Kehidupan kakakku cukup berat, dia 10 tahun lebih tua dariku.Setelah ayah mengalami depresi, perusahaan keluarga kami mulai mengalami kemunduran. Kakakku memang pandai dalam hal akademis dan sering akselerasi ke kelas yang lebih tinggi. Pada usia 20 tahun, dia sudah lulus dari universitas dan langsung masuk ke perusahaan untuk mengambil alih tanggung jawab.Dari seorang pemuda yang baru mengenal dunia kerja, dia perlahan berubah menjadi CEO Grup Salim. Perjalanan hidupnya tidaklah mudah. Itulah sebabnya aku sangat peduli padanya.Saat dia terpaksa minum alkohol hingga larut malam demi urusan bisnis, aku akan diam-diam membuatkan sup penawar alkohol untuknya, lalu meletakkannya di atas meja.Di pagi hari, aku akan bangun lebih awal untuk membuatkan bubur yang baik untuk kesehatan lambungnya.Ketika kakakku yang kelelahan menggosok-gosok matanya, aku segera menggunakan uang sakuku yang sudah kutabung selama sebulan untuk mengganti lampu mejanya yang menyilaukan. Aku juga meletakkan obat
Kakakku tidak pernah meneleponku lagi. Ya, wajar saja. Bagi kakakku, satu panggilan telepon sudah merupakan batas terakhir dari kesabarannya untukku.Aku ingat pertama kali kami bertengkar hebat. Urat-urat di tangannya menonjol saat dia menunjuk ke luar pintu, dalam kegelapan yang pekat. Di luar tampak begitu gelap hingga tidak terlihat apa pun."Yovita, pergi dari rumah ini. Aku nggak punya adik sepertimu."Aku mengusap air mataku dan berteriak padanya, "Kamu pikir aku ingin punya kakak seperti kamu? Maxim, aku benci kamu!"Dia menamparku. Pipiku yang merah dan perih langsung membengkak. Aku berlari keluar rumah dan meringkuk di pinggir jalan, berharap dia akan keluar mencariku. Angin malam sangat dingin dan aku hanya mengenakan baju tidur dari sutra.Dalam waktu singkat, bibirku mulai membiru dan tubuhku menggigil tak terkendali. Dengan penuh kekecewaan, akhirnya aku menyadari bahwa kakakku tidak akan mencariku. Dia tidak keluar dari rumah sama sekali.Karena kedinginan dan tidak pun
Aku melihat wajah kakakku yang muram terbenam di sofa, kini akhirnya menampakkan sedikit senyuman. Aku tahu, itu karena jam pulang sekolah adik perempuanku sudah hampir tiba.Saat aku masih duduk di sekolah dasar, adik perempuan yang tidak memiliki hubungan darah denganku ini datang ke rumah kami. Katanya, wajah adik itu lumayan mirip dengan almarhum ibuku.Mungkin itulah alasan kakakku bersikap baik padanya. Aku sering berpikir, seandainya saja aku bisa sedikit mirip dengan Ibu, mungkin keadaannya akan lebih baik. Setidaknya, Ayah dan Kakak tidak akan begitu membenciku.Safira melompat-lompat mendekati mobil kakakku dengan mengenakan gaun putih seperti seorang putri. Dengan senyuman manis di wajahnya dan hidungnya yang sedikit memerah, penampilannya membuat orang merasa simpati padanya. Senyumannya tampak begitu cerah.Safira adalah seorang putri yang dimanja. Dia sangat pandai menyenangkan hati Kakak dan Ayah, serta mendapatkan kasih sayang semua orang. Tidak seperti aku yang tidak p
"Jangan bilang Kak Yovita seperti itu. Mungkin dia cuma lagi kesal. Semua ini salahku. Kalau bukan gara-gara aku, Kak Yovita nggak akan semarah itu sama Kakak."Lagi-lagi, Safira berpura-pura baik. Bagaimanapun juga, aku tetap tidak bisa menghubungkan gadis di depanku ini dengan ibu yang lembut di dalam foto. Apa mereka benar-benar mirip?"Kamu memang murah hati, Safira. Meski Yovita memperlakukanmu dengan buruk, kamu selalu membelanya." Kakakku mengusap rambut Safira dengan lembut."Dalam surat wasiat Ayah dulu, hartanya dibagi rata untukku dan Yovita. Tapi, melihatnya bersikap gila sekarang, mana mungkin dia pantas jadi adikku? Jadi, rencananya aku mau ubah surat wasiat itu dan memberikan bagiannya padamu."Perasaan mual yang tak bisa dijelaskan mulai menjalar dari perutku. Aku ingin pergi, tetapi rasanya seperti jiwaku terbelenggu. Aku bahkan tidak bisa bergerak dan kepalaku terasa berdengung.Suara kakakku masih terdengar di telingaku. "Sebenarnya, waktu Ayah masih sempat diselama
Ketika pertama kali datang, Safira masih bersikap cukup baik padaku. Setidaknya saat di rumah, dia selalu mengikuti di belakangku dengan senyum malu-malu di wajahnya dan memanggilku "Kak Yovita".Sampai dia menyadari bahwa ayah tidak peduli padaku dan kakakku memperlakukanku dengan buruk, barulah dia mulai ikut-ikutan memperlakukanku dengan cara yang sama. Saat itulah aku sadar, ternyata Safira bukanlah seseorang yang mudah tersenyum.Dia pernah mengadangku di toilet sekolah, memimpin para gadis lain untuk menarik rambutku dan menekanku ke lantