Hana sangat jarang marah.Di depan semua orang, dia selalu bersikap lembut dan ramah.Karena kecantikan dan kebaikannya, semua orang selalu memandangnya sebagai seorang dewi.Jadi, ketika Hana tiba-tiba marah, semua orang tercengang. Mereka menatapnya dengan berbagai ekspresi.Dalam sekejap suasana menjadi hening.Di bawah tatapan semua orang dan suasana yang hening, Hana tiba-tiba tersadar dan menyadari apa yang baru saja dia lakukan.Bibir merahnya bergerak. Namun pada akhirnya, dia hanya bisa berkata, "Maaf, barusan suasana hatiku buruk dan aku lepas kendali. Maafkan aku."Demi mempertahankan citra dewinya di hati semua orang, Hana hanya dapat terus-menerus meminta maaf pada mereka. Di saat yang sama, matanya memerah dan air matanya yang seperti mutiara pun menetes.Awalnya semua orang terkejut dengan ledakan amarahnya. Namun, setelah mendengarnya meminta maaf tanpa henti, mereka jadi merasa kasihan padanya."Hana, apa yang terjadi? Jangan menangis.""Kalau ada apa-apa, katakan saja
"Hana, tenang saja. Kami pasti akan membantumu mencari keadilan dalam masalah ini.""Kalian jangan seperti ini ...." Hana menatap teman-temannya dengan mata memerah, lalu dia berkata, "Aku tahu kalian melakukannya demi kebaikanku, tapi kini Alya sedang mengurus neneknya Rizki di rumah sakit, dia cukup perhatian."Semua orang mendengarkannya."Benarkah? Kalau begitu, kita tunggu sampai wanita itu selesai mengurus urusannya saat ini. Ketika waktunya tiba, kami pasti akan memberinya pelajaran dan melampiaskan amarahmu."Hana sama sekali tidak berdaya. "Kalian jangan melakukan hal memalukan itu untukku, sebaiknya tunggu setelah aku bertemu dan berbicara dengannya."Setelah mengatakan itu, Hana mengelap air matanya dan memaksakan sebuah senyum yang agak canggung."Baiklah, ayo kita urus makan malam hari ini. Untungnya aku sudah menyiapkan banyak. Kalau nggak cukup, aku akan menyuruh seseorang untuk mengantarnya lagi.""Hana ....""Jangan bicarakan masalah tadi lagi. Malam ini kita nggak aka
Mengenai perhatian Rizki padanya, mungkin karena pertemanan mereka sejak kecil atau hubungan keluarga mereka yang sudah lama berjalan, Rizki menganggap Alya seperti adiknya sendiri.Jadi, tidak peduli apakah mereka menikah atau tidak, Rizki akan memperlakukan Alya seperti ini.Lucunya di bawah interaksi seperti ini, Alya malah jadi memiliki perasaan pada Rizki.Alya mencemooh dirinya sendiri dan memejamkan mata, dia tidak lagi menatap Rizki.Wulan terbangun pada pukul 8 malam.Saat dia bangun, Alya sudah membungkuk di depan tempat tidurnya. Wajah Wulan berhadapan langsung dengan wajah gadis yang tampak amat gelisah itu."Nenek, kamu sudah bangun. Bagaimana rasanya? Apa ada bagian tubuhmu yang sakit? Apa kamu lapar?"Wulan menatap wajah kecil di depannya. Karena mengkhawatirkannya, wajah Alya begitu tegang hingga matanya melebar. Wulan tak bisa menahan diri dan tersenyum, lalu perlahan dia menggelengkan kepalanya.Gadis kecil ini benar-benar tahu cara membuatnya senang.Melihat sang nen
"Pulanglah, bawa Alya pulang dan beristirahat. Di sini ada perawat yang menemaniku."Dia baru saja bangun, lalu tiba-tiba menolak mereka berdua menemaninya. Alya tidak mengerti. Setelah mendengar perkataannya, Rizki juga tidak bergerak. Pria itu hanya duduk di sana sambil mengatupkan bibir tipisnya, ekspresi suram menghiasi wajah tampannya."Rizki, apa kamu nggak mendengarkan Nenek?"Rizki mengerutkan kening.Alya cepat-cepat melangkah maju ke depannya dan berkata, "Nenek, kalau ada yang kamu khawatirkan, bagaimana kalau membicarakannya dengan kami?"Wulan yang mengatakan hal seperti ini setelah pingsan membuat Alya tambah khawatir."Nggak ada yang kukhawatirkan. Aku hanya merasa sudah tua, mentalku sudah nggak seperti dulu lagi. Aku nggak mau merepotkan anak muda seperti kalian untuk terus bolak-balik demi diriku." Wulan menghela napas, dia masih bersikap sangat lembut pada Alya. "Alya, sebenarnya menurut Nenek, mau dioperasi atau nggak, itu sudah nggak terlalu penting."Mendengar ini
Setelah keluar dari kamar, Rizki membawanya menjauh. Alya sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari genggamannya."Rizki, apa yang kamu lakukan?"Rizki menatapnya dalam-dalam."Hari ini kita pulang dulu."Alya mengerutkan kening. "Apa kamu nggak lihat wajah Nenek tadi? Dia ingin pergi dari sanatorium, dia nggak mau tinggal di sini."Setelah kejadian barusan, Alya menebak bahwa Wulan khawatir akan merepotkan keluarganya sendiri bila dia pulang ke rumah, jadi dia hanya bisa tinggal di sanatorium.Dia ingin pulang, tetapi tidak berani.Alya merasa frustrasi. Tiap minggu dia selalu datang berkunjung, tetapi dia tidak pernah menyadari perasaan sang nenek. Seandainya dia tahu lebih cepat, lalu segera membawa Wulan pulang dan merawatnya di rumah, apakah hari ini Wulan tetap akan pingsan sebelum dioperasi?"Aku tahu." Rizki berkata dengan suara rendah, "Tapi kamu juga lihat, saat ini dia keras kepala dan marah denganku."Rizki teringat sesuatu dan menambahkan, "Tapi nggak denganmu."Mendenga
Oleh karena itu, menyiapkan kamar bukanlah hal yang merepotkan.Setelah selesai memberi instruksi, Alya menutup telepon. Dari sisi lain, terdengar ponsel Rizki berbunyi.Nada dering ponsel yang merdu bergema di dalam mobil yang tertutup, terdengar agak tiba-tiba.Begitu mendengar nada dering tersebut, senyum di bibir Alya perlahan memudar.Dia pun bersandar ke kursinya dan menoleh menatap jendela.Kecuali bunyi ponsel Rizki, tidak ada suara lain di dalam mobil.Suasana di dalam mobil tiba-tiba berubah dan Rizki pun menyadarinya. Dia melirik Alya dari ujung matanya, lalu berkata, "Aci, tolong angkat teleponku."Mendengar pemintaannya, Alya terdiam sejenak. Kemudian, dia menolaknya dengan berkata, "Kamu angkat saja sendiri.""Aku sedang menyetir.""Kamu bisa menepi dulu, setelah itu baru kamu angkat."Respons Alya membuat Rizki kesal, tetapi pria itu juga menganggapnya lucu. "Apakah sesulit itu untuk menggantikanku mengangkatnya?""Nggak." Karena semuanya sudah seperti ini, Alya tidak la
Sesuai dugaan, Rizki dengan cepat dilunakkan oleh suara lembut ibunya."Oke. Aku dan Alya akan membawa Nenek pulang, jadi kalian nggak usah ke sanatorium, langsung pulang saja.""Membawa Nenek pulang?"Mendengar berita ini, Sinta tampak agak kaget. Dia buru-buru bertanya, "Apa Alya ada di sampingmu?"Rizki tidak menjawab, pria itu hanya memandang Alya dan memberi isyarat dengan matanya.Karena pengeras suaranya dinyalakan, tentu saja Alya dapat mendengarnya.Jadi, Alya pun memanggil sang ibu, "Ibu."Mendengar ini, Sinta segera mengeluarkan tawa ringan. "Ternyata gadis kecil ini ada di sana juga. Alya, kamu sudah bekerja keras merawat Nenek.""Bukan apa-apa, terima kasih sudah memedulikanku."Meskipun Sinta tidak memperlakukannya sebaik Wulan, Sinta selalu bersikap baik dan sopan kepadanya.Wanita itu tidak pernah memarahinya. Saat dia tahu mereka akan menikah, dia hanya sedikit terkejut. "Aku nggak menyangka kalian akan menikah secepat ini. Aku kira, seseorang akan membutuhkan waktu ya
Alya melihat ke sekelilingnya dan merasa cukup puas. "Taruh beberapa tanaman hijau, ganti warna gordennya dengan yang lebih elegan, juga tambahkan pengharum ruangan yang dapat membantu tidur."Para pelayan pun mengangguk.Satu jam kemudian, mereka berdua berangkat lagi ke sanatorium untuk menjemput sang nenek.Selama 2 jam menunggu Rizki dan Alya yang mengatakan akan membawanya pulang, sesungguhnya Wulan merasa senang, tetapi dia juga merasa rumit.Dia merasa senang, karena akhirnya dia dapat meninggalkan sanatorium ini. Dia merasa rumit, karena dirinya yang sekarang, tampaknya akan merepotkan mereka di rumah.Walaupun rumah mereka sudah dipersiapkan dengan menyeluruh, tempat itu bukanlah sanatorium. Mau tak mau, mereka pasti akan memberikan lebih banyak perhatian padanya.Akan tetapi, sebelum dia dapat memikirkannya lebih lama, suara seorang perawat memasuki telinganya,"Nyonya, cucumu dan istrinya sudah datang menjemput."Mendengar ini, seketika Wulan menjadi agak gugup.Namun, kedua