“Kalau Leon tahu semuanya… apa dia masih mau mengenalku?” gumamnya pelan, seolah bertanya pada keheningan.
Lara menatap kosong ke dinding kamar, bibirnya gemetarBayangan wajah Leon kembali menyeruak, membuatnya semakin tersiksa. “Haruskah aku jujur? Atau aku menyimpan semua ini sampai mati?” pikirnya dalam hati, tapi bahkan imajinasi Leon yang penuh amarah membuat tubuhnya melemas.
“Kenapa harus begini?” gumamnya lirih, menggenggam erat selimut di dadanya. “Leon yang malang” Matanya memandang kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban di balik malam yang kelam.
Malam itu, Lara terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya menggigil meski kamar terasa hangat. Matanya basah, dan rasa bersalah yang menyesakkan memenuhi hatinya. Dalam mimpi, wajah Leon yang penuh kekecewaan kembali menghantuinya—tatapan tajam itu muncul ketika Leon mengetahui kebenaran tentang Cantika.
Lara teringat bagaimana Leon secara tak sengaja mengetahui bahwa Cantika, adik tirinya, tidak benar-benar mencintainya. Bagi Cantika, Leon hanyalah salah satu pilihan, bukan satu-satunya pria di hatinya. Dan itu, tragisnya, terjadi karena kecerobohan Lara sendiri.
Bagaimanapun, di lubuk hatinya, Lara diam-diam sangat mencintai Leon. Perasaannya begitu dalam, namun ia tak pernah berani mengungkapkannya. Yang diinginkannya hanyalah melihat Leon bahagia bukan sebaliknya.
Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Ingatan lain menyusup ke benaknya, lebih mengerikan dari sebelumnya. Dokumen-dokumen rahasia yang ia temukan di ruang kerja Paman Jeri muncul dalam bayangannya. Kertas-kertas itu dengan jelas menunjukkan bagaimana keluarga Ariatama, keluarganya sendiri, memiliki hubungan gelap dengan masa lalu kelam keluarga Leon termasuk kematian tragis kedua orang tuanya.
..keesokan harinya..
Matahari pagi mengalirkan cahaya lembut ke dalam kamar Lara, membangunkannya dengan perlahan. Setelah bermimpi buruk sepanjang malam, dia merasa kepalanya berat, namun dia berusaha menepis perasaan itu dan memulai harinya. Lara bangkit, mengenakan seragam kerjanya yang elegan, lalu bersiap turun ke ruang makan. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara, membawa sedikit kenyamanan di tengah kekacauan pikirannya.
Di ruang makan, ayahnya, Tuan Darma, sudah duduk di ujung meja, membaca koran seperti biasa. Ibu tirinya, Vina, duduk di sebelahnya, menyesap teh dengan anggun, sementara Cantika sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil saat membaca pesan-pesan yang muncul.
“Pagi, Lara,” kata Vina sambil melirik sekilas. Senyumnya sopan, tapi dingin.
“Selamat pagi,” jawab Lara, mengambil tempat duduknya di seberang Cantika.
Ayahnya menurunkan korannya dan menatap Lara dengan mata tajam. “Kenapa kemarin kamu tiba-tiba pergi dari pesta, Lara? Semua orang bertanya-tanya.”
Lara menarik napas, berusaha menjawab tanpa menimbulkan kecurigaan. “Maaf, Ayah. Aku merasa kurang nyaman, dan saat itu aku mendengar Paman Jeri kurang sehat, jadi aku ingin memastikan kabarnya,” katanya sambil menundukkan pandangannya ke piring.
Tuan Darma mengangguk pelan, ekspresi khawatir di wajahnya sedikit memudar. “Paman Jeri, tapi hari ini dia bisa berangkat kekantor tidak ya,” gumamnya, sebelum kembali memusatkan perhatian pada sarapannya.
Namun, Vina mengambil alih pembicaraan, tatapannya melayang ke Cantika dengan senyum menggoda. “Ngomong-ngomong tentang pesta, Cantika, semua orang tak berhenti membicarakan kamu dan Leon. Kalian berdua tiba bersama dan kelihatan sangat serasi.”
Cantika tersenyum malu-malu, meletakkan ponselnya. “Ayah, Ibu, kita hanya teman. Leon kebetulan menawarkan untuk pergi bersama karena dia juga diundang,” jawabnya dengan nada ceria namun wajahnya sedikit memerah.
Tuan Darma tersenyum, sorot matanya penuh pengharapan. “Leon itu pemuda yang cerdas dan berbakat. Aku selalu melihat masa depan yang cerah untuknya.”
Vina menimpali dengan tawa kecil, “Benar sekali. Jika hubungan kalian lebih dari sekadar teman, itu kabar baik. Dia bisa menjadi partner yang baik, Cantika.”
Lara merasakan dadanya berdebar saat mendengar percakapan itu. Suara mereka seperti gema yang menyakitkan, menggoyahkan hatinya. Namun, dia meneguhkan diri, menyesap kopi dengan tenang sambil menyembunyikan kerisauan di balik wajahnya yang datar.
Namun, pikirannya tak bisa berhenti mengembara. Ingatannya melayang ke pesta kemarin, saat Leon dengan pesonanya yang memukau menjadi pusat perhatian. Senyum ramahnya, cara ia berbicara, dan sikapnya yang hangat membuat semua orang terpesona, termasuk dirinya. Tapi bayangan itu seketika berubah menjadi wajah Leon yang penuh amarah dan kekecewaan. Perkataan Cantika, yang tak menyadari bahwa Leon mendengarnya telah melukai harga diri dan hatinya.
Lara menelan ludah, dadanya terasa berat. Semua itu masih begitu jelas di kepalanya.
Tiba-tiba pintu depan terbuka, suara langkah kaki bergema di koridor, dan suara Vina yang menyapa terdengar dari kejauhan. Lara mengangkat pandangannya, dan detak jantungnya seolah berhenti. Di ambang pintu, Leon berdiri dengan elegan, mengenakan setelan kasual yang membuatnya semakin tampan. Mata mereka bertemu sejenak, senyum Leon yang hangat dan bersahaja terpancar seperti kilat yang menyambar hati Lara.
“Selamat pagi,” sapa Leon dengan nada ramah, tatapannya yang dalam menghujam tepat ke arah Lara.
Lara terdiam, sekujur tubuhnya menegang.
Vina langsung menyambutnya dengan senyum lebar. “Leon, selamat pagi! Sini masuk, duduk nak, Bergabunglah sebentar sebelum kalian berangkat,” katanya sambil melirik Cantika, yang terlihat semakin sumringah dengan kehadiran pria itu.
Cantika mengangguk kecil, matanya berbinar. “Ayo, Ka Leon, duduk dulu. Kopi pagi ini enak sekali,” ujarnya sambil memberikan kursi kosong di sampingnya.
Namun, Leon hanya melirik sekilas, pandangannya langsung mencari Lara yang duduk di seberang Cantika
Lara tersentak saat mata Leon menatapnya lekat. Leon berjalan lurus ke arahnya tanpa ragu.
"Lara," panggil Leon, suaranya berat namun tegas. "Aku duduk di sini."
Lara menatapnya bingung. "Leon... i..iyyaa?" jawab lara, tangannya meremas cangkir kopinya.
Leon duduk di kursi di sampingnya, tidak memedulikan Cantika yang menatap mereka dengan mata membelalak. Begitu juga Pa Darma dan Vina Ibu Cantika.
“Bagaimana pesta semalam, Leon?” tanya Tuan Darma, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa tegang. “Aku dengar kamu menjadi pusat perhatian bersama Cantika.”
Leon tersenyum kecil, menatap Tuan Darma dengan sopan. “Ah, pesta itu luar biasa, Pak. Monic terlihat sangat bahagia, dan semua tamu tampak menikmati suasana.”
Vina menyahut dengan tawa lembut. “Tentu saja, apalagi dengan kehadiranmu, Leon. Kamu memang selalu membawa aura positif.”
Suasana di ruang makan keluarga Ariatama terasa hangat, diiringi suara ceria Cantika dan Tante Vina yang memuji Leon atas kehadirannya di pesta pernikahan Monic kemarin. Namun, Lara hanya duduk diam, matanya sesekali melirik Leon yang terlihat tenang meski aura di sekitarnya terasa berbeda.
Leon akhirnya meletakkan sendoknya, menegakkan punggung, dan menatap semua orang di ruangan itu.
"Pak Darma, Tante Vina, izin bicara sebentar," Leon membuka percakapan dengan nada tegas namun sopan.
Tante Vina tersenyum hangat. "Tentu, Leon. Ada apa? Jangan terlalu formal begitu. Kamu sudah seperti keluarga sendiri."
Leon mengangguk kecil. "Terima kasih, Tante. Sebelum saya melanjutkan, izinkan saya untuk mengucapkan rasa terima kasih saya. Selama ini, saya sudah diterima dengan sangat baik di rumah ini. Saya benar-benar menghargai kesempatan untuk berteman dengan Lara dan Cantika."
Lara tertegun, merasakan kegelisahan mulai merayapi hatinya. Leon terlihat terlalu serius pagi ini. Apa yang ingin dia katakan?
Leon menghela napas, pandangannya menyapu seluruh ruangan. "Namun, hari ini saya ingin membahas sesuatu yang sangat penting bagi saya."
Pak Darma yang sejak tadi memperhatikan dengan tenang akhirnya berbicara. "Silakan, Leon. Saya sudah mengenal kamu cukup lama, bahkan sebelum kamu akrab dengan anak-anak saya. Jika ini penting, katakan saja."
Leon menatap Pak Darma dengan penuh penghormatan. "Terima kasih, Pak. Begini, selama beberapa minggu terakhir, saya telah menjalin kedekatan pribadi dengan salah satu putri Bapak."
Cantika mengangkat alis, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Lara, di sisi lain, membeku di tempatnya, perasaan tak menentu memenuhi dadanya.
"Awalnya, hubungan ini murni profesional. Kami bekerja dalam satu tim di kantor. Tapi seiring waktu, saya mulai mengenal dia lebih dalam, dan saya merasa... saya serius dengan perasaan saya," lanjut Leon, nadanya tegas.
Pak Darma mengangguk, memberikan isyarat agar Leon melanjutkan.
Leon menarik napas panjang, menatap Lara langsung dengan mata penuh keteguhan. "Saya berniat untuk menikahi Lara."
Seisi ruangan mendadak sunyi. Cantika menoleh cepat ke arah Lara, ekspresi bingung tercetak jelas di wajahnya.
"Lara?" gumam Cantika, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Lara merasa tubuhnya kaku. Matanya melebar, menatap Leon tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Semua ini terasa seperti mimpi yang aneh.
Pak Darma akhirnya memecah keheningan. "Leon, ini pengakuan yang besar. Kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Sangat yakin, Pak," jawab Leon mantap dan berdiri. "Namun, dengan segala hormat, saya tidak ingin melangkahi batasan. Keputusan ini tidak hanya ada di tangan saya. Saya menyerahkan semuanya kepada Lara, juga kepada Pak Darma dan Tante Vina sebagai orang tuanya."
Namun, Lara tetap diam, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Di dalam hatinya, perasaan bercampur aduk, pria yang selama ini dia kagumi, dia cintai dan ikuti diam-diam, Pria yang dia ketahui rahasia kemalangan masalalu nya karena keluarganya sendiri, Pria yang selama ini dia lihat perjuangannya untuk mengejar adik tirinya, tiba-tiba berkata ingin menikahinya, perasaannya bercampur antara cinta, kebingungan, dan rasa bersalah.
