Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan.
"Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin banget? "Ya gimana Om enggak ambil pusing, lihat nih dandandan ini anak. Biasanya juga enggak begini. Kamu sengaja ya Nala mau bikin Papa malu." "Mana ada!" sanggahku sembari berbicara dengan Papa. "Papa fitnah banget sih! Style Nala kalau keluar dari rumah ya begini. Kalau Papa keberatan ya udah, enggak perlu lihat. Nala juga enggak pernah tuh ngomentarin style Papa yang ala kadarnya." "Wah, kamu nyari ribut ya?" "Papa yang nyari ribut! Nala biasa aja." "Pipi kamu kayak abis ditonjok enggak jelas, lebih ke badut, bibir kamu itu merah berminyak banget. Itu yang kamu bilang biasa aja?" Aku memutar bola mata, pura-pura lelah dan tidak takut kepada ocehan Papa yang panjang kali lebar itu. "Ini lagi ngetrend kali Pa! Anak muda sekarang gayaknya kayak gini semua." "Kamu pikir Papa bisa dibodohi ya Nala? Jangan sampai Papa blokir kartu kredit kamu!" "PAPA KOK NGANCEMNYA KE SANA MULU?!" Aku menghentikan sebelah kaki tidak terima. "Terserah Papa deh ya! Nala datang ke sini buat makan dan buat nurutin perintah Papa. Kalau memang Nala masih salah, ya udahlah, Nala capek ngadepin Papa. Hidup aja seenaknya Papa." "Tuh kan, bocah kurang ajar ini." "Om, sudah Om, ada baiknya Om tenang dulu dan duduk dulu." Om Bian kembali menengahi kamu berdua. Aku meliriknya lagi sebelum mengalihkan pandangan dengan sinis. Kini Papa menuruti ucapan laki-laki itu. Papa duduk di kursi dan menerima segelas air lalu menegaknya. Melihat Papa yang sudah lebih tenang, aku pun ikut duduk. Tahu kalau aku pergi keluar begitu saja, Papa akan memarahiku habis-habisan. Aku hanya boleh pergi kalau Papa menyuruhku begitu. "Bian, maaf sekali, anak ini benar-benar di luar prediksi. Pasti kamu jijik melihat penanpilannya yang aneh seperti orang tidak waras begini." Astaga Papaaaaa! Tapi emang sih, penampilanku tuh kayak orang gila kalau dipikir-pikir. "Enggak kok Om, enggak apa-apa, mungkin ini memang style yang disukai sama Nala." Rahangnya yang tegas, matanya yang menyorot tajam, siluet wajahnya yang nampak kejam berbeda jauh dengan gerak-gerik, cara pandang dan omongannya terhadap Papa. Aku harus mengaktifkan waspada dua kalau begini adanya. Dia akan sulit untuk aku ajak bekerja sama agar perjodohan ini batal. "Style apaan yang bentukannya begini. Malu-maluin." "Udahlah Pa! Jangan ngomong terus, lapar nih Nala!" Meski pun Papa ada, rencana tetap rencana, aku akan membuat laki-laki di depan sana ilfeel berat terhadapku. mengangkat tangan dan memperlihatkan ketiak yang sudah aku hitami dengan pensil alis, aku pun memanggil waiters yang ada di sana. Dan aku yakin, mata tegas milik Om Bian bisa menangkap itu. Menangkap ketekku yang hitam tidak karuan. Nah, makan tuh ketek. "Saya pesen steak yang ini, reguler aja ya, pakai saus mashroom, kematangannya welldone. Tiga Kak. Minumnya, ini nih, red watermelon sparkling, tiga juga." "Kamu kesurupan ya?" Papa kembali mengoceh setelah mendengar apa yang aku pesan. "Papa ini apa deh, dikit-dikit marah, kepancing emosinya, jangan gitu lah Pa! inget kesehatan." "Papa enggak sehat karena emang ngurus anak sebandel kamu selama ini, mikir enggak?" Dengan lurus, aku menggelengkan kepala tak merasa bersalah. "Udah, persennya yang normal-normal aja! Satu steak dan satu minuman." "Pa! Aku ini lagi lapar. Aku bakalan ngabisin makanan yang udah disajiin, jadi Ppa jangan banyak cingcong okey?" "Enggak sopan kamu." "Lah emang aku enggak sopan, baru sadar Papa?" Nah, yang ini bagus untuk penilaian burukku di mata Om Bian. Pada orang tua sendiri saja aku tidak sopan, apalagi ke orang tuanya nanti. Pasti dia mulai ilfeel. "Astaga, ini anak kenapa sih." "Kak, pesenan barusan punya saya jadi ya, tolong dihidangkan." "Baik Kak." Aku tersenyum dan menganggukan kepala. Kemudian, Mas Bian memesan makanan tanpa mengomentari apapun tentangku, baguslah, itu tandanya dia sudah malas. Begitu juga dengan Papa, kala pesanan kami datang, aku langsung makan selahap dan setidak rapi yang aku bisa. "Kamu kayak orang enggak makan seratus tahun enggak? Bisa kan hati-hati pakai pisau sama garpu tuh!" Papa yang kini kembali menegurku. "Apa sih Pa, orang lagi lapar, eeuuuuuu!" Aku bersendawa lalu tersenyum ke arah Om Bian. "Sorry gak sengaja. Tapi gue masih lapar." Ada satu piring tersisa. Aku melirik Papa yang sudah menggelengkan kepala speachless, tidak lagi ada omongan atau teguran dari dia. Yes! Hingga makanan di piring kami habis. Tidak ada lagi yang berbicara. Paling Papa mengobrol sesaat sebelum kemudian, pamit dari restoran dengan pesan, "Papa tunggu kamu di rumah, lihat aja nanti, habis kamu Nala." Aku menaikan bahu, maka sekarang, aku akan menginap di salah satu rumah temanku saja kalau Papa akan menghabisiku. Aku masih menyayangi nyawaku, aku masih mencintai diriku, dan aku tidak boleh habis dengan ucapan kasar Papa yang pasti akan lebih menggebu-gebu dan meledak saat kami hanya berdua di rumah. Sesaat, aku melirik Om Bian yang masih duduk di kursinya tenang. "Apa lihat-lihat. Ada yang mau lo omongin sama gue?" "Ehm." Om Bian membenahi posisi duduk dan mendekatkan tubuh dengan sisi meja. "Saya enggak punya obrolan apapun dengan kamu." "Jujur, lo enggak suka sama gue dan ilfeel kan? Udahlah jangan dipaksain buat nerima perjodohan ini." Om Bian terkekeh kecil sembari memalingkan wajah. Apa maksud? "Lo dapat apa sih dari perjodohan ini? Uang, kekuasaan?" tanyaku to the point. "Kenapa?" "Gue bisa ngasih itu tanpa lo harus nerima perjodohan kita," kataku kemudian terbuka. "Enggak, makasih." "Gue enggak mau ya sama lo! Enggak sadar diri apa kalau lo tuh udah tua? Anjir, cari sana cewek yang seumuran sama lo, pedo lo?" Om Bian berdiri dengan tenang, aku mendongak menatapnya. "Nala, saya tidak akan membatalkan perjodohan kita apapun yang terjadi, that's it!" Dan aku terdiam seribu bahasa.Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar
"Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg
"Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa
"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju
Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du
Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So
"Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg
Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar
Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin
Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So
Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du
"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju
"Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa