Home / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 03. Persetujuan

Share

03. Persetujuan

Author: Resa Anisa
last update Last Updated: 2024-11-08 15:38:27

Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato.

Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya.

"Gimana Risa, kuliah kamu lancar?"

"Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka."

Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink.

"Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu.

"Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa."

"Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di dunia ini. Ada yang baik kayak kamu, pintar kayak Indy, bodoh kayak Nala."

Kontan aku terbatuk mendengar celotehan Papa barusan. Pa maksud sih bawa-bawa orang yang lagi tenang makan?

Sedang di sisi lain, Risa dan Indy langsung tertawa puas. Memang biadab mereka berdua ini. Kalau bukan teman sudah aku buang ke kali buaya.

"Aku lagi si Pa? Aku lagi diem loh."

"Ya maaf," ujar Papa dengan wajah tanpa dosa.

Astagaaaaa!

"Kalau Indy sendiri gimana? Seru kan pasti kuliah di JURUSAN BISNIS?" Intonasi suara Papa naik saat mengucapkan dua kata terakhir.

Dia pasti lagi nyindir aku.

Bodo amatlah, mending aku makan.

"Belum lagi kamu produktif banget udah mulai bantu-bantu di perusahaan orang tua, nah, cewek independen dan hebat kayak kamu yang pantas buat jadi AHLI WARIS!"

Belum puas juga tuh Papa nyindir aku.

Bandingin aja terus! Aku gak bakalan denger.

"Yah, atas arahan orang tua sih Om, jadi saya nurut aja kalau emang jalannya kayak gini, demi kebaikan saya di masa depan kok nolak."

"Duhhh, kamu itu emang anak yang diidam-idamkan Om, penurut, dewasa. Anak Om nih ya, boro-boro mikir ke sana. Susah bener buat dibilangin, pemalas, bodoh, enggak berguna, semuanya diborong sama dia."

Aku menatap ke sana ke mari, pura-pura tidak peduli, pura-pura tidak mendengarkan.

"Hahaha, maklumilah Om, mungkin anak Om otaknya ketinggalan atau enggak kebagian pas antri dulu."

"Bisa jadi sih." Papa menganggukan kepala.

Cocok nih dua orang kalau kawin.

Papa duda ditinggal meninggal, Indy jomblo gak laku, terus keduanya tukang nyinyir, sempurna banget kalau mau nikah.

Aku berdehem sesaat kala itu, lalu melirik Papa. "Papa pengen aku kayak gimana sih? Gak capek apa nyindir aku terus?"

"Hah? Enggak nyindir sih, tapi kalau kamu merasa ya syukur."

Sialan.

"Capek banget aku denger ocehan Papa. Kalau emang Papa mau nikahin aku, jodohin aku dan aku harus nurut, oke, fine, aku nurut sama omongan Papa," ujarku dengan wajah tertekan dan tidak ikhlas yang sengaja kubuat-buat.

Papa menatapku selama bebrapa saat. Tak gentar, aku balik menatap Papa dengan seksama.

"Papa enggak lagi mimpi kan sekarang? Kamu beneran mau Papa jodohin."

"Iya, aku pasrah kalau memang itu yang Papa suka."

Papa bertepuk tangan dan tertawa. "Nah begitu dong jadi anak! Berguna sedikit. Okelah, kamu ketemu ya sama cowok yang mau Papa jodohin. Nanti Papa kirim biodata orangnya ke ponsel kamu."

"Iyaaaa," ujarku pura-pura tak suka.

"Bagus-bagus, seenggaknya perjuangan Mama kamu dalam mengandung sembilan bulan lalu melahirkan kamu sampai mengorbankan nyawa sekarang terbayarkan sedikit. Kamu agak tahu diri juga ternya. Seneng banget Papa, kalau gitu Papa berangkat kerja sekarang ya, Nak. Bye semua."

"Buset, mood Pak Haryn langsung berubah gitu." Sembari menggelengkan kepala takjub, tatap Risa terus mengikuti kemana Papa pergi. "Emang beneran dia pengen lepas dari lo sebagai beban hidupnya kali ya?"

"Meneketehe." Kesel banget aku pagi ini sama si Risa.

"Tapi lo jadi kan beliin gue sepatu pink yang semalam lo janjiin?"

"Iya jadi Ris, hari ini gue ke offline store-nya, nanti lo ambil dah."

"AAAAA MAACIW."

"Kalau masalah begini aja, makasi-makasian baru."

"Maklumlah, manusia." Risa menain turunkan alis mata dengan menyebalkan.

"Tapi nih ya, gue jadi ikut penasaran." Indy menyimpan sendok dan garpu di atas piring yang sudah kosong. Dia sudah selesai sarapan. "Nanti kalau Om Haryn ngirim profil tuh cowok, gue mau lihat sih. Lo dijodohin sama cowok yang tampangnya gimana, lo dijodohin sama cowok yang umurnya berapa dan kerjanya apa."

"Jangankan elu gue aja penasaran," ujar Risa.

Sedang aku hanya berdiam diri tanpa banyak bicara. Karena apa? Ya karena aku juga merasa penasaran.

"Nanti deh kalau Papa udah ngirim biodata cowok yang mau dijodohin sama gue, kita bahas lagi semua ini." Aku menyuapkan satu siap terakhir daging. "Gue bakalan selalu ngabarin lo berdua, enggak mungkin enggak."

"Okey, gue penasaran juga soalnya sama alur kisah hidup lo," ujar Risa dengan cengiran centilnya yang harus aku akui, memang cukup manis.

"Ngurusin idup orang lo, urus noh hidup lo sendiri," ujar Indy sembari menoyor pelan kepala Risa.

"Ih, gak sopan dorong-dorong kepala orang. Kalau Bunbun tahu, habis kamu dimarahin, anak kesayangannya loh akutuh gini-gini."

"Ah manja lo." Indy berdecak, kemudian wanita itu sibuk membereskan barang sembari mendengarkan ocehan Risa yang tiada henti.

"Bukan manja, gimana pun aku kan anak Bunbun, jadi memang harus begitu ke orang tua. Harus menyayangi, mencintai, menghormati, semuanya."

"Iya, iya, gue berangkat duluan dah, ada mata kuliah pagi. Biar tenang di jalannya."

"Okey," ujarku sembari berdiri. "Lo gimana Sa? Mau berangkat juga?"

"Gue mau meni-pedi dulu, soalnya ada matkul pas siang nanti aja."

"Oalah, begitu. Ngikut deh, males gue di rumah sendiri."

"Ayoooow, biar ada temennya gue."

"Ngambil dulu tas." Aku beranjak ke kamar dengan Risa setelah Indy pamit meninggalkan kami.

Segera aku bersiap-siap, mengenakan baju yang lebih bagus dan rapi, menyisir rambut dan mengucirnya agar tidak ribet, menyambar tas, memakai sepatu putih hingga kemudian, ponselku berdering. Ada sebuah pesan masuk.

Melihat itu dari Papa, aku buru-buru membukanya penasaran.

"Siapa tuh?" tanya Risa.

"Papa, ngirimin biodata cowok yang mau dijodohin sama gue."

Tak perlu menunggu lama, Risa mendekat cepat ke arahku sebelum kemudian dengan penasaran melongok ke hp.

Kakiku bergetar hebat kala menyadari sesuatu. Laki-laki yang Papa jodohkan denganku berusia matang! Enggak, bukan, ini mah Om-Om kepanggilnya.

Ya ampun Gusti!

Papa yang bener aja, masa aku dinikahin sama cowok yang punya umur 33 tahun sih?

Mana mau!

"Tua juga ya?" celetuk Risa.

Dan aku mengangguk dengan wajah memberenggut, gila aja wanita muda nan cantik ini harus menikahi jejaka tua, big no bjir!

Related chapters

  • Om-Om Pilihan Papa   04. 33 Tahun

    Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So

    Last Updated : 2024-11-08
  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

    Last Updated : 2024-11-08
  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

    Last Updated : 2024-11-22
  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

    Last Updated : 2024-11-22
  • Om-Om Pilihan Papa   08. Berdua Dengan Om

    "Papa mau pergi kemana? Berapa lama? Kenapa aku harus berdua sama dia?" tanyaku menggebu, kemarahanku saat ini masih memuncak, belum semuanya tersalurkan dan Papa, kenapa mau pergi begitu saja? Ih ya ampun! "Papa mau pergi ke Singapura buat dua Minggu ke depan. Karena Papa enggak akan bisa bolak-balik ke Indo, jadi Papa nitipin kamu ke Bian, Nala." "Pa!" Aku menghentakkan kaki. "Aku enggak mau tinggal sama Om Bian, aku punya Risa, aku punya Indy, aku enggak perlu ditemenin sama laki-laki yang bukan siapa-siapaku!" "Dia itu calon suami kamu, jelas dia siapa-siapa kamu." "Pa! Papa tuh jangan sembarang percaya sama orang. Gimana kalau aku dinodai, kepolosanku direnggut sama Om-Om itu, Papa tega?" "Kamu ini!" Kepalaku dijentik sekenanya oleh tangan Papa. Beneran deh, paruh baya ini. "Lagian Papa juga mau ngapain ke Singapura? Sama ce

    Last Updated : 2024-11-23
  • Om-Om Pilihan Papa   09. Seatap

    Aku berdiam diri di kamar seharian ini. Tak peduli apapun yang Om Bian lakukan di luar sana, beberapa kali aku diminta keluar, tapi tentu aku tak menuruti, Om Bian pikir aku anak manis yang penurut begitu tentu saja tidak. Bahkan kini, aku sendiri tengah asik melakukan sesuatu hal yang cukup ekstrem. Aku sedang membuka aplikasi dimana para wanita biasanya berjualan diri. Hm .... Aku akan membooking satu yang paling mahal dan yang paling cantik agak bisa menggoda Om Bian. Aku terus menatap layar, menggulir, melihat profil wanita-wanita berpakaian seksi dan rendah yang ada di sana. Hingga kemudian, salah satu menarik perhatianku. Memakai gaun berwarna merah ketat, rambutnya tebal dan panjang. Badannya pas, tidak gemuk, tidak juga langsing. Dan berbentuk. Aku mengacungkan jempol karena dada dan pinggul wanita di foto sana memang cantik se

    Last Updated : 2024-11-23
  • Om-Om Pilihan Papa   10. Jebakan Untuk Om Bian

    Sebenarnya, aku sangat amat penasaran dengan apa yang dilakukan Mbak Mawar dan Om Bian di luar sana. Aku ingin mengintip tapi itu adegan dewasa, aku hanya bisa menerima laporan dari Mbak Mawar saja, sesuai dengan kesepakatan kami tadi. Kesempatan yang tidak terceritakan. Tapi, tapi, tapi ... karena penasaran, jadinya aku sedikit mengintip dan mencari tahu apa yang dilakukan oleh Om Bian dan Mbak Mawar di bawah. Aku bisa melihat bagaimana kini, Mbak Mawar sudah melepas blazzer dan menyisakan kaus tipis putih pendek untuk melindungi tubuh atasnya. Mereka tengah berbincang berdua, asik sembari meneguk minuman yang tadi disediakan oleh Mbak Mawar. Tawa merdu Mbak Mawar juga terdengar mengalun setelah apa yang keduanya obrolkan terlayang. Aku mengerutkan kening bingung. Baru ini saja? Atau memang hanya begini saja? Oh, tentu tidak. Karena kini kutemui tangan Mbak Mawar sudah bergerily

    Last Updated : 2024-11-24
  • Om-Om Pilihan Papa   11. Jebakan Itu, Memakanku

    "TOLOOOOOOOONG!" Om Bian membekap mulutku sekenanya. Benar-benar sekenanya. Bahkan karena itu aku hampir saja tidak bisa bernapas. "Ikuti saya." "Enggak! Lepasin gue!" "IKUTI SAYA, NALA!" "Enggak mau, lepasin gue." Dan begitu saja, Om Bian mengambil ponsel yang tersembunyi di dalam dadaku dan meleparnya. Sialan! Dia tahu dimana ponsel itu kusembunyikan dan dia dengan tega melempar barang tersebut ke tembok sampai hancur tidak berbentuk. "HP GUE ANJIR!" "Saya akan tanggung jawab." "Dada gue

    Last Updated : 2024-11-24

Latest chapter

  • Om-Om Pilihan Papa   40. Keanehan

    Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku

  • Om-Om Pilihan Papa   39. Sehari Bersama

    Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p

  • Om-Om Pilihan Papa   38. Papa Aneh

    "Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun

  • Om-Om Pilihan Papa   37. Pulang

    Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui

  • Om-Om Pilihan Papa   36. Semoga Papa Cepat Mati

    "Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima

  • Om-Om Pilihan Papa   35. OG

    "Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke

  • Om-Om Pilihan Papa   34. Rendahan Di Kantor Sendiri

    "Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta

  • Om-Om Pilihan Papa   33. Tendangan Maut

    "Nala, bangun!" Perlahan, suara itu muali memasuki alam bawah sadarku, membuat aku mulai menyadarkan diri untuk kembali masuk ke dunia nyata. "Nala, bangun, ini sudah siang, kamu harus ikut saya ke kantor Nala!" '"Euuum?" Aku mulai membuka tirai mata, perlahan, lalu samar aku melihat seorang laki-laki yang kini ada di depanku. Bayangan itu semakin jelas, semakin jelas dan saat aku tahu jika sosok yang kini mengungkung tubuhku, berada telat di ataskh ternyata Om Bian. "Ngapain lo?" Tanpa sadar, aku menendang asal laki-laki itu dan ... mengenai masa depannya. Ya, masa depan yang itu. Om Bian yang tengah kesakitan kini mengerang di lantai sembari mengucapkan berbagai kata kasar yang menyakitkan kalau di dengar oleh orang waras, tapi tentu aku tidak. Karena aku tidak waras. "Kamu gila ya?" Dengan tenang aku mendudukan diri dan menganggukan kepala, masih menatap Om Bian yang nampak marah tidak karuan kepadaku. "Astaga, astaga, astaga, memang bajingan kamu Nala." "Th

  • Om-Om Pilihan Papa   32. Serumah

    "Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini, ini kamar kita." "Kamar kita?" Aku tertawa sembari menatap Om Bian sarkas. "Jangan ngada-ngada, udah gue bilang kalau gue, enggak mau, sekamar sama lo." "Saya mau sekamar sama kamu." "Enggak sudi, najis, jijik." Aku tak peduli kalau Om Bian berpikir jika, perkataanku barusan sungguh menyebalkan dan menyakitkan, yang jelas, aku tak mau, aku tak bisa dan aku tak akan pernah ingin sekamar dengan Om Bian. Aku takut kalau dia macam-macam dan merenggut kesucian serta kepolosanku yang sebenarnya sudah tidak polos ini. "Kalau kamu kayak gitu, saya makin ingin sekamar sama kamu. Saya ingin sama kamu terus." "Otak lo ada kan?" tanyaku, melihat anggukan tenang Om Bian, aku pun mendengus. "Ya kenapa lo, malah mau sekamar sama cewek yang jelas-jelas enggak sudi, gini ya Bian,

DMCA.com Protection Status