"Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan."
"Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depannya yang kepulan asap dari teh tersebut sudah hilang ditelan udara. "Kalau gitu, kamu pergi dari rumah ini, tanpa membawa apapun. Kartu kredit kamu, baju kamu, uang kamu, semuanya. Itu kan milik Papa, hasil kerja keras Papa. Anak yang enggak nurut kayak kamu mana pantas Papa biayai." "Pa, kok Papa gitu siiiiih?" Kini aku mulai mencak-mencak, siap meledakan emosi anak 19 tahun yang belum benar-benar stabil. "Aku anak Papa loh! Aku enggak minta dilahirkan ke dunia ini. Karena aku udah di sini seharusnya Papa tuh ngerti, Papa tuh tahu, kalau aku tanggung jawab Papa!" "Papa udah tanggung jawab ke kamu. Selama ini. Kamu hamburin uang Papa? Papa diam. Kamu berbuat nakal, Papa maklumi. Kamu lagi butuh dukungan? Papa dukung. Papa sebisa mungkin didik kamu jadi anak pintar, cerdas, mandiri. Tapi kamunya bolot mulu. Papa sampak kepikiran kalau sebenarnya kamu itu keturunan haji Bolot." "PAPA SAMA MAMA LOH YANG BIKIN AKU!" "Ya karena itu Papa masih bertanggung jawab sama hidupmu." "Ck." Aku menyugar rambut panjang yang sejak tadi sudah berantakan. Bagaimana tidak? Aku stress! Beneran stress! "Tanggung jawab kayak apa? Papa bahkan mau nikahin aku sama cowok yang enggak aku kenal!" "Kalau gitu kenalan dulu aja biar Papa nikahin kamu sama cowok yang udah kamu kenal." "Pa, enggak lucu." "Menurut kamu Papa lagi ngelawak?" Aku diam sembari menatap mata Papa. Menyebalkan sekali, baru kali ini aku punya niatan untuk seenggaknya menonjok wajah paruh baya itu. Tapi di sisi lain, mana berani, mana bisa. Aku kan sayang Papa yang udah memberikan aku banyak uang. "Kamu gak belajar dengan becus, kamu enggak mau masuk kuliah jurusan bisnis, kamu bisanya cuma tidur, nonton, belanja, hura-hura gak jelas. Tahu enggak sih? Kamu tuh bebaaaan banget." Mulutku menganga lebar mendengar penuturan tersebut. "Karena itu, Papa mau mentransfer beban Papa ini, alias kamu, ke seorang lelaki yang Papa yakin bisa handle kamu dengan baik. Bisa ngadepin kamu yang pura-pura baik di depan Papa padahal di luar sana gak waras. Bisa ngadepin kamu yang kayak iya-iya dan nurut perkataan Papa padahal di luar sana? Mana ada nurut, bandel banget. Jangan kira Papa enggak tahu kelakuan kamu itu ya Nala." Aku berdehem mendengar itu. Kenapa Papa baru bicarakan semuanya sekarang coba? Kalau Papa tahu dari dulu seharusnya aku ditegur agar aku bisa lebih hebat untuk menyembunyikan kenakalanku. "Pa, aku tuh enggak nakal, aku cuma lagi mencari jati diri. Pokoknya, intinya, AKU GAK MAU NIKAH SAMA COWOK PILIHAN PAPA!" "Oh ya sudah, pergi dari rumah Papa sekarang juga. Papa masih baik hati biarin kamu bawa tuh baju satu biji yang kamu pake." "Ih Papaaaaaa!" "Ya kalau begitu kamu nikah." "Enggak mau." "Ya udah, pergi, hus, hus, sanaaaa." Mendengar nada bicara Papa aku geli sendiri sembari melotot. "Enggak Pa! Enggak mau!" "Denger, karena kamu udah besar dan kamu bilang kalau, kamu bisa memilih jalan hidupmu sendiri, maka Papa persempit pilihan itu, pertama, kamu menikah dengan laki-laki yang Papa pilih dan hidup dengan tenang menjadi seorang istri yang berbakti pada seorang suami. Kedua, kamu pergi dari rumah ini tanpa membawa apapun." "Aku gak bisa milih salah satu dari penawaran Papa." "Wah, anak gila kamu." "PAPA KOK TEGA-TEGANYA NGATAIN AKU?" "KAMU PIKIR PAPA BUDEG? Santai aja dong ngomongnya, jangan pakai teriak-teriak!" Papa mendelik kesal. "Ya kamu emang gila, hidup udah dipermudah, tinggal milih jadi istri, malah banyak cingcong!" Seharusnya. Hanya saja seharusnya. Aku berpikir sejak dulu untuk menyembunyikan harta Papa di suatu tempat. Agar saat ada masalah seperti ini, aku bisa kabur dari rumah dan menghamburkan uang Papa. Tapi karena aku terlalu bego, pikiranku memang enggak sampai ke sana. ARRRRGH! AKU MAU MELEDAKAN BUMI DAN SEISINYA AJA KALAU KAYAK GINI. "Yah, kalau kamu pergi dari rumah, nekad dengan sehelai baju yang melekat di tubuh kamu itu, otomatis kamu juga akan dihapus dari daftar hak waris." Aku terkekeh. "Dihapus dari daftar hak waris Pa? Terus Papa bakalan mewariskan semua hasil kerja keras Papa dari masih muda ke siapa kalau bukan ke anak sendiri?" "Ke panti asuhan, panti jompo, ke orang-orang yang membutuhkan. Dari pada ke anak gak berguna." "Lah?" Aku berdiri dan berkacak pinggang. "Kenapa Papa tega begitu sih? Kenapa Papa tidak menggunakan hati nurani Papa. Anak lain mau dibantu, orang lain mau dikasih, tapi anak sendiri dibiarkan sengsara?" "Lah kamu emang udah ngasih apa ke Papa? Enggak ada benefitnya hidup kamu buat Papa selama ini Nala. Kalau Papa ngasih orang-orang di luar, Papa akan dicap sebagai seorang dermawan yang meninggal dunia, dermawan kaya baik hati. Si pekerja keras yang menyerahkan hartanya untuk beramal. Lah kalau kamu? Lagian percuma juga kamu dapet warisan. Di tangan kamu yang enggak bisa apa-apa itu, perusahaan Papa bakalan runtuh, bangkrut, mana becus kamu kerja, ngurus ribuan karyawan. Belajar pun kamu enggak mau." "Nanti, Papa malah dicap jelek kalau perusahaan gulung tikar di masa jabatan kamu. Oh, ternyata Pak Haryn punya anak yang enggak berguna. Pak Haryn enggak becus didik anaknya, karena itu perusahaan bangkrut, tercoreng nama Papa sama kamu." "Intinya, Papa nyebelin!" "Nah kan, enggak ngaca diri, kamu lebih nyebelin." Papa ikut berdiri dan membenahi kacamata yang kini melotot di tulang hidungnya. "Papa udah mengatur pertemuan kamu dan pria yang sudah Papa pilihkan. Besok, kalian bisa makan siang sama-sama di salah satu restoran. Papa enggak mau tahu, kamu harus datang." "Aku gak bakalan datang." "Okei, Papa blokir akses kartu kredit kamu." "PAAAAAA!" Aku mencak-mencak, astaga, dunia ini sudah gila!"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju
Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du
Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So
Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin
Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar
"Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg
"Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg
Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar
Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin
Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So
Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du
"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju
"Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa