Home / Romansa / Pesona Mantan Suami / Pertemuan pertama dengan mantan suami

Share

Pesona Mantan Suami
Pesona Mantan Suami
Author: Fatmayyah

Pertemuan pertama dengan mantan suami

Author: Fatmayyah
last update Last Updated: 2024-11-16 14:46:17

Malam itu, Lia merasa lega ketika semua barang-barang pindahannya akhirnya tertata di tempatnya. Rumah barunya, sebuah bangunan mungil di kompleks yang asri, tampak begitu tenang dan damai—setidaknya itulah kesan pertama yang ia dapatkan. Ia menghela napas panjang, meluruskan punggungnya yang mulai terasa pegal setelah seharian mengangkut dan menata barang-barang. Suara derit kecil dari sendi-sendi punggungnya menjadi saksi betapa lelah tubuhnya hari ini.

Sambil berjalan ke dapur kecilnya, Lia memperhatikan setiap sudut ruangan dengan tatapan puas. Di ruang tamu, sofa berbahan kain lembut sudah diposisikan sempurna menghadap televisi. Tanaman hias favoritnya menghiasi sudut-sudut ruangan, menambahkan kesan segar di tengah warna dinding yang netral. Ia menyeduh secangkir teh hijau, lalu membawa cangkirnya ke sofa, duduk sambil melepaskan sepatunya. Menyesap teh hangat, ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang merambat ke telapak tangannya dan rasa tenteram yang ia rindukan selama ini.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa saat. Di tengah keheningan malam, suara musik berdentum keras di telinganya. Suara yang begitu tiba-tiba itu membuat Lia tersentak, nyaris menumpahkan tehnya. Matanya langsung terbuka lebar, menatap sekeliling rumah yang gelap. Ia mengerutkan dahi, mencoba mencari tahu sumber kebisingan itu. Setelah beberapa detik, ia menyadari bahwa suara itu berasal dari luar, dari arah rumah-rumah di sebelahnya.

Lia menghela napas frustrasi. “Kok bisa ada musik segaduh ini?” gumamnya dengan nada kesal. Ia baru saja pindah dan berharap suasana tenang, tapi bukannya ketenangan yang ia dapatkan, justru kebisingan yang memekakkan telinga. Volume musik itu semakin meningkat, seakan-akan seseorang sengaja memutarnya dengan keras di malam yang sudah larut ini. Lia merasa kepalanya mulai berdenyut.

Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari sofa, meletakkan cangkir teh di meja, dan mengambil syal tipisnya yang tergantung di dekat pintu. Malam itu agak berangin, namun ia tidak peduli. Rasa penasaran dan kesal membuatnya ingin segera menegur siapa pun yang bertanggung jawab atas kebisingan ini. Dengan langkah tegas, Lia melangkah keluar dan mendekati rumah sebelah, sumber suara yang diyakininya berasal dari sana.

Dengan ketukan yang cukup keras, ia mengetuk pintu rumah tersebut, berharap pemilik rumah akan segera merespons. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan seorang pria muda dengan kaus sedikit lusuh dan rambut acak-acakan. Wajahnya tampak bingung, mungkin karena terganggu di malam-malam seperti ini, tapi ekspresinya tetap terlihat santai.

“Lia?” Pria itu menatap Lia dengan alis terangkat, matanya yang terlihat agak mengantuk menambah kesan tak acuh. Lia mengerutkan kening, menahan kekesalannya. Lia tak menyangka akan bertemu dengan mantan suaminya disini. Orang yang paling ia hindari justru kini malah bertemu dengannya.

“Mas, bisa tolong kecilkan suaranya? Musiknya kedengeran sampai ke rumah saya,” ujarnya dengan nada sedikit tajam. Kini Lia menganggap mantan suaminya itu adalah orang asing yang tak pernah sekalipun singgah di hidupnya.

Pria itu mengerutkan alis, tampak semakin bingung. “Musik?” tanyanya sambil melirik sekeliling rumahnya. “Saya nggak nyetel musik apa-apa.”

Lia melipat tangan di depan dada, matanya menatapnya tak percaya. “Mas serius? Suara musiknya jelas dari sini.”

Pria itu menatapnya beberapa saat, lalu berbalik melirik ke dalam rumahnya yang sunyi. Ruangan di belakangnya gelap, hanya lampu redup di lorong yang menyala. “Saya nggak bohong, di sini nggak ada musik.”

Lia mendengus, makin kesal. “Masih mau ngeles, ya?”

Pria itu tersenyum kecil, seolah-olah menahan tawa. Senyum itu membuat Lia merasa semakin tidak nyaman, seakan dirinya sedang dipermainkan. “Kalau nggak percaya, yuk, kita coba cari sumber suaranya sama-sama.”

Lia menatap pria itu, ragu sejenak. Namun, suara musik yang semakin jelas terdengar membuatnya terpaksa mempertimbangkan tawaran tersebut. Ia pun mengangguk dengan berat hati, dan pria itu mengajaknya melangkah ke tepi jalan depan rumah.

Saat mereka sampai di luar, akhirnya jelas bahwa musik keras itu ternyata berasal dari rumah di seberang jalan. Dari halaman rumah tersebut, tampak sekelompok remaja sedang merayakan sesuatu, tertawa, dan berteriak sambil berdansa mengikuti dentuman musik yang memenuhi udara malam. Rupanya, bukan dari rumah mantan suaminya,seperti yang ia kira sebelumnya.

Lia terdiam, wajahnya memerah karena malu. Ia tak menyangka telah menuduh sang mantan tanpa bukti. “Oh... ternyata dari sana.” Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup keras untuk didengar pria di sebelahnya.

Pria itu terkekeh pelan, tak bisa menahan tawa. “Nah, kan? Udah nuduh duluan, sih.”

Lia mengalihkan pandangannya, merasa sangat canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Beberapa saat kemudian, ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan, “Maaf, Mas.”

Pria itu masih tersenyum geli, lalu mengangguk. “Nggak apa-apa. Biasa kali ya, kalau pertama kali pindah masih sensitif sama suara-suara.”

Ucapan itu membuat Lia sedikit kesal lagi, tapi ia memilih untuk menahan diri. “Saya cuma mau ketenangan, Mas, nggak lebih.”

“Tenang aja, Bu Perfeksionis,” jawab pria itu dengan nada setengah bercanda, membuat wajah Lia semakin merengut. “Jangan langsung marah-marah dulu, siapa tahu salah. Kamu emang nggak berubah ya.”

Lia menghela napas, mencoba menahan diri dari melontarkan kata-kata tajam. " Itulah kenapa aku memilih cerai denganmu waktu itu. Kamu terlalu berlebihan menganggapku perfeksionis. Lagi pula aku punya nama!” ujarnya dengan nada sedikit kesal.

Pria itu tersenyum lebar. “Kamu tidak perlu membahas soal kita di masa lalu. Lagi pula kita menikah karena terpaksa kan?"

Hening.

Pria itu mengulurkan tangan, "Selamat datang di kompleks ini Lia.”

Dengan enggan, Lia menerima uluran tangannya. Saat mereka berjabat tangan, ia merasa ada sesuatu yang aneh dari cara Budi tersenyum. Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya, tapi Lia tidak bisa memastikan apa itu. Di balik senyuman Budi yang santai, Lia merasakan kehangatan yang tak biasa.

“Ya sudah, makasih atas sambutannya, Mas Budi. Saya balik dulu,” kata Lia dengan nada formal, mencoba menutupi rasa malunya yang masih tersisa. Ia segera membalikkan badan dan berjalan kembali ke rumahnya, tanpa menoleh lagi. Sesaat setelah pintu rumah tertutup, Budi hanya menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Perfeksionis banget," gumamnya pelan, namun cukup keras untuk didengar oleh dirinya sendiri.

---

Keesokan paginya, Lia bangun dengan perasaan campur aduk. Meski sudah berusaha melupakan kejadian tadi malam, rasa kesal dan sedikit malu masih membekas di hatinya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu disini? Ia mengambil nafas panjang, mencoba membuang semua emosi negatifnya dan meyakinkan dirinya bahwa ia hanya perlu beradaptasi. Toh, ia baru saja pindah ke lingkungan baru.

Namun, ketika ia membuka pintu untuk membuang sampah pagi itu, masalah baru muncul di depannya. Lia memperhatikan dengan kening berkerut. Di tempat sampah yang seharusnya berisi kantong sampah miliknya, justru terlihat kantong sampah berwarna biru yang tidak ia kenal. Dan di tempat sampah sebelahnya, yang berada tepat di depan rumah Budi, ia melihat kantong sampah miliknya.

“Astaga… masa iya harus marah-marah lagi?” gumamnya sambil menghela napas panjang. Meski begitu, rasa kesal yang sudah menumpuk membuatnya tak bisa tinggal diam. Dengan langkah cepat, ia kembali mendatangi rumah Budi dan mengetuk pintu.

Pintu terbuka, dan Budi muncul di ambang pintu, kali ini dengan wajah sedikit mengantuk. Mungkin dia belum sepenuhnya bangun. Pria itu memandang Lia dengan alis terangkat, lalu menyunggingkan senyum. “Ada apa lagi, Bu Perfeksionis?”

“Mas, sampah kita tertukar,” kata Lia sambil menunjuk ke arah tempat sampah mereka.

Budi menguap, tampak tidak terlalu peduli dengan masalah yang Lia utarakan. “Ya udah, ambil aja yang punya kamu.”

Lia merasakan darahnya berdesir. “Mas, itu bukan soal sampah. Ini soal ketertiban.”

Budi menatapnya dengan ekspresi setengah bingung dan geli. “Ketertiban? Ini cuma sampah, Bu Perfeksionis. Ngapain dipermasalahin?”

Related chapters

  • Pesona Mantan Suami   bab 2: paket Misterius

    Pagi itu, Lia sudah sibuk mengatur meja kerjanya yang sederhana di ruang tamu. Ia mempersiapkan diri untuk bekerja dari rumah, berharap bisa menikmati suasana tenang yang sudah lama diidamkannya. Namun, sebelum sempat duduk dengan nyaman, terdengar ketukan pintu."Ah, pagi-pagi sudah ada yang datang," gumamnya sambil melangkah menuju pintu.Saat pintu terbuka, ia mendapati seorang kurir berdiri dengan senyuman ramah sambil mengulurkan sebuah paket. "Selamat pagi, Mbak Lia, ini ada paket untuk Anda."Lia mengerutkan kening. Ia tidak ingat memesan apa-apa. Tapi karena namanya tertulis jelas di kotak itu, ia menerimanya dan mengucapkan terima kasih.Setelah menutup pintu, ia meletakkan paket itu di meja makan, menatapnya dengan sedikit penasaran. "Apa ini?" gumamnya sambil merobek bungkusnya.Begitu paket terbuka, Lia terpana. Di dalamnya, ada sebuah alat musik yang aneh—sebuah ukulele kecil dengan hiasan warna-warni yang mencolok. Lia menatap ukulele itu dengan bingung."Siapa yang meng

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesona Mantan Suami   Bab 3 : Kucing Hilang

    Pagi itu, Lia mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Milo, kucing kesayangannya yang selalu kembali ke rumah setiap pagi, belum juga pulang setelah bermain di taman kecil kompleks.“Milo? Milo!” panggil Lia sambil menelusuri seluruh sudut rumah. Tak ada jejak Milo.Panik, Lia segera keluar rumah dan mulai berkeliling kompleks perumahan, memanggil-manggil Milo. Ia sudah memeriksa taman, jalan setapak, bahkan lorong-lorong sempit di dekat rumahnya. Tapi tetap saja, tidak ada Milo di mana pun.“Ya ampun, Milo. Kamu ke mana, sih?” gumam Lia sambil berusaha menahan rasa cemas yang semakin menjadi.Setelah beberapa saat berkeliling, Lia berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan napas. Namun, di tengah-tengah kekhawatirannya, sebuah pikiran aneh melintas di benaknya. Ia ingat bahwa belakangan ini ia sering bertengkar dengan mantan suaminya Budi, tetangganya yang menyebalkan itu. Apakah mungkin… Budi yang mengambil Milo sebagai balas dendam?Lia segera menggelengkan kepalanya, merasa pikira

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesona Mantan Suami   bab 4 : Acara tetangga

    Malam itu, langit cerah di atas kompleks perumahan, di mana suara musik mengalun lembut dan lampu-lampu gantung menghiasi lapangan kecil. Lia berdiri di depan cermin, ragu apakah ia harus datang ke pesta penyambutan tetangga baru. Anaknya, yang sudah siap dengan senyum lebar, menarik-narik tangannya, penuh antusiasme.“Mama, ayolah! Teman-temanku pasti ada di sana. Mama juga harus ikut, dong,” bujuk anaknya dengan wajah penuh harap.Lia menarik napas panjang, mengalah pada tatapan anaknya. “Baiklah, tapi nggak lama-lama, ya?”Begitu mereka tiba di lapangan, suara ramai langsung menyambut. Orang-orang bertegur sapa, dan anak-anak berlarian riang. Lia tersenyum tipis kepada beberapa tetangga yang dikenalnya sambil mencari tempat duduk. Di tengah pencariannya, matanya terhenti pada satu-satunya kursi kosong yang ada — di sebelah Budi, mantan suaminya.Budi menoleh dan melihatnya. Untuk sesaat, mata mereka bertemu, dan Lia merasakan debaran halus di dadanya. Satu sisi dirinya ingin menghi

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesona Mantan Suami   bab 5 : kenangan di balik hujan

    Langit mendung telah menggantung sejak pagi, tapi Lia tak menyangka hujan bakal turun sederas ini. Di halte bus tempat ia menunggu, ia berdiri dengan tubuh merapat ke dinding, menghindari cipratan air yang tak berhenti turun dari tepi atap halte. Ia menghela napas, melirik jam di pergelangan tangan. Anak mereka masih menunggu di sekolah, dan hujan ini membuatnya harus berpikir ulang bagaimana akan menjemputnya.Baru saja ia mengangkat ponsel, berharap bisa menghubungi ojek online, suara langkah berat di belakangnya membuat Lia menoleh. Dan di sanalah dia—Budi, mantan suaminya, berdiri di pinggiran halte dengan jaket kulitnya yang sedikit basah. Ia tampak sedikit terkejut saat menyadari Lia ada di sana, tapi ia segera melempar senyum tipis.Rasanya baru kemarin mereka terjebak di hujan. Menciptakan rasa yang aneh.“Hujan deras, ya?” kata Budi, membuka pembicaraan.Lia hanya mengangguk, merasa canggung. Mereka hanya berdiri beberapa langkah terpisah, tapi rasanya ada jarak yang tak terl

    Last Updated : 2024-11-16
  • Pesona Mantan Suami   bab 6 Salah paham

    Pagi itu, Lia sedang menyiapkan sarapan dengan pikiran yang berputar tentang pertemuannya dengan Budi kemarin.Masih terbayang bagaimana ia merasakan kehangatan lama yang entah kenapa muncul kembali. Namun, Lia segera menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa semua sudah berlalu.Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia menuju jendela ruang tamu dan melihat Budi sedang berjalan di sekitar rumahnya.Namun, kali ini, ada seorang wanita yang tampak berjalan di sampingnya. Wanita itu tampak cantik dan anggun, rambutnya terurai dan langkahnya penuh percaya diri. Mereka tampak akrab, sesekali tertawa, membuat Budi terlihat lebih ceria dari biasanya.Melihat pemandangan itu, hati Lia terasa sedikit aneh, seolah ada sesuatu yang menghimpit.“Sudahlah, mungkin memang sebaiknya begitu,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang perlu ia pikirkan tentang Budi.Namun, perasaan tak nyaman itu tetap ada. Sembari mengamati dari balik jendela, Lia merasa lega sekaligus

    Last Updated : 2024-12-06
  • Pesona Mantan Suami   proyek bersama

    Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng

    Last Updated : 2024-12-07
  • Pesona Mantan Suami   Pengakuan Teman

    Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia

    Last Updated : 2024-12-07
  • Pesona Mantan Suami   Bab 9: Perpisahan

    Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak

    Last Updated : 2024-12-09

Latest chapter

  • Pesona Mantan Suami   Bab 15: Kedatangan mantan

    Pagi itu, udara di kompleks perumahan terasa segar setelah hujan semalam. Lia sedang menyapu halaman depan rumahnya sambil sesekali melirik Dika yang sibuk mengutak-atik sepeda barunya di teras.Budi, yang biasanya bersantai dengan gitarnya di rumah sebelah, tampak tak terlihat sejak pagi. Lia mengira mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.Namun, rutinitas pagi yang damai itu berubah saat sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah Lia. Seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja rapi keluar dari mobil, membawa buket bunga mawar merah. Lia memicingkan mata, mencoba mengenali siapa tamu tak diundang itu.“Andi?” gumam Lia dengan nada tak percaya.Andi tersenyum lebar. “Lia! Lama nggak ketemu,” sapanya penuh antusias.Lia mendekat, menyisihkan sapu di tangannya. Ia merasa campuran rasa canggung dan bingung. “Andi, apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku kebetulan ada urusan kerja di dekat sini, dan aku pikir, kenapa nggak mampir untuk bertemu teman lama?” jawab Andi, menyerahkan buket

  • Pesona Mantan Suami   kecelakaan kecil

    Hari itu, sinar matahari menyorot lembut ke rumah kecil di sudut kompleks. Setelah semalaman hujan deras, Budi bangun lebih awal dari biasanya.Ia pergi ke rumah Lia, menatap ke arah atap rumahnya Lia yang bocor, merasa harus segera memperbaikinya sebelum hujan kembali turun. Sambil membawa peralatan seadanya, ia melangkah ke halaman. Lia, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mengintip dari jendela dan memicingkan mata ke arah Budi.“Budi, kamu yakin mau naik ke atas sendirian?” teriaknya sambil membuka pintu.Budi menoleh, memamerkan senyum santainya. “Tenang, Lia. Ini cuma bocoran kecil. Aku pasti bisa tangani sendiri.”Lia menggeleng, merasa ragu. “Bukannya kamu takut ketinggian?”Budi tertawa kecil. “Itu dulu. Sekarang, aku siap jadi Spider-Man lokal.”Lia hanya mendesah. “Hati-hati, ya. Jangan sampai malah jatuh.”Namun, kekhawatirannya tetap membayangi. Budi memang selalu bersikap santai, tapi terkadang santainya terlalu berlebihan.*Di atas atap, Budi mulai bekerja. Ia me

  • Pesona Mantan Suami   rahasia terungkap

    Matahari sore merambat pelan ke dalam ruang tamu rumah Rina, sahabat Lia, yang penuh dengan dekorasi ceria khas keluarga muda.Tawa anak-anak terdengar dari halaman belakang, termasuk suara Dika yang asyik bermain dengan teman-temannya. Lia duduk di sofa, menyeruput teh hangat sambil menikmati obrolan santai dengan Rina. “Aku masih nggak percaya, akhirnya kamu dan Budi bakalan bertemu di perumahan yang baru.”Ujar Rina, meletakkan mangkuk berisi keripik singkong di meja. “Masih ingat nggak waktu pertama kamu cerita soal dia? Kamu kayaknya mau perang dunia ketiga sama dia.”Lia tertawa kecil, meski matanya tak lepas dari Dika di luar.“Waktu itu Budi memang nyebelin, Rin. Segala hal kecil diurusin. Tapi ya… ternyata dia juga punya sisi manis.”“Manisnya Budi atau karena kamu udah jatuh cinta duluan?” goda Rina sambil menyipitkan mata penuh arti.Lia memutar bola matanya. “Rina, plis. Nggak semua hal harus tentang cinta.”Rina mengangkat bahu, tersenyum iseng. “Tapi kan bener, toh? Lih

  • Pesona Mantan Suami   kompetisi masak

    Sabtu pagi itu, kompleks perumahan seperti berubah menjadi arena festival. Suasana yang biasanya tenang mendadak ramai dengan orang-orang berlalu lalang membawa bahan masakan, wajan, hingga panci berukuran raksasa.Dari sudut lapangan, aroma bawang tumis dan rempah mulai menyelinap di udara, menggoda siapa saja yang lewat.Lia berdiri di depan meja dapur portabel miliknya, menatap daftar bahan yang sudah ia siapkan semalam.Di sampingnya, ada tas penuh alat masak yang tertata rapi, persis seperti sifat perfeksionisnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit tegang.“Mama, kenapa lama banget? Papa udah mulai dari tadi, lho!” Dika mengeluh sambil menarik ujung baju Lia.Lia mendongak dan melihat Budi yang sedang sibuk di meja masak sebelah. Pria itu terlihat santai, bahkan sesekali mengobrol dengan tetangga lain yang lewat. Bahan-bahan di mejanya tampak seadanya, tapi ekspresinya penuh percaya diri.“Dika, masak itu nggak bisa buru-buru. Mama mau bikin yang terbaik buat kamu,” ujar Lia sambil

  • Pesona Mantan Suami   Bab 11 Surat tak terduga

    Matahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat

  • Pesona Mantan Suami   Bab 10: Akhir yang Manis

    Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen

  • Pesona Mantan Suami   Bab 9: Perpisahan

    Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak

  • Pesona Mantan Suami   Pengakuan Teman

    Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia

  • Pesona Mantan Suami   proyek bersama

    Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng

DMCA.com Protection Status