Dia melangkah masuk ke kantor, mengenakan sikap profesional yang menjadi ciri khasnya. Tak ada yang bisa menebak apa yang baru saja berkecamuk di pikirannya.Di ruangan Leon, pria itu tampak tenang seperti biasa, fokus pada tumpukan dokumen yang sedang ia pelajari. Mereka saling menyapa dengan formalitas yang biasa dilakukan rekan kerja, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing tanpa membahas apa pun yang terjadi tadi pagi.Namun, menjelang waktu makan siang, ponsel Lara bergetar. Sebuah pesan dari Leon muncul di layar:"Ke rooftop, kita perlu bicara."Lara menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Jantungnya sedikit berdebar, tetapi ia menenangkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia menuju rooftop gedung kantor.Saat tiba di sana, Leon sudah menunggu di tepi pagar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Angin siang yang sejuk membuat rambutnya

    Last Updated : 2024-12-04
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 7 : Kabar pernikahan yang Menyebar

    Seminggu berlalu sejak Leon mengutarakan niatnya untuk menikahi Lara kepada keluarganya. Dalam percakapan itu, Leon dengan tegas menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan memengaruhi profesionalismenya di kantor. Perusahaan tetap menjadi prioritas utama, dan ia memastikan hubungan kerja antara dirinya dan Lara tetap berjalan seperti biasa.Siang itu suasana ruang rapat terasa seperti biasa, penuh dengan pembahasan serius dan diskusi tajam. Leon duduk di ujung meja dengan tatapan tajam ke arah layar laptopnya. Anggota timnya mulai memaparkan progres terbaru tentang proyek ekspansi perusahaan."Pak Leon, kami sudah merancang beberapa ide untuk proyek di area Alfa dan Beta," ujar salah seorang anggota tim divisi dengan suara percaya diri. "Kami butuh keputusan segera terkait alokasi dana. Apakah tetap sesuai dengan anggaran awal atau perlu revisi?"Leon mengangguk kecil sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Anggaran seperti itu akan bertahan, tapi saya rasa beberapa detail perlu di

    Last Updated : 2024-12-04
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 8 : Hari Minggu Aku Jemput

    Kehidupan di rumah keluarga Darma berjalan seperti biasa, baru Satu minggu telah berlalu sejak Leon menyatakan keinginannya untuk menikahi Lara, namun ada perubahan kecil yang sulit diabaikan. Leon, yang biasanya sering mampir untuk menjemput atau mengantar Cantika, kini tak pernah lagi terlihat di depan rumah.Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Seminggu setelah Darma duduk di kursi utama, tangannya menyentuh gagang kursi kayu dengan tatapan serius. Vina di sampingnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tipis. Lara dan Cantika duduk di sofa panjang yang menghadap mereka. Keduanya terdiam, seperti menunggu ayahnya yang memanggil mereka memulai pembicaraan.“Baiklah,” Darma memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Aku sudah memikirkan hal ini sejak Leon menyampaikan niatnya untuk menikahi Lara.”Cantika langsung mendengus kecil, memalingkan wajah ke jendela.“Ka Lara dan Leon ya?” gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar semua oran

    Last Updated : 2024-12-04
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 9 : Dikenalkan Kepada Ibu Leon

    Siang itu, Lara tiba di rumah sakit Sepanjang perjalanan, ia bertanya-tanya siapa yang sedang ia tuju. Leon hanya memberikan alamat dan nomor yang sepertinya nomor lantai dan kamar, tanpa menjelaskan apapun. Setibanya di lantai yang dimaksud, Lara melangkah menuju kamar dengan nomor yang disebutkan. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengintip ke dalam.Di dalam, ia melihat Leon Di dalam ruangan, Leon duduk di sisi tempat tidur seorang pasien wanita yang terbaring lemah, tatapannya penuh kehangatan dan harapan. Leon tampak begitu tenang, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya penuh perhatian. Ada sesuatu di wajah Leon yang belum pernah Lara lihat sebelumnya campuran kasih, kepedihan, dan harapan.Ya tempat itu adalah rumah sakit, nomor dari lantai dan pintu yang dituju Lara adalah pintu kamar ruangan seorang pasien dirawat.Lara ragu sejenak, merasa seperti mengganggu momen yang begitu pribadi. Namun, ia menguatkan hati, mengetuk pelan pi

    Last Updated : 2024-12-09
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 10 : Berdua Ke Rumah Leon

    Lara berdiri dan tersenyum ramah, mengangguk singkat. "Lara," katanya, menjaga nada suaranya tetap netral.Ika membalas senyum dan mengulurkan tangan. "Mbak Lara, saya Ika."Mereka bersalaman sejenak sebelum Ika beralih lagi ke Leon. "Kalau perlu, saya bisa bantu mengambil barang-barangnya, Pak," tawar Ika.Leon menggeleng. "Tidak perlu, Ika. Dari tadi kamu sudah bolak balik pasti cape, biar saya sendiri yang akan urus. Sekalian, biar saya bisa memastikan semuanya lengkap."Leon menoleh lagi ke Lara. "Lara, kamu bisa ikut sebentar?" tanyanya.Lara menatapnya dengan sedikit bingung tetapi mengangguk. "Tentu."***Dalam perjalanan ke rumah Leon, mobil melaju tenang, hanya suara mesin dan lalu lintas yang terdengar. Leon fokus menyetir, wajahnya dingin dan tenang seperti biasanya. Lara meliriknya beberapa kali, mencoba membaca ekspresinya yang hampir tidak berubah sejak mereka meninggalkan rumah sakit."Itu tadi ibu kamu?" Lara akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan di dalam

    Last Updated : 2024-12-09

Latest chapter

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 24 : Tekad yang menjadi awal

    "Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 23 :  Kepergian Orang Tua Leon

    Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 22 : Pembicaraan yang sudah seharusnya terjadi sejak lama

    “Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 21 : Flash Back Kepulangan Leon

    Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 20 : Meski berakhir dengan kehancuran

    Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 19 : Seperti Petir

    Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 18 : Kepentingan Dan Kesepakatan

    Leon menyunggingkan senyum tipis, suaranya nyaris seperti bisikan tawa yang tertahan, menciptakan aura misterius. “Aturan main?” ulangnya perlahan, sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. “Kurasa, kita masing-masing sudah punya aturan sendiri. Kita mungkin tidak mengucapkannya dengan jelas, tetapi aku yakin kita akan tetap mematuhinya. Karena ini bukan tentang satu pihak menguasai yang lain. Ini tentang dua kepentingan yang berjalan di atas satu kesepakatan.”Lara menyilangkan tangan di depan dadanya, sudut bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Kalau begitu, aku ingin tahu,” katanya, suaranya lembut namun penuh tantangan, “apa yang terjadi kalau aturan-aturan itu saling bertabrakan? Siapa yang harus mengalah duluan, Leon?”Leon tertawa pelan, kali ini terdengar seperti taktik untuk menciptakan jeda. “Aku tidak percaya ada yang namanya tabrakan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai negosiasi untuk mencari jalan tengah. Karena, jika salah satu dari kita kehilangan terlalu banyak, ini b

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 17 : Menjatuhkan diri pada Permainan

    Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bersilang di dadanya, ekspresinya datar namun tajam. “Elegan?” ulangnya dengan nada tenang. “Aku bahkan tidak pernah mengatakan bahwa aku akan menyakiti Cantika, apalagi kalau Cantika adalah bagian dari alasan semua ini.”Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Tatapannya mengunci mata Lara, seperti mencoba membaca lebih dalam dari sekadar senyumnya yang terlihat santai. “Jadi, kalau itu kesimpulan yang kamu buat, aku penasaran… itu datang dari mana?”Kata-kata itu membuat Lara membeku sejenak.Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya membesar, menyiratkan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia merasa seperti baru saja melangkah ke dalam jebakan yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Leon telah membalikkan semua spekulasi dan asumsi yang ia lontarkan.Jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang di permukaa

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 16 : Hasutan Maut

    Leon menghela napas panjang, seolah sedang memilah kata-kata di pikirannya. Tatapannya tetap mengarah ke Lara, fokusnya hanya tentang bagaimana bisa membawa Lara menyetujui pernikahan palsu itu, entah dengan menghasut, ataupun menjebak Lara masuk dalam permainan Leon.“Kamu tahu, Lara,” ucap Leon pelan. “Kalau kamu berpikir ini tentang Cantika, kamu nggak salah. Tapi juga nggak sepenuhnya benar. Kalau aku punya alasan untuk membalas apa yang Cantika lakukan, itu bukan cuma soal dia.”Lara mengerutkan dahi sedikit, menunggu penjelasan lebih lanjut.“Orang-orang selalu bilang dendam itu nggak ada gunanya,” lanjut Leon, jemarinya kini saling bertaut di atas lututnya. “Tapi kadang, dendam itu bukan cuma soal rasa sakit. Kadang itu tentang keadilan. Tentang memastikan yang terjadi di masa lalu nggak berulang di masa depan.”Leon berhenti sejenak, mengamati ekspresi Lara yang tampak serius mendengarkan. “Dan kalau aku jujur, aku nggak cuma mikir soal Cantika. Aku juga mikir tentang kamu, La

DMCA.com Protection Status