Beranda / Romansa / Pesona Mantan Suami / bab 4 : Acara tetangga

Share

bab 4 : Acara tetangga

Penulis: Fatmayyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-16 14:48:55

Malam itu, langit cerah di atas kompleks perumahan, di mana suara musik mengalun lembut dan lampu-lampu gantung menghiasi lapangan kecil. Lia berdiri di depan cermin, ragu apakah ia harus datang ke pesta penyambutan tetangga baru. Anaknya, yang sudah siap dengan senyum lebar, menarik-narik tangannya, penuh antusiasme.

“Mama, ayolah! Teman-temanku pasti ada di sana. Mama juga harus ikut, dong,” bujuk anaknya dengan wajah penuh harap.

Lia menarik napas panjang, mengalah pada tatapan anaknya. “Baiklah, tapi nggak lama-lama, ya?”

Begitu mereka tiba di lapangan, suara ramai langsung menyambut. Orang-orang bertegur sapa, dan anak-anak berlarian riang. Lia tersenyum tipis kepada beberapa tetangga yang dikenalnya sambil mencari tempat duduk. Di tengah pencariannya, matanya terhenti pada satu-satunya kursi kosong yang ada — di sebelah Budi, mantan suaminya.

Budi menoleh dan melihatnya. Untuk sesaat, mata mereka bertemu, dan Lia merasakan debaran halus di dadanya. Satu sisi dirinya ingin menghindar, tetapi melihat anak mereka sudah duduk nyaman di antara mereka, Lia tidak punya pilihan lain selain mengambil kursi itu.

“Halo, Bu Perfeksionis,” sapa Budi dengan senyum kecil yang entah kenapa membuat Lia mendengus pelan.

Ia tidak membalas, mencoba mengabaikan kehadiran Budi dan fokus pada acara. Namun, kecanggungan itu tetap saja terasa. Sementara orang-orang di sekeliling mereka tampak bersenang-senang, Lia merasa sedang terjebak dalam situasi yang menegangkan.

Tak lama, pembawa acara mengumumkan permainan untuk pasangan, meminta pasangan-pasangan untuk berkolaborasi dalam berbagai tantangan. Lia yang tadinya ingin menolak, tak bisa berkutik ketika anaknya memohon penuh harap agar mereka ikut.

“Papa sama Mama harus ikut, biar aku punya teman juga di sini,” pinta anak mereka.

Budi menoleh pada Lia, mengangkat bahu seolah berkata, "Ini demi anak kita." Lia akhirnya mengangguk, meskipun ia merasa canggung dengan situasi ini.

Permainan pertama dimulai, dan mereka harus berpasangan dalam tantangan berjalan dengan satu kaki diikat bersama. Dengan kikuk, mereka berdiri berdampingan, berusaha menjaga keseimbangan.

Budi tersenyum kecil, “Masih inget cara mainnya, kan?”

Lia mengangguk, berusaha tetap tenang. Mereka mulai berjalan, tetapi langkah pertama langsung berantakan. Beberapa kali Budi menahan tubuh Lia agar tidak jatuh, membuat Lia merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Tawa kecil terdengar dari Budi, seolah menikmati momen tersebut.

“Pegangan, biar kita nggak jatuh lagi,” ujar Budi, meraih tangannya tanpa ragu.

Mereka saling menggenggam, langkah mereka mulai menemukan irama yang lebih selaras. Di tengah permainan, senyum kecil mulai muncul di wajah Lia, menghapus sejenak kecanggungan di antara mereka.

“Aku nggak nyangka kamu masih bisa main kayak gini,” kata Lia, mengulas senyum tipis.

“Ya, begitulah. Ternyata kerja sama kita belum hilang, kan?” balas Budi, nada suaranya terdengar lebih lembut.

Setelah permainan pertama berakhir, mereka kembali duduk dengan perasaan yang mulai mencair. Mereka tidak lagi sekaku sebelumnya, meski sesekali tatapan mereka saling beradu dengan sedikit rasa canggung.

Permainan berikutnya adalah tantangan menggambar wajah pasangan dengan mata tertutup. Saat giliran Budi menggambar, dia berbisik dengan suara pelan, “Ternyata, aku masih ingat setiap detail wajahmu. Nggak ada yang berubah.”

Kata-katanya membuat Lia terpaku. Jantungnya berdetak semakin kencang, dan ia berusaha menyembunyikan kegugupannya. Selama ini, ia berpikir bahwa segala sesuatu tentang Budi adalah bagian dari masa lalu, tapi perasaan itu perlahan mengusik lagi.

Lalu, gambar yang dibuat Budi ditunjukkan pada Lia, yang langsung tersenyum kecil melihat hasilnya yang jauh dari sempurna. “Jelek sekali, kamu nggak bakat ternyata,” ujarnya bercanda.

Mereka tertawa, namun dalam hati Lia, ada kehangatan yang sulit diabaikan. Entah kenapa, nostalgia mengalir begitu saja, mengingatkannya pada momen-momen kecil dalam hubungan mereka dulu.

Saat pesta hampir berakhir, mereka beranjak menuju pintu keluar. Anak mereka berjalan di depan, berlarian dengan teman-temannya, sementara Lia dan Budi berdiri berdampingan dalam keheningan. Tiba-tiba, hujan deras mengguyur, memaksa mereka berteduh di bawah kanopi.

“Mama, Papa, ayo main hujan!” anak mereka mengajak penuh antusias.

Lia tertawa, menggeleng pelan. “Nggak, sayang. Nanti basah semua.”

Anak mereka tampak kecewa, namun tetap bergembira meski hanya berdiri di dekat mereka. Lia dan Budi saling melempar senyum canggung, tanpa kata-kata, namun atmosfer di antara mereka terasa hangat.

Di tengah suara hujan, Budi akhirnya berbicara, “Kamu tahu, kadang aku merasa… kita sebenarnya nggak terlalu berbeda. Cuma… mungkin dulu aku nggak bisa lihat itu.”

Lia menatapnya, perasaan campur aduk. Ia ingin menjawab, namun terjebak antara nostalgia dan realitas yang ia hadapi.

“Tapi sekarang mungkin sudah terlambat,” lanjut Budi, nadanya sedikit sendu.

Saat itu, Lia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Kenapa rasanya seperti ini? Perasaan itu terus menyelimutinya, sampai akhirnya Budi melanjutkan, “Aku harus bilang ini, Lia. Sebenarnya… aku pernah mencoba untuk kembali, tapi kamu nggak pernah tahu. Kamu mungkin sudah terlalu jauh melangkah.”

Lia terdiam, tak mengerti maksudnya. “Apa maksud kamu, Budi?”

Budi menatapnya, ragu-ragu. Namun, akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata, “Setelah kita berpisah, aku berusaha kembali, tapi kamu sudah bersama orang lain. Aku tahu aku yang salah, aku yang membuat keputusan buruk waktu itu.”

Lia tersentak. Ia mengingat kembali hari-hari setelah perpisahan mereka. Tapi kenyataannya, dia tidak pernah bersama orang lain sejak itu.

“Apa yang kamu maksud?” tanya Lia dengan nada bergetar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Budi menatapnya dalam, seolah melihat seluruh rasa yang tak pernah terungkap. “Aku… salah mengerti. Aku pikir kamu sudah melangkah dengan yang lain. Aku nggak pernah tanya langsung ke kamu, hanya dengar dari orang lain… jadi aku mundur.”

Lia menahan napas, menyadari kesalahpahaman besar yang mungkin menghancurkan mereka. “Jadi… karena itu kamu nggak pernah coba memperbaiki semuanya?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.

Budi mengangguk, dengan senyum pahit di wajahnya. “Iya. Aku nggak pernah tahu kalau sebenarnya kamu… masih sendiri.”

Hujan semakin deras, tetapi suasana di antara mereka semakin sunyi. Lia merasa hatinya berdebar hebat. Semua rasa marah, kesal, dan sedih yang dulu ada, seakan mencair, tergantikan dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

“Aku selalu berpikir kamu yang nggak pernah peduli,” ucap Lia pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Budi mendekat, dan di bawah kanopi yang dingin dan basah itu, ia menatap Lia dalam-dalam. “Lia, aku menyesal. Mungkin kita terlalu banyak salah paham selama ini. Tapi kalau aku bisa… aku ingin memperbaiki semuanya.”

Kata-kata itu mengguncang hati Lia. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi, ia merasakan hangatnya cinta yang dulu, tetapi di sisi lain, ada keraguan yang mengakar kuat.

Namun sebelum Lia sempat menjawab, anak mereka kembali menghampiri, menarik tangan mereka berdua. “Mama, Papa, lihat! Ada pelangi di sana!”

Mereka menoleh ke arah anaknya, yang menunjuk ke langit. Namun ketika Lia kembali menoleh, Budi sudah melangkah pergi, meninggalkan kenangan pahit sekaligus manis di bawah kanopi itu.

Bab terkait

  • Pesona Mantan Suami   bab 5 : kenangan di balik hujan

    Langit mendung telah menggantung sejak pagi, tapi Lia tak menyangka hujan bakal turun sederas ini. Di halte bus tempat ia menunggu, ia berdiri dengan tubuh merapat ke dinding, menghindari cipratan air yang tak berhenti turun dari tepi atap halte. Ia menghela napas, melirik jam di pergelangan tangan. Anak mereka masih menunggu di sekolah, dan hujan ini membuatnya harus berpikir ulang bagaimana akan menjemputnya.Baru saja ia mengangkat ponsel, berharap bisa menghubungi ojek online, suara langkah berat di belakangnya membuat Lia menoleh. Dan di sanalah dia—Budi, mantan suaminya, berdiri di pinggiran halte dengan jaket kulitnya yang sedikit basah. Ia tampak sedikit terkejut saat menyadari Lia ada di sana, tapi ia segera melempar senyum tipis.Rasanya baru kemarin mereka terjebak di hujan. Menciptakan rasa yang aneh.“Hujan deras, ya?” kata Budi, membuka pembicaraan.Lia hanya mengangguk, merasa canggung. Mereka hanya berdiri beberapa langkah terpisah, tapi rasanya ada jarak yang tak terl

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Pesona Mantan Suami   bab 6 Salah paham

    Pagi itu, Lia sedang menyiapkan sarapan dengan pikiran yang berputar tentang pertemuannya dengan Budi kemarin.Masih terbayang bagaimana ia merasakan kehangatan lama yang entah kenapa muncul kembali. Namun, Lia segera menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa semua sudah berlalu.Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia menuju jendela ruang tamu dan melihat Budi sedang berjalan di sekitar rumahnya.Namun, kali ini, ada seorang wanita yang tampak berjalan di sampingnya. Wanita itu tampak cantik dan anggun, rambutnya terurai dan langkahnya penuh percaya diri. Mereka tampak akrab, sesekali tertawa, membuat Budi terlihat lebih ceria dari biasanya.Melihat pemandangan itu, hati Lia terasa sedikit aneh, seolah ada sesuatu yang menghimpit.“Sudahlah, mungkin memang sebaiknya begitu,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang perlu ia pikirkan tentang Budi.Namun, perasaan tak nyaman itu tetap ada. Sembari mengamati dari balik jendela, Lia merasa lega sekaligus

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Pesona Mantan Suami   proyek bersama

    Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Pesona Mantan Suami   Pengakuan Teman

    Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Pesona Mantan Suami   Bab 9: Perpisahan

    Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Pesona Mantan Suami   Bab 10: Akhir yang Manis

    Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Pesona Mantan Suami   Bab 11 Surat tak terduga

    Matahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Pesona Mantan Suami   kompetisi masak

    Sabtu pagi itu, kompleks perumahan seperti berubah menjadi arena festival. Suasana yang biasanya tenang mendadak ramai dengan orang-orang berlalu lalang membawa bahan masakan, wajan, hingga panci berukuran raksasa.Dari sudut lapangan, aroma bawang tumis dan rempah mulai menyelinap di udara, menggoda siapa saja yang lewat.Lia berdiri di depan meja dapur portabel miliknya, menatap daftar bahan yang sudah ia siapkan semalam.Di sampingnya, ada tas penuh alat masak yang tertata rapi, persis seperti sifat perfeksionisnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit tegang.“Mama, kenapa lama banget? Papa udah mulai dari tadi, lho!” Dika mengeluh sambil menarik ujung baju Lia.Lia mendongak dan melihat Budi yang sedang sibuk di meja masak sebelah. Pria itu terlihat santai, bahkan sesekali mengobrol dengan tetangga lain yang lewat. Bahan-bahan di mejanya tampak seadanya, tapi ekspresinya penuh percaya diri.“Dika, masak itu nggak bisa buru-buru. Mama mau bikin yang terbaik buat kamu,” ujar Lia sambil

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • Pesona Mantan Suami   Bab 15: Kedatangan mantan

    Pagi itu, udara di kompleks perumahan terasa segar setelah hujan semalam. Lia sedang menyapu halaman depan rumahnya sambil sesekali melirik Dika yang sibuk mengutak-atik sepeda barunya di teras.Budi, yang biasanya bersantai dengan gitarnya di rumah sebelah, tampak tak terlihat sejak pagi. Lia mengira mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.Namun, rutinitas pagi yang damai itu berubah saat sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah Lia. Seorang pria bertubuh tinggi dengan kemeja rapi keluar dari mobil, membawa buket bunga mawar merah. Lia memicingkan mata, mencoba mengenali siapa tamu tak diundang itu.“Andi?” gumam Lia dengan nada tak percaya.Andi tersenyum lebar. “Lia! Lama nggak ketemu,” sapanya penuh antusias.Lia mendekat, menyisihkan sapu di tangannya. Ia merasa campuran rasa canggung dan bingung. “Andi, apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku kebetulan ada urusan kerja di dekat sini, dan aku pikir, kenapa nggak mampir untuk bertemu teman lama?” jawab Andi, menyerahkan buket

  • Pesona Mantan Suami   kecelakaan kecil

    Hari itu, sinar matahari menyorot lembut ke rumah kecil di sudut kompleks. Setelah semalaman hujan deras, Budi bangun lebih awal dari biasanya.Ia pergi ke rumah Lia, menatap ke arah atap rumahnya Lia yang bocor, merasa harus segera memperbaikinya sebelum hujan kembali turun. Sambil membawa peralatan seadanya, ia melangkah ke halaman. Lia, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mengintip dari jendela dan memicingkan mata ke arah Budi.“Budi, kamu yakin mau naik ke atas sendirian?” teriaknya sambil membuka pintu.Budi menoleh, memamerkan senyum santainya. “Tenang, Lia. Ini cuma bocoran kecil. Aku pasti bisa tangani sendiri.”Lia menggeleng, merasa ragu. “Bukannya kamu takut ketinggian?”Budi tertawa kecil. “Itu dulu. Sekarang, aku siap jadi Spider-Man lokal.”Lia hanya mendesah. “Hati-hati, ya. Jangan sampai malah jatuh.”Namun, kekhawatirannya tetap membayangi. Budi memang selalu bersikap santai, tapi terkadang santainya terlalu berlebihan.*Di atas atap, Budi mulai bekerja. Ia me

  • Pesona Mantan Suami   rahasia terungkap

    Matahari sore merambat pelan ke dalam ruang tamu rumah Rina, sahabat Lia, yang penuh dengan dekorasi ceria khas keluarga muda.Tawa anak-anak terdengar dari halaman belakang, termasuk suara Dika yang asyik bermain dengan teman-temannya. Lia duduk di sofa, menyeruput teh hangat sambil menikmati obrolan santai dengan Rina. “Aku masih nggak percaya, akhirnya kamu dan Budi bakalan bertemu di perumahan yang baru.”Ujar Rina, meletakkan mangkuk berisi keripik singkong di meja. “Masih ingat nggak waktu pertama kamu cerita soal dia? Kamu kayaknya mau perang dunia ketiga sama dia.”Lia tertawa kecil, meski matanya tak lepas dari Dika di luar.“Waktu itu Budi memang nyebelin, Rin. Segala hal kecil diurusin. Tapi ya… ternyata dia juga punya sisi manis.”“Manisnya Budi atau karena kamu udah jatuh cinta duluan?” goda Rina sambil menyipitkan mata penuh arti.Lia memutar bola matanya. “Rina, plis. Nggak semua hal harus tentang cinta.”Rina mengangkat bahu, tersenyum iseng. “Tapi kan bener, toh? Lih

  • Pesona Mantan Suami   kompetisi masak

    Sabtu pagi itu, kompleks perumahan seperti berubah menjadi arena festival. Suasana yang biasanya tenang mendadak ramai dengan orang-orang berlalu lalang membawa bahan masakan, wajan, hingga panci berukuran raksasa.Dari sudut lapangan, aroma bawang tumis dan rempah mulai menyelinap di udara, menggoda siapa saja yang lewat.Lia berdiri di depan meja dapur portabel miliknya, menatap daftar bahan yang sudah ia siapkan semalam.Di sampingnya, ada tas penuh alat masak yang tertata rapi, persis seperti sifat perfeksionisnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit tegang.“Mama, kenapa lama banget? Papa udah mulai dari tadi, lho!” Dika mengeluh sambil menarik ujung baju Lia.Lia mendongak dan melihat Budi yang sedang sibuk di meja masak sebelah. Pria itu terlihat santai, bahkan sesekali mengobrol dengan tetangga lain yang lewat. Bahan-bahan di mejanya tampak seadanya, tapi ekspresinya penuh percaya diri.“Dika, masak itu nggak bisa buru-buru. Mama mau bikin yang terbaik buat kamu,” ujar Lia sambil

  • Pesona Mantan Suami   Bab 11 Surat tak terduga

    Matahari pagi menyapa kompleks perumahan kecil tempat Lia tinggal. Udara segar terasa berbeda setelah kejadian di bandara beberapa hari yang lalu.Lia dan Budi tampak lebih harmonis, meski rutinitas mereka mulai kembali seperti biasa. Pagi itu, Lia sedang sibuk menyapu halaman depan rumah, sementara Budi di dalam bermain dengan Dika yang riang setelah akhirnya kembali berkumpul bersama ayahnya.“Ma, lihat nih! Robotku bisa ngomong sekarang!” Dika berlari keluar rumah dengan senyum lebar, menunjukkan mainannya.Lia berhenti menyapu dan membungkuk, menatap mainan itu dengan antusias palsu.“Wah, keren sekali, Nak! Coba Mama dengar apa dia bisa bilang, ‘Mama cantik’?”Dika mengerutkan dahi. “Kayaknya robotnya cuma bisa bilang, ‘Halo, Dika.’ Mama aja yang ngomong ‘Mama cantik’ sendiri.”Lia tertawa, mencubit pipi anaknya pelan. “Kamu ini pintar sekali, ya.”Tawa mereka terhenti ketika Lia melihat sesuatu di lantai dekat pintu pagar. Sebuah amplop putih sederhana tergeletak di sana. Alamat

  • Pesona Mantan Suami   Bab 10: Akhir yang Manis

    Udara di bandara terasa dingin dan sibuk. Suara pengumuman yang bersahut-sahutan menggema, bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang tergesa-gesa. Lia berdiri di tengah keramaian, menggenggam erat tangan Dika yang terlihat kebingungan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sosok yang kini memenuhi pikirannya.Namun, tak ada tanda-tanda Budi. Hanya orang-orang asing berlalu-lalang dengan tujuan mereka masing-masing. Lia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang mendesaknya untuk berteriak. “Mama, Papa di mana?” tanya Dika dengan suara kecil, suaranya bercampur rasa takut dan sedih.Lia berjongkok, menyamakan tinggi dengannya. Ia mengusap pipi Dika dengan lembut. “Mama juga nggak tahu, Nak. Tapi kita tunggu di sini dulu, ya. Mungkin Papa masih di sekitar sini.”Dika mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Lia menariknya ke pelukan, membisikkan kata-kata lembut untuk menguatkan hati anaknya. Namun, di dalam dirinya sen

  • Pesona Mantan Suami   Bab 9: Perpisahan

    Pagi itu, udara terasa hangat, tetapi hati Lia dipenuhi kabut tebal yang sulit dijelaskan. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menikmati secangkir kopi yang sejak tadi hanya disentuh ujung bibirnya. Di ruang tengah, suara tawa anaknya, Dika, memenuhi rumah. Anak itu sedang asyik bermain dengan robot kecilnya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Lia mendongak, menghela napas dalam-dalam, dan melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu dan menemukan Budi berdiri di sana, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Masuk," ajak Lia, mencoba terdengar tenang. Budi melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Tatapannya bertemu dengan Lia, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke Dika yang kini berlari kecil ke arahnya. "Papa! Lihat robotku bisa muter-muter sekarang!" seru Raka sambil memamerkan mainannya. Budi tersenyum tipis, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Dika. "Wah, keren banget. Kamu hebat, Nak," katanya sambil mengacak

  • Pesona Mantan Suami   Pengakuan Teman

    Pagi itu, Lia merasa udara kompleks lebih segar dari biasanya, meskipun pikirannya tidak secerah langit pagi. Ia menatap secangkir teh hijau di meja, tetapi pikirannya melayang jauh ke malam sebelumnya. Suara Budi yang pelan tapi tegas terus bergema di kepalanya."Kalau kita diberi kesempatan kedua, apa kamu mau mencobanya?"Lia mendesah panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya bimbang, pikirannya kalut. Sebelum ia sempat melanjutkan lamunannya, suara bel pintu memecah keheningan. Dengan sedikit ragu, Lia melangkah menuju pintu.“Liaaa! Aku bawain sarapan!”seru Maya begitu pintu terbuka. Wanita itu membawa kantong plastik besar berisi kotak makanan dan jus jeruk.Maya adalah teman Lia di tempat kerjanya yang baru.Lia memaksakan senyum. “Tumben pagi-pagi datang. Ada apa?”Maya masuk tanpa menunggu undangan, melangkah santai ke ruang tamu.“Aku pengen cerita! Tapi makan dulu, ya. Ini aku bawain roti isi, kesukaanmu.”Mereka duduk di sofa, menikmati sarapan sederhana itu. Lia

  • Pesona Mantan Suami   proyek bersama

    Suasana kompleks pagi itu dipenuhi antusiasme warga. Di balai pertemuan, rapat berlangsung dengan semangat.Ketua RT, Pak Burhan, tengah menyampaikan rencana besar mereka: bazar amal untuk menggalang dana pembangunan taman bermain anak-anak. Warga mendengarkan dengan antusias, terutama ketika giliran pembagian tugas dibahas.Di antara kerumunan, Lia duduk dengan tenang di kursi depan, berpura-pura fokus pada layar ponselnya.Sebisa mungkin, ia ingin menghindari keterlibatan aktif dalam proyek ini. Namun, tak jauh darinya, Budi terlihat santai, menyandarkan tubuh di kursi dengan senyum kecil di wajahnya, seolah menikmati acara ini.“Baik, untuk ketua panitia, kami sepakat menunjuk dua orang yang sangat kompeten: Lia dan Budi,” ujar Pak Burhan tiba-tiba.Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan warga. Lia tersentak. Ia menoleh ke arah Budi dengan ekspresi terkejut, hanya untuk mendapati pria itu juga menatapnya dengan tatapan bingung.“Pak RT, apakah ini keputusan final?” Lia mencoba meng

DMCA.com Protection Status