Nala mempunyai dua pilihan dari Papa yang akan menentukan hidupnya. Pertama, menikahi lelaki 33 tahun yang Papa pilihkan. Kedua, pergi dari rumah tanpa membawa apapun dan dihapus dari daftar hak waris. Tentu Nala tidak bisa memilih salah satu dari dua pilihan tersebut. Karena mana mungkin Nala menikahi Om-Om sedang dia saja baru lulus SMA. Dan bagaimana bisa Nala meninggalkan rumah, kehidupan mewah dan uang-uang yang selalu memanjakannya sejak kecil? Bisakah Nala tidak menikah dengan Om-Om puluhan Papa tapi tetap diam di rumah? Dan apa yang kiranya akan Nala lakukan untuk menghindari perjodohan itu?
View MoreKami berdua makan dalam diam, tak saling bersuara sama sekali. Seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Papa besok udah berangkat lagi kan?" "Gue enggak peduli," ujarku setengah kesal, sejujurnya aku ingin tahu apa yang Papa lakukan sampai bolak-balik keluar negeri begitu. "Saya dalam waktu dekat akan ada tugas ke luar negara juga jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri ya Nala?" Aku menaikan bahu, tanpa dia minta, aku akan jaga diri. Toh selama ini pun juga begitu. "Jangan lupa kasih uang aja, biar gue bisa makan." Terdengar jelas dengusan Om Bian saat itu. Aku tidak peduli, di dalam hidup ini, yang aku mau cuma uang, uang dan uang, tiada yang lain. "Lagian kamu bakalan punya uang setelah kamu gajian nanti." "Mana cukup." "Cukupkan engga mau tahu gimana caranya," ujar Om Bian kepadaku. "Jangan lupa, ponsel kamu itu harus terus aktif Nala. Saya enggak mau tahu, kalau saya telepon, kamu harus langsung angkat. Sebagai suami kamu, saya sering banget khawatir sama
Sejak kembali ke rumah, pikiranku terus saja melayang pada apa yang terjadi antara aku dan Papa tadi siang. Kenapa paruh baya itu banyak sekali membicarakan tentang kematian, seolah dia akan segera mati. Memang bagus sih kalau Papa cepat mati, aku bisa lepas dari lelaki yang selalu mengatur hidupku, harus begitu dan harus begini. Hanya saja tak bisa kupungkiri, mungkin karena Papa sudah ada lama di dalam hidupku, mungkin saja karena Papa adalah Papa ... aku merasakan suatu ketakutan yang tak kasat mata. Ada setitik gangguan di dalam hatiku yang ternyata takut kehilangan sosoknya. Meski Papa sudah terlalu sering mengaturku, meski Papa sudah terlalu sering menyakitiku, tapi tak bisa dipungkiri jika selama ini, dialah yang memberikan aku uang, makan dan fasilitas hidup yang lebih dari kata layak. Di tengah aksiku yang tengah melamun itu, tiba-tiba saja sebuah handuk melayang tepat di wajah. Lembab handuk ini membuatku marah pada sosok laki-laki yang kini berambut basah, berwajah seg
Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku enggak tahu karena aku enggak punya ponsel sekarang. Ponsel aku yang sebelumnya di lempar sama Om Bian sampai rusak. Aku enggak tahu disembunyiin dima
Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p
"Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun
Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui
"Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima
"Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke
"Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta
"Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments