Lara mengingat dengan jelas awal mula kedekatannya dengan Leon, pria yang kini menjadi Direktur Keuangan di Marten Energy. Sebagai manajer perencanaan keuangan, interaksi profesional mereka seharusnya biasa saja. Namun, semuanya mulai berubah ketika Leon menunjukkan ketertarikannya pada Cantika, adik tirinya.
Pada saat itu suasana kantor pagi itu terasa tenang, dengan hanya suara keyboard dan percakapan pelan antar karyawan yang mengisi ruangan. Lara sedang serius menatap layar komputer ketika ia merasakan sentuhan ringan di pundaknya.
"Permisi," terdengar suara yang dalam dan formal. Lara menoleh dan mendapati Leon berdiri di belakangnya. Sontak, ia menahan napas sesaat, jantungnya berdebar lebih cepat. Dengan sedikit gugup, ia bergeser ke samping untuk memberi jalan.
“Silakan, Pa Leon,” ucapnya dengan sopan.
Leon membalas dengan anggukan kecil, senyum sekilas di wajahnya sebelum ia melangkah melewatinya menuju ruang kerjanya yang berdinding kaca. Setelah kepergian Leon, Lara menghela napas panjang, mencoba meredakan debaran di dadanya. Dari mejanya, ia bisa melihat Leon yang langsung duduk dan mulai bekerja dengan sikap yang begitu fokus. Lara terpaku sejenak, memandangi bagaimana pria yang diam-diam ia kagumi itu berbicara serius dengan beberapa anggota timnya, menunjukkan dedikasi yang membuatnya tampak semakin mengagumkan.
Panggilan dari Leon untuk menghadap ke ruangannya datang lebih cepat dari yang ia kira. Lara menyiapkan laporan yang diminta dan memasuki ruang kaca Leon dengan sikap tenang, meskipun di dalam hati ia tak bisa menutupi kegugupannya.
“Silakan duduk, Lara,” kata Leon, menyapanya dengan nada ramah yang sedikit mengejutkan.
Lara duduk dengan rapi dan menyerahkan laporan yang ia bawa. Leon mulai membuka pembicaraan dengan komentar singkat tentang pekerjaannya, sesekali menanyakan detail yang membuatnya terkesan karena Leon mendengarkan setiap kata yang ia katakan dengan penuh perhatian.
Setelah selesai membahas laporan, Leon bersandar dan, tanpa diduga, menanyakan sesuatu yang lebih personal.
"Jadi kalian kalau berangkat ke kantor kamu bareng ayahmu, dan Cantika bawa mobil sendiri?" katanya, menatap Lara dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Lara terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut, namun ia segera menjawab dengan bahasa formal.
"Iya, Pak. Gaji dan pendapatan saya belum cukup untuk membeli mobil, dan saya juga lebih nyaman jika bersama dengan ayah," jawabnya, mencoba menjaga nada yang profesional.
Leon mengangguk pelan, masih memperhatikannya dengan tatapan yang penuh minat. "Bisa dimengerti," katanya singkat, sebelum kembali mengarahkan pembicaraan ke hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Lara hanya tersenyum, tak ingin menanggapi lebih dalam tentang hal ini. Namun, bagi Lara, pertanyaan tadi menyisakan tanda tanya. Perhatian Leon terhadap keluarganya, meskipun sekilas, membuatnya merasa ada sesuatu yang lain di balik sikap ramah pria itu. Ia tahu Leon mungkin hanya berbasa-basi, ia tak bisa menahan diri untuk merasa lebih dekat padanya. Namun, ia juga menyadari bahwa ini mungkin hanya perasaan sesaat—karena perhatian Leon sebenarnya mungkin bukan untuknya, melainkan untuk Cantika.
Hari itu jam kantor telah usai, Lara bergegas membereskan mejanya dan seperti biasa di keruangan Ayahnya untuk mengajak ayahnya pulang bersama. Setelah mengetuk pintu dan masuk ke ruangan ayahnya, Lara mendapati dua pria yang paling ia sayangi berada di sana—ayahnya, Pak Darma, dan paman Jeri, yang tidak lain adalah asisten ayahnya.
Lara masuk dan menyapa kedua pria yang sangat ia sayangi dengan senyum hangat. Ia meraih tangan pamannya, Paman Jeri, dan menyalaminya penuh hormat. Pria paruh baya itu tersenyum lembut, mengangguk kecil, seolah memahami betapa Lara menempatkannya di hati sebagai sosok panutan kedua setelah ayahnya.
“Paman Jeri, bagaimana kabarnya?” Lara bertanya, sambil tersenyum.
“Baik, Lara. Selalu senang melihat keponakan kesayangan paman," jawab Jeri sambil membalas senyuman Lara. "Kamu semakin sibuk saja, ya, di divisi yang baru?"
Lara tertawa kecil. “Sedikit, tapi masih bisa ditangani, kok, Paman.”
Setelah percakapan hangat sejenak, Pak Darma mengangguk, isyarat bahwa ia punya tugas penting untuk Lara. “Lara, ada sesuatu yang ayah ingin kamu lakukan,” katanya sambil menyerahkan sebuah file berwarna cokelat yang terkesan begitu rahasia.
Lara menerima file itu dengan ekspresi serius, menunggu instruksi lebih lanjut.
“Antarkan file ini kepada Cantika,” Pak Darma berkata pelan namun tegas. “Dia sedang menunggu di ruangannya. Tapi ingat, file ini harus kamu berikan langsung ke tangannya, jangan sampai diketahui siapa pun.”
Lara mengangguk, memahami pentingnya pesan itu. Setelah mengucapkan pamit kepada ayah dan pamannya, ia melangkah keluar, menyembunyikan file itu di tasnya dengan hati-hati.
Lara melangkah keluar dari ruangan ayahnya dengan hati-hati, menghela napas panjang setelah menutup pintu di belakangnya. Kantor sudah begitu sepi, menyisakan ketenangan malam yang anehnya terasa berat di udara. Hanya ada gemerisik langkahnya sendiri yang terdengar, setiap bunyi sepatu yang mengenai lantai marmer memantul, mengisi ruang kosong di sekitar. Penerangan yang mulai diredupkan membuat bayangannya sendiri tampak memanjang di sepanjang lorong.
Lara mempercepat langkahnya menuju lift, mengeratkan genggaman pada tas berisi file yang ayahnya percayakan padanya. Setiap instruksi ayahnya kembali berputar di kepalanya. File ini penting, harus sampai ke tangan Cantika secara langsung dan tanpa diketahui siapa pun.
Sesampainya di lift, Lara menekan tombol dan menunggu pintu terbuka. Ia menyandarkan bahu pada dinding di sebelah lift, mencoba menenangkan diri sambil memandang ke arah koridor yang gelap dan sunyi. Suasana kantor yang biasanya ramai kini terasa begitu berbeda di malam hari—seperti dunia lain yang menunggu untuk mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi.
Saat pintu lift akhirnya terbuka, Lara melangkah masuk dan menekan tombol lantai tujuan, lantai di mana Cantika menunggu. Ia merasa lega, setidaknya hanya perlu menuruni beberapa lantai lagi dan ia bisa menyerahkan file ini sebelum pulang. Namun, begitu lift bergerak, lift berhenti lebih awal dari yang seharusnya,
“kok berhenti disini, siapa yang dari divisiku belum pulang ya” gumam Lara sempat bingung mengapa pintu lift terbuka di lantai yang bukan tujuannya. Pintu itu perlahan membuka, dan di sana, berdiri seseorang yang tak pernah ia duga akan ditemuinya dalam situasi seperti ini.
“Pa Leon.”
Lara seketika merasa kaget, pandangannya terpaku pada sosok pria yang berdiri di depan lift dengan ekspresi tak terbaca. Leon memandangnya, sejenak menurunkan pandangan ke arah tasnya, sebelum kemudian mengangkat alis tipis dengan senyuman
“Oh, permisi, ini mau turun kan,” Leon berkata dengan nada rendah yang tenang namun cukup untuk membuat Lara merasakan gelombang kegugupan yang tidak biasa.
Lara berusaha menelan ludah, mencoba tersenyum meski ia tahu pipinya mungkin sudah memerah. “Iya, Pak… silakan masuk,” jawabnya, suaranya sedikit bergetar.
