Share

04. 33 Tahun

Penulis: Resa Anisa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 08:37:40

Sebentar.

Sebentar.

Sebentar.

Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan.

Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon!

Orang tua mana yang bisa melakukan itu?!

Ya, Papa memang bisa.

Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila.

Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila!

"Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak."

Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku.

"So, kalian harus ketemu siang nanti?" tanya Risa.

"Iya lagi, ah, males bener gue." Aku mendesah.

"Udah, jangan jadi pikiran begitu, mending kita cabut dulu biar lo bisa nikmatin hidup, meni-pedi, kuuuy!"

"Okeylah."

"Sambil mikir tuh, gimana cara lo, buat kesan menjijikan dari pertemuan pertama lo sama Om Bian. Tapi Nal, kalau lo emang enggak mau, gue bisa banget nampung tuh om-om."

"Ambil aja sana, gue males," ujarku sembari terus melangkah, semakin menjauh dari Risa yang terkekeh-kekeh, aku enggak tahu kenapa di mata Risa, Om Bian nampak semenarik itu?

Padahal dari fotonya saja aku yakin banget kalau Om Bian itu orang dingin, yang enggak punya banyak ekspresi, yang enggak banyak ngomong, ngebosenin.

Penilaian fisik sih emang agak okei, tapi beda dari itu, aku enggak mau kenal dengan seseorang dingin kayak Om Bian. Enggak banget.

Kami berdua bergerak menggunakan mobil masing-masing kesalah satu salon kecantikan yang tidak jauh dari rumah. Setelah ini, Risa akan langsung pulang sementara aku akan mencari cara terbaik untuk memberikan kesan paling buruk di pertemuan aku dengan Om Bian.

Sesampainya di salon, aku bertemu dengan seorang wanita yang cukup cantik dan dewasa, dengan rambut pink yang tergerai indah. Membuat aku saat itu cukup terpaksa.

"Cantik banget bjir, Korea ya?" ujar Risa sembari melirik terus ke belakang.

"Kayaknya sih ada campuran Korea sama Indonesia, makanya bening banget begitu. Baru lihat gue ada cewek seputih itu." Aku melirik ke tanganku sendiri, sesaat pembicaraan kami tentang perjodohan pun teralihkan. "Gue yang lebih putih dari lo sama Indy aja kalah."

"Kita kan murni keturunan orang Indonesia, jadi seputih-putihnya kulit kita agak susah buat nyamain sama kulit orang Korea or Jepang,

tapi menurut gue, lo udah cantik kok, begitu pula gue sama Indy. Apapun warna kulitnya, perempuan itu tetap dan selalu cantik."

"Iye, iyeee, makasih banyak bikin gue kayak insecure, ayolah kita manjain tubuh, gue udah capek nih karena dari tadi overthink. Lihat cewek yang bening begitu, kita jadi sharing."

"Iya sih." Aku dan Risa kembali melangkah. masuk lebih jauh ke tempat memanjakan diri itu. "Tapi siapapun cowoknya, beruntung banget ya bisa dapetin cewek yang cakepnua di luar nalar begitu?"

"Iyalah, udah pasti, jangan banyak cingcong ah, durasi woy! Kita punya banyak urusan!"

^^^^^^^^^^

Aku memberhentikan mobil di pinggiran jalan dengan pikiran penuh.

Apa yang sekiranya akan dibenci oleh Om-Om dari seorang remaja sepertiku?

Bersikap tidak sopan, pasti.

Berpakaian terbuka nan jablay, iya dong, rendahan banget pasti aku dimatanya.

Tidak tahu tata cara makan, itu salah satu list yang kudu aku tambahkan sebagai bumbu.

Malu-maluin, udah harus banget.

Aku menganggukan kepala dengan cepat.

Rencana ini sudah matang dan sempurna, aku tinggal mengeksekusi saja.

Jadi menjelang siang di hari itu, aku pergi ke mall, aku membeli sebuah celana jeans setengah paha sobek-sobek, tak lupa tangtop kuning ngejreng. Lalu ... ah iya, sepatu untuk Risa terlebih dahulu. Lipstik merah tante-tante, blush-on paling pink, pensil alis dan ikat rambut. Tak lupa sebuah jaket oversize, aku akan menutupi diri dengan itu selama belum sampai di restoran tempat kami sepakat bertemu atas titah Papa.

Ke toilet mall, aku pun mengganti pakaianku, dengan yang lebih terbuka. Ya meski, ini tidak terlihat seksi sama sekali, mengingat aku datar depan dan belakang. Tapi tak apa, ini juga salah satu poin agar laki-laki tidak tertarik kepadaku.

Selesai berganti pakaian, aku segera mengenakan jaket dan mengambil mobil. Pergi ke restoran, aku datang tepat pukul dua belas. Tapi aku akan sengaja telat datang untuk menemui Om Bian, aku harus berdandan terlebih dahulu.

Bibir aku warnai penuh seperti cabai merah. Alis aku gambar sehitam mungkin dan dilebarkan. Blush-on di pipi benar-benar tidak beraturan dan medok. Tak lupa, kukucir asal dua sisi rambut. Lalu permen karet! Aku sengaja mengunyahnya sejak dari mobil.

Jangankan Om Bian, aku sendiri bahkan ilfil melihat tampilan ini.

Aku terkekeh-kekeh, jam 12.15, aku turun dan menjadi pusat perhatian beberapa mata, aku tahu ada yang berbisik-bisik mengomentari penampilanku, tapi mana pedulilah, aku begini agar perjodohan kami gagal.

Seorang laki-laki yang kini duduk di salah satu meja mencuri perhatianku. Dari foto yang Papa kirim, laki-laki itu memang sangat Bian sekali. Tanpa ragu, selengekan, aku datang ke meja tersebut.

"Bian ya lo?" ujarku tidak sopan sembari melipat kedua tangan di dada.

Laki-laki itu menatapku sesaat, dari ujung kepala, ke ujung kaki, dari ujung kaki, kembali ke ujung kepala. Ha! Pasti dia ilfeel dan tidak mau menikah denganku.

"Ya, saya Bian." Sembari berdiri, lelaki itu menyodorkan tangan besarnya yang berwarna tan untuk bersalaman denganku.

Dengan sedikit ragu, aku menerima jabatan itu. "Oh ya, gue Nala Tama."

"Saya tahu, silahkan duduk."

Dengan gerik tenang, Om Bian mempersilahkanku.

Tanpa banyak bicara, aku duduk, sembari mengunyah permen dan memainkan rambut dengan jari tangan.

"Saya enggak nyangka."

"Apa?" tanyaku.

"Kalau kamu akan datang dengan tampilan yang ... cukup mencolok."

Sebelah sisi bibirku naik menciptakan smirk. Memutar bola mata, aku pun berkata, "Kenapa, keberatan lo kalau tampilan gue kayak gini? Enggak suka lo? Kalau emang enggak suka ya gampang, lo bilang ke Papa kalau lo enggak mau dijodohin sama gue. Lagian gue enggak suka sama cowok tua."

Sayangnya, bukan tersinggung, laki-laki di depanku malah terkekeh-kekeh, maksudnya apa nih? Gila ya?

"ASTAGA NALA!"

Mendengar suara itu, kontan aku tersentak. Aku amat sangat tahu siapa dibelakangku saat ini.

Berbalik dengan mata melotot, aku menemui Papa yang nampak sangat marah.

Sialan!

Kenapa aku enggak tahu kalau Papa bakalan nyusul ke sini dan ikut makan sama-sama?

Mati aku! mati!

Bab terkait

  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

  • Om-Om Pilihan Papa   01. PERJODOHAN

    "Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa

  • Om-Om Pilihan Papa   02. RENCANA PEMBATALAN

    "Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju

  • Om-Om Pilihan Papa   03. Persetujuan

    Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du

Bab terbaru

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

  • Om-Om Pilihan Papa   04. 33 Tahun

    Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So

  • Om-Om Pilihan Papa   03. Persetujuan

    Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du

  • Om-Om Pilihan Papa   02. RENCANA PEMBATALAN

    "Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju

  • Om-Om Pilihan Papa   01. PERJODOHAN

    "Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa

DMCA.com Protection Status