Lia tak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya Budi, di sebuah kompleks perumahan. Sejak hari pertama, mereka selalu berselisih paham tentang hal-hal sepele: musik yang terlalu keras, sampah yang tertukar, hingga kenangan-kenangan mereka dulu saat masih bersama, mulai mereka kenang kembali. Pertengkaran kecil ini menjadi rutinitas harian mereka. Namun, di balik semua itu, perasaan cinta mulai tumbuh perlahan di hati mereka.
Lihat lebih banyakMatahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat
Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen
Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak
Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia
Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng
Pagi itu, Lia sedang menyiapkan sarapan dengan pikiran yang berputar tentang pertemuannya dengan Budi kemarin.Masih terbayang bagaimana ia merasakan kehangatan lama yang entah kenapa muncul kembali. Namun, Lia segera menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa semua sudah berlalu.Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia menuju jendela ruang tamu dan melihat Budi sedang berjalan di sekitar rumahnya.Namun, kali ini, ada seorang wanita yang tampak berjalan di sampingnya. Wanita itu tampak cantik dan anggun, rambutnya terurai dan langkahnya penuh percaya diri. Mereka tampak akrab, sesekali tertawa, membuat Budi terlihat lebih ceria dari biasanya.Melihat pemandangan itu, hati Lia terasa sedikit aneh, seolah ada sesuatu yang menghimpit.“Sudahlah, mungkin memang sebaiknya begitu,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang perlu ia pikirkan tentang Budi.Namun, perasaan tak nyaman itu tetap ada. Sembari mengamati dari balik jendela, Lia merasa lega sekaligus
Langit mendung telah menggantung sejak pagi, tapi Lia tak menyangka hujan bakal turun sederas ini. Di halte bus tempat ia menunggu, ia berdiri dengan tubuh merapat ke dinding, menghindari cipratan air yang tak berhenti turun dari tepi atap halte. Ia menghela napas, melirik jam di pergelangan tangan. Anak mereka masih menunggu di sekolah, dan hujan ini membuatnya harus berpikir ulang bagaimana akan menjemputnya.Baru saja ia mengangkat ponsel, berharap bisa menghubungi ojek online, suara langkah berat di belakangnya membuat Lia menoleh. Dan di sanalah dia—Budi, mantan suaminya, berdiri di pinggiran halte dengan jaket kulitnya yang sedikit basah. Ia tampak sedikit terkejut saat menyadari Lia ada di sana, tapi ia segera melempar senyum tipis.Rasanya baru kemarin mereka terjebak di hujan. Menciptakan rasa yang aneh.“Hujan deras, ya?” kata Budi, membuka pembicaraan.Lia hanya mengangguk, merasa canggung. Mereka hanya berdiri beberapa langkah terpisah, tapi rasanya ada jarak yang tak terl
Malam itu, langit cerah di atas kompleks perumahan, di mana suara musik mengalun lembut dan lampu-lampu gantung menghiasi lapangan kecil. Lia berdiri di depan cermin, ragu apakah ia harus datang ke pesta penyambutan tetangga baru. Anaknya, yang sudah siap dengan senyum lebar, menarik-narik tangannya, penuh antusiasme.“Mama, ayolah! Teman-temanku pasti ada di sana. Mama juga harus ikut, dong,” bujuk anaknya dengan wajah penuh harap.Lia menarik napas panjang, mengalah pada tatapan anaknya. “Baiklah, tapi nggak lama-lama, ya?”Begitu mereka tiba di lapangan, suara ramai langsung menyambut. Orang-orang bertegur sapa, dan anak-anak berlarian riang. Lia tersenyum tipis kepada beberapa tetangga yang dikenalnya sambil mencari tempat duduk. Di tengah pencariannya, matanya terhenti pada satu-satunya kursi kosong yang ada — di sebelah Budi, mantan suaminya.Budi menoleh dan melihatnya. Untuk sesaat, mata mereka bertemu, dan Lia merasakan debaran halus di dadanya. Satu sisi dirinya ingin menghi
Pagi itu, Lia mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Milo, kucing kesayangannya yang selalu kembali ke rumah setiap pagi, belum juga pulang setelah bermain di taman kecil kompleks.“Milo? Milo!” panggil Lia sambil menelusuri seluruh sudut rumah. Tak ada jejak Milo.Panik, Lia segera keluar rumah dan mulai berkeliling kompleks perumahan, memanggil-manggil Milo. Ia sudah memeriksa taman, jalan setapak, bahkan lorong-lorong sempit di dekat rumahnya. Tapi tetap saja, tidak ada Milo di mana pun.“Ya ampun, Milo. Kamu ke mana, sih?” gumam Lia sambil berusaha menahan rasa cemas yang semakin menjadi.Setelah beberapa saat berkeliling, Lia berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan napas. Namun, di tengah-tengah kekhawatirannya, sebuah pikiran aneh melintas di benaknya. Ia ingat bahwa belakangan ini ia sering bertengkar dengan mantan suaminya Budi, tetangganya yang menyebalkan itu. Apakah mungkin… Budi yang mengambil Milo sebagai balas dendam?Lia segera menggelengkan kepalanya, merasa pikira
Malam itu, Lia merasa lega ketika semua barang-barang pindahannya akhirnya tertata di tempatnya. Rumah barunya, sebuah bangunan mungil di kompleks yang asri, tampak begitu tenang dan damai—setidaknya itulah kesan pertama yang ia dapatkan. Ia menghela napas panjang, meluruskan punggungnya yang mulai terasa pegal setelah seharian mengangkut dan menata barang-barang. Suara derit kecil dari sendi-sendi punggungnya menjadi saksi betapa lelah tubuhnya hari ini.Sambil berjalan ke dapur kecilnya, Lia memperhatikan setiap sudut ruangan dengan tatapan puas. Di ruang tamu, sofa berbahan kain lembut sudah diposisikan sempurna menghadap televisi. Tanaman hias favoritnya menghiasi sudut-sudut ruangan, menambahkan kesan segar di tengah warna dinding yang netral. Ia menyeduh secangkir teh hijau, lalu membawa cangkirnya ke sofa, duduk sambil melepaskan sepatunya. Menyesap teh hangat, ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang merambat ke telapak tangannya dan rasa tenteram yang ia rindukan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen