Share

06. Kekacauan

Penulis: Resa Anisa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 20:30:21

Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan.

Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini.

Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak?

Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku?

Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu?

Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja.

“Apa ini?” tanyaku bingung.

“Bill, makanannya belum dibayar
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Om-Om Pilihan Papa   08. Berdua Dengan Om

    "Papa mau pergi kemana? Berapa lama? Kenapa aku harus berdua sama dia?" tanyaku menggebu, kemarahanku saat ini masih memuncak, belum semuanya tersalurkan dan Papa, kenapa mau pergi begitu saja? Ih ya ampun! "Papa mau pergi ke Singapura buat dua Minggu ke depan. Karena Papa enggak akan bisa bolak-balik ke Indo, jadi Papa nitipin kamu ke Bian, Nala." "Pa!" Aku menghentakkan kaki. "Aku enggak mau tinggal sama Om Bian, aku punya Risa, aku punya Indy, aku enggak perlu ditemenin sama laki-laki yang bukan siapa-siapaku!" "Dia itu calon suami kamu, jelas dia siapa-siapa kamu." "Pa! Papa tuh jangan sembarang percaya sama orang. Gimana kalau aku dinodai, kepolosanku direnggut sama Om-Om itu, Papa tega?" "Kamu ini!" Kepalaku dijentik sekenanya oleh tangan Papa. Beneran deh, paruh baya ini. "Lagian Papa juga mau ngapain ke Singapura? Sama ce

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Om-Om Pilihan Papa   09. Seatap

    Aku berdiam diri di kamar seharian ini. Tak peduli apapun yang Om Bian lakukan di luar sana, beberapa kali aku diminta keluar, tapi tentu aku tak menuruti, Om Bian pikir aku anak manis yang penurut begitu tentu saja tidak. Bahkan kini, aku sendiri tengah asik melakukan sesuatu hal yang cukup ekstrem. Aku sedang membuka aplikasi dimana para wanita biasanya berjualan diri. Hm .... Aku akan membooking satu yang paling mahal dan yang paling cantik agak bisa menggoda Om Bian. Aku terus menatap layar, menggulir, melihat profil wanita-wanita berpakaian seksi dan rendah yang ada di sana. Hingga kemudian, salah satu menarik perhatianku. Memakai gaun berwarna merah ketat, rambutnya tebal dan panjang. Badannya pas, tidak gemuk, tidak juga langsing. Dan berbentuk. Aku mengacungkan jempol karena dada dan pinggul wanita di foto sana memang cantik se

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Om-Om Pilihan Papa   10. Jebakan Untuk Om Bian

    Sebenarnya, aku sangat amat penasaran dengan apa yang dilakukan Mbak Mawar dan Om Bian di luar sana. Aku ingin mengintip tapi itu adegan dewasa, aku hanya bisa menerima laporan dari Mbak Mawar saja, sesuai dengan kesepakatan kami tadi. Kesempatan yang tidak terceritakan. Tapi, tapi, tapi ... karena penasaran, jadinya aku sedikit mengintip dan mencari tahu apa yang dilakukan oleh Om Bian dan Mbak Mawar di bawah. Aku bisa melihat bagaimana kini, Mbak Mawar sudah melepas blazzer dan menyisakan kaus tipis putih pendek untuk melindungi tubuh atasnya. Mereka tengah berbincang berdua, asik sembari meneguk minuman yang tadi disediakan oleh Mbak Mawar. Tawa merdu Mbak Mawar juga terdengar mengalun setelah apa yang keduanya obrolkan terlayang. Aku mengerutkan kening bingung. Baru ini saja? Atau memang hanya begini saja? Oh, tentu tidak. Karena kini kutemui tangan Mbak Mawar sudah bergerily

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Om-Om Pilihan Papa   11. Jebakan Itu, Memakanku

    "TOLOOOOOOOONG!" Om Bian membekap mulutku sekenanya. Benar-benar sekenanya. Bahkan karena itu aku hampir saja tidak bisa bernapas. "Ikuti saya." "Enggak! Lepasin gue!" "IKUTI SAYA, NALA!" "Enggak mau, lepasin gue." Dan begitu saja, Om Bian mengambil ponsel yang tersembunyi di dalam dadaku dan meleparnya. Sialan! Dia tahu dimana ponsel itu kusembunyikan dan dia dengan tega melempar barang tersebut ke tembok sampai hancur tidak berbentuk. "HP GUE ANJIR!" "Saya akan tanggung jawab." "Dada gue

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Om-Om Pilihan Papa   12. Rencana Lain

    "Jadi, lo hampir aja jadi santapan Om-Om itu semalam?" "Yeap! That's why gue kabur ke sini pas ada dan punya kesempatan. Gue harus memastikan diri aman dan enggak bisa dia usik lagi," ujarku pada Risa yang kini menganggukan kepala sok mengerti, aku tak tahu, dia memang benar-benar mengerti atau hanya sok iya saja. "Kalau gue digituin, gue nyerah sih." "Maksudnya?" "Gue ... pasrah aja, ganteng dia." "Gak waras lo kalau gitu." Aku sungguh tidak mengerti, kenapa di mata banyak orang, Om Bian itu terlihat menggoda, seksi dan laki-laki sekali. Berbeda jauh dengan pandanganku selama ini. Sungguhan, Om Bian adalah laki-laki yang meskipun hanya dia yang tersisa di dunia ini, aku tidak akan meliriknya, tidak akan jatuh cinta padanya dan tidak mau dinikahinya. Menurutku, perbedaan umur yang cukup jauh dengan pasangan akan menjadikan banyak hal

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Om-Om Pilihan Papa   13. Kenapa Bisa?

    Bagaimana caranya Om Bian tahu aku ada di sini? Dan dalam situasi seperti ini, dimana ada Bunda-nya Risa di hadapanku, mana bisa aku mencak-mencak seperti biasa kepada laki-laki matang yang kini tidak banyak bereaksi saat kami berdua saling beradu tatap. Aku tersenyum kaku di balik masker wajah yang masih kukenakan. "Mmmm, aku gak bisa pulang sekarang Tante. Soalnya masih maskeran." "Loh, kata Pak Bian barusan, kalian ada acara penting ya? Apa kamu lupa?" Apa yang sebenarnya sudah Bian katakan kepada Bunda Icha? sampai paruh baya itu bisa berkata demikian dan mempercayai ucapannya? Aku mengembuskan napas, aku tidak boleh kalah. Malah lebih bagus kalau, aku bisa mendapatkan bantuan dari Tanten Icha kan? Jadi sembari menahan diri untuk tidak marah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Om-Om Pilihan Papa   14. Om Bian Gila!

    "Lo gila?" ucapan pertamaku menyambut Om Bian yang kini membuka pintu mobil. Iya, dia gila. Orang waras mana yang akan dengan tega menabrak mobil seorang anak kecil sepertiku selain Om Bian yang tidak memiliki otak dan tidak waras ini? "Siapa suruh kamu kabur dari saya?" "Kenapa lo tahu gue di sini?" tanyaku dengan mata melotot, masih trauma, sebenarnya aku sudah ingin menangis saja kala itu. "Saya memasang pelacak di mobil kamu," ujar Om Bian tenang dan jujur. Sungguh, tahu akan hal tersebut, aku ingin mengacak-acak wajahnya yang kini nampak tidak bersalah, dia seolah tak berdosa melakukan ini padaku. Dia berpikir seakan semuanya wajar dilakukan. "Gue benci tahu enggak sama lo." Seluruh emosi aku keluarkan melalui kata-kata barusan, entah Om Bian akan mengerti atau tidak. "Ini yang akan kamu dapat kalau

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26

Bab terbaru

  • Om-Om Pilihan Papa   42. Lo Impoten?

    Kami berdua makan dalam diam, tak saling bersuara sama sekali. Seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Papa besok udah berangkat lagi kan?" "Gue enggak peduli," ujarku setengah kesal, sejujurnya aku ingin tahu apa yang Papa lakukan sampai bolak-balik keluar negeri begitu. "Saya dalam waktu dekat akan ada tugas ke luar negara juga jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri ya Nala?" Aku menaikan bahu, tanpa dia minta, aku akan jaga diri. Toh selama ini pun juga begitu. "Jangan lupa kasih uang aja, biar gue bisa makan." Terdengar jelas dengusan Om Bian saat itu. Aku tidak peduli, di dalam hidup ini, yang aku mau cuma uang, uang dan uang, tiada yang lain. "Lagian kamu bakalan punya uang setelah kamu gajian nanti." "Mana cukup." "Cukupkan engga mau tahu gimana caranya," ujar Om Bian kepadaku. "Jangan lupa, ponsel kamu itu harus terus aktif Nala. Saya enggak mau tahu, kalau saya telepon, kamu harus langsung angkat. Sebagai suami kamu, saya sering banget khawatir sama

  • Om-Om Pilihan Papa   41. Ujian Hidup

    Sejak kembali ke rumah, pikiranku terus saja melayang pada apa yang terjadi antara aku dan Papa tadi siang. Kenapa paruh baya itu banyak sekali membicarakan tentang kematian, seolah dia akan segera mati. Memang bagus sih kalau Papa cepat mati, aku bisa lepas dari lelaki yang selalu mengatur hidupku, harus begitu dan harus begini. Hanya saja tak bisa kupungkiri, mungkin karena Papa sudah ada lama di dalam hidupku, mungkin saja karena Papa adalah Papa ... aku merasakan suatu ketakutan yang tak kasat mata. Ada setitik gangguan di dalam hatiku yang ternyata takut kehilangan sosoknya. Meski Papa sudah terlalu sering mengaturku, meski Papa sudah terlalu sering menyakitiku, tapi tak bisa dipungkiri jika selama ini, dialah yang memberikan aku uang, makan dan fasilitas hidup yang lebih dari kata layak. Di tengah aksiku yang tengah melamun itu, tiba-tiba saja sebuah handuk melayang tepat di wajah. Lembab handuk ini membuatku marah pada sosok laki-laki yang kini berambut basah, berwajah seg

  • Om-Om Pilihan Papa   40. Keanehan

    Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku enggak tahu karena aku enggak punya ponsel sekarang. Ponsel aku yang sebelumnya di lempar sama Om Bian sampai rusak. Aku enggak tahu disembunyiin dima

  • Om-Om Pilihan Papa   39. Sehari Bersama

    Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p

  • Om-Om Pilihan Papa   38. Papa Aneh

    "Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun

  • Om-Om Pilihan Papa   37. Pulang

    Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui

  • Om-Om Pilihan Papa   36. Semoga Papa Cepat Mati

    "Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima

  • Om-Om Pilihan Papa   35. OG

    "Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke

  • Om-Om Pilihan Papa   34. Rendahan Di Kantor Sendiri

    "Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status