Beranda / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 03. Persetujuan

Share

03. Persetujuan

Penulis: Resa Anisa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 08:37:40

Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato.

Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya.

"Gimana Risa, kuliah kamu lancar?"

"Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka."

Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink.

"Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu.

"Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa."

"Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di dunia ini. Ada yang baik kayak kamu, pintar kayak Indy, bodoh kayak Nala."

Kontan aku terbatuk mendengar celotehan Papa barusan. Pa maksud sih bawa-bawa orang yang lagi tenang makan?

Sedang di sisi lain, Risa dan Indy langsung tertawa puas. Memang biadab mereka berdua ini. Kalau bukan teman sudah aku buang ke kali buaya.

"Aku lagi si Pa? Aku lagi diem loh."

"Ya maaf," ujar Papa dengan wajah tanpa dosa.

Astagaaaaa!

"Kalau Indy sendiri gimana? Seru kan pasti kuliah di JURUSAN BISNIS?" Intonasi suara Papa naik saat mengucapkan dua kata terakhir.

Dia pasti lagi nyindir aku.

Bodo amatlah, mending aku makan.

"Belum lagi kamu produktif banget udah mulai bantu-bantu di perusahaan orang tua, nah, cewek independen dan hebat kayak kamu yang pantas buat jadi AHLI WARIS!"

Belum puas juga tuh Papa nyindir aku.

Bandingin aja terus! Aku gak bakalan denger.

"Yah, atas arahan orang tua sih Om, jadi saya nurut aja kalau emang jalannya kayak gini, demi kebaikan saya di masa depan kok nolak."

"Duhhh, kamu itu emang anak yang diidam-idamkan Om, penurut, dewasa. Anak Om nih ya, boro-boro mikir ke sana. Susah bener buat dibilangin, pemalas, bodoh, enggak berguna, semuanya diborong sama dia."

Aku menatap ke sana ke mari, pura-pura tidak peduli, pura-pura tidak mendengarkan.

"Hahaha, maklumilah Om, mungkin anak Om otaknya ketinggalan atau enggak kebagian pas antri dulu."

"Bisa jadi sih." Papa menganggukan kepala.

Cocok nih dua orang kalau kawin.

Papa duda ditinggal meninggal, Indy jomblo gak laku, terus keduanya tukang nyinyir, sempurna banget kalau mau nikah.

Aku berdehem sesaat kala itu, lalu melirik Papa. "Papa pengen aku kayak gimana sih? Gak capek apa nyindir aku terus?"

"Hah? Enggak nyindir sih, tapi kalau kamu merasa ya syukur."

Sialan.

"Capek banget aku denger ocehan Papa. Kalau emang Papa mau nikahin aku, jodohin aku dan aku harus nurut, oke, fine, aku nurut sama omongan Papa," ujarku dengan wajah tertekan dan tidak ikhlas yang sengaja kubuat-buat.

Papa menatapku selama bebrapa saat. Tak gentar, aku balik menatap Papa dengan seksama.

"Papa enggak lagi mimpi kan sekarang? Kamu beneran mau Papa jodohin."

"Iya, aku pasrah kalau memang itu yang Papa suka."

Papa bertepuk tangan dan tertawa. "Nah begitu dong jadi anak! Berguna sedikit. Okelah, kamu ketemu ya sama cowok yang mau Papa jodohin. Nanti Papa kirim biodata orangnya ke ponsel kamu."

"Iyaaaa," ujarku pura-pura tak suka.

"Bagus-bagus, seenggaknya perjuangan Mama kamu dalam mengandung sembilan bulan lalu melahirkan kamu sampai mengorbankan nyawa sekarang terbayarkan sedikit. Kamu agak tahu diri juga ternya. Seneng banget Papa, kalau gitu Papa berangkat kerja sekarang ya, Nak. Bye semua."

"Buset, mood Pak Haryn langsung berubah gitu." Sembari menggelengkan kepala takjub, tatap Risa terus mengikuti kemana Papa pergi. "Emang beneran dia pengen lepas dari lo sebagai beban hidupnya kali ya?"

"Meneketehe." Kesel banget aku pagi ini sama si Risa.

"Tapi lo jadi kan beliin gue sepatu pink yang semalam lo janjiin?"

