Jadi pada dasarnya, Om Bian itu memang berniat jahat kepaku ya? Dia ingin menguasai bisnis yang sudah Papa dan Kakek dirikan dengan susah payah sejak dulu begitu? Ah, tidak susah payah juga sih, aku tahu kalau Kakekku terlahir dari keluarga yang serba ada. Bisa mendanai pendidikan tujuh turunan. Jadi untuk mendirikan bisnis seperti perhotelan begini, mungkin dulu kakekku iseng-iseng. Tapi untuk berada di titik ini, titik di mana hotel Papa mendapatkan banyak apresiasi, banyak penghargaan, menjadi salah satu hotel terbaik di Asia Tenggara kan sulit sekali. Dan kalau Om Bian menikah denganku ... saat Papa tiada nanti, aku bisa saja dia tendang ke jalanan dan jadi gelandangan cantik jelita. Tidak boleh terjadi! "Enggak mungkin bisa, mana mungkin bisa lo kayak gitu, seenaknya ngambil bisnis dan perusahaan yang udah susah payah Papa bangun, gimana pun, gue punya hak waris." "Kalau kamu nikah sama saya, kamu punya hak waris itu. Tapi kalau mencoba menggagalkan terus ... ya siap-si
Aku menunggu dengan sabar kala telepk baruku melakukan panggilan kepada Papa. Entah sedang apa dia di sana sampai-sampai, lama sekali menjawab panggilan dari anaknya sendiri seperti ini. "Halo." "Halo, ada apa Nala?" "Papa kok lama banget sih jawab telepon Nala?" "Kamu pikir Papa di sini lagi liburan? Leha-leha di atas pembaringan atau apa?" "Ya enggak tapi kan—udah Pa, jangan ngajakin ngomong hal-hal enggak penting, Nala cuma mau ngasih tahu sesuatu ke Papa." "Apa?" "Pa, Om Bian itu enggak baik, beneran enggak baik. Nala ngomong begini bukan karena Nala enggak mau dijodohkan dengan Om Bian, tapi Nala tahu dia sosok yang seperti apa. Begini, Papa boleh jodohkan Nala dengan laki-laki lain, laki-laki manapun, Nala akan tunduk dan patuh asal jangan Om Bian." "Kamu ini bicara apa? mana mungkin Bian macam-macam, dia orang yang persrinsip dan baik. Papa udah kenal dengan Bian sejak lama. Bahkan di saat umurnya baru menginjak 22 tahun. Mana mungkin dia begitu." "Jadi Papa
"Maksudnya gini loh Ma." Aku menghapus air mataku dengan tangan kotor yang sejak tadi terus menyentuh tanah kuburan Mama. "Aku tuh enggak punya Mama dan enggak pernah ngerasain gimana diurus sama Mama, berdua sama Mama sejak lahir. Dalam hati terdalam, aku kan selalu bilang, aku juga pengen disayang, dikecup, dibacain buku cerita, dibuatin sarapan sebelum berangkat sekolah, dianter dan dijemput, diambilin rapot-nya. Dibantu buat pilih baju, dibantu buat jadi cewek. Tapi aku enggak pernah kesel ke Mama. Karena apa? Mama udah enggak mungkin bisa begitu, Mama udah diambil Tuhan. Tapi Papa!" Aku menangis keras terlebih dahulu. Menuju sore, gerimis, di kuburan sendirian. Kalau dalam keadaan waras, aku tentu akan takut setengah mati. Tapi aku kacau saat ini. Aku enggak takut sama hantu, yang terpenting, aku bisa bicara dengan Mama. "Papa masih ada, raganya masih di sini sama Nala, masih bisa ngusahain apapun buat Nala. Papa kalau mau mungkin bisa anter juga jemput Nala sekolah, tapi en
Aku bersembunyi dengan masuk ke dalam gerbang salah satu rumah yang aku temui setelah susup sana-sini sampai nampaknya orang-orang yang sebelumnya mengejarku kehilangan jejak. Napasku masih tidak beraturan kala aku berjongkok di halaman sana, menyembunyikan diri di balik gerbang hitam yang untungnya di bagian bawah tertutup rapat. Sesaat aku mendengar suara ribut-ribut orang berlari, seolah mencari-cari sesuatu. Ya memang, mereka pasti tengah mencariku, deru napas sudah tidak karuan kala itu, rasanya dada sesak, pikiran kalut dan aku ingin kembali menangis di detik itu juga. Sekitar pukul lima pagi, aku keluar dari dalam gerbang tersebut. Hari belum terang dengan baik, namun setidaknya, ada banyak orang yang berlalu lalang dan memulai aktivitas mereka. Kembali aku berjalan, bajuku belum sepenuhnya kering, namun peluh sudah membasahi keningku, entah karena apa? Mungkin aku yang kurang fit dan kurang sehat. Jalanan mulai dilalui kendaraan, aku kembali menyusuri trotoar de
Aku makan mie untuk yang kedua kalinya hari ini, di rumah, sebenarnya aku membatasi diri untuk makan yang instan-instan begini karena, menurutku, akan lebih mudah gemuk kalau sudah makan mie. Belum lagi pencernaanku juga, sering kali kurang baik. Tapi hari ini, aku tidak memedulikan semua itu. Yang jelas, aku bisa makan, itu saja sudah harus aku syukuri "Ini, upah kamu, enggak banyak sih. Yang jelas, kalau memang besok kamu butuh kerja lagi, bisa datang. Biasanya, Ibu akan panggil orang untuk bantu-bantu cuci, tapi kalau kamu mau, kamu bisa balik." Aku tentu menganggukan kepala, menyetujui hal tersebut. "Besok saya akan balik ke sini kok Bu kalau memang bisa." "Lalu malam ini, kamu menginap di mana? Enggak mau pulang saja ke rumah?" Aku mengunyah pelan-pelan sebelum menelannya dan menatap wanita yang kini ada di sampingku. "Saya enggak tahu harus menginap di mana, tapi saya yakin, ada sebuah tempat kok yang bisa saya tinggali. Dan saya enggak punya rumah atau pun keluarga. Ma
Pagi itu, dengan baju yang sama dan sedikit bau asam, aku kembali mempersiapkan diri untuk bekerja. Bagaimana pun untuk bisa tetap hidup, aku memang harus mencari uang. Lima puluh ribu yang Ibu warung berikan kemarin kepadaku, akan aku tabung agar saat aku pergi dari sini, setidaknya aku membawa sedikit uang. Bagiku dulu, uang lima puluh ribu bener-bener tidak seberapa dan tidak berharga, lagi pula, apa yang bisa aku dapat dari lima puluh ribu? Tidak ada. Makananku selalu mahal, baju-baju yang aku kenakan berjuta-juta dan untuk apa uang lima puluh ribu? Tapi sekarang, uang lima puluh ribu menjadi terasa amat sangat berharga bagiku. Di satu sisi, ini memang terasa menyedihkan, di sisi lain, aku sadar bahwa, aku memang harus pandai dalam bersyukur. Aku duduk di dalam warung yang sebelumnya sudah aku bersihkan. Bangku-bangku kuturunkan. Mangkuk-mangkuk sudah aku cuci, semua hal di sini lebih kinclong dari kemarin. Aku belajar membersihkan semuanya, memperhatikan bagiamana Ibu warun
Aku mengembuskan napas kesal, karena sejak tadi, Om Bian sungguhan tak meninggalkanku barang sedetikpun dari kamar. Pun kalau aku yang keluar, lelaki itu akan mengintili kemana pun aku pergi. Heran sekali, aku tak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang menurutku, menyebalkan ini. "Lo enggak punya kamar?" tanyaku kemudian. "Enggak." "Pindah! Gue mau ganti baju, mau mandi dan semuanya, gue enggak mau lo ada di sini." "Mulai sekarang, kita akan ada di kamar yang sama. Tidur sekamar." "WHAT?!" Aku tentu berteriak. "ENGGAK! GAK MAU!" "Saya harus terus awasin kamu, kalau enggak, kamu akan menuruti pemikiran labilmu itu dan kemudian pergi lagi dari rumah. Merepotkan saya." "Gue enggak mau sekamar sama lo!" "Pernikahan kita akan terlaksana cepat." "Maksud lo?" "Papa akan pulang lusa, di hari itu, kita akan menikah. Lusa. Saya sudah persiapkan semuanya. Kita nikah secara agama terlebih dahulu sebelum menikah sah secara negara. Yang terpenting, kamu terikat dahulu dengan