Leon yang semula berdiri dengan penuh keyakinan di ruang makan itu perlahan mencairkan suasana yang sempat menegang. Ia melirik ke arah Lara yang masih terdiam, lalu tersenyum tipis, mencoba memberikan rasa tenang dan mulai duduk kembali."Tapi tenang saja, semuanya," ujar Leon, suaranya terdengar lembut namun tetap berwibawa. "Saya tidak akan memaksa Lara untuk menjawab sekarang. Mungkin dia juga kaget dengan pengakuan saya barusan. Saya hanya ingin kalian tahu keseriusan niat saya."Pak Darma mengangguk pelan, sementara Tante Vina tersenyum kecil meski terlihat sedikit terkejut. Cantika hanya duduk diam dengan ekspresi yang sulit diartikan.Leon melanjutkan, "Saya juga ingin meyakinkan, ini tidak akan memengaruhi profesionalisme saya di kantor. Bapak dan Tante tidak perlu khawatir."Ia berdiri dari kursinya, menghela napas panjang sebelum melirik jam di pergelangan tangannya. "Mohon izin saya harus melanjutkan perjalanan ke kantor. Terima kasih sudah mengizinkan saya mampir pagi ini
Lara mengingat dengan jelas awal mula kedekatannya dengan Leon, pria yang kini menjadi Direktur Keuangan di Marten Energy. Sebagai manajer perencanaan keuangan, interaksi profesional mereka seharusnya biasa saja. Namun, semuanya mulai berubah ketika Leon menunjukkan ketertarikannya pada Cantika, adik tirinya.Pada saat itu suasana kantor pagi itu terasa tenang, dengan hanya suara keyboard dan percakapan pelan antar karyawan yang mengisi ruangan. Lara sedang serius menatap layar komputer ketika ia merasakan sentuhan ringan di pundaknya."Permisi," terdengar suara yang dalam dan formal. Lara menoleh dan mendapati Leon berdiri di belakangnya. Sontak, ia menahan napas sesaat, jantungnya berdebar lebih cepat. Dengan sedikit gugup, ia bergeser ke samping untuk memberi jalan.“Silakan, Pa Leon,” ucapnya dengan sopan.Leon membalas dengan anggukan kecil, senyum sekilas di wajahnya sebelum ia melangkah melewatinya menuju ruang kerjanya yang berdinding kaca. Setelah kepergian Leon, Lara menghel
Lift terasa sunyi. Hanya terdengar dengungan halus dari mesin dan detak jantung Lara yang semakin keras di dadanya. Ia berdiri sedikit kaku, berusaha menjaga jarak dari Leon tanpa terlihat canggung, meski ada rasa tegang yang tak bisa ia kendalikan. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu yang berdiri tenang di sebelahnya, dengan tatapan mata fokus pada angka-angka di atas pintu lift yang menunjukkan lantai demi lantai yang terlewati.“Lara, kamu mau turun di lobi atau lantai tiga?” suara Leon memecah keheningan, nadanya ringan, tetapi cukup untuk membuat Lara sedikit tersentak.“Oh, tidak, Pak. Saya ke lantai tiga dulu, ada yang harus saya sampaikan ke Cantika,” jawab Lara, suaranya terdengar ragu-ragu, sedikit gugup.Leon tertawa kecil, membuat jantung Lara berdebar lebih kencang. “ini sudah di luar jam kerja, jangan panggil saya ‘Pak’.”Lara semakin salah tingkah. Senyum kecil Leon yang tulus namun menawan itu membuatnya merasa semakin grogi. Sebelum ia sempat membalas perkat
“Lara?” Leon memanggilnya dengan nada lembut, menariknya kembali ke kenyataan.Lara terkejut, segera menatap Leon dengan senyum yang agak dipaksakan. “Ya, Leon?”Leon tersenyum tipis, namun matanya menatapnya dengan cara yang tidak bisa Lara artikan sepenuhnya. "Kamu masih banyak berpikir, ya?"Lara hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya mulai tak tentu arah. “Aku... hanya memikirkan beberapa hal,” jawabnya, berusaha menjaga penampilannya tetap tenang meski di dalam hatinya seribu pertanyaan bergemuruh.Lara memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya. “Oh ya, Leon, aku dengar kamu sebelumnya juga dekat sama Syifa, sepupuku. Malah, aku sempat dengar kamu mantannya Monic. Kamu datang ke pernikahan Monic kemarin bareng Cantika, kan? Kayaknya sengaja banget nunjukin ke Monic, ya? Buset deh, semua sepupu-sepupuku sekarang malah kamu dekati, bahkan adik tiriku! Bisa gitu, ya?” Lara berkata perlahan, sambil sedikit mengejek, berusaha menggali lebih jauh dan mencari tahu motif Leon.Leon ter
Setelah kembali dari lamunannya tentang awal kedekatannya dengan Leon, Lara menghela napas panjang. Dia melangkah masuk ke kantor, mengenakan sikap profesional yang menjadi ciri khasnya. Tak ada yang bisa menebak apa yang baru saja berkecamuk di pikirannya.Di ruangan Leon, pria itu tampak tenang seperti biasa, fokus pada tumpukan dokumen yang sedang ia pelajari. Mereka saling menyapa dengan formalitas yang biasa dilakukan rekan kerja, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing tanpa membahas apa pun yang terjadi tadi pagi.Namun, menjelang waktu makan siang, ponsel Lara bergetar. Sebuah pesan dari Leon muncul di layar:"Ke rooftop, kita perlu bicara."Lara menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Jantungnya sedikit berdebar, tetapi ia menenangkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia menuju rooftop gedung kantor.Saat tiba di sana, Leon sudah menunggu di tepi pagar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Angin siang yang sejuk membuat rambutnya
Seminggu berlalu sejak Leon mengutarakan niatnya untuk menikahi Lara kepada keluarganya. Dalam percakapan itu, Leon dengan tegas menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan memengaruhi profesionalismenya di kantor. Perusahaan tetap menjadi prioritas utama, dan ia memastikan hubungan kerja antara dirinya dan Lara tetap berjalan seperti biasa.Siang itu suasana ruang rapat terasa seperti biasa, penuh dengan pembahasan serius dan diskusi tajam. Leon duduk di ujung meja dengan tatapan tajam ke arah layar laptopnya. Anggota timnya mulai memaparkan progres terbaru tentang proyek ekspansi perusahaan."Pak Leon, kami sudah merancang beberapa ide untuk proyek di area Alfa dan Beta," ujar salah seorang anggota tim divisi dengan suara percaya diri. "Kami butuh keputusan segera terkait alokasi dana. Apakah tetap sesuai dengan anggaran awal atau perlu revisi?"Leon mengangguk kecil sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Anggaran seperti itu akan bertahan, tapi saya rasa beberapa detail perlu di
Kehidupan di rumah keluarga Darma berjalan seperti biasa, baru Satu minggu telah berlalu sejak Leon menyatakan keinginannya untuk menikahi Lara, namun ada perubahan kecil yang sulit diabaikan. Leon, yang biasanya sering mampir untuk menjemput atau mengantar Cantika, kini tak pernah lagi terlihat di depan rumah.Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Seminggu setelah Darma duduk di kursi utama, tangannya menyentuh gagang kursi kayu dengan tatapan serius. Vina di sampingnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya yang tipis. Lara dan Cantika duduk di sofa panjang yang menghadap mereka. Keduanya terdiam, seperti menunggu ayahnya yang memanggil mereka memulai pembicaraan.“Baiklah,” Darma memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Aku sudah memikirkan hal ini sejak Leon menyampaikan niatnya untuk menikahi Lara.”Cantika langsung mendengus kecil, memalingkan wajah ke jendela.“Ka Lara dan Leon ya?” gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk didengar semua oran
Siang itu, Lara tiba di rumah sakit Sepanjang perjalanan, ia bertanya-tanya siapa yang sedang ia tuju. Leon hanya memberikan alamat dan nomor yang sepertinya nomor lantai dan kamar, tanpa menjelaskan apapun. Setibanya di lantai yang dimaksud, Lara melangkah menuju kamar dengan nomor yang disebutkan. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengintip ke dalam.Di dalam, ia melihat Leon Di dalam ruangan, Leon duduk di sisi tempat tidur seorang pasien wanita yang terbaring lemah, tatapannya penuh kehangatan dan harapan. Leon tampak begitu tenang, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya penuh perhatian. Ada sesuatu di wajah Leon yang belum pernah Lara lihat sebelumnya campuran kasih, kepedihan, dan harapan.Ya tempat itu adalah rumah sakit, nomor dari lantai dan pintu yang dituju Lara adalah pintu kamar ruangan seorang pasien dirawat.Lara ragu sejenak, merasa seperti mengganggu momen yang begitu pribadi. Namun, ia menguatkan hati, mengetuk pelan pi
"Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la
Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng
“Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu
Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan
Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a
Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah
Leon menyunggingkan senyum tipis, suaranya nyaris seperti bisikan tawa yang tertahan, menciptakan aura misterius. “Aturan main?” ulangnya perlahan, sorot matanya tajam, penuh kewaspadaan. “Kurasa, kita masing-masing sudah punya aturan sendiri. Kita mungkin tidak mengucapkannya dengan jelas, tetapi aku yakin kita akan tetap mematuhinya. Karena ini bukan tentang satu pihak menguasai yang lain. Ini tentang dua kepentingan yang berjalan di atas satu kesepakatan.”Lara menyilangkan tangan di depan dadanya, sudut bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Kalau begitu, aku ingin tahu,” katanya, suaranya lembut namun penuh tantangan, “apa yang terjadi kalau aturan-aturan itu saling bertabrakan? Siapa yang harus mengalah duluan, Leon?”Leon tertawa pelan, kali ini terdengar seperti taktik untuk menciptakan jeda. “Aku tidak percaya ada yang namanya tabrakan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai negosiasi untuk mencari jalan tengah. Karena, jika salah satu dari kita kehilangan terlalu banyak, ini b
Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bersilang di dadanya, ekspresinya datar namun tajam. “Elegan?” ulangnya dengan nada tenang. “Aku bahkan tidak pernah mengatakan bahwa aku akan menyakiti Cantika, apalagi kalau Cantika adalah bagian dari alasan semua ini.”Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Tatapannya mengunci mata Lara, seperti mencoba membaca lebih dalam dari sekadar senyumnya yang terlihat santai. “Jadi, kalau itu kesimpulan yang kamu buat, aku penasaran… itu datang dari mana?”Kata-kata itu membuat Lara membeku sejenak.Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya membesar, menyiratkan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia merasa seperti baru saja melangkah ke dalam jebakan yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Leon telah membalikkan semua spekulasi dan asumsi yang ia lontarkan.Jantungnya berdegup lebih cepat, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang di permukaa
Leon menghela napas panjang, seolah sedang memilah kata-kata di pikirannya. Tatapannya tetap mengarah ke Lara, fokusnya hanya tentang bagaimana bisa membawa Lara menyetujui pernikahan palsu itu, entah dengan menghasut, ataupun menjebak Lara masuk dalam permainan Leon.“Kamu tahu, Lara,” ucap Leon pelan. “Kalau kamu berpikir ini tentang Cantika, kamu nggak salah. Tapi juga nggak sepenuhnya benar. Kalau aku punya alasan untuk membalas apa yang Cantika lakukan, itu bukan cuma soal dia.”Lara mengerutkan dahi sedikit, menunggu penjelasan lebih lanjut.“Orang-orang selalu bilang dendam itu nggak ada gunanya,” lanjut Leon, jemarinya kini saling bertaut di atas lututnya. “Tapi kadang, dendam itu bukan cuma soal rasa sakit. Kadang itu tentang keadilan. Tentang memastikan yang terjadi di masa lalu nggak berulang di masa depan.”Leon berhenti sejenak, mengamati ekspresi Lara yang tampak serius mendengarkan. “Dan kalau aku jujur, aku nggak cuma mikir soal Cantika. Aku juga mikir tentang kamu, La