"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?"
"Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tujuan Tuhan nyiptain lo itu emang enggak ada tujuan ya?" "Hah?" Aku mendengar suara Risa di belakangku. "Kayak ... lo itu enggak berguna loh Nal." Ya ampun, kenapa hari ini orang-orang mengetaiku tidak berguna sih? "Kuliah kagak, di rumah malas-malasan, kerja kagak, belajar bisnis kagak, belanjaaaa mulu. Jalan-jalan mulu, sumpahan deh Nal, lo gak berguna." "Ok fine, gue enggak berguna. Tapi kan enggak gini juga caranya, masa gue harus nikah muda. Say no to nikah muda. Program pemerintahan juga udah melarang. Gue enggak mau kalau hidup gue terkekang. Kalau hidup gue terjebak di sebuah penjara dengan embel-embel istri." "Ya dari pada lo enggak ngapa-ngapain, gue setuju sih sama Pak Haryan." Indy menganggukan kepala. Astagaaaaa! Sumpah deh ya, aku memanggil kedua sahabatku untuk datang ke rumah karena aku mau meminta dukungan, solusi dan melegakan beban pikiran. Bukan untuk nambah-nambah begini. Sayangnya aku sadar telat kalau semua temanku tidak normal dan tidak sesuai ekspektasiku sama sekali. Yang pertama ada Indy si kutu buku dengan omongan pedas setara cabe rawit setan dikali seratus. Dia sering banget asal ceplos, kelihatan jutek, enggak peduli sama apapun meski omongannya sering nyakitin hati orang. Yang kedua Risa, si penyuka warna pink yang masih kekanak-kanakan dan tempurung kepalanya kosong. Atau tak berotak. Dia hanya akan menyetujui ucapan kami atau pun sekalinya bicara, omongannya melantur tidak jelas. Bagaimana bisa aku hidup dilingkungan yang seperti ini? "Kalian berdua emang enggak bisa diharepin." "Kayak lo bisa aja," ujar Risa. Perkataan tersebut sukses membuatku menganga tidak karuan. Astagfirullah. "Udahlah mending lo pada balik! Gue enggak mau cerita lagi sama kalian. Pusing pala gue beneran." "Gue mau nginep." "Gue juga!" Risa mengacungkan tangannya ke atas. Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah aku. Sial sekali hidup ini. "Ya ngapain kalian nginep? Kalian kan enggak bisa ngasih solusi sama sekali buat masalah yang lagi gue hadapin." "Hadapin sendiri aja sih. Jangan ngajak-ngajak, gue udah capek sama dunia perkuliahan, gue capek sama bisnis-bisnis yang harus gue pelajari. Otak gue mumet. Lo pikir lo doang yang punya beban hidup?" Indy berdiri sembari melepas kacamata dan menyimpannya di meja sebelum berlalu ke kamar mandi. Sedang aku? Hanya mendesah tidak karuan melihat itu. Sumpah, berat sekali hati ini. Seharusnya sejak awal, aku mencari teman yang asik, yang bisa diandalkan, tidak seperti Indy. Melirik pada pembaringan, aku mendapati Risa yang tengah menatap langit-langit sembari menghitung bintang-bintang yang aku tempelkan di sana. Dengan kasar, aku pun menidurkan tubuh di dekat Risa sembari mencak-mencak menendang udara dan berteriak kecil. "Diem deh ih!" "Lah kamar-kamar gue, ngapain lo larang-larang gue buat ngelakuin semua hal di sini?" "Bukan gitu, gue kan lagi mikir," ujar Risa dengan wajah merengut sok imut. "Emang lo bisa mikir, sejak kapan?" ejekku membuat Risa berdelik. "Tapi nih ya menurut gue." Risa memeluk lebih erat boneka di tangannya terlebih dahulu. "Selama cowok yang mau dijodohin sama bokap lo baik mah, lo gak perlu nolak." "What?" "Ya kan mayan, dapet suami baik di jaman sekarang itu susah Nal." "Lo lagi sakit ya? Tumben ngomongnya bener?" Aku terkekeh kala Risa mendelik. "Ya emang bener, dapet suami baik di jaman sekarang susah, cumaaaa, lo pikir deh, gue masih muda bjir. Gue belum siap nikah, gue mau hura-hura. Tapi di sisi lain, jahatnya Papa malah bilang, kalau gue enggak nurutin perintahnya, gue harus keluar dari rumah ini plus gue bakalan dihapus dari daftar ahli waris. Gila gak tuh? Jahat banget si Haryan!" "Gue penasaran kenapa laki-laki pilihan bokap lo mau ya dijodohin sama bocil udik kampungan kayak lo?" "Mulut apa sampah tuh? Gak guna banget omongan lo!" "Begini loh Nal. Apa yang sebenarnya dia dapet dari perjodohan kalian, pasti ada kan?" Aku baru kepikiran ke sana, dengan mata membesar aku dan Risa saling menatap satu sama lain. "Bener juga, tumben otak lo guna." "That's why, lo jangan ngeremehin otak yang jarang dipake, karena masih suci dan bersih, sekalinya nih otak jalan, kelar semua." "Tapi beneran, gue enggak tahu apa yang dia dapet dari perjodohan kami." "Lo udah cari tahu belum cowoknya siapa? Keluarga apa? Bisnisnya apa? Umurnya berapa?" Kontan aku menggelengkan kepala, aku pikir hal tersebut sama sekali tidak penting. "Lo harus tahu semua itu bjir." Risa menepukan tangannya sekali dengan raut kesal. "Biar lo tahu langkah selanjutnya." "Langkah ... selanjutnya?" ucapku tidak yakin. "Elo yang tolol sekarang Nal!" Risa membangunkan tubuh dan menghadap ke arahku. "Lo bilang apa tadi? Kalau lo enggak mau nikah sama cowok yang dipilih sama bokap lo, lo harus pergi dari rumah dan dihapus dari daftar hak ahli waris kan?" Dengan polos aku menganggukan kepala. Melihat Risa yang menggebu-gebu begini, aku pribadi antara takjub dan bingung. "Dan di sisi lain, lo juga enggak mau nikah sama tuh cowok kan?" "Iya, apa sih nanya-nanya terus? Gue kan udah jelasin dari tadi!" "Maka jalannya cuma satu." "Apa?" "Bikin tuh cowok yang pada akhirnya enggak mau sama lo, bikin tuh cowok yang batalin perjodohan ini, atau bikin penawaran biar kalian berdua enggak nikah. Apapun itu caranya biar pihak cowok yang batalin perjodohan kalian. Pertama, lo enggak perlu melawan bokap lo dulu dan perjodohan gagal, dengan itu, lo gak perlu pergi dari rumah dan tetep punya hak waris!" Aku menganga tidak percaya. Si Bolot ini sudah memberikan aku solusi dan jalan keluar. "AAAAAA RISA! Kok bisa lo pinter gini sih ya ampuuun! Sumpah, mau apa lo? Gue pesenin dah makanan." Dan malam itu aku senang karena sudah menemui pemecahan dan solusi dari masalah iniPagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du
Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So
Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin
Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar
"Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg
"Papa mau pergi kemana? Berapa lama? Kenapa aku harus berdua sama dia?" tanyaku menggebu, kemarahanku saat ini masih memuncak, belum semuanya tersalurkan dan Papa, kenapa mau pergi begitu saja? Ih ya ampun! "Papa mau pergi ke Singapura buat dua Minggu ke depan. Karena Papa enggak akan bisa bolak-balik ke Indo, jadi Papa nitipin kamu ke Bian, Nala." "Pa!" Aku menghentakkan kaki. "Aku enggak mau tinggal sama Om Bian, aku punya Risa, aku punya Indy, aku enggak perlu ditemenin sama laki-laki yang bukan siapa-siapaku!" "Dia itu calon suami kamu, jelas dia siapa-siapa kamu." "Pa! Papa tuh jangan sembarang percaya sama orang. Gimana kalau aku dinodai, kepolosanku direnggut sama Om-Om itu, Papa tega?" "Kamu ini!" Kepalaku dijentik sekenanya oleh tangan Papa. Beneran deh, paruh baya ini. "Lagian Papa juga mau ngapain ke Singapura? Sama ce
Aku berdiam diri di kamar seharian ini. Tak peduli apapun yang Om Bian lakukan di luar sana, beberapa kali aku diminta keluar, tapi tentu aku tak menuruti, Om Bian pikir aku anak manis yang penurut begitu tentu saja tidak. Bahkan kini, aku sendiri tengah asik melakukan sesuatu hal yang cukup ekstrem. Aku sedang membuka aplikasi dimana para wanita biasanya berjualan diri. Hm .... Aku akan membooking satu yang paling mahal dan yang paling cantik agak bisa menggoda Om Bian. Aku terus menatap layar, menggulir, melihat profil wanita-wanita berpakaian seksi dan rendah yang ada di sana. Hingga kemudian, salah satu menarik perhatianku. Memakai gaun berwarna merah ketat, rambutnya tebal dan panjang. Badannya pas, tidak gemuk, tidak juga langsing. Dan berbentuk. Aku mengacungkan jempol karena dada dan pinggul wanita di foto sana memang cantik se
Sebenarnya, aku sangat amat penasaran dengan apa yang dilakukan Mbak Mawar dan Om Bian di luar sana. Aku ingin mengintip tapi itu adegan dewasa, aku hanya bisa menerima laporan dari Mbak Mawar saja, sesuai dengan kesepakatan kami tadi. Kesempatan yang tidak terceritakan. Tapi, tapi, tapi ... karena penasaran, jadinya aku sedikit mengintip dan mencari tahu apa yang dilakukan oleh Om Bian dan Mbak Mawar di bawah. Aku bisa melihat bagaimana kini, Mbak Mawar sudah melepas blazzer dan menyisakan kaus tipis putih pendek untuk melindungi tubuh atasnya. Mereka tengah berbincang berdua, asik sembari meneguk minuman yang tadi disediakan oleh Mbak Mawar. Tawa merdu Mbak Mawar juga terdengar mengalun setelah apa yang keduanya obrolkan terlayang. Aku mengerutkan kening bingung. Baru ini saja? Atau memang hanya begini saja? Oh, tentu tidak. Karena kini kutemui tangan Mbak Mawar sudah bergerily
Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku
Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p
"Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun
Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui
"Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima
"Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke
"Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta
"Nala, bangun!" Perlahan, suara itu muali memasuki alam bawah sadarku, membuat aku mulai menyadarkan diri untuk kembali masuk ke dunia nyata. "Nala, bangun, ini sudah siang, kamu harus ikut saya ke kantor Nala!" '"Euuum?" Aku mulai membuka tirai mata, perlahan, lalu samar aku melihat seorang laki-laki yang kini ada di depanku. Bayangan itu semakin jelas, semakin jelas dan saat aku tahu jika sosok yang kini mengungkung tubuhku, berada telat di ataskh ternyata Om Bian. "Ngapain lo?" Tanpa sadar, aku menendang asal laki-laki itu dan ... mengenai masa depannya. Ya, masa depan yang itu. Om Bian yang tengah kesakitan kini mengerang di lantai sembari mengucapkan berbagai kata kasar yang menyakitkan kalau di dengar oleh orang waras, tapi tentu aku tidak. Karena aku tidak waras. "Kamu gila ya?" Dengan tenang aku mendudukan diri dan menganggukan kepala, masih menatap Om Bian yang nampak marah tidak karuan kepadaku. "Astaga, astaga, astaga, memang bajingan kamu Nala." "Th
"Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini, ini kamar kita." "Kamar kita?" Aku tertawa sembari menatap Om Bian sarkas. "Jangan ngada-ngada, udah gue bilang kalau gue, enggak mau, sekamar sama lo." "Saya mau sekamar sama kamu." "Enggak sudi, najis, jijik." Aku tak peduli kalau Om Bian berpikir jika, perkataanku barusan sungguh menyebalkan dan menyakitkan, yang jelas, aku tak mau, aku tak bisa dan aku tak akan pernah ingin sekamar dengan Om Bian. Aku takut kalau dia macam-macam dan merenggut kesucian serta kepolosanku yang sebenarnya sudah tidak polos ini. "Kalau kamu kayak gitu, saya makin ingin sekamar sama kamu. Saya ingin sama kamu terus." "Otak lo ada kan?" tanyaku, melihat anggukan tenang Om Bian, aku pun mendengus. "Ya kenapa lo, malah mau sekamar sama cewek yang jelas-jelas enggak sudi, gini ya Bian,