Home / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 12. Rencana Lain

Share

12. Rencana Lain

Author: Resa Anisa
last update Last Updated: 2024-11-25 19:10:44

"Jadi, lo hampir aja jadi santapan Om-Om itu semalam?"

"Yeap! That's why gue kabur ke sini pas ada dan punya kesempatan. Gue harus memastikan diri aman dan enggak bisa dia usik lagi," ujarku pada Risa yang kini menganggukan kepala sok mengerti, aku tak tahu, dia memang benar-benar mengerti atau hanya sok iya saja.

"Kalau gue digituin, gue nyerah sih."

"Maksudnya?"

"Gue ... pasrah aja, ganteng dia."

"Gak waras lo kalau gitu." Aku sungguh tidak mengerti, kenapa di mata banyak orang, Om Bian itu terlihat menggoda, seksi dan laki-laki sekali. Berbeda jauh dengan pandanganku selama ini. Sungguhan, Om Bian adalah laki-laki yang meskipun hanya dia yang tersisa di dunia ini, aku tidak akan meliriknya, tidak akan jatuh cinta padanya dan tidak mau dinikahinya.

Menurutku, perbedaan umur yang cukup jauh dengan pasangan akan menjadikan banyak hal
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Om-Om Pilihan Papa   13. Kenapa Bisa?

    Bagaimana caranya Om Bian tahu aku ada di sini? Dan dalam situasi seperti ini, dimana ada Bunda-nya Risa di hadapanku, mana bisa aku mencak-mencak seperti biasa kepada laki-laki matang yang kini tidak banyak bereaksi saat kami berdua saling beradu tatap. Aku tersenyum kaku di balik masker wajah yang masih kukenakan. "Mmmm, aku gak bisa pulang sekarang Tante. Soalnya masih maskeran." "Loh, kata Pak Bian barusan, kalian ada acara penting ya? Apa kamu lupa?" Apa yang sebenarnya sudah Bian katakan kepada Bunda Icha? sampai paruh baya itu bisa berkata demikian dan mempercayai ucapannya? Aku mengembuskan napas, aku tidak boleh kalah. Malah lebih bagus kalau, aku bisa mendapatkan bantuan dari Tanten Icha kan? Jadi sembari menahan diri untuk tidak marah

    Last Updated : 2024-11-25
  • Om-Om Pilihan Papa   14. Om Bian Gila!

    "Lo gila?" ucapan pertamaku menyambut Om Bian yang kini membuka pintu mobil. Iya, dia gila. Orang waras mana yang akan dengan tega menabrak mobil seorang anak kecil sepertiku selain Om Bian yang tidak memiliki otak dan tidak waras ini? "Siapa suruh kamu kabur dari saya?" "Kenapa lo tahu gue di sini?" tanyaku dengan mata melotot, masih trauma, sebenarnya aku sudah ingin menangis saja kala itu. "Saya memasang pelacak di mobil kamu," ujar Om Bian tenang dan jujur. Sungguh, tahu akan hal tersebut, aku ingin mengacak-acak wajahnya yang kini nampak tidak bersalah, dia seolah tak berdosa melakukan ini padaku. Dia berpikir seakan semuanya wajar dilakukan. "Gue benci tahu enggak sama lo." Seluruh emosi aku keluarkan melalui kata-kata barusan, entah Om Bian akan mengerti atau tidak. "Ini yang akan kamu dapat kalau

    Last Updated : 2024-11-26
  • Om-Om Pilihan Papa   15. Om Bian Itu Kenapa?

    Saat terbangun, aku sudah ada di sebuah ruangan yang tidak asing karena berbau obat. Meski pikiranku belum kembali sepenuhnya, aku tahu kalau kini, aku tengah berada di sebuah rumah sakit. Dan nampaknya semalam aku pingsan cukup lama mengingat kala melirik pada jam dinding, waktu menunjukan pada pukul delapan pagi. Ruanganku nampak sepi, tidak ada seorang pun yang menungguiku. Entah ini bagus atau menyedihkan. Menyedihkan karena berarti, kedua temanku dan orang-orang lain tidak memedulikan keadaan dan keberadaanku. Bagus karena, Om Bian tidak nampak dipandangan dan membuat kepalaku pusing hampir pecah. Sesaat, aku mendudukan diri di atas pembaringan sembari meringis karena bagian dadaku masih sakit, ada semacam perban yang ternyata mengikat di dadaku. Seolah menahan agar tidak terlalu berguncang. Oh, su

