Sebentar.
Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So, kalian harus ketemu siang nanti?" tanya Risa. "Iya lagi, ah, males bener gue." Aku mendesah. "Udah, jangan jadi pikiran begitu, mending kita cabut dulu biar lo bisa nikmatin hidup, meni-pedi, kuuuy!" "Okeylah." "Sambil mikir tuh, gimana cara lo, buat kesan menjijikan dari pertemuan pertama lo sama Om Bian. Tapi Nal, kalau lo emang enggak mau, gue bisa banget nampung tuh om-om." "Ambil aja sana, gue males," ujarku sembari terus melangkah, semakin menjauh dari Risa yang terkekeh-kekeh, aku enggak tahu kenapa di mata Risa, Om Bian nampak semenarik itu? Padahal dari fotonya saja aku yakin banget kalau Om Bian itu orang dingin, yang enggak punya banyak ekspresi, yang enggak banyak ngomong, ngebosenin. Penilaian fisik sih emang agak okei, tapi beda dari itu, aku enggak mau kenal dengan seseorang dingin kayak Om Bian. Enggak banget. Kami berdua bergerak menggunakan mobil masing-masing kesalah satu salon kecantikan yang tidak jauh dari rumah. Setelah ini, Risa akan langsung pulang sementara aku akan mencari cara terbaik untuk memberikan kesan paling buruk di pertemuan aku dengan Om Bian. Sesampainya di salon, aku bertemu dengan seorang wanita yang cukup cantik dan dewasa, dengan rambut pink yang tergerai indah. Membuat aku saat itu cukup terpaksa. "Cantik banget bjir, Korea ya?" ujar Risa sembari melirik terus ke belakang. "Kayaknya sih ada campuran Korea sama Indonesia, makanya bening banget begitu. Baru lihat gue ada cewek seputih itu." Aku melirik ke tanganku sendiri, sesaat pembicaraan kami tentang perjodohan pun teralihkan. "Gue yang lebih putih dari lo sama Indy aja kalah." "Kita kan murni keturunan orang Indonesia, jadi seputih-putihnya kulit kita agak susah buat nyamain sama kulit orang Korea or Jepang, tapi menurut gue, lo udah cantik kok, begitu pula gue sama Indy. Apapun warna kulitnya, perempuan itu tetap dan selalu cantik." "Iye, iyeee, makasih banyak bikin gue kayak insecure, ayolah kita manjain tubuh, gue udah capek nih karena dari tadi overthink. Lihat cewek yang bening begitu, kita jadi sharing." "Iya sih." Aku dan Risa kembali melangkah. masuk lebih jauh ke tempat memanjakan diri itu. "Tapi siapapun cowoknya, beruntung banget ya bisa dapetin cewek yang cakepnua di luar nalar begitu?" "Iyalah, udah pasti, jangan banyak cingcong ah, durasi woy! Kita punya banyak urusan!" ^^^^^^^^^^ Aku memberhentikan mobil di pinggiran jalan dengan pikiran penuh. Apa yang sekiranya akan dibenci oleh Om-Om dari seorang remaja sepertiku? Bersikap tidak sopan, pasti. Berpakaian terbuka nan jablay, iya dong, rendahan banget pasti aku dimatanya. Tidak tahu tata cara makan, itu salah satu list yang kudu aku tambahkan sebagai bumbu. Malu-maluin, udah harus banget. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Rencana ini sudah matang dan sempurna, aku tinggal mengeksekusi saja. Jadi menjelang siang di hari itu, aku pergi ke mall, aku membeli sebuah celana jeans setengah paha sobek-sobek, tak lupa tangtop kuning ngejreng. Lalu ... ah iya, sepatu untuk Risa terlebih dahulu. Lipstik merah tante-tante, blush-on paling pink, pensil alis dan ikat rambut. Tak lupa sebuah jaket oversize, aku akan menutupi diri dengan itu selama belum sampai di restoran tempat kami sepakat bertemu atas titah Papa. Ke toilet mall, aku pun mengganti pakaianku, dengan yang lebih terbuka. Ya meski, ini tidak terlihat seksi sama sekali, mengingat aku datar depan dan belakang. Tapi tak apa, ini juga salah satu poin agar laki-laki tidak tertarik kepadaku. Selesai berganti pakaian, aku segera mengenakan jaket dan mengambil mobil. Pergi ke restoran, aku datang tepat pukul dua belas. Tapi aku akan sengaja telat datang untuk menemui Om Bian, aku harus berdandan terlebih dahulu. Bibir aku warnai penuh seperti cabai merah. Alis aku gambar sehitam mungkin dan dilebarkan. Blush-on di pipi benar-benar tidak beraturan dan medok. Tak lupa, kukucir asal dua sisi rambut. Lalu permen karet! Aku sengaja mengunyahnya sejak dari mobil. Jangankan Om Bian, aku sendiri