"Iya jadi Ris, hari ini gue ke offline store-nya, nanti lo ambil dah."

"AAAAA MAACIW."

"Kalau masalah begini aja, makasi-makasian baru."

"Maklumlah, manusia." Risa menain turunkan alis mata dengan menyebalkan.

"Tapi nih ya, gue jadi ikut penasaran." Indy menyimpan sendok dan garpu di atas piring yang sudah kosong. Dia sudah selesai sarapan. "Nanti kalau Om Haryn ngirim profil tuh cowok, gue mau lihat sih. Lo dijodohin sama cowok yang tampangnya gimana, lo dijodohin sama cowok yang umurnya berapa dan kerjanya apa."

"Jangankan elu gue aja penasaran," ujar Risa.

Sedang aku hanya berdiam diri tanpa banyak bicara. Karena apa? Ya karena aku juga merasa penasaran.

"Nanti deh kalau Papa udah ngirim biodata cowok yang mau dijodohin sama gue, kita bahas lagi semua ini." Aku menyuapkan satu siap terakhir daging. "Gue bakalan selalu ngabarin lo berdua, enggak mungkin enggak."

"Okey, gue penasaran juga soalnya sama alur kisah hidup lo," ujar Risa dengan cengiran centilnya yang harus aku akui, memang cukup manis.

"Ngurusin idup orang lo, urus noh hidup lo sendiri," ujar Indy sembari menoyor pelan kepala Risa.

"Ih, gak sopan dorong-dorong kepala orang. Kalau Bunbun tahu, habis kamu dimarahin, anak kesayangannya loh akutuh gini-gini."

"Ah manja lo." Indy berdecak, kemudian wanita itu sibuk membereskan barang sembari mendengarkan ocehan Risa yang tiada henti.

"Bukan manja, gimana pun aku kan anak Bunbun, jadi memang harus begitu ke orang tua. Harus menyayangi, mencintai, menghormati, semuanya."

"Iya, iya, gue berangkat duluan dah, ada mata kuliah pagi. Biar tenang di jalannya."

"Okey," ujarku sembari berdiri. "Lo gimana Sa? Mau berangkat juga?"

"Gue mau meni-pedi dulu, soalnya ada matkul pas siang nanti aja."

"Oalah, begitu. Ngikut deh, males gue di rumah sendiri."

"Ayoooow, biar ada temennya gue."

"Ngambil dulu tas." Aku beranjak ke kamar dengan Risa setelah Indy pamit meninggalkan kami.

Segera aku bersiap-siap, mengenakan baju yang lebih bagus dan rapi, menyisir rambut dan mengucirnya agar tidak ribet, menyambar tas, memakai sepatu putih hingga kemudian, ponselku berdering. Ada sebuah pesan masuk.

Melihat itu dari Papa, aku buru-buru membukanya penasaran.

"Siapa tuh?" tanya Risa.

"Papa, ngirimin biodata cowok yang mau dijodohin sama gue."

Tak perlu menunggu lama, Risa mendekat cepat ke arahku sebelum kemudian dengan penasaran melongok ke hp.

Kakiku bergetar hebat kala menyadari sesuatu. Laki-laki yang Papa jodohkan denganku berusia matang! Enggak, bukan, ini mah Om-Om kepanggilnya.

Ya ampun Gusti!

Papa yang bener aja, masa aku dinikahin sama cowok yang punya umur 33 tahun sih?

Mana mau!

"Tua juga ya?" celetuk Risa.

Dan aku mengangguk dengan wajah memberenggut, gila aja wanita muda nan cantik ini harus menikahi jejaka tua, big no bjir!

Bab terkait

  • Om-Om Pilihan Papa   04. 33 Tahun

    Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So

  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

  • Om-Om Pilihan Papa   01. PERJODOHAN

    "Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa

  • Om-Om Pilihan Papa   02. RENCANA PEMBATALAN

    "Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju

Bab terbaru

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

  • Om-Om Pilihan Papa   04. 33 Tahun

    Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So

  • Om-Om Pilihan Papa   03. Persetujuan

    Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du

  • Om-Om Pilihan Papa   02. RENCANA PEMBATALAN

    "Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju

  • Om-Om Pilihan Papa   01. PERJODOHAN

    "Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa

DMCA.com Protection Status