    Last Updated : 2024-11-26
  • Om-Om Pilihan Papa   16. Mencari Tahu

    Aku bodoh. Benar-benar bodoh, seharusnya, aku menyadari sesuatu sejak awal. Bahwa, semenjak dijodohkan dan bertemu dengan Om Bian, aku tak pernah sekalipun tahu, siapa sosok Om Bian yang sebenarnya. Seperti apa dia? Berasal dari keluarga mana? Mengurusi perusahaan apa dan lain hal. Mungkin, aku tak bisa menyerang sisi dirinya yang kini membuatku gila. Tapi aku yakin bisa menyerang sisi lain yang akan membuatnya bertekuk lutut untuk menghentikan perjodohan gila ini. Sayangnya kali ini, aku tak memiliki apapun untuk bisa mencari tahu siapa sosok Om Bian yang sebenarnya. Ponselku, tidak ada. Laptopku? Tidak ada. Aku di rumah sakit tanpa bisa melakukan apapun. Tapi, lagi, ada 1001 jalan menuju Roma. Seperti halnya tadi pagi dan tadi siang, sore ini, aku yakin si botak bertubuh besar itu akan kembali datang untuk menemuiku di sini. Dan sore itu, tebakanku benar, akhirnya, seorang laki-laki kembali masuk ke dalam kamar rawat inapku. Sesaat aku mengambil napas dalam-dalam, dadaku

    Last Updated : 2024-11-27
  • Om-Om Pilihan Papa   17. Jahat?

    Jadi pada dasarnya, Om Bian itu memang berniat jahat kepaku ya? Dia ingin menguasai bisnis yang sudah Papa dan Kakek dirikan dengan susah payah sejak dulu begitu? Ah, tidak susah payah juga sih, aku tahu kalau Kakekku terlahir dari keluarga yang serba ada. Bisa mendanai pendidikan tujuh turunan. Jadi untuk mendirikan bisnis seperti perhotelan begini, mungkin dulu kakekku iseng-iseng. Tapi untuk berada di titik ini, titik di mana hotel Papa mendapatkan banyak apresiasi, banyak penghargaan, menjadi salah satu hotel terbaik di Asia Tenggara kan sulit sekali. Dan kalau Om Bian menikah denganku ... saat Papa tiada nanti, aku bisa saja dia tendang ke jalanan dan jadi gelandangan cantik jelita. Tidak boleh terjadi! "Enggak mungkin bisa, mana mungkin bisa lo kayak gitu, seenaknya ngambil bisnis dan perusahaan yang udah susah payah Papa bangun, gimana pun, gue punya hak waris." "Kalau kamu nikah sama saya, kamu punya hak waris itu. Tapi kalau mencoba menggagalkan terus ... ya siap-si

    Last Updated : 2024-11-27
  • Om-Om Pilihan Papa   18. Dunia Tak Pernah Baik

    Aku menunggu dengan sabar kala telepk baruku melakukan panggilan kepada Papa. Entah sedang apa dia di sana sampai-sampai, lama sekali menjawab panggilan dari anaknya sendiri seperti ini. "Halo." "Halo, ada apa Nala?" "Papa kok lama banget sih jawab telepon Nala?" "Kamu pikir Papa di sini lagi liburan? Leha-leha di atas pembaringan atau apa?" "Ya enggak tapi kan—udah Pa, jangan ngajakin ngomong hal-hal enggak penting, Nala cuma mau ngasih tahu sesuatu ke Papa." "Apa?" "Pa, Om Bian itu enggak baik, beneran enggak baik. Nala ngomong begini bukan karena Nala enggak mau dijodohkan dengan Om Bian, tapi Nala tahu dia sosok yang seperti apa. Begini, Papa boleh jodohkan Nala dengan laki-laki lain, laki-laki manapun, Nala akan tunduk dan patuh asal jangan Om Bian." "Kamu ini bicara apa? mana mungkin Bian macam-macam, dia orang yang persrinsip dan baik. Papa udah kenal dengan Bian sejak lama. Bahkan di saat umurnya baru menginjak 22 tahun. Mana mungkin dia begitu." "Jadi Papa

    Last Updated : 2024-11-28
  • Om-Om Pilihan Papa   19. Peduli?

    "Maksudnya gini loh Ma." Aku menghapus air mataku dengan tangan kotor yang sejak tadi terus menyentuh tanah kuburan Mama. "Aku tuh enggak punya Mama dan enggak pernah ngerasain gimana diurus sama Mama, berdua sama Mama sejak lahir. Dalam hati terdalam, aku kan selalu bilang, aku juga pengen disayang, dikecup, dibacain buku cerita, dibuatin sarapan sebelum berangkat sekolah, dianter dan dijemput, diambilin rapot-nya. Dibantu buat pilih baju, dibantu buat jadi cewek. Tapi aku enggak pernah kesel ke Mama. Karena apa? Mama udah enggak mungkin bisa begitu, Mama udah diambil Tuhan. Tapi Papa!" Aku menangis keras terlebih dahulu. Menuju sore, gerimis, di kuburan sendirian. Kalau dalam keadaan waras, aku tentu akan takut setengah mati. Tapi aku kacau saat ini. Aku enggak takut sama hantu, yang terpenting, aku bisa bicara dengan Mama. "Papa masih ada, raganya masih di sini sama Nala, masih bisa ngusahain apapun buat Nala. Papa kalau mau mungkin bisa anter juga jemput Nala sekolah, tapi en

    Last Updated : 2024-11-28
  • Om-Om Pilihan Papa   20. Pertolongan

    Aku bersembunyi dengan masuk ke dalam gerbang salah satu rumah yang aku temui setelah susup sana-sini sampai nampaknya orang-orang yang sebelumnya mengejarku kehilangan jejak. Napasku masih tidak beraturan kala aku berjongkok di halaman sana, menyembunyikan diri di balik gerbang hitam yang untungnya di bagian bawah tertutup rapat. Sesaat aku mendengar suara ribut-ribut orang berlari, seolah mencari-cari sesuatu. Ya memang, mereka pasti tengah mencariku, deru napas sudah tidak karuan kala itu, rasanya dada sesak, pikiran kalut dan aku ingin kembali menangis di detik itu juga. Sekitar pukul lima pagi, aku keluar dari dalam gerbang tersebut. Hari belum terang dengan baik, namun setidaknya, ada banyak orang yang berlalu lalang dan memulai aktivitas mereka. Kembali aku berjalan, bajuku belum sepenuhnya kering, namun peluh sudah membasahi keningku, entah karena apa? Mungkin aku yang kurang fit dan kurang sehat. Jalanan mulai dilalui kendaraan, aku kembali menyusuri trotoar de

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Om-Om Pilihan Papa   40. Keanehan

    Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku

  • Om-Om Pilihan Papa   39. Sehari Bersama

    Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p

  • Om-Om Pilihan Papa   38. Papa Aneh

    "Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun

  • Om-Om Pilihan Papa   37. Pulang

    Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui

  • Om-Om Pilihan Papa   36. Semoga Papa Cepat Mati

    "Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima

  • Om-Om Pilihan Papa   35. OG

    "Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke

  • Om-Om Pilihan Papa   34. Rendahan Di Kantor Sendiri

    "Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta

  • Om-Om Pilihan Papa   33. Tendangan Maut

    "Nala, bangun!" Perlahan, suara itu muali memasuki alam bawah sadarku, membuat aku mulai menyadarkan diri untuk kembali masuk ke dunia nyata. "Nala, bangun, ini sudah siang, kamu harus ikut saya ke kantor Nala!" '"Euuum?" Aku mulai membuka tirai mata, perlahan, lalu samar aku melihat seorang laki-laki yang kini ada di depanku. Bayangan itu semakin jelas, semakin jelas dan saat aku tahu jika sosok yang kini mengungkung tubuhku, berada telat di ataskh ternyata Om Bian. "Ngapain lo?" Tanpa sadar, aku menendang asal laki-laki itu dan ... mengenai masa depannya. Ya, masa depan yang itu. Om Bian yang tengah kesakitan kini mengerang di lantai sembari mengucapkan berbagai kata kasar yang menyakitkan kalau di dengar oleh orang waras, tapi tentu aku tidak. Karena aku tidak waras. "Kamu gila ya?" Dengan tenang aku mendudukan diri dan menganggukan kepala, masih menatap Om Bian yang nampak marah tidak karuan kepadaku. "Astaga, astaga, astaga, memang bajingan kamu Nala." "Th

  • Om-Om Pilihan Papa   32. Serumah

    "Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini, ini kamar kita." "Kamar kita?" Aku tertawa sembari menatap Om Bian sarkas. "Jangan ngada-ngada, udah gue bilang kalau gue, enggak mau, sekamar sama lo." "Saya mau sekamar sama kamu." "Enggak sudi, najis, jijik." Aku tak peduli kalau Om Bian berpikir jika, perkataanku barusan sungguh menyebalkan dan menyakitkan, yang jelas, aku tak mau, aku tak bisa dan aku tak akan pernah ingin sekamar dengan Om Bian. Aku takut kalau dia macam-macam dan merenggut kesucian serta kepolosanku yang sebenarnya sudah tidak polos ini. "Kalau kamu kayak gitu, saya makin ingin sekamar sama kamu. Saya ingin sama kamu terus." "Otak lo ada kan?" tanyaku, melihat anggukan tenang Om Bian, aku pun mendengus. "Ya kenapa lo, malah mau sekamar sama cewek yang jelas-jelas enggak sudi, gini ya Bian,

DMCA.com Protection Status