Leon melangkah masuk ke dalam lift, dan pintu menutup perlahan, menyisakan mereka berdua dalam ruang kecil yang tiba-tiba terasa semakin menyempit. Aroma maskulin dan segar khas Leon membuatnya semakin gugup, seakan menutupi setiap sudut lift yang sunyi.
Lara berdiri sedikit kaku, mencoba menjaga jarak tanpa terlihat canggung, namun jantungnya masih berdegup kencang. Ia mencuri pandang ke arah Leon yang berdiri tenang di sisinya, matanya terfokus pada angka-angka di atas pintu lift yang menunjukkan lantai.
Lift terasa sunyi. Hanya terdengar dengungan halus dari mesin dan detak jantung Lara yang semakin keras di dadanya. Ia berdiri sedikit kaku, berusaha menjaga jarak dari Leon tanpa terlihat canggung, meski ada rasa tegang yang tak bisa ia kendalikan. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu yang berdiri tenang di sebelahnya, dengan tatapan mata fokus pada angka-angka di atas pintu lift yang menunjukkan lantai demi lantai yang terlewati.“Lara, kamu mau turun di lobi atau lantai tiga?” suara Leon memecah keheningan, nadanya ringan, tetapi cukup untuk membuat Lara sedikit tersentak.“Oh, tidak, Pak. Saya ke lantai tiga dulu, ada yang harus saya sampaikan ke Cantika,” jawab Lara, suaranya terdengar ragu-ragu, sedikit gugup.Leon tertawa kecil, membuat jantung Lara berdebar lebih kencang. “ini sudah di luar jam kerja, jangan panggil saya ‘Pak’.”Lara semakin salah tingkah. Senyum kecil Leon yang tulus namun menawan itu membuatnya merasa semakin grogi. Sebelum ia sempat membalas perkat
“Lara?” Leon memanggilnya dengan nada lembut, menariknya kembali ke kenyataan.Lara terkejut, segera menatap Leon dengan senyum yang agak dipaksakan. “Ya, Leon?”Leon tersenyum tipis, namun matanya menatapnya dengan cara yang tidak bisa Lara artikan sepenuhnya. "Kamu masih banyak berpikir, ya?"Lara hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya mulai tak tentu arah. “Aku... hanya memikirkan beberapa hal,” jawabnya, berusaha menjaga penampilannya tetap tenang meski di dalam hatinya seribu pertanyaan bergemuruh.Lara memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya. “Oh ya, Leon, aku dengar kamu sebelumnya juga dekat sama Syifa, sepupuku. Malah, aku sempat dengar kamu mantannya Monic. Kamu datang ke pernikahan Monic kemarin bareng Cantika, kan? Kayaknya sengaja banget nunjukin ke Monic, ya? Buset deh, semua sepupu-sepupuku sekarang malah kamu dekati, bahkan adik tiriku! Bisa gitu, ya?” Lara berkata perlahan, sambil sedikit mengejek, berusaha menggali lebih jauh dan mencari tahu motif Leon.Leon ter
Setelah kembali dari lamunannya tentang awal kedekatannya dengan Leon, Lara menghela napas panjang. Dia melangkah masuk ke kantor, mengenakan sikap profesional yang menjadi ciri khasnya. Tak ada yang bisa menebak apa yang baru saja berkecamuk di pikirannya.Di ruangan Leon, pria itu tampak tenang seperti biasa, fokus pada tumpukan dokumen yang sedang ia pelajari. Mereka saling menyapa dengan formalitas yang biasa dilakukan rekan kerja, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing tanpa membahas apa pun yang terjadi tadi pagi.Namun, menjelang waktu makan siang, ponsel Lara bergetar. Sebuah pesan dari Leon muncul di layar:"Ke rooftop, kita perlu bicara."Lara menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Jantungnya sedikit berdebar, tetapi ia menenangkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia menuju rooftop gedung kantor.Saat tiba di sana, Leon sudah menunggu di tepi pagar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Angin siang yang sejuk membuat rambutnya
Seminggu berlalu sejak Leon mengutarakan niatnya untuk menikahi Lara kepada keluarganya. Dalam percakapan itu, Leon dengan tegas menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan memengaruhi profesionalismenya di kantor. Perusahaan tetap menjadi prioritas utama, dan ia memastikan hubungan kerja antara dirinya dan Lara tetap berjalan seperti biasa.Siang itu suasana ruang rapat terasa seperti biasa, penuh dengan pembahasan serius dan diskusi tajam. Leon duduk di ujung meja dengan tatapan tajam ke arah layar laptopnya. Anggota timnya mulai memaparkan progres terbaru tentang proyek ekspansi perusahaan."Pak Leon, kami sudah merancang beberapa ide untuk proyek di area Alfa dan Beta," ujar salah seorang anggota tim divisi dengan suara percaya diri. "Kami butuh keputusan segera terkait alokasi dana. Apakah tetap sesuai dengan anggaran awal atau perlu revisi?"Leon mengangguk kecil sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Anggaran seperti itu akan bertahan, tapi saya rasa beberapa detail perlu di
Kehidupan di rumah keluarga Darma berjalan seperti biasa, baru Satu minggu telah berlalu sejak Leon menyatakan keinginannya untuk menikahi Lara, namun ada perubahan kecil yang sulit diabaikan. Leon, yang biasanya sering mampir untuk menjemput atau mengantar Cantika, kini tak pernah lagi terlihat di depan rumah.Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Seminggu setelah Darma duduk di kursi utama, tangannya menyentuh gagang kursi kayu dengan tatapan serius. Vina di sampingnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tipis. Lara dan Cantika duduk di sofa panjang yang menghadap mereka. Keduanya terdiam, seperti menunggu ayahnya yang memanggil mereka memulai pembicaraan.“Baiklah,” Darma memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Aku sudah memikirkan hal ini sejak Leon menyampaikan niatnya untuk menikahi Lara.”Cantika langsung mendengus kecil, memalingkan wajah ke jendela.“Ka Lara dan Leon ya?” gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar semua oran
Siang itu, Lara tiba di rumah sakit Sepanjang perjalanan, ia bertanya-tanya siapa yang sedang ia tuju. Leon hanya memberikan alamat dan nomor yang sepertinya nomor lantai dan kamar, tanpa menjelaskan apapun. Setibanya di lantai yang dimaksud, Lara melangkah menuju kamar dengan nomor yang disebutkan. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengintip ke dalam.Di dalam, ia melihat Leon Di dalam ruangan, Leon duduk di sisi tempat tidur seorang pasien wanita yang terbaring lemah, tatapannya penuh kehangatan dan harapan. Leon tampak begitu tenang, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya penuh perhatian. Ada sesuatu di wajah Leon yang belum pernah Lara lihat sebelumnya campuran kasih, kepedihan, dan harapan.Ya tempat itu adalah rumah sakit, nomor dari lantai dan pintu yang dituju Lara adalah pintu kamar ruangan seorang pasien dirawat.Lara ragu sejenak, merasa seperti mengganggu momen yang begitu pribadi. Namun, ia menguatkan hati, mengetuk pelan pi
Lara berdiri dan tersenyum ramah, mengangguk singkat. "Lara," katanya, menjaga nada suaranya tetap netral.Ika membalas senyum dan mengulurkan tangan. "Mbak Lara, saya Ika."Mereka bersalaman sejenak sebelum Ika beralih lagi ke Leon. "Kalau perlu, saya bisa bantu mengambil barang-barangnya, Pak," tawar Ika.Leon menggeleng. "Tidak perlu, Ika. Dari tadi kamu sudah bolak balik pasti cape, biar saya sendiri yang akan urus. Sekalian, biar saya bisa memastikan semuanya lengkap."Leon menoleh lagi ke Lara. "Lara, kamu bisa ikut sebentar?" tanyanya.Lara menatapnya dengan sedikit bingung tetapi mengangguk. "Tentu."***Dalam perjalanan ke rumah Leon, mobil melaju tenang, hanya suara mesin dan lalu lintas yang terdengar. Leon fokus menyetir, wajahnya dingin dan tenang seperti biasanya. Lara meliriknya beberapa kali, mencoba membaca ekspresinya yang hampir tidak berubah sejak mereka meninggalkan rumah sakit."Itu tadi ibu kamu?" Lara akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan di dalam
Leon memarkir mobilnya perlahan di depan sebuah rumah sederhana bercat putih gading. Cat dindingnya sudah mulai memudar.Di depan rumah itu, sebuah toko bunga kecil berdiri, dengan papan nama kayu tua bertuliskan “Melati Florist”.Rak kayu di depan toko dipenuhi pot bunga—mawar, anggrek, dan melati. Namun, beberapa daun tampak mulai menguning, dan tanah di beberapa pot terlihat kering. Seolah-olah toko itu sedang menunggu sentuhan penuh kasih yang sudah lama tidak diberikan.Leon mematikan mesin mobil. Ia duduk diam beberapa saat, memandang ke arah toko tanpa banyak ekspresi, tetapi jelas ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia akhirnya menoleh ke arah Lara, yang duduk diam di kursi penumpang, ragu untuk berbicara.“Lara,” Leon memanggilnya singkat, suaranya serak namun tegas. “Turun.”Lara menatapnya sejenak sebelum membuka pintu mobil. Ia melangkah keluar, gerakannya perlahan, seperti takut mengganggu suasana yang sudah berat.Leon berjalan mendahului, langkahnya panjang tap
"Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la
Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng
“Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu
Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan
Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a
Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah
Leon menyunggingkan senyum tipis, suaranya nyaris seperti bisikan tawa yang tertahan, menciptakan aura misterius. “Aturan main?” ulangnya perlahan, sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. “Kurasa, kita masing-masing sudah punya aturan sendiri. Kita mungkin tidak mengucapkannya dengan jelas, tetapi aku yakin kita akan tetap mematuhinya. Karena ini bukan tentang satu pihak menguasai yang lain. Ini tentang dua kepentingan yang berjalan di atas satu kesepakatan.”Lara menyilangkan tangan di depan dadanya, sudut bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Kalau begitu, aku ingin tahu,” katanya, suaranya lembut namun penuh tantangan, “apa yang terjadi kalau aturan-aturan itu saling bertabrakan? Siapa yang harus mengalah duluan, Leon?”Leon tertawa pelan, kali ini terdengar seperti taktik untuk menciptakan jeda. “Aku tidak percaya ada yang namanya tabrakan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai negosiasi untuk mencari jalan tengah. Karena, jika salah satu dari kita kehilangan terlalu banyak, ini b
Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bersilang di dadanya, ekspresinya datar namun tajam. “Elegan?” ulangnya dengan nada tenang. “Aku bahkan tidak pernah mengatakan bahwa aku akan menyakiti Cantika, apalagi kalau Cantika adalah bagian dari alasan semua ini.”Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Tatapannya mengunci mata Lara, seperti mencoba membaca lebih dalam dari sekadar senyumnya yang terlihat santai. “Jadi, kalau itu kesimpulan yang kamu buat, aku penasaran… itu datang dari mana?”Kata-kata itu membuat Lara membeku sejenak.Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya membesar, menyiratkan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia merasa seperti baru saja melangkah ke dalam jebakan yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Leon telah membalikkan semua spekulasi dan asumsi yang ia lontarkan.Jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang di permukaa
Leon menghela napas panjang, seolah sedang memilah kata-kata di pikirannya. Tatapannya tetap mengarah ke Lara, fokusnya hanya tentang bagaimana bisa membawa Lara menyetujui pernikahan palsu itu, entah dengan menghasut, ataupun menjebak Lara masuk dalam permainan Leon.“Kamu tahu, Lara,” ucap Leon pelan. “Kalau kamu berpikir ini tentang Cantika, kamu nggak salah. Tapi juga nggak sepenuhnya benar. Kalau aku punya alasan untuk membalas apa yang Cantika lakukan, itu bukan cuma soal dia.”Lara mengerutkan dahi sedikit, menunggu penjelasan lebih lanjut.“Orang-orang selalu bilang dendam itu nggak ada gunanya,” lanjut Leon, jemarinya kini saling bertaut di atas lututnya. “Tapi kadang, dendam itu bukan cuma soal rasa sakit. Kadang itu tentang keadilan. Tentang memastikan yang terjadi di masa lalu nggak berulang di masa depan.”Leon berhenti sejenak, mengamati ekspresi Lara yang tampak serius mendengarkan. “Dan kalau aku jujur, aku nggak cuma mikir soal Cantika. Aku juga mikir tentang kamu, La