bahkan ilfil melihat tampilan ini. Aku terkekeh-kekeh, jam 12.15, aku turun dan menjadi pusat perhatian beberapa mata, aku tahu ada yang berbisik-bisik mengomentari penampilanku, tapi mana pedulilah, aku begini agar perjodohan kami gagal. Seorang laki-laki yang kini duduk di salah satu meja mencuri perhatianku. Dari foto yang Papa kirim, laki-laki itu memang sangat Bian sekali. Tanpa ragu, selengekan, aku datang ke meja tersebut. "Bian ya lo?" ujarku tidak sopan sembari melipat kedua tangan di dada. Laki-laki itu menatapku sesaat, dari ujung kepala, ke ujung kaki, dari ujung kaki, kembali ke ujung kepala. Ha! Pasti dia ilfeel dan tidak mau menikah denganku. "Ya, saya Bian." Sembari berdiri, lelaki itu menyodorkan tangan besarnya yang berwarna tan untuk bersalaman denganku. Dengan sedikit ragu, aku menerima jabatan itu. "Oh ya, gue Nala Tama." "Saya tahu, silahkan duduk." Dengan gerik tenang, Om Bian mempersilahkanku. Tanpa banyak bicara, aku duduk, sembari mengunyah permen dan memainkan rambut dengan jari tangan. "Saya enggak nyangka." "Apa?" tanyaku. "Kalau kamu akan datang dengan tampilan yang ... cukup mencolok." Sebelah sisi bibirku naik menciptakan smirk. Memutar bola mata, aku pun berkata, "Kenapa, keberatan lo kalau tampilan gue kayak gini? Enggak suka lo? Kalau emang enggak suka ya gampang, lo bilang ke Papa kalau lo enggak mau dijodohin sama gue. Lagian gue enggak suka sama cowok tua." Sayangnya, bukan tersinggung, laki-laki di depanku malah terkekeh-kekeh, maksudnya apa nih? Gila ya? "ASTAGA NALA!" Mendengar suara itu, kontan aku tersentak. Aku amat sangat tahu siapa dibelakangku saat ini. Berbalik dengan mata melotot, aku menemui Papa yang nampak sangat marah. Sialan! Kenapa aku enggak tahu kalau Papa bakalan nyusul ke sini dan ikut makan sama-sama? Mati aku! mati!Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin
Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar
"Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg
"Papa mau pergi kemana? Berapa lama? Kenapa aku harus berdua sama dia?" tanyaku menggebu, kemarahanku saat ini masih memuncak, belum semuanya tersalurkan dan Papa, kenapa mau pergi begitu saja? Ih ya ampun! "Papa mau pergi ke Singapura buat dua Minggu ke depan. Karena Papa enggak akan bisa bolak-balik ke Indo, jadi Papa nitipin kamu ke Bian, Nala." "Pa!" Aku menghentakkan kaki. "Aku enggak mau tinggal sama Om Bian, aku punya Risa, aku punya Indy, aku enggak perlu ditemenin sama laki-laki yang bukan siapa-siapaku!" "Dia itu calon suami kamu, jelas dia siapa-siapa kamu." "Pa! Papa tuh jangan sembarang percaya sama orang. Gimana kalau aku dinodai, kepolosanku direnggut sama Om-Om itu, Papa tega?" "Kamu ini!" Kepalaku dijentik sekenanya oleh tangan Papa. Beneran deh, paruh baya ini. "Lagian Papa juga mau ngapain ke Singapura? Sama ce
Aku berdiam diri di kamar seharian ini. Tak peduli apapun yang Om Bian lakukan di luar sana, beberapa kali aku diminta keluar, tapi tentu aku tak menuruti, Om Bian pikir aku anak manis yang penurut begitu tentu saja tidak. Bahkan kini, aku sendiri tengah asik melakukan sesuatu hal yang cukup ekstrem. Aku sedang membuka aplikasi dimana para wanita biasanya berjualan diri. Hm .... Aku akan membooking satu yang paling mahal dan yang paling cantik agak bisa menggoda Om Bian. Aku terus menatap layar, menggulir, melihat profil wanita-wanita berpakaian seksi dan rendah yang ada di sana. Hingga kemudian, salah satu menarik perhatianku. Memakai gaun berwarna merah ketat, rambutnya tebal dan panjang. Badannya pas, tidak gemuk, tidak juga langsing. Dan berbentuk. Aku mengacungkan jempol karena dada dan pinggul wanita di foto sana memang cantik se
Sebenarnya, aku sangat amat penasaran dengan apa yang dilakukan Mbak Mawar dan Om Bian di luar sana. Aku ingin mengintip tapi itu adegan dewasa, aku hanya bisa menerima laporan dari Mbak Mawar saja, sesuai dengan kesepakatan kami tadi. Kesempatan yang tidak terceritakan. Tapi, tapi, tapi ... karena penasaran, jadinya aku sedikit mengintip dan mencari tahu apa yang dilakukan oleh Om Bian dan Mbak Mawar di bawah. Aku bisa melihat bagaimana kini, Mbak Mawar sudah melepas blazzer dan menyisakan kaus tipis putih pendek untuk melindungi tubuh atasnya. Mereka tengah berbincang berdua, asik sembari meneguk minuman yang tadi disediakan oleh Mbak Mawar. Tawa merdu Mbak Mawar juga terdengar mengalun setelah apa yang keduanya obrolkan terlayang. Aku mengerutkan kening bingung. Baru ini saja? Atau memang hanya begini saja? Oh, tentu tidak. Karena kini kutemui tangan Mbak Mawar sudah bergerily
"TOLOOOOOOOONG!" Om Bian membekap mulutku sekenanya. Benar-benar sekenanya. Bahkan karena itu aku hampir saja tidak bisa bernapas. "Ikuti saya." "Enggak! Lepasin gue!" "IKUTI SAYA, NALA!" "Enggak mau, lepasin gue." Dan begitu saja, Om Bian mengambil ponsel yang tersembunyi di dalam dadaku dan meleparnya. Sialan! Dia tahu dimana ponsel itu kusembunyikan dan dia dengan tega melempar barang tersebut ke tembok sampai hancur tidak berbentuk. "HP GUE ANJIR!" "Saya akan tanggung jawab." "Dada gue
"Jadi, lo hampir aja jadi santapan Om-Om itu semalam?" "Yeap! That's why gue kabur ke sini pas ada dan punya kesempatan. Gue harus memastikan diri aman dan enggak bisa dia usik lagi," ujarku pada Risa yang kini menganggukan kepala sok mengerti, aku tak tahu, dia memang benar-benar mengerti atau hanya sok iya saja. "Kalau gue digituin, gue nyerah sih." "Maksudnya?" "Gue ... pasrah aja, ganteng dia." "Gak waras lo kalau gitu." Aku sungguh tidak mengerti, kenapa di mata banyak orang, Om Bian itu terlihat menggoda, seksi dan laki-laki sekali. Berbeda jauh dengan pandanganku selama ini. Sungguhan, Om Bian adalah laki-laki yang meskipun hanya dia yang tersisa di dunia ini, aku tidak akan meliriknya, tidak akan jatuh cinta padanya dan tidak mau dinikahinya. Menurutku, perbedaan umur yang cukup jauh dengan pasangan akan menjadikan banyak hal
Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku
Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p
"Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun
Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui
"Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima
"Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke
"Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta
"Nala, bangun!" Perlahan, suara itu muali memasuki alam bawah sadarku, membuat aku mulai menyadarkan diri untuk kembali masuk ke dunia nyata. "Nala, bangun, ini sudah siang, kamu harus ikut saya ke kantor Nala!" '"Euuum?" Aku mulai membuka tirai mata, perlahan, lalu samar aku melihat seorang laki-laki yang kini ada di depanku. Bayangan itu semakin jelas, semakin jelas dan saat aku tahu jika sosok yang kini mengungkung tubuhku, berada telat di ataskh ternyata Om Bian. "Ngapain lo?" Tanpa sadar, aku menendang asal laki-laki itu dan ... mengenai masa depannya. Ya, masa depan yang itu. Om Bian yang tengah kesakitan kini mengerang di lantai sembari mengucapkan berbagai kata kasar yang menyakitkan kalau di dengar oleh orang waras, tapi tentu aku tidak. Karena aku tidak waras. "Kamu gila ya?" Dengan tenang aku mendudukan diri dan menganggukan kepala, masih menatap Om Bian yang nampak marah tidak karuan kepadaku. "Astaga, astaga, astaga, memang bajingan kamu Nala." "Th
"Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini, ini kamar kita." "Kamar kita?" Aku tertawa sembari menatap Om Bian sarkas. "Jangan ngada-ngada, udah gue bilang kalau gue, enggak mau, sekamar sama lo." "Saya mau sekamar sama kamu." "Enggak sudi, najis, jijik." Aku tak peduli kalau Om Bian berpikir jika, perkataanku barusan sungguh menyebalkan dan menyakitkan, yang jelas, aku tak mau, aku tak bisa dan aku tak akan pernah ingin sekamar dengan Om Bian. Aku takut kalau dia macam-macam dan merenggut kesucian serta kepolosanku yang sebenarnya sudah tidak polos ini. "Kalau kamu kayak gitu, saya makin ingin sekamar sama kamu. Saya ingin sama kamu terus." "Otak lo ada kan?" tanyaku, melihat anggukan tenang Om Bian, aku pun mendengus. "Ya kenapa lo, malah mau sekamar sama cewek yang jelas-jelas enggak sudi, gini ya Bian,