Aku harus bagaimana sekarang? Rasanya semua jalan yang ada di depanku buntu. Waktu berjalan cepat, lebih cepat dari yang aku duga. Sampai-sampai, pernikahan yang Om Bian bilang sudah direncakan akan terlaksana esok hari. Dan selama ini, aku hanya bisa berdiam diri di kamar tanpa melakukan apapun. Karena apa? Karena Om Bian sendiri tak pernah melepaskanku untuk pergi dari pandangannya. Melepaskanku untuk sekedar keluar satu langkah dari kamar. Aku makan di kamar, melakukan semua aktivitas di ruangan ini. Rumah menjadi sebuah penjara tak kasat mata bagiku. Dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk terlepas dari belitannya. "Gue enggak bisa." "Saya sedang bekerja, Nala." "Gue enggak mau nikah sama lo!" "Saya tahu, tapi saya enggak peduli." Dan jawaban datar nan tenang tersebut agak sedikit menyulut sisi marahku. Kenapa dia bisa begitu dalam setiap situasi? Apa karena dia tidak memiliki emosi atau dia bagus dalam menguasai emosinya? Entahlah. "Bisa enggak sih Om lo bener-b
Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku
Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p
"Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun
Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui
"Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima
"Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke
"Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta
"Nala, bangun!" Perlahan, suara itu muali memasuki alam bawah sadarku, membuat aku mulai menyadarkan diri untuk kembali masuk ke dunia nyata. "Nala, bangun, ini sudah siang, kamu harus ikut saya ke kantor Nala!" '"Euuum?" Aku mulai membuka tirai mata, perlahan, lalu samar aku melihat seorang laki-laki yang kini ada di depanku. Bayangan itu semakin jelas, semakin jelas dan saat aku tahu jika sosok yang kini mengungkung tubuhku, berada telat di ataskh ternyata Om Bian. "Ngapain lo?" Tanpa sadar, aku menendang asal laki-laki itu dan ... mengenai masa depannya. Ya, masa depan yang itu. Om Bian yang tengah kesakitan kini mengerang di lantai sembari mengucapkan berbagai kata kasar yang menyakitkan kalau di dengar oleh orang waras, tapi tentu aku tidak. Karena aku tidak waras. "Kamu gila ya?" Dengan tenang aku mendudukan diri dan menganggukan kepala, masih menatap Om Bian yang nampak marah tidak karuan kepadaku. "Astaga, astaga, astaga, memang bajingan kamu Nala." "Th
"Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini, ini kamar kita." "Kamar kita?" Aku tertawa sembari menatap Om Bian sarkas. "Jangan ngada-ngada, udah gue bilang kalau gue, enggak mau, sekamar sama lo." "Saya mau sekamar sama kamu." "Enggak sudi, najis, jijik." Aku tak peduli kalau Om Bian berpikir jika, perkataanku barusan sungguh menyebalkan dan menyakitkan, yang jelas, aku tak mau, aku tak bisa dan aku tak akan pernah ingin sekamar dengan Om Bian. Aku takut kalau dia macam-macam dan merenggut kesucian serta kepolosanku yang sebenarnya sudah tidak polos ini. "Kalau kamu kayak gitu, saya makin ingin sekamar sama kamu. Saya ingin sama kamu terus." "Otak lo ada kan?" tanyaku, melihat anggukan tenang Om Bian, aku pun mendengus. "Ya kenapa lo, malah mau sekamar sama cewek yang jelas-jelas enggak sudi, gini ya Bian,