Beranda / Romansa / Pesona Mantan Suami / bab 5 : kenangan di balik hujan

Share

bab 5 : kenangan di balik hujan

Penulis: Fatmayyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-16 14:50:21

Langit mendung telah menggantung sejak pagi, tapi Lia tak menyangka hujan bakal turun sederas ini. Di halte bus tempat ia menunggu, ia berdiri dengan tubuh merapat ke dinding, menghindari cipratan air yang tak berhenti turun dari tepi atap halte. Ia menghela napas, melirik jam di pergelangan tangan. Anak mereka masih menunggu di sekolah, dan hujan ini membuatnya harus berpikir ulang bagaimana akan menjemputnya.

Baru saja ia mengangkat ponsel, berharap bisa menghubungi ojek online, suara langkah berat di belakangnya membuat Lia menoleh. Dan di sanalah dia—Budi, mantan suaminya, berdiri di pinggiran halte dengan jaket kulitnya yang sedikit basah. Ia tampak sedikit terkejut saat menyadari Lia ada di sana, tapi ia segera melempar senyum tipis.

Rasanya baru kemarin mereka terjebak di hujan. Menciptakan rasa yang aneh.

“Hujan deras, ya?” kata Budi, membuka pembicaraan.

Lia hanya mengangguk, merasa canggung. Mereka hanya berdiri beberapa langkah terpisah, tapi rasanya ada jarak yang tak terlihat di antara mereka. Angin membawa dingin, dan mereka terjebak dalam diam yang penuh ketidaknyamanan.

Beberapa menit berlalu, tak ada yang berbicara. Lia mengamati gerimis yang semakin deras, mencoba mengabaikan kehadiran Budi di sebelahnya. Tapi, diam itu terpecah oleh dering ponsel Budi.

“Oh, sudah selesai, ya? Oke, aku akan segera ke sana,” jawab Budi singkat, lalu menutup telepon.

Ia melirik ke arah Lia. “Aku akan jemput anak kita. Kamu ada rencana pulang naik apa?”

Dika, anak mereka baru saja di pindahkan di sekolah Sd 01 Beringin. Sejak mereka berpisah, Dika tinggal bersama dengan Lia, ibunya.

Lia menghela napas pelan. “Aku juga mau jemput dia. Cuma lagi cari ojek online.”

Budi tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Ya sudah, kita sekalian saja. Kebetulan aku bawa mobil. Bisa antar kamu sekalian.”

Lia ragu. Rasanya terlalu mendadak, terlalu dekat. Tapi kemudian ia memikirkan anak mereka yang mungkin sudah menunggu di sekolah, mungkin merasa kecewa jika tak bisa cepat dijemput. Akhirnya, dengan anggukan kecil, ia menerima tawaran itu.

Mereka berdua melangkah bersama menuju parkiran, hujan masih mengguyur tanpa ampun. Budi membuka payung yang ia bawa, mengajak Lia masuk dalam naungan kecil itu. Mereka berjalan berdampingan, begitu dekat sehingga ia bisa merasakan hangat tubuh Budi di sampingnya. Diam-diam, ia bertanya-tanya, kapan terakhir kali mereka berada sedekat ini.

Sampai di mobil, Budi membukakan pintu untuk Lia sebelum masuk ke kursi kemudi. Dalam hening, mereka mulai perjalanan menuju sekolah anak mereka. Suara wiper menggesek kaca mobil, menjadi pengiring senyap di antara mereka.

“Aku ingat, dulu kamu suka banget sama hujan,” kata Budi tiba-tiba, suaranya rendah namun terdengar jelas di dalam mobil.

Lia menoleh, terkejut. “Iya, memang. Tapi... rasanya sudah lama nggak ada waktu buat menikmati hujan lagi.”

“Dulu kamu sering nyuruh aku berhenti di jalan cuma buat duduk di mobil dan dengerin suara hujan. Kamu bilang itu bikin kamu tenang.” Budi tersenyum kecil, matanya melirik sekilas ke arah Lia sebelum kembali fokus pada jalan.

Lia tersenyum samar, kenangan masa lalu kembali menyeruak. Betapa kecil dan sederhana momen-momen itu, tapi mereka tetap tersimpan dalam ingatannya. Ia tak menyangka Budi masih ingat.

“Dan kamu selalu protes karena kita jadi telat sampai rumah,” tambahnya, sedikit tertawa, mengingat bagaimana Budi dulu selalu merasa terganggu dengan kebiasaannya itu.

“Aku protes, iya, tapi... sebenarnya aku suka ngeliat kamu senyum waktu denger suara hujan.” Budi bicara dengan nada rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Lia merasa pipinya sedikit memanas. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Budi bisa merasakan hal seperti itu. Selama ini ia selalu mengira Budi hanya menganggap hal-hal kecil itu sebagai gangguan. Tapi mendengar kata-kata Budi sekarang, ia menyadari mungkin ada hal-hal yang tidak pernah ia pahami sepenuhnya tentang mantan suaminya itu.

Suara tawa kecil dari Budi membuatnya tersadar dari lamunan. “Kamu inget nggak, waktu kita sempet belajar melukis bareng? Kamu serius banget waktu itu.”

Lia mengangguk pelan, tertawa kecil. “Iya, aku ingat. Kamu selalu bikin coretan aneh di kanvas, tapi bilang itu seni abstrak.”

“Itu memang seni abstrak! Kamu aja yang nggak paham,” jawab Budi, pura-pura tersinggung. Mereka berdua tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lia merasa benar-benar nyaman.

Setelah beberapa saat, Budi melanjutkan, “Ngomong-ngomong, aku masih suka melukis, lho.”

Lia terdiam, sedikit terkejut. “Serius? Aku nggak nyangka kamu masih melanjutkan hobi itu.”

Budi mengangguk. “Kadang kalau lagi suntuk, aku melukis buat ngilangin penat. Hasilnya mungkin nggak sebagus pelukis beneran, tapi rasanya bikin hati lebih tenang.”

Kata-kata itu membuat Lia terdiam sejenak. Ada sesuatu yang tak terungkap, seakan ia baru melihat sisi lain dari Budi yang selama ini tersembunyi. Hatinya bergetar, memikirkan bahwa di balik semua perbedaan mereka, mungkin masih ada kesamaan yang membuat mereka tetap terhubung, meskipun hanya sekilas.

“Kalau kamu, masih suka melukis?” tanya Budi, matanya menatap Lia dengan penuh perhatian.

Lia menunduk, merasa sedikit malu. “Aku... berhenti. Rasanya nggak ada waktu lagi untuk itu.”

Budi tersenyum lembut. “Sayang banget. Padahal kamu punya bakat.”

Ada keheningan singkat yang terasa berbeda, seolah mereka berdua tenggelam dalam kenangan yang sama. Lia merasa ada sesuatu yang hangat mengisi hatinya, perasaan yang hampir ia lupakan. Ia teringat bagaimana dulu mereka berbagi waktu dengan melukis bersama, tertawa bersama saat mencoba menginterpretasikan karya masing-masing.

Mobil mereka akhirnya sampai di sekolah anak mereka. Dari kejauhan, mereka bisa melihat anak mereka berlari kecil ke arah mereka, wajahnya berseri-seri meski basah sedikit terkena hujan. Ia langsung masuk ke dalam mobil dengan tawa riang, membuat suasana menjadi lebih hangat.

“Papa, Mama, kalian pulang bareng?” tanyanya dengan nada polos, namun cukup untuk membuat Lia dan Budi saling melirik canggung.

Budi tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Iya, tadi kebetulan ketemu di jalan. Kita pikir, kenapa nggak sekalian jemput kamu bareng?”

Anak mereka mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu. Lalu, ia mulai bercerita tentang harinya di sekolah, membuat Lia dan Budi sesekali saling bertukar pandang dan tersenyum. Suasana canggung mulai mencair, dan di dalam mobil itu, mereka seolah kembali menjadi keluarga kecil yang utuh.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Di tengah obrolan ringan mereka, anak mereka tiba-tiba bertanya, “Papa, Mama, kenapa kalian nggak bareng-bareng lagi kayak dulu?”

Pertanyaan itu mengejutkan Lia dan Budi, membuat suasana kembali sunyi. Lia merasa tenggorokannya tercekat, tidak tahu harus berkata apa. Budi melirik ke arah Lia, terlihat ragu, tapi ia mencoba tersenyum untuk menenangkan anak mereka.

“Itu... cerita panjang, Nak,” jawab Budi akhirnya, sambil tersenyum lembut. “Tapi Papa dan Mama tetap sayang sama kamu, meskipun kita nggak selalu bareng.”

Anak mereka tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Yang penting aku senang kalau bisa sama Papa dan Mama, walaupun nggak tiap hari.”

Kata-kata sederhana itu entah kenapa menyentuh hati Lia. Ia menyadari betapa anak mereka merindukan kehadiran mereka bersama, meskipun ia tidak pernah mengungkapkan hal itu dengan kata-kata. Dan di saat itu, Lia merasakan perasaan bersalah yang mendalam.

Hujan di luar masih belum berhenti. Suara tetesannya terdengar seperti melodi yang mendayu, mengiringi perasaan yang membuncah di antara mereka. Lia menatap keluar jendela, mencoba meredam emosinya.

Namun, di saat yang sama, Budi tiba-tiba menggenggam tangannya. Lia terkejut, menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

“Lia,” bisik Budi, suaranya terdengar penuh kehangatan yang selama ini ia rindukan. “Aku tahu ini mungkin sulit, tapi... aku nggak pernah benar-benar berhenti sayang sama kamu.”

Bab terkait

  • Pesona Mantan Suami   bab 6 Salah paham

    Pagi itu, Lia sedang menyiapkan sarapan dengan pikiran yang berputar tentang pertemuannya dengan Budi kemarin.Masih terbayang bagaimana ia merasakan kehangatan lama yang entah kenapa muncul kembali. Namun, Lia segera menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa semua sudah berlalu.Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia menuju jendela ruang tamu dan melihat Budi sedang berjalan di sekitar rumahnya.Namun, kali ini, ada seorang wanita yang tampak berjalan di sampingnya. Wanita itu tampak cantik dan anggun, rambutnya terurai dan langkahnya penuh percaya diri. Mereka tampak akrab, sesekali tertawa, membuat Budi terlihat lebih ceria dari biasanya.Melihat pemandangan itu, hati Lia terasa sedikit aneh, seolah ada sesuatu yang menghimpit.“Sudahlah, mungkin memang sebaiknya begitu,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang perlu ia pikirkan tentang Budi.Namun, perasaan tak nyaman itu tetap ada. Sembari mengamati dari balik jendela, Lia merasa lega sekaligus

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesona Mantan Suami   proyek bersama

    Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Pesona Mantan Suami   Pengakuan Teman

    Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Pesona Mantan Suami   Bab 9: Perpisahan

    Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Pesona Mantan Suami   Bab 10: Akhir yang Manis

    Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Pesona Mantan Suami   Bab 11 Surat tak terduga

    Matahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Pesona Mantan Suami   kompetisi masak

    Sabtu pagi itu, kompleks perumahan seperti berubah menjadi arena festival. Suasana yang biasanya tenang mendadak ramai dengan orang-orang berlalu lalang membawa bahan masakan, wajan, hingga panci berukuran raksasa.Dari sudut lapangan, aroma bawang tumis dan rempah mulai menyelinap di udara, menggoda siapa saja yang lewat.Lia berdiri di depan meja dapur portabel miliknya, menatap daftar bahan yang sudah ia siapkan semalam.Di sampingnya, ada tas penuh alat masak yang tertata rapi, persis seperti sifat perfeksionisnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit tegang.“Mama, kenapa lama banget? Papa udah mulai dari tadi, lho!” Dika mengeluh sambil menarik ujung baju Lia.Lia mendongak dan melihat Budi yang sedang sibuk di meja masak sebelah. Pria itu terlihat santai, bahkan sesekali mengobrol dengan tetangga lain yang lewat. Bahan-bahan di mejanya tampak seadanya, tapi ekspresinya penuh percaya diri.“Dika, masak itu nggak bisa buru-buru. Mama mau bikin yang terbaik buat kamu,” ujar Lia sambil

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Pesona Mantan Suami   rahasia terungkap

    Matahari sore merambat pelan ke dalam ruang tamu rumah Rina, sahabat Lia, yang penuh dengan dekorasi ceria khas keluarga muda.Tawa anak-anak terdengar dari halaman belakang, termasuk suara Dika yang asyik bermain dengan teman-temannya. Lia duduk di sofa, menyeruput teh hangat sambil menikmati obrolan santai dengan Rina. “Aku masih nggak percaya, akhirnya kamu dan Budi bakalan bertemu di perumahan yang baru.”Ujar Rina, meletakkan mangkuk berisi keripik singkong di meja. “Masih ingat nggak waktu pertama kamu cerita soal dia? Kamu kayaknya mau perang dunia ketiga sama dia.”Lia tertawa kecil, meski matanya tak lepas dari Dika di luar.“Waktu itu Budi memang nyebelin, Rin. Segala hal kecil diurusin. Tapi ya… ternyata dia juga punya sisi manis.”“Manisnya Budi atau karena kamu udah jatuh cinta duluan?” goda Rina sambil menyipitkan mata penuh arti.Lia memutar bola matanya. “Rina, plis. Nggak semua hal harus tentang cinta.”Rina mengangkat bahu, tersenyum iseng. “Tapi kan bener, toh? Lih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19

Bab terbaru

  • Pesona Mantan Suami   Bab 15: Kedatangan mantan

    Pagi itu, udara di kompleks perumahan terasa segar setelah hujan semalam. Lia sedang menyapu halaman depan rumahnya sambil sesekali melirik Dika yang sibuk mengutak-atik sepeda barunya di teras.Budi, yang biasanya bersantai dengan gitarnya di rumah sebelah, tampak tak terlihat sejak pagi. Lia mengira mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.Namun, rutinitas pagi yang damai itu berubah saat sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah Lia. Seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja rapi keluar dari mobil, membawa buket bunga mawar merah. Lia memicingkan mata, mencoba mengenali siapa tamu tak diundang itu.“Andi?” gumam Lia dengan nada tak percaya.Andi tersenyum lebar. “Lia! Lama nggak ketemu,” sapanya penuh antusias.Lia mendekat, menyisihkan sapu di tangannya. Ia merasa campuran rasa canggung dan bingung. “Andi, apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku kebetulan ada urusan kerja di dekat sini, dan aku pikir, kenapa nggak mampir untuk bertemu teman lama?” jawab Andi, menyerahkan buket

  • Pesona Mantan Suami   kecelakaan kecil

    Hari itu, sinar matahari menyorot lembut ke rumah kecil di sudut kompleks. Setelah semalaman hujan deras, Budi bangun lebih awal dari biasanya.Ia pergi ke rumah Lia, menatap ke arah atap rumahnya Lia yang bocor, merasa harus segera memperbaikinya sebelum hujan kembali turun. Sambil membawa peralatan seadanya, ia melangkah ke halaman. Lia, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mengintip dari jendela dan memicingkan mata ke arah Budi.“Budi, kamu yakin mau naik ke atas sendirian?” teriaknya sambil membuka pintu.Budi menoleh, memamerkan senyum santainya. “Tenang, Lia. Ini cuma bocoran kecil. Aku pasti bisa tangani sendiri.”Lia menggeleng, merasa ragu. “Bukannya kamu takut ketinggian?”Budi tertawa kecil. “Itu dulu. Sekarang, aku siap jadi Spider-Man lokal.”Lia hanya mendesah. “Hati-hati, ya. Jangan sampai malah jatuh.”Namun, kekhawatirannya tetap membayangi. Budi memang selalu bersikap santai, tapi terkadang santainya terlalu berlebihan.*Di atas atap, Budi mulai bekerja. Ia me

  • Pesona Mantan Suami   rahasia terungkap

    Matahari sore merambat pelan ke dalam ruang tamu rumah Rina, sahabat Lia, yang penuh dengan dekorasi ceria khas keluarga muda.Tawa anak-anak terdengar dari halaman belakang, termasuk suara Dika yang asyik bermain dengan teman-temannya. Lia duduk di sofa, menyeruput teh hangat sambil menikmati obrolan santai dengan Rina. “Aku masih nggak percaya, akhirnya kamu dan Budi bakalan bertemu di perumahan yang baru.”Ujar Rina, meletakkan mangkuk berisi keripik singkong di meja. “Masih ingat nggak waktu pertama kamu cerita soal dia? Kamu kayaknya mau perang dunia ketiga sama dia.”Lia tertawa kecil, meski matanya tak lepas dari Dika di luar.“Waktu itu Budi memang nyebelin, Rin. Segala hal kecil diurusin. Tapi ya… ternyata dia juga punya sisi manis.”“Manisnya Budi atau karena kamu udah jatuh cinta duluan?” goda Rina sambil menyipitkan mata penuh arti.Lia memutar bola matanya. “Rina, plis. Nggak semua hal harus tentang cinta.”Rina mengangkat bahu, tersenyum iseng. “Tapi kan bener, toh? Lih

  • Pesona Mantan Suami   kompetisi masak

    Sabtu pagi itu, kompleks perumahan seperti berubah menjadi arena festival. Suasana yang biasanya tenang mendadak ramai dengan orang-orang berlalu lalang membawa bahan masakan, wajan, hingga panci berukuran raksasa.Dari sudut lapangan, aroma bawang tumis dan rempah mulai menyelinap di udara, menggoda siapa saja yang lewat.Lia berdiri di depan meja dapur portabel miliknya, menatap daftar bahan yang sudah ia siapkan semalam.Di sampingnya, ada tas penuh alat masak yang tertata rapi, persis seperti sifat perfeksionisnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit tegang.“Mama, kenapa lama banget? Papa udah mulai dari tadi, lho!” Dika mengeluh sambil menarik ujung baju Lia.Lia mendongak dan melihat Budi yang sedang sibuk di meja masak sebelah. Pria itu terlihat santai, bahkan sesekali mengobrol dengan tetangga lain yang lewat. Bahan-bahan di mejanya tampak seadanya, tapi ekspresinya penuh percaya diri.“Dika, masak itu nggak bisa buru-buru. Mama mau bikin yang terbaik buat kamu,” ujar Lia sambil

  • Pesona Mantan Suami   Bab 11 Surat tak terduga

    Matahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat

  • Pesona Mantan Suami   Bab 10: Akhir yang Manis

    Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen

  • Pesona Mantan Suami   Bab 9: Perpisahan

    Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak

  • Pesona Mantan Suami   Pengakuan Teman

    Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia

  • Pesona Mantan Suami   proyek bersama

    Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng

DMCA.com Protection Status