Aku Nara, gadis yang terenggut keperawanannya di usia delapan belas tahun. Mirisnya, ibuku sendiri yang menjualku pada seorang bandot tua. Apalagi kalau bukan karena hutang. Ya, semua berawal karena keinginanku yang ingin mencari ibu ke kota. Sejak usia sepuluh tahun, dia meninggalkan aku di kampung. Tanpa kabar, bahkan tidak mengirimkan uang untuk biaya hidupku. Ternyata takdir tidak memihakku. Pertemuanku dengan wanita itu, justru menjadi awal kerusakan masa depanku. Dan kini, tiga tahun sudah aku menjalani kehidupan sebagai sugar baby. Sebenarnya ini bukanlah sebuah pilihan, tapi karena keadaan yang memaksaku. Setiap Minggu, ibu akan datang dan meminta jatah untuk menghidupi pasangan kumpul kebonya. Lima juta dalam satu minggu bukanlah uang kecil, butuh kerja ekstra untuk mendapatkannya.
View More"Om, hape aku udah minta ganti, nih!" ujarku pada lelaki tua yang sudah hampir dua bulan menjadi sugar daddy-ku.
"Tenang, Nara sayang ... apapun yang kamu butuhkan, Om siap penuhi. Asal ...."Dengan kerlingan mata nakal, lelaki yang seumuran ayahku itu memberi kode. Aku paham, mereka--para lelaki hidung belang--akan membayar berapa pun untuk daun muda sepertiku.Aku Nara, gadis yang terenggut keperawanannya di usia delapan belas tahun. Mirisnya, ibuku sendiri yang menjualku pada seorang bandot tua. Apalagi kalau bukan karena hutang.Ya, semua berawal karena keinginanku yang ingin mencari ibu ke kota. Sejak usia sepuluh tahun, dia meninggalkan aku di kampung. Tanpa kabar, bahkan tidak mengirimkan uang untuk biaya hidupku.Ternyata takdir tidak memihakku. Pertemuanku dengan wanita itu, justru menjadi awal kerusakan masa depanku. Dan kini, tiga tahun sudah aku menjalani kehidupan sebagai sugar baby.Sebenarnya ini bukanlah sebuah pilihan, tapi karena keadaan yang memaksaku. Setiap Minggu, ibu akan datang dan meminta jatah untuk menghidupi pasangan kumpul kebonya. Lima juta dalam satu minggu bukanlah uang kecil, butuh kerja ekstra untuk mendapatkannya.Terkadang aku ingin tertawa, begitu miris dan menggelikan kehidupanku ini. Sosok malaikat bernama ibu, justru menjadi iblis yang menyesatkan anaknya sendiri. Baginya, aku adalah musibah dalam kehidupannya.Inilah aku, seorang sugar baby dengan segala ceritaku.***"Nara, ntar malam lo ada job kaga?"Aku menoleh saat Flora nyelonong masuk ke kamar, kemudian duduk di sebelahku. Tanpa sungkan, dia mengambil remote TV yang kupegang. Seperti biasa, dengan santai dia akan mengganti channel televisi ke acara yang dia sukai."Kebiasaan banget, sih, lo! Ijin dulu, kek, atau apa gitu!" gerutuku kesal.Namun ekspresi Flora tetap saja tak berubah. Bahkan kini tangannya asik mencomot camilan yang sejak tadi ada di pangkuanku. Menyadari tatapan kesalku, gadis bukan perawan itu hanya nyengir."Ntar malam lo ada job kaga?" Kembali dia mengulang pertanyaan yang belum aku jawab."Capek, Flo. Berasa jadi sapi perah, pengen nyerah rasanya."Aku sandarkan tubuh, kemudian menyelonjorkan kedua kaki. Dadaku kembali terasa sesak, ada bagian hati yang sangat sakit.Huff ... beneran, rasanya capek sekali dengan kehidupan ini. Aku yang bekerja, tapi dua orang tak tahu malu itu yang menikmati.Flora menatapku. Kali ini tatapannya tampak serius."Lo mau berhenti dari dunia tempat lo nyari rejeki?"Kembali kuhembuskan napas berat. Rejeki? Mana ada rejeki hasil morotin laki orang? Ah, apa itu bisa disebut rejeki?Seakan tahu apa yang menjadi beban pikiranku, Flora merengkuh bahuku. "Gue dukung lo, Ra. Semoga lo segera nemuin lelaki yang bisa bawa lo jauh dari kehidupan sekarang."Mendengar doanya, hatiku begitu trenyuh. Dia tak jauh beda dariku. Nasibnya sama sepertiku, sama-sama dijual oleh keluarga sendiri. Hanya saja bedanya, dia dijual oleh ayah tirinya. Beruntungnya Flora, dia masih punya ibu yang sayang padanya. Meskipun ibunya sekarang kena gangguan mental akibat siksaan dari suami keduanya."Lo sendiri kaga pengen dapet cowok baik dan memulai kehidupan baru?" tanyaku sembari melempar senyum.Bukannya menjawab, dia malah keluar kamar menuju balkon. Aku pun mengikutinya, turut menatap hiruk-pikuk kendaraan di jalanan."Lo enak, Ra. Om Hendra menghadiahkan apartemen ini untuk lo. Sedangkan gue, sampai sekarang belum berhasil porotin maksimal om om tajir," ungkapnya tanpa melihatku.Mendengar celotehnya, aku hanya tersenyum. Lalu mencoba menikmati angin sore yang berhembus sepoi-sepoi, memainkan anak rambut hingga ke pipi.Mau dibilang lebih beruntung, tapi nyatanya hidupku tak lebih dari parasit. Mau dibilang kurang beruntung, nyatanya aku punya apartemen dan mobil mewah. Semua dari hasil menjadi simpanan para lelaki yang sedang puber kedua."Gue mau jenguk nyokap, lo mau nemenin gue?" tanya Flora, kali ini disertai senyum yang mengembang."Mau lah, masa kaga? Kan, kaga mungkin gue biarin lo pergi sendirian.""Makasih ya." Kembali Flora memelukku, selalu saja moment seperti ini yang kadang membuatku makin trenyuh."Ntar malam kita berangkat jam delapan, gue pengen beberapa hari di sana.""Lo mau nginep di rumah sakit jiwa?""Ya kaga lah, Dodol ... masa iya gue nginep di rumah sakit.""And then?""Kita nginep di hotel, sekalian ntar di sana kita refreshing."Aku pun memberi tanda oke seraya mengedipkan satu mata. Sejenak melupakan seluruh problema, melepas penat yang setiap saat menghimpit.***"Pak, apa kaga ada jalan pintas?" tanya Flora pada sopir taksi yang akan mengantar kami ke terminal."Kita sudah terjebak macet begini, Mbak. Mana bisa puter balik cari jalan pintas."Suasana jalanan yang padat semakin riuh karena suara klakson yang saling bersahutan. Tampak Flora tidak tenang, pasalnya bus yang dia pesan adalah bus terakhir."Lo sih, nolak pakai mobil gue.""Bukannya nolak, Ra. Cuman masalahnya, perjalanan kita tuh jauh. Gue kaga mau bikin lo capek.""Bener juga, sih. Terus gimana kalau ntar ternyata sampai terminal, busnya sudah kaga ada?"Flora terdiam, sepertinya sedang mencari cara. Baru saja dia hendak membuka mulut, tetiba ponselnya berdering. Dia mendengkus kesal, lalu dengan kasar menjawab panggilan tersebut."Ada apa, Om?""....""Tapi sekarang nggak bisa, Om. Ini masih terjebak macet.""....""Huff ... bisnis apa lagi?""Apa??!" Ekspresi Flora membuatku turut terkejut.Sepertinya ada suatu hal bikin dia syok. Tapi entah apa karena dia menggunakan earphone.Selanjutnya, Flora hanya mengangguk dan mendengarkan ucapan orang dari seberang panggilan. Setelah panggilan berakhir, dia bersorak sorai kegirangan."Ada job besar, Nara. Duitnya satu em," ujarnya dengan sorot mata penuh binar.Auto bola manikku turut membulat. Om om sultan nih kayaknya yang akan memakai jasa layanan Flora. Wajar aja, sih, kalau dia sebahagia itu."Emang jobnya apa?" tanyaku penasaran.Yang ditanya bukannya jawab, tetapi malah garuk-garuk kepala. Sikap Flora membuatku semakin kepo."Mau mulai main rahasia rahasiaan sekarang?""Bukan gitu, Nara ... tapi ....""Tapi kenapa? Melayani bandot tua yang kelainan? Atau ....""Bukan. Tapi ... itu, jobnya ngasih anak.""Maksudnya?" Dahiku mengernyit, makin tak mengerti dengan ucapan Flora yang kebingungan untuk menjelaskan."Ya .... ya kita hamil, terus anaknya dikasih ke keluarga itu."Mataku seketika mendelik, bahkan sopir taksi yang mendengar percakapan kami pun menoleh dan membelalakkan mata. Aku mencoba memberi kode pada Flora untuk menghentikan percakapan, tentu saja merasa aneh jika membicarakan hal tabu di depan orang lain."Kita turun sini aja, Pak. Ini ambil aja kembaliannya," ucap Flora sembari mengulurkan uang seratus ribu.Pak sopir yang sempat mendengar pembicaraan kami pun menepikan mobil. Dengan cepat Flora membuka pintu dan menarikku untuk keluar dari mobil.Aku yang masih syok dengan cerita gila dia, hanya menurut saja. Bahkan tanpa bertanya saat dia mengajakku menyeberang jalan. Pada akhirnya kami membatalkan rencana pergi, Flora lebih memilih uang satu milyar dibanding pergi mengunjungi ibunya.Mau heran, tapi itulah kami. Kalah dengan limpahan materi, uang ratusan juta mampu mengalihkan dunia orang seperti kami. Termasuk pilihan Flora yang mau menerima resiko kehamilan, semua demi uang.Pilihan yang tak pernah terlintas dalam pikiranku.Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d
POV AzlanKeesokan hari ....Aku berpamitan pada Nara untuk ke kantor sebentar, dengan alasan ada dokumen yang harus aku tanda tangani dan ketemu dengan klien penting. Seperti biasa, Nara tak banyak menuntut waktuku. Dia sangat memahamiku.Sebenarnya aku tidak benar-benar ke kantor. Itu hanyalah alasan yang aku buat-buat agar bisa ke rumah Mama bareng Om Fadli.Hari ini masalah harus segera tuntas. Aku tidak ingin saat Nara pulang, dia harus menghadapi sikap dingin dan ketus Mama. Sesuai kesepakatan, aku dan Om Fadli mendatangi rumah Mama. Tampak Om Fadli membawa sebuah amplop panjang di tangannya. Aku yakin, itu adalah bukti test DNA Nara.Saat kami datang, Mama yang tengah duduk di belakang rumah, menikmati secangkir teh sembari melihat seluruh tanaman kesukaannya. Om Fadli segera melempar amplop panjang itu ke atas meja, tepat di hadapan Mama. Hal tersebut membuat Mama terkejut dan mendongakkan kepala. "Kamu ini, Mas. Kalau datang nggak usah bikin kaget, bisa kan?""Ratih, aku ng
Tampak wajah Della menunjukkan rasa tidak percaya. Dia menggeleng, menampik semua kenyataan yang aku sampaikan."Kalian pasti hanya ingin memfitnah Budhe Ros! Kalian jahat! Orang sebaik Budhe Ros tidak akan melakukan hal sehina itu!" teriak Della tidak terima."Sekarang ikut aku, akan aku tunjukkan di mana Nara. Kamu bisa tanya dia, dan di sana juga ada ayahnya Nara!" tantangku seraya menarik lengan Della.Gadis muda itu masih menolak ajakanku. Dia berusaha menepis tangan dengan sangat kasar. Della benar-benar tidak terima dengan apa yang aku jelaskan."Kalian itu sama saja! Buat apa aku percaya kalian yang baru saja aku kenal? Aku ... aku yang sekian lama mengenal Budhe Ros! Dia orang yang baik!" Della masih bersikukuh dengan pendapatnya."Baiklah kalau kamu tidak percaya. Kamu tidak mau juga aku ajak ketemu Nara untuk mengetahui kebenaran. Lebih baik, tanyakan pada Budhe-mu itu saja!" ujarku seraya tersenyum sinis.Gadis lugu itu terdiam sesaat. Ada keraguan di sorot matanya. "Kena
POV AzlanAku melangkah kembali ke ruang operasi. Menunggu Nara selesai pemulihan dan diantar ke ruang rawat inap.Tepat saat kaki berdiri di depan ruang itu, dua petugas keluar membawa Nara menggunakan brankar. Aku membuntuti dari belakang. Wajah Nara begitu sayu, aku tak tahu hal apa yang sudah dia lewati di dalam sana. Yang aku tahu hanya satu, perutnya terluka demi melahirkan anak keturunanku.Ingin sekali kupeluk dia, memberikan tempat ternyaman dari segala kelelahan. Namun, saat ini mata Nara hanya terpejam. Ada bulir bening yang diam-diam menetes dari sudut matanya.Aku harap, itu adalah air mata bahagia karena anak ketiga telah lahir dengan selamat. Sesampainya di ruang VVIP, Nara dipindahkan ke tempat yang tersedia. Mama memang baik, memberikan fasilitas terbaik untuk menantunya.Setelah selesai, petugas pun berpamitan. Tak lupa aku ucapkan pada dua petugas itu.Suasana begitu tenang, tak ada hiruk pikuk suara berisik mengganggu. Aku mendekat ke Nara, kemudian duduk di kursi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments