Beranda / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 02. RENCANA PEMBATALAN

Share

02. RENCANA PEMBATALAN

Penulis: Resa Anisa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 08:37:40

"Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?"

"Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal."

Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu.

"Indy bener sih Nal."

Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan.

"Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh."

Si lemot itu membela Indy dengan sok iya.

"Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir."

"Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tujuan Tuhan nyiptain lo itu emang enggak ada tujuan ya?"

"Hah?" Aku mendengar suara Risa di belakangku.

"Kayak ... lo itu enggak berguna loh Nal." Ya ampun, kenapa hari ini orang-orang mengetaiku tidak berguna sih? "Kuliah kagak, di rumah malas-malasan, kerja kagak, belajar bisnis kagak, belanjaaaa mulu. Jalan-jalan mulu, sumpahan deh Nal, lo gak berguna."

"Ok fine, gue enggak berguna. Tapi kan enggak gini juga caranya, masa gue harus nikah muda. Say no to nikah muda. Program pemerintahan juga udah melarang. Gue enggak mau kalau hidup gue terkekang. Kalau hidup gue terjebak di sebuah penjara dengan embel-embel istri."

"Ya dari pada lo enggak ngapa-ngapain, gue setuju sih sama Pak Haryan." Indy menganggukan kepala.

Astagaaaaa!

Sumpah deh ya, aku memanggil kedua sahabatku untuk datang ke rumah karena aku mau meminta dukungan, solusi dan melegakan beban pikiran. Bukan untuk nambah-nambah begini.

Sayangnya aku sadar telat kalau semua temanku tidak normal dan tidak sesuai ekspektasiku sama sekali.

Yang pertama ada Indy si kutu buku dengan omongan pedas setara cabe rawit setan dikali seratus. Dia sering banget asal ceplos, kelihatan jutek, enggak peduli sama apapun meski omongannya sering nyakitin hati orang.

Yang kedua Risa, si penyuka warna pink yang masih kekanak-kanakan dan tempurung kepalanya kosong. Atau tak berotak. Dia hanya akan menyetujui ucapan kami atau pun sekalinya bicara, omongannya melantur tidak jelas. Bagaimana bisa aku hidup dilingkungan yang seperti ini?

"Kalian berdua emang enggak bisa diharepin."

"Kayak lo bisa aja," ujar Risa. Perkataan tersebut sukses membuatku menganga tidak karuan. Astagfirullah.

"Udahlah mending lo pada balik! Gue enggak mau cerita lagi sama kalian. Pusing pala gue beneran."

"Gue mau nginep."

"Gue juga!" Risa mengacungkan tangannya ke atas.

Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah aku. Sial sekali hidup ini.

"Ya ngapain kalian nginep? Kalian kan enggak bisa ngasih solusi sama sekali buat masalah yang lagi gue hadapin."

"Hadapin sendiri aja sih. Jangan ngajak-ngajak, gue udah capek sama dunia perkuliahan, gue capek sama bisnis-bisnis yang harus gue pelajari. Otak gue mumet. Lo pikir lo doang yang punya beban hidup?" Indy berdiri sembari melepas kacamata dan menyimpannya di meja sebelum berlalu ke kamar mandi.

Sedang aku? Hanya mendesah tidak karuan melihat itu.

Sumpah, berat sekali hati ini. Seharusnya sejak awal, aku mencari teman yang asik, yang bisa diandalkan, tidak seperti Indy.

Melirik pada pembaringan, aku mendapati Risa yang tengah menatap langit-langit sembari menghitung bintang-bintang yang aku tempelkan di sana.

Dengan kasar, aku pun menidurkan tubuh di dekat Risa sembari mencak-mencak menendang udara dan berteriak kecil.

"Diem deh ih!"

"Lah kamar-kamar gue, ngapain lo larang-larang gue buat ngelakuin semua hal di sini?"

"Bukan gitu, gue kan lagi mikir," ujar Risa dengan wajah merengut sok imut.

"Emang lo bisa mikir, sejak kapan?" ejekku membuat Risa berdelik.

"Tapi nih ya menurut gue." Risa memeluk lebih erat boneka di tangannya terlebih dahulu. "Selama cowok yang mau dijodohin sama bokap lo baik mah, lo gak perlu nolak."

"What?"

"Ya kan mayan, dapet suami baik di jaman sekarang itu susah Nal."

"Lo lagi sakit ya? Tumben ngomongnya bener?" Aku terkekeh kala Risa mendelik. "Ya emang bener, dapet suami baik di jaman sekarang susah, cumaaaa, lo pikir deh, gue masih muda bjir. Gue belum siap nikah, gue mau hura-hura. Tapi di sisi lain, jahatnya Papa malah bilang, kalau gue enggak nurutin perintahnya, gue harus keluar dari rumah ini plus gue bakalan dihapus dari daftar ahli waris. Gila gak tuh? Jahat banget si Haryan!"

"Gue penasaran kenapa laki-laki pilihan bokap lo mau ya dijodohin sama bocil udik kampungan kayak lo?"

"Mulut apa sampah tuh? Gak guna banget omongan lo!"

"Begini loh Nal. Apa yang sebenarnya dia dapet dari perjodohan kalian, pasti ada kan?"

Aku baru kepikiran ke sana, dengan mata membesar aku dan Risa saling menatap satu sama lain. "Bener juga, tumben otak lo guna."

"That's why, lo jangan ngeremehin otak yang jarang dipake, karena masih suci dan bersih, sekalinya nih otak jalan, kelar semua."

"Tapi beneran, gue enggak tahu apa yang dia dapet dari perjodohan kami."

"Lo udah cari tahu belum cowoknya siapa? Keluarga apa? Bisnisnya apa? Umurnya berapa?"

Kontan aku menggelengkan kepala, aku pikir hal tersebut sama sekali tidak penting.

"Lo harus tahu semua itu bjir." Risa menepukan tangannya sekali dengan raut kesal. "Biar lo tahu langkah selanjutnya."

"Langkah ... selanjutnya?" ucapku tidak yakin.

"Elo yang tolol sekarang Nal!" Risa membangunkan tubuh dan menghadap ke arahku. "Lo bilang apa tadi? Kalau lo enggak mau nikah sama cowok yang dipilih sama bokap lo, lo harus pergi dari rumah dan dihapus dari daftar hak ahli waris kan?"

Dengan polos aku menganggukan kepala. Melihat Risa yang menggebu-gebu begini, aku pribadi antara takjub dan bingung.

"Dan di sisi lain, lo juga enggak mau nikah sama tuh cowok kan?"

"Iya, apa sih nanya-nanya terus? Gue kan udah jelasin dari tadi!"

"Maka jalannya cuma satu."

"Apa?"

"Bikin tuh cowok yang pada akhirnya enggak mau sama lo, bikin tuh cowok yang batalin perjodohan ini, atau bikin penawaran biar kalian berdua enggak nikah. Apapun itu caranya biar pihak cowok yang batalin perjodohan kalian. Pertama, lo enggak perlu melawan bokap lo dulu dan perjodohan gagal, dengan itu, lo gak perlu pergi dari rumah dan tetep punya hak waris!"

Aku menganga tidak percaya. Si Bolot ini sudah memberikan aku solusi dan jalan keluar.

"AAAAAA RISA! Kok bisa lo pinter gini sih ya ampuuun! Sumpah, mau apa lo? Gue pesenin dah makanan."

Dan malam itu aku senang karena sudah menemui pemecahan dan solusi dari masalah ini

Bab terkait

  • Om-Om Pilihan Papa   03. Persetujuan

    Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du

  • Om-Om Pilihan Papa   04. 33 Tahun

    Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So

  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

  • Om-Om Pilihan Papa   01. PERJODOHAN

    "Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa

Bab terbaru

  • Om-Om Pilihan Papa   07. Rencana Selanjutnya

    "Semuanya gagal! Kuku gue rusak! Tangan gue sakit, luka. Gue malu, gue gila!" Risa menganggukan kepala sembari mendengar keluhakunku, di tangannya kini, ada kotak sepatu yang sejak tadi dia peluk. "Enggak ada orang yang ngertiin gue. Papa jahat semua orang jahat! Gue mau mati aja." "Lo jangan menyerah di sini dong Nal!" Risa akhirnya memberikan tanggapan setelah menggaruk kepala yang nampaknya gatal karena sejak tadi terus mendengarkan ocehanku. "Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara buat gagalin pernikahan lo sama Om Bian yang ganteng dan gagah itu." Aku memutar bola mata kesal mendengar kata-kata terakhir dari Risa. "Jangan ngomong dia ganteng karena dia enggak ganteng." "Menurut gue sih dia Om-Om yang ganteng di umur 33 tahun sekarang, dia masih bugar, fresh, badan oke, tinggi, kaya raya, jomblo." "Bisa enggak lo stop ngomongin semua hal baik tentang Om Bian yang engg

  • Om-Om Pilihan Papa   06. Kekacauan

    Aku masih speeachless dengan ucapan Om Bian barusan. Dia, tidak akan, membatalkan perjodohan kami di saat aku sudah begini. Maksudku, apa dia enggak melihat dandananku yang unik bin aneh ini? Apa dia buta? Apa dia tuli? Atau dia tidak memiliki otak? Yang terakhir sepertinya memang jawaban yang paling benar menurutku. Ya mau bagaimana lagi? Orang berotak mana yang mau menikahi cewek sepertiku? Apa Om Bian enggak sama sekali mengkhawatirkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti saat bertemu denganku? Apa Om Bian tidak berpikir sejauh itu? Aku menatap punggung Om Bian yang kini berlalu mendekati pintu keluar dan kemudian, menyimpan kepala di atas meja frustasi. Sebelum seseorang mengganggu kegelisahanku dan menyimpan sesuatu di atas meja. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Bill, makanannya belum dibayar

  • Om-Om Pilihan Papa   05. Ketahuan Papa

    Aku berdiri dengan kaki yang bergerak tidak nyaman menahan rasa bingung, harus melakukan apa, merasakan takut dimarahi oleh Papa, dan semuanya. Melihat mata Papa yang kini melotot hampir keluar dari tempatnya membuatku semakin tidak karuan. "Kamu ya bener-bener anak aneh!" Aku berdehem. "A-apanya sih yang aneh?" "Ngaca Nala! Ngaca!" Papa menatapku marah, kini posisi kami tidak seberapa jauh. Dan tentu kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh restoran. Untung pengunjungnya belum terlalu banyak. Dan untungnya lagi, restoran ini memang Papa yang mengelola. "Nala udah ngaca kok tadi, dan bagus-bagus aja." "Lasik aja lasik ya tuh matamu. Bagus dari mananya, orang gila iya mirip, malu-maluin tahu enggak?" "Kalau Papa malu ya udah, Nala pulang, lagian Nala juga bingung ngapain lama-lama di sini." "Om, Om Haryn sudah Om, jangan terlalu diambil pusing." Aku melirik ke belakang, menemui Om Bian yang tengah cengar-cengir tidak jelas. Pa maksud sih cengiran itu? Kok nyebelin

  • Om-Om Pilihan Papa   04. 33 Tahun

    Sebentar. Sebentar. Sebentar. Ini aku benar-benar masih bingung dengan keputusan yang sudah Papa berikan. Aku? Seorang remaja sembilan belas tahun, gadis ting-ting cantik, perawan, lucu, imut, menggemaskan. Dijodohkan dengan laki-laki tua berumur 33 tahun itu ... harusnya kan lelucon! Orang tua mana yang bisa melakukan itu?! Ya, Papa memang bisa. Itu karena Papa ... maaf kalau aku terkesan tidak berakhlak dan kurang ajar. Tapi aku yakin Papa memang sudah gila. Aku melempar ponsel dan mengacak rambut dengan asal. Gila, gila, gila! "Udahlah, lagian juga lo kan enggak mau dan nolak dijodohin sama dia. Lo tuh tinggal bikin Om-Om yang menurut gue lumayan hot dan menggoda itu buat nolak lo. Bikin dia ilfeel setengah mampus, abis itu masalah selesai. Gue yakin kalau Om siapa tadi namanya, Bian? Ya, Om Bian enggak bakalan mau berurusan sama cewek remaja gila gak ada otak." Dengan pandangan memelas, aku menatap Risa yang kini menganggukan kepala sembari menenangkanku. "So

  • Om-Om Pilihan Papa   03. Persetujuan

    Pagi itu, aku sarapan dengan kedua temanku dan Papa di meja makan rumah. Ada beberapa menu terhidang, salad, jus, grill salmon yang enak dengan mash potato. Papa sudah kenal dekat dengan kedua sahabatku sejak jaman SMP ini, sehingga maklum kalau mereka menginap di rumah dan ikut makan bersama. Bahkan kalau Risa dan Indy tidak datang seminggu saja untuk menemuiku di rumah, Papa akan bertanya-tanya. "Gimana Risa, kuliah kamu lancar?" "Lancar banget Om, meski ada beberapa matkul yang sulit dan dosennya jutek banget ih, Risa kurang suka." Papa terkekeh mendengar celotehan Risa yang kini mengenakan kacamata dan outer berwarna pink. "Yah, memang selalu ada aja yang begitu di perkuliahan, gak papa Nak, buat pengalaman kamu," ujar Papa sembari menusuk daging salmon yang lembut dengan garpu. "Iya sih Om, bener banget. Melihat dan bertemu banyak orang membuat Risa tahu kalau di dunia ini, enggak semua orang itu baik kayak Risa." "Nah, betul-betul! Macam-macam memang manusia di du

  • Om-Om Pilihan Papa   02. RENCANA PEMBATALAN

    "Sumpah, gue enggak bohong kalau sekarang gue emang lagi kesel parah sama Papa. Gimana pun, kenapa dia bisa-bisanya jodohin gue sama orang yang enggak gue suka?" "Nah, kalau lo dijodohin sama orang yang lo suka, itu namanya berjodoh Nal." Aku melirik sinis pada perempuan berkacamata tebal yang baru saja berbicara. Sosok itu duduk di sebuah single sofa dipojokan kamar sembari asik membaca buku yang entah apa, aku enggak mau tahu. "Indy bener sih Nal." Kini mataku melirik pada seorang wanita lain yang setengah rambutnya di kucir dua, memakai semua hal berwarna pink sembari memeluk sebuah boneka di pembaringan. "Kalau kamu naik ke pelaminan sama orang yang kamu suka, namanya berjodoh." Si lemot itu membela Indy dengan sok iya. "Gue enggak butuh pendapat lo ya Risa." Aku menyimpan kedua tangan di dada. "Tapi masalahnya, gue masih kecil, gue enggak mau nikah anjir." "Gue penasaran deh." Indy memperbaiki posisi duduknya dan kini menatapku secara langsung. "Sebenarnya tuju

  • Om-Om Pilihan Papa   01. PERJODOHAN

    "Papa bercanda ya?" Aku masih coba setenang mungkin. "Aku baru lulus sekolah Pa, usiaku baru aja 19 tahun, masa sudah mau dijodohkan." "Kamu gak berguna." Aku melotot mendengar omongan Papa yang begitu kasar dan menohok dada. Sumpah, kenapa Papa menyebalkan sekali sih? Kalau laki-laki ini bukan Papaku, sudah pasti aku menamparnya. "Kamu kerja gak becus, kuliah gak mau-" "Bukannya enggak mau." Aku memotong cepat. "Aku cuma mau istirahat sebentar Papa. Capek belajar terus." Okei, ini masih bisa disabari. Jadi aku tidak boleh meledak-ledak. "Halah, alasan aja. Kamu cuma bisa foya-foya, kamu enggak becus buat hidup tahu?" "Paaaa!" Memejamkan mata, menarik napas dalam, aku pun tersenyum. "Ya habis aku harus apa lagi?" "Jadi istri orang. Makanya Papa jodohkan kamu dengan seorang pria matang." "Enggak!" Kini, aku mulai tegas pada Papa. "Nala enggak mau menikah dengan laki-laki pilihan Papa." "Oh ya sudah." Papa menaikan bahu dengan tenang sebelum menyesap teh di depa

DMCA.com Protection Status