Seminggu berlalu sejak Leon mengutarakan niatnya untuk menikahi Lara kepada keluarganya. Dalam percakapan itu, Leon dengan tegas menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan memengaruhi profesionalismenya di kantor. Perusahaan tetap menjadi prioritas utama, dan ia memastikan hubungan kerja antara dirinya dan Lara tetap berjalan seperti biasa.
Siang itu suasana ruang rapat terasa seperti biasa, penuh dengan pembahasan serius dan diskusi tajam. Leon duduk di ujung meja dengan tatapan tajam ke arah layar laptopnya. Anggota timnya mulai memaparkan progres terbaru tentang proyek ekspansi perusahaan.
"Pak Leon, kami sudah merancang beberapa ide untuk proyek di area Alfa dan Beta," ujar salah seorang anggota tim divisi dengan suara percaya diri. "Kami butuh keputusan segera terkait alokasi dana. Apakah tetap sesuai dengan anggaran awal atau perlu revisi?"
Leon mengangguk kecil sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Anggaran seperti itu akan bertahan, tapi saya rasa beberapa detail perlu disempurnakan. Namun..." Ia terdiam sesaat, menatap tajam ke arah layar laptopnya.
"Ada hal lain yang lebih penting untuk saya urus sekarang."
Ucapan Leon yang tiba-tiba itu membuat ruang rapat hening sejenak. Beberapa anggota tim saling bertukar pandang, bingung dengan maksudnya.
"Hal yang lebih penting, Pak?" tanya salah seorang anggota tim, mencoba mencari kepastian.
Leon menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sebentar lagi saya akan menikah."
Semua yang ada di ruangan seketika membeku. Kalimat itu seperti petir di siang bolong.
"Menikah?" seorang anggota tim bertanya dengan nada nyaris tak percaya.
Leon menoleh perlahan, ekspresinya tetap datar. "Dengan Manager Lara."
Kalimat itu sukses membuat suasana ruangan menjadi lebih senyap. Tidak ada yang menyangka bahwa Leon, yang selama ini dikenal selalu profesional dan jarang memperlihatkan kehidupan pribadinya, akan mengatakan sesuatu seperti itu.
"Manager Lara?" tanya salah seorang anggota tim dengan suara tercekat.
Leon mengangguk sekali lagi. "Kalau tidak ada yang mendesak lagi, saya rasa pekerjaan kita cukup sampai di sini untuk sekarang. Kembali ke meja kalian dan lanjutkan tugas masing-masing." Nada bicaranya tegas dan tanpa ruang untuk perdebatan.
Satu per satu anggota tim meninggalkan ruang rapat, masih dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.
Kabar itu menyebar lebih cepat daripada siapa pun bisa menghentikannya. Dalam hitungan jam, hampir seluruh kantor tahu bahwa Leon, pria yang selama ini dikenal dingin dan sulit didekati, akan menikah. Dan lebih mengejutkan lagi, calon pengantinnya adalah Lara, manajer yang selama ini terlihat biasa-biasa saja di mata banyak orang.
Kesokan harinya,
Pagi itu, Cantika memasuki kantor dengan percaya diri seperti biasa. Gaun kerjanya yang elegan membungkus tubuhnya sempurna, dan aroma parfum mahalnya semerbak memenuhi lorong. Semua orang tersenyum dan memberi salam seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda. Tatapan mereka lebih lama, senyuman mereka terkesan canggung.
Cantika hanya mengangkat dagu, mengabaikan hal itu. Ia yakin semua orang mengagumi kehebatannya sebagai direktur muda yang cerdas dan memikat. Sebagai orang yang sering terlihat bersama Leon, direktur yang tak kalah mengagumkan, ia bahkan kerap dijuluki "pasangan sempurna" oleh para karyawan di belakang layar.
Namun, suasana itu mulai terasa semakin ganjil. Di lift, seorang staf junior yang biasanya selalu ramah malah terlihat gugup, lalu buru-buru keluar meskipun belum sampai lantai tujuannya. Cantika memicingkan mata, bingung.
Saat ia melangkah berjalan melewati pantry, tanpa sengaja ia mendengar dua karyawan bergosip di dekat mesin kopi.
"Kamu dengar nggak, Pak Leon mau nikah?" suara seorang wanita terdengar penuh antusias.
"Hah, nikah? Sama siapa?" tanya rekannya, nyaris menjatuhkan cangkirnya.
"Sama Manager Lara! Baru saja dia bilang di rapat pagi tadi. Kayaknya ini berita besar deh."
"Wah, serius? Tapi bukannya Pa Leon sudah sangat serasi sama Bu Cantika? Semua orang juga tahu mereka sering bareng, dan... ya ampun, sama-sama direktur pula."
"Iya, makanya heran banget. Kasihan Bu Cantika sih. Gimana pun, pasti dia nggak nyangka."
Cantika berhenti sejenak, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. Pandangannya memburam sesaat. Tangannya yang hendak mengambil kopi malah mengepal di samping tubuhnya.
Dengan tenang, ia melangkah pergi, mencoba menjaga wajahnya tetap tanpa ekspresi meskipun hatinya terasa seperti dihantam palu.
Di ruangannya, ia duduk di kursi dengan tubuh tegak, matanya menatap kosong ke arah meja. "Leon dan Ka Lara bikin aku malu aja, kenapa kabar ini juga sudah menyebar dikantor?" pikirnya, rasa sakit menggerogoti harga dirinya.
Selama ini, ia dianggap sebagai pasangan yang sempurna bagi Leon, sering bekerja bersama, menghadiri rapat, bahkan menghadiri acara perusahaan berdua. Semua orang mengira mereka memiliki hubungan istimewa. Dan Cantika? Ia selalu menikmati sorotan itu. Kini, kenyataan ini membuat dirinya terlihat seperti orang yang hanya berandai-andai.
"Heehh... ini tidak mungkin. Pasti ada yang salah," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa malu yang membara dan pandangan rekan-rekan kantor yang seakan mengasihani dirinya tak bisa ia abaikan.
***
Hari itu sudah menjelang sore ketika Lara keluar dari kantor lebih lambat dari biasanya. Ia harus mampir ke pos satpam untuk mengambil baju yang dijahitkan kepada istri Pak Ramli.
Pak Ramli menyambut Lara yang menghampirinya dengan ramah. "Oh, Manager Lara, sudah mau pulang ya? Ini, baju dari istri saya sudah jadi, seperti permintaan," katanya sambil menyerahkan bungkusan rapi kepada Lara.
"Terima kasih, Pak Ramli. Istri Bapak benar-benar cekatan," jawab Lara sambil tersenyum tipis.
Namun, sebelum Lara sempat melangkah pergi, Pak Ramli melanjutkan dengan nada bercanda. "Oh iya, Bu Lara, saya dengar-dengar katanya mau nikah sama Pak Leon, ya? Selamat ya"
Lara terpaku sejenak. Ia tidak menyangka kabar yang dibicarakan dalam lingkup kecil keluarga bisa menyebar secepat ini. Suasana hatinya langsung berubah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum kecil.
"Ah, kabar darimana itu, Pak Ramli?" Lara mencoba terdengar ringan, tapi tangannya menggenggam erat bungkusan di depannya.
"Ya, tahu sendiri Bu, orang-orang kantor kadang suka bisik-bisik di pantry, katanya ini itu. Tapi saya kira memang cocok sih, Pak Leon dan Ibu kan sering kerja bareng," jawab Pak Ramli, tampak tulus tanpa sadar situasi yang sebenarnya.
Lara mengangguk pelan tanpa menjawab lebih lanjut. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. "Eh, Pak Ramli, saya harus buru-buru pulang. Terima kasih banyak, ya," katanya cepat-cepat, lalu melangkah pergi.
Ketika sampai di mobil, Lara duduk di kursi kemudi tanpa langsung menyalakan mesin. Ia menatap lurus ke depan dengan pikiran yang bergelayut.
"Kabar ini sudah menyebar ke mana-mana," gumamnya dalam hati. Ia menggigit bibirnya, merasa dilema. Di satu sisi, ia tahu apa yang harus dilakukan sesuai kesepakatan dengan Leon yang tetap tenang dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Tapi di sisi lain, ia tidak pernah menyangka harus menghadapi tatapan orang-orang dengan gosip yang sama sekali tidak mencerminkan perasaan hatinya.
Kehidupan di rumah keluarga Darma berjalan seperti biasa, baru Satu minggu telah berlalu sejak Leon menyatakan keinginannya untuk menikahi Lara, namun ada perubahan kecil yang sulit diabaikan. Leon, yang biasanya sering mampir untuk menjemput atau mengantar Cantika, kini tak pernah lagi terlihat di depan rumah.Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Seminggu setelah Darma duduk di kursi utama, tangannya menyentuh gagang kursi kayu dengan tatapan serius. Vina di sampingnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tipis. Lara dan Cantika duduk di sofa panjang yang menghadap mereka. Keduanya terdiam, seperti menunggu ayahnya yang memanggil mereka memulai pembicaraan.“Baiklah,” Darma memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Aku sudah memikirkan hal ini sejak Leon menyampaikan niatnya untuk menikahi Lara.”Cantika langsung mendengus kecil, memalingkan wajah ke jendela.“Ka Lara dan Leon ya?” gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar semua oran
Siang itu, Lara tiba di rumah sakit Sepanjang perjalanan, ia bertanya-tanya siapa yang sedang ia tuju. Leon hanya memberikan alamat dan nomor yang sepertinya nomor lantai dan kamar, tanpa menjelaskan apapun. Setibanya di lantai yang dimaksud, Lara melangkah menuju kamar dengan nomor yang disebutkan. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengintip ke dalam.Di dalam, ia melihat Leon Di dalam ruangan, Leon duduk di sisi tempat tidur seorang pasien wanita yang terbaring lemah, tatapannya penuh kehangatan dan harapan. Leon tampak begitu tenang, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya penuh perhatian. Ada sesuatu di wajah Leon yang belum pernah Lara lihat sebelumnya campuran kasih, kepedihan, dan harapan.Ya tempat itu adalah rumah sakit, nomor dari lantai dan pintu yang dituju Lara adalah pintu kamar ruangan seorang pasien dirawat.Lara ragu sejenak, merasa seperti mengganggu momen yang begitu pribadi. Namun, ia menguatkan hati, mengetuk pelan pi
Lara berdiri dan tersenyum ramah, mengangguk singkat. "Lara," katanya, menjaga nada suaranya tetap netral.Ika membalas senyum dan mengulurkan tangan. "Mbak Lara, saya Ika."Mereka bersalaman sejenak sebelum Ika beralih lagi ke Leon. "Kalau perlu, saya bisa bantu mengambil barang-barangnya, Pak," tawar Ika.Leon menggeleng. "Tidak perlu, Ika. Dari tadi kamu sudah bolak balik pasti cape, biar saya sendiri yang akan urus. Sekalian, biar saya bisa memastikan semuanya lengkap."Leon menoleh lagi ke Lara. "Lara, kamu bisa ikut sebentar?" tanyanya.Lara menatapnya dengan sedikit bingung tetapi mengangguk. "Tentu."***Dalam perjalanan ke rumah Leon, mobil melaju tenang, hanya suara mesin dan lalu lintas yang terdengar. Leon fokus menyetir, wajahnya dingin dan tenang seperti biasanya. Lara meliriknya beberapa kali, mencoba membaca ekspresinya yang hampir tidak berubah sejak mereka meninggalkan rumah sakit."Itu tadi ibu kamu?" Lara akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan di dalam
Leon memarkir mobilnya perlahan di depan sebuah rumah sederhana bercat putih gading. Cat dindingnya sudah mulai memudar.Di depan rumah itu, sebuah toko bunga kecil berdiri, dengan papan nama kayu tua bertuliskan “Melati Florist”.Rak kayu di depan toko dipenuhi pot bunga—mawar, anggrek, dan melati. Namun, beberapa daun tampak mulai menguning, dan tanah di beberapa pot terlihat kering. Seolah-olah toko itu sedang menunggu sentuhan penuh kasih yang sudah lama tidak diberikan.Leon mematikan mesin mobil. Ia duduk diam beberapa saat, memandang ke arah toko tanpa banyak ekspresi, tetapi jelas ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia akhirnya menoleh ke arah Lara, yang duduk diam di kursi penumpang, ragu untuk berbicara.“Lara,” Leon memanggilnya singkat, suaranya serak namun tegas. “Turun.”Lara menatapnya sejenak sebelum membuka pintu mobil. Ia melangkah keluar, gerakannya perlahan, seperti takut mengganggu suasana yang sudah berat.Leon berjalan mendahului, langkahnya panjang tap
“Leon…” suara Lara nyaris berbisik. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati.Leon tidak bergerak. Hanya napasnya yang terdengar, berat dan terputus-putus. Lara menyadari apa yang terjadi—Leon sedang berjuang menahan air matanya, berusaha menutupi perasaannya.Lara berdiri di sampingnya, meletakkan tangan lembut di punggung Leon. "Leon, kamu nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.Leon tetap diam, hanya menggigit rahangnya untuk menahan tangis. Lara merasakan tubuhnya gemetar halus.Dengan perlahan, Lara meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Sini, duduk dulu,” ajaknya, suaranya lembut tapi tegas.Leon menurut, meski gerakannya kaku. Ia membiarkan Lara menuntunnya ke kursi di dapur. Begitu duduk, Leon menyandarkan siku di lutut dan menundukkan kepala, kedua tangannya menutupi wajahnya.“Aku tahu ini berat,” kata Lara pelan, duduk di depan Leon. Ia tidak melepaskan genggamannya, mencoba memberikan rasa hangat yang mungkin Leon butuhkan saat itu. “Tapi kamu nggak sendiri,
Lara pun menatap Leon, mencoba menjaga ketenangannya meski pikirannya menegang karena yang akan dia biacarakan adalah tentang pernikahan dengan pria yang diam-diam selama ini dia cintai.“Aku ingin membahas soal pernikahan,” ucapnya pelan tapi tegas.Leon menatap Lara, ekspresinya tetap serius. “Oke. Lalu?”Lara mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan.“Jadi, alasan kamu ingin segera menikah itu... karena untuk Ibu kamu? Meski pernikahan itu palsu?”Leon mengangguk, tanpa ragu. “Ya. Aku cuma mau Ibu bahagia, dia juga sering bilang dia memang sangat menginginkan aku untuk segera menikah,” jawabnya.“Katanya, supaya kalau ke sini, aku nggak sendirian lagi. Rumah juga jadi nggak selalu sepi.” jawabnya kembali sebari memandang foto ibunya di dinding.Lalu Leon menatap lurus ke arah meja di depannya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.“Ibu sangat mengkhawatirkan masa tuaku kalau aku sendirian, katanya.” Ia menghela napas singkat, lalu melanjutkan.“Aku nggak mau bikin dia khawatir
Leon mengangkat pandangannya, menatap Lara dengan dalam penuh keseriusan, lalu terkekeh kecil. Ia menatapnya dengan senyum penuh arti.“Kenapa kamu tanyakan itu?” katanya, nadanya sedikit meledek. “Apa ini artinya, kamu ingin pernikahan yang selamanya?”Lara menatap Leon dengan ekspresi bingung, mencoba menahan senyum kecil yang muncul tanpa sadar.“Bukan gitu maksudnya,” jawabnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.Leon mengangkat alis, tatapannya semakin menggoda. “Jadi maksudmu apa?”“Kenapa kamu nggak nyari pasangan yang sebenarnya saja? Kamu tampan, punya pekerjaan yang jelas, masa depan yang menjanjikan. Di luar sana pasti banyak wanita yang tergila-gila sama kamu,” kata Lara dengan nada serius.Leon menyipitkan matanya sambil tersenyum. “Termasuk kamu?”“Apaan sih, Leon!” Lara menatapnya dengan kesal, meskipun rona merah mulai terlihat di wajahnya. “Aku serius, tau!”Leon mengangkat bahu ringan, tapi senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Apa kamu serius pengin aku nikah
Leon mengangkat pandangannya perlahan, menatap Lara dengan ekspresi datar namun matanya menyimpan kebimbangan. “Maksudmu?” tanyanya, suaranya terdengar tenang tapi tetap mengandung ketegangan.“Maksud kamu… Cantika? Balas dendam sama Cantika?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tapi jelas menyimpan emosi yang sulit diterka.Suasana hening sejenak, udara di antara mereka terasa semakin tegang. Lara menunggu, berharap Leon akan melanjutkan, tapi ia tetap diam, membiarkan pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.Lara mengamati Leon dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan. “Leon,” ucapnya lembut, memecah keheningan. “Kalau kamu hanya ingin seseorang di sisimu, kenapa aku merasa ada sesuatu yang lebih dari itu? Sesuatu yang belum kamu ceritakan?”Leon menoleh sedikit, matanya tidak lagi fokus pada Lara, melainkan ke sudut ruangan yang kosong, seolah sedang berusaha mencari jawaban di tempat lain. “Mungkin itu benar. Aku nggak bisa bilang semuanya sederhana,
"Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la
Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng
“Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu
Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan
Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a
Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah
Leon menyunggingkan senyum tipis, suaranya nyaris seperti bisikan tawa yang tertahan, menciptakan aura misterius. “Aturan main?” ulangnya perlahan, sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. “Kurasa, kita masing-masing sudah punya aturan sendiri. Kita mungkin tidak mengucapkannya dengan jelas, tetapi aku yakin kita akan tetap mematuhinya. Karena ini bukan tentang satu pihak menguasai yang lain. Ini tentang dua kepentingan yang berjalan di atas satu kesepakatan.”Lara menyilangkan tangan di depan dadanya, sudut bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Kalau begitu, aku ingin tahu,” katanya, suaranya lembut namun penuh tantangan, “apa yang terjadi kalau aturan-aturan itu saling bertabrakan? Siapa yang harus mengalah duluan, Leon?”Leon tertawa pelan, kali ini terdengar seperti taktik untuk menciptakan jeda. “Aku tidak percaya ada yang namanya tabrakan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai negosiasi untuk mencari jalan tengah. Karena, jika salah satu dari kita kehilangan terlalu banyak, ini b
Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bersilang di dadanya, ekspresinya datar namun tajam. “Elegan?” ulangnya dengan nada tenang. “Aku bahkan tidak pernah mengatakan bahwa aku akan menyakiti Cantika, apalagi kalau Cantika adalah bagian dari alasan semua ini.”Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Tatapannya mengunci mata Lara, seperti mencoba membaca lebih dalam dari sekadar senyumnya yang terlihat santai. “Jadi, kalau itu kesimpulan yang kamu buat, aku penasaran… itu datang dari mana?”Kata-kata itu membuat Lara membeku sejenak.Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya membesar, menyiratkan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia merasa seperti baru saja melangkah ke dalam jebakan yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Leon telah membalikkan semua spekulasi dan asumsi yang ia lontarkan.Jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang di permukaa
Leon menghela napas panjang, seolah sedang memilah kata-kata di pikirannya. Tatapannya tetap mengarah ke Lara, fokusnya hanya tentang bagaimana bisa membawa Lara menyetujui pernikahan palsu itu, entah dengan menghasut, ataupun menjebak Lara masuk dalam permainan Leon.“Kamu tahu, Lara,” ucap Leon pelan. “Kalau kamu berpikir ini tentang Cantika, kamu nggak salah. Tapi juga nggak sepenuhnya benar. Kalau aku punya alasan untuk membalas apa yang Cantika lakukan, itu bukan cuma soal dia.”Lara mengerutkan dahi sedikit, menunggu penjelasan lebih lanjut.“Orang-orang selalu bilang dendam itu nggak ada gunanya,” lanjut Leon, jemarinya kini saling bertaut di atas lututnya. “Tapi kadang, dendam itu bukan cuma soal rasa sakit. Kadang itu tentang keadilan. Tentang memastikan yang terjadi di masa lalu nggak berulang di masa depan.”Leon berhenti sejenak, mengamati ekspresi Lara yang tampak serius mendengarkan. “Dan kalau aku jujur, aku nggak cuma mikir soal Cantika. Aku juga mikir tentang kamu, La