Share

Bab 5 : Berdua Di Mobil

Penulis: Rafflesia Life
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-23 10:19:41

“Lara?” Leon memanggilnya dengan nada lembut, menariknya kembali ke kenyataan.

Lara terkejut, segera menatap Leon dengan senyum yang agak dipaksakan. “Ya, Leon?”

Leon tersenyum tipis, namun matanya menatapnya dengan cara yang tidak bisa Lara artikan sepenuhnya. "Kamu masih banyak berpikir, ya?"

Lara hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya mulai tak tentu arah. “Aku... hanya memikirkan beberapa hal,” jawabnya, berusaha menjaga penampilannya tetap tenang meski di dalam hatinya seribu pertanyaan bergemuruh.

Lara memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya. “Oh ya, Leon, aku dengar kamu sebelumnya juga dekat sama Syifa, sepupuku. Malah, aku sempat dengar kamu mantannya Monic. Kamu datang ke pernikahan Monic kemarin bareng Cantika, kan? Kayaknya sengaja banget nunjukin ke Monic, ya? Buset deh, semua sepupu-sepupuku sekarang malah kamu dekati, bahkan adik tiriku! Bisa gitu, ya?” Lara berkata perlahan, sambil sedikit mengejek, berusaha menggali lebih jauh dan mencari tahu motif Leon.

Leon tersenyum tipis, tatapannya tetap tenang, meski ada sedikit kejutan dalam nada suaranya. “Oh, begitukah kabar yang beredar di luar? Kamu percaya begitu saja?” tanya Leon, nada suaranya agak menggoda.

“Ya, percaya nggak percaya, kita kan nggak sedekat itu buat aku tahu gimana sebenarnya kamu,” jawab Lara, merasa sedikit bingung, tapi tetap ingin tahu lebih banyak.

Leon tertawa kecil, “Enggak lah, Lara. Saya merasa hanya berteman aja. Kebetulan, kami di posisi yang sama sebagai Direktur Divisi yang mendapat tekanan dari ayah kamu sebagai Dirut. Walaupun dari divisi yang berbeda, kami lebih sering ngobrol soal pekerjaan. Sampai saat ini, komunikasi kami ya biasa aja.”

Lara terdiam sejenak, mencoba mencerna penjelasan Leon. Namun, kata-kata Leon yang sederhana itu justru menambah rasa penasaran dalam dirinya. Ada sesuatu yang terasa janggal, tapi Lara juga tahu, mungkin ini hanya sebatas pembicaraan santai antara rekan kerja. Atau, mungkin ada lebih dari itu yang belum ia pahami.

Leon menatap Lara dengan ekspresi menggoda. "Kenapa kamu bisa sebegitu banyaknya dengar kabar tentang aku? Kamu cari tahu, ya?"

Lara sedikit terkejut, namun berusaha tetap tenang. "Enggak, kok. Itu kan gosip hangat di kantor, haha," jawab Lara sambil tersenyum tipis. "Siapa yang nggak tertarik kalau ngomongin kisah cinta di antara para eksekutif?" tambahnya mencoba mencairkan suasana.

"Dih, tukang gibah. Kamu tuh di gosipin juga dekat sama Pak Ramli, si satpam itu," balas Leon dengan nada menggoda, senyumnya terkembang lebar.

"Dih, mana ada!" Lara tertawa sambil menyentil lengan Leon. "Istrinya dia itu penjahit langgananku, tau!"

Keduanya tertawa bersama, suara tawa mereka memenuhi ruang kecil itu, mencairkan sisa kekakuan yang sempat ada.

Leon akhirnya berkata di sela tawanya, "Saudara-saudara kamu itu nggak seru tau, orang-orangnya."

Lara melirik Leon dengan ekspresi pura-pura kesal. "Hah? Maksudnya apa tuh? Kamu mau bilang aku juga nggak seru?"

Belum sempat Leon menanggapi, seorang wanita keluar dari ruang Cantika. Cantika menyertai orang itu sampai ke depan pintu ruangan, lalu mendekat menghampiri Leon dan Lara yang sedang mengobrol.

"Ka Lara, Ka Leon, maaf ya lama," sapa Cantika dengan ramah.

Lara berdiri dan mendekati Cantika, seraya berbisik sambil menyodorkan file yang diamanahkan ayahnya. "Ini, bagaimana?"

Cantika menerima file tersebut dengan cepat. "Iya, Ka, aman."

Leon yang berdiri di samping mereka, bertanya, "Jadi gimana, ayo aku antar sekalian kalian berdua pulang?"

Cantika terlihat sedikit ragu, lalu berkata, "Ka Leon, mohon maaf sebelumnya. Tapi sekarang aku udah ditunggu untuk ketemu seseorang lagi. Mobil dan supir sudah ada di bawah untuk aku jalan. Ini sangat penting, Ka, maaf ya."

"Oh begitu, iya sudah, nggak masalah," jawab Leon dengan santai. Lalu, ia menoleh ke Lara. "Lara, gimana? Kamu baliknya gimana?"

Lara sedikit bingung tapi akhirnya mengangguk pelan. "Aku belum tahu, sih. Tapi kayaknya aku bakal balik sendiri aja."

Leon tersenyum. "Kalau gitu bareng aku aja. Mobilku di depan, sekalian aku antar kamu."

Lara ragu sejenak, tapi akhirnya mengiyakan. "Oke, kalau nggak merepotkan."

Setelah saling berpamitan dengan Cantika, Lara akhirnya sepakat untuk pulang bersama Leon.

Setelah suasana di mobil sedikit cair dengan obrolan santai mereka, Leon tiba-tiba menoleh sekilas ke arah Lara, lalu kembali fokus ke jalan.

“Tadi aku belum sempat nanya lebih lanjut,” kata Leon dengan nada santai, tapi jelas terdengar serius. “Kamu nggak tersinggung kan, soal apa yang aku bilang tentang saudara-saudara kamu?”

Lara menoleh, memasang ekspresi pura-pura kesal. “Oh, jadi kamu masih mau bahas itu? Harusnya aku yang nanya, Leon. Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran kamu sampai bisa bilang saudara-saudara aku nggak seru?”

Leon tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada menggoda. “Bukan maksudnya nggak seru sih. Cuma... gimana ya, mereka semua punya ciri khas masing-masing yang gampang banget aku tebak. Monic misalnya, kalau ngomong pasti ujung-ujungnya soal barang-barang branded. Syifa? Kayaknya aku harus bawa papan tulis biar ada interaksi, karena dia jarang banget bicara.”

Lara tak bisa menahan senyumnya, meski berusaha terlihat serius. “Hah, jahat banget kamu ngomongin Syifa kayak gitu.”

“Tapi aku nggak salah, kan?” Leon membalas dengan nada polos, lalu melanjutkan. “Cantika beda lagi. Dia polos, ceria, dan gampang banget dibuat percaya hal-hal absurd. Tapi justru itu yang bikin dia menarik buat banyak orang.”

Lara diam sejenak, merasa ada sesuatu yang menusuk hati kecilnya saat Leon menyebut nama Cantika. Ia mencoba tersenyum santai. “Hmm, semua orang memang suka ngobrol sama Cantika, ya?”

Leon tertawa, menoleh sekilas dengan senyum tipis. “Ko gitu siapa bilang? Kalau soal ngobrol serius, aku lebih suka sama kamu. Kamu punya cara berpikir yang... gimana ya, nggak semua orang punya. Bikin obrolan lebih berbobot, tapi tetap menyenangkan.”

Ngomong-ngomong, kok kamu kayaknya akrab banget sama keluarga aku, sih? Kamu aja hapal kebiasaan mereka satu per satu."

Leon tersenyum simpul. "Hapal karena mereka unik semua, susah dilupain. Lagipula, aku kan kerja di sini, nggak bisa nggak berhubungan sama mereka. Apalagi, selain ini perusahaan keluarga kamu, hampir semua eksekutifnyakan anggota keluarga semuanya.”

“tentang apa dan siapa dong yang kamnu belum tahu mengenai keluarga dan perusahaan keluargaku” timbal lara sebari menepuk pundak Leon dan tidak terasa mereka semakin akrab.

“Pa Ariatama aku gak banyak tau, sejarah perusahaan juga aku gak banyak tahu” jawab Leon

“itu juga aku gak tau” tutup Lara

Leon mengangguk pelan, tapi Lara bisa melihat ada kilatan penasaran di matanya. "Menarik ya. Perusahaan ini sepertinya punya sejarah yang panjang, tapi nggak banyak yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu."

Lara terdiam, pikirannya langsung teringat pada dokumen-dokumen yang ia temukan di rumah Paman Geri sebulan lalu. Dokumen itu mengungkapkan bahwa perusahaan ini dulunya bernama Marten Winata Energy, sebelum berubah hanya menjadi Marten Energy.

Di dalam hatinya, Lara mulai bertanya-tanya. Apa tujuan Leon sebenarnya? Apakah dia mendekati keluarganya untuk membalas dendam, atau justru untuk mencari tahu kenyataan yang mungkin lebih menyakitkan baginya? Pertanyaan itu terus menggelayuti pikirannya, namun ia memilih untuk tidak mengungkapkannya saat ini.

Bab terkait

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 6 : Asal Kamu Senang Leon

    Setelah kembali dari lamunannya tentang awal kedekatannya dengan Leon, Lara menghela napas panjang. Dia melangkah masuk ke kantor, mengenakan sikap profesional yang menjadi ciri khasnya. Tak ada yang bisa menebak apa yang baru saja berkecamuk di pikirannya.Di ruangan Leon, pria itu tampak tenang seperti biasa, fokus pada tumpukan dokumen yang sedang ia pelajari. Mereka saling menyapa dengan formalitas yang biasa dilakukan rekan kerja, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing tanpa membahas apa pun yang terjadi tadi pagi.Namun, menjelang waktu makan siang, ponsel Lara bergetar. Sebuah pesan dari Leon muncul di layar:"Ke rooftop, kita perlu bicara."Lara menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Jantungnya sedikit berdebar, tetapi ia menenangkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia menuju rooftop gedung kantor.Saat tiba di sana, Leon sudah menunggu di tepi pagar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Angin siang yang sejuk membuat rambutnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 7 : Kabar pernikahan yang Menyebar

    Seminggu berlalu sejak Leon mengutarakan niatnya untuk menikahi Lara kepada keluarganya. Dalam percakapan itu, Leon dengan tegas menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan memengaruhi profesionalismenya di kantor. Perusahaan tetap menjadi prioritas utama, dan ia memastikan hubungan kerja antara dirinya dan Lara tetap berjalan seperti biasa.Siang itu suasana ruang rapat terasa seperti biasa, penuh dengan pembahasan serius dan diskusi tajam. Leon duduk di ujung meja dengan tatapan tajam ke arah layar laptopnya. Anggota timnya mulai memaparkan progres terbaru tentang proyek ekspansi perusahaan."Pak Leon, kami sudah merancang beberapa ide untuk proyek di area Alfa dan Beta," ujar salah seorang anggota tim divisi dengan suara percaya diri. "Kami butuh keputusan segera terkait alokasi dana. Apakah tetap sesuai dengan anggaran awal atau perlu revisi?"Leon mengangguk kecil sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Anggaran seperti itu akan bertahan, tapi saya rasa beberapa detail perlu di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 8 : Hari Minggu Aku Jemput

    Kehidupan di rumah keluarga Darma berjalan seperti biasa, baru Satu minggu telah berlalu sejak Leon menyatakan keinginannya untuk menikahi Lara, namun ada perubahan kecil yang sulit diabaikan. Leon, yang biasanya sering mampir untuk menjemput atau mengantar Cantika, kini tak pernah lagi terlihat di depan rumah.Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Seminggu setelah Darma duduk di kursi utama, tangannya menyentuh gagang kursi kayu dengan tatapan serius. Vina di sampingnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tipis. Lara dan Cantika duduk di sofa panjang yang menghadap mereka. Keduanya terdiam, seperti menunggu ayahnya yang memanggil mereka memulai pembicaraan.“Baiklah,” Darma memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Aku sudah memikirkan hal ini sejak Leon menyampaikan niatnya untuk menikahi Lara.”Cantika langsung mendengus kecil, memalingkan wajah ke jendela.“Ka Lara dan Leon ya?” gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar semua oran

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 9 : Dikenalkan Kepada Ibu Leon

    Siang itu, Lara tiba di rumah sakit Sepanjang perjalanan, ia bertanya-tanya siapa yang sedang ia tuju. Leon hanya memberikan alamat dan nomor yang sepertinya nomor lantai dan kamar, tanpa menjelaskan apapun. Setibanya di lantai yang dimaksud, Lara melangkah menuju kamar dengan nomor yang disebutkan. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengintip ke dalam.Di dalam, ia melihat Leon Di dalam ruangan, Leon duduk di sisi tempat tidur seorang pasien wanita yang terbaring lemah, tatapannya penuh kehangatan dan harapan. Leon tampak begitu tenang, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya penuh perhatian. Ada sesuatu di wajah Leon yang belum pernah Lara lihat sebelumnya campuran kasih, kepedihan, dan harapan.Ya tempat itu adalah rumah sakit, nomor dari lantai dan pintu yang dituju Lara adalah pintu kamar ruangan seorang pasien dirawat.Lara ragu sejenak, merasa seperti mengganggu momen yang begitu pribadi. Namun, ia menguatkan hati, mengetuk pelan pi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 10 : Berdua Ke Rumah Leon

    Lara berdiri dan tersenyum ramah, mengangguk singkat. "Lara," katanya, menjaga nada suaranya tetap netral.Ika membalas senyum dan mengulurkan tangan. "Mbak Lara, saya Ika."Mereka bersalaman sejenak sebelum Ika beralih lagi ke Leon. "Kalau perlu, saya bisa bantu mengambil barang-barangnya, Pak," tawar Ika.Leon menggeleng. "Tidak perlu, Ika. Dari tadi kamu sudah bolak balik pasti cape, biar saya sendiri yang akan urus. Sekalian, biar saya bisa memastikan semuanya lengkap."Leon menoleh lagi ke Lara. "Lara, kamu bisa ikut sebentar?" tanyanya.Lara menatapnya dengan sedikit bingung tetapi mengangguk. "Tentu."***Dalam perjalanan ke rumah Leon, mobil melaju tenang, hanya suara mesin dan lalu lintas yang terdengar. Leon fokus menyetir, wajahnya dingin dan tenang seperti biasanya. Lara meliriknya beberapa kali, mencoba membaca ekspresinya yang hampir tidak berubah sejak mereka meninggalkan rumah sakit."Itu tadi ibu kamu?" Lara akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan di dalam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 11 : Gelas Pecah

    Leon memarkir mobilnya perlahan di depan sebuah rumah sederhana bercat putih gading. Cat dindingnya sudah mulai memudar.Di depan rumah itu, sebuah toko bunga kecil berdiri, dengan papan nama kayu tua bertuliskan “Melati Florist”.Rak kayu di depan toko dipenuhi pot bunga—mawar, anggrek, dan melati. Namun, beberapa daun tampak mulai menguning, dan tanah di beberapa pot terlihat kering. Seolah-olah toko itu sedang menunggu sentuhan penuh kasih yang sudah lama tidak diberikan.Leon mematikan mesin mobil. Ia duduk diam beberapa saat, memandang ke arah toko tanpa banyak ekspresi, tetapi jelas ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia akhirnya menoleh ke arah Lara, yang duduk diam di kursi penumpang, ragu untuk berbicara.“Lara,” Leon memanggilnya singkat, suaranya serak namun tegas. “Turun.”Lara menatapnya sejenak sebelum membuka pintu mobil. Ia melangkah keluar, gerakannya perlahan, seperti takut mengganggu suasana yang sudah berat.Leon berjalan mendahului, langkahnya panjang tap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 12 : Leon Sangat Mencintai Ibunya

    “Leon…” suara Lara nyaris berbisik. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati.Leon tidak bergerak. Hanya napasnya yang terdengar, berat dan terputus-putus. Lara menyadari apa yang terjadi—Leon sedang berjuang menahan air matanya, berusaha menutupi perasaannya.Lara berdiri di sampingnya, meletakkan tangan lembut di punggung Leon. "Leon, kamu nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.Leon tetap diam, hanya menggigit rahangnya untuk menahan tangis. Lara merasakan tubuhnya gemetar halus.Dengan perlahan, Lara meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Sini, duduk dulu,” ajaknya, suaranya lembut tapi tegas.Leon menurut, meski gerakannya kaku. Ia membiarkan Lara menuntunnya ke kursi di dapur. Begitu duduk, Leon menyandarkan siku di lutut dan menundukkan kepala, kedua tangannya menutupi wajahnya.“Aku tahu ini berat,” kata Lara pelan, duduk di depan Leon. Ia tidak melepaskan genggamannya, mencoba memberikan rasa hangat yang mungkin Leon butuhkan saat itu. “Tapi kamu nggak sendiri,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 13 :  Alasan pernikahan palsu

    Lara pun menatap Leon, mencoba menjaga ketenangannya meski pikirannya menegang karena yang akan dia biacarakan adalah tentang pernikahan dengan pria yang diam-diam selama ini dia cintai.“Aku ingin membahas soal pernikahan,” ucapnya pelan tapi tegas.Leon menatap Lara, ekspresinya tetap serius. “Oke. Lalu?”Lara mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan.“Jadi, alasan kamu ingin segera menikah itu... karena untuk Ibu kamu? Meski pernikahan itu palsu?”Leon mengangguk, tanpa ragu. “Ya. Aku cuma mau Ibu bahagia, dia juga sering bilang dia memang sangat menginginkan aku untuk segera menikah,” jawabnya.“Katanya, supaya kalau ke sini, aku nggak sendirian lagi. Rumah juga jadi nggak selalu sepi.” jawabnya kembali sebari memandang foto ibunya di dinding.Lalu Leon menatap lurus ke arah meja di depannya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.“Ibu sangat mengkhawatirkan masa tuaku kalau aku sendirian, katanya.” Ia menghela napas singkat, lalu melanjutkan.“Aku nggak mau bikin dia khawatir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11

Bab terbaru

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 24 : Tekad yang menjadi awal

    "Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 23 :  Kepergian Orang Tua Leon

    Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 22 : Pembicaraan yang sudah seharusnya terjadi sejak lama

    “Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 21 : Flash Back Kepulangan Leon

    Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 20 : Meski berakhir dengan kehancuran

    Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 19 : Seperti Petir

    Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 18 : Kepentingan Dan Kesepakatan

    Leon menyunggingkan senyum tipis, suaranya nyaris seperti bisikan tawa yang tertahan, menciptakan aura misterius. “Aturan main?” ulangnya perlahan, sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. “Kurasa, kita masing-masing sudah punya aturan sendiri. Kita mungkin tidak mengucapkannya dengan jelas, tetapi aku yakin kita akan tetap mematuhinya. Karena ini bukan tentang satu pihak menguasai yang lain. Ini tentang dua kepentingan yang berjalan di atas satu kesepakatan.”Lara menyilangkan tangan di depan dadanya, sudut bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Kalau begitu, aku ingin tahu,” katanya, suaranya lembut namun penuh tantangan, “apa yang terjadi kalau aturan-aturan itu saling bertabrakan? Siapa yang harus mengalah duluan, Leon?”Leon tertawa pelan, kali ini terdengar seperti taktik untuk menciptakan jeda. “Aku tidak percaya ada yang namanya tabrakan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai negosiasi untuk mencari jalan tengah. Karena, jika salah satu dari kita kehilangan terlalu banyak, ini b

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 17 : Menjatuhkan diri pada Permainan

    Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bersilang di dadanya, ekspresinya datar namun tajam. “Elegan?” ulangnya dengan nada tenang. “Aku bahkan tidak pernah mengatakan bahwa aku akan menyakiti Cantika, apalagi kalau Cantika adalah bagian dari alasan semua ini.”Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Tatapannya mengunci mata Lara, seperti mencoba membaca lebih dalam dari sekadar senyumnya yang terlihat santai. “Jadi, kalau itu kesimpulan yang kamu buat, aku penasaran… itu datang dari mana?”Kata-kata itu membuat Lara membeku sejenak.Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya membesar, menyiratkan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia merasa seperti baru saja melangkah ke dalam jebakan yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Leon telah membalikkan semua spekulasi dan asumsi yang ia lontarkan.Jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang di permukaa

  • Kontrak Pernikahan Penuh Rahasia   Bab 16 : Hasutan Maut

    Leon menghela napas panjang, seolah sedang memilah kata-kata di pikirannya. Tatapannya tetap mengarah ke Lara, fokusnya hanya tentang bagaimana bisa membawa Lara menyetujui pernikahan palsu itu, entah dengan menghasut, ataupun menjebak Lara masuk dalam permainan Leon.“Kamu tahu, Lara,” ucap Leon pelan. “Kalau kamu berpikir ini tentang Cantika, kamu nggak salah. Tapi juga nggak sepenuhnya benar. Kalau aku punya alasan untuk membalas apa yang Cantika lakukan, itu bukan cuma soal dia.”Lara mengerutkan dahi sedikit, menunggu penjelasan lebih lanjut.“Orang-orang selalu bilang dendam itu nggak ada gunanya,” lanjut Leon, jemarinya kini saling bertaut di atas lututnya. “Tapi kadang, dendam itu bukan cuma soal rasa sakit. Kadang itu tentang keadilan. Tentang memastikan yang terjadi di masa lalu nggak berulang di masa depan.”Leon berhenti sejenak, mengamati ekspresi Lara yang tampak serius mendengarkan. “Dan kalau aku jujur, aku nggak cuma mikir soal Cantika. Aku juga mikir tentang kamu, La

DMCA.com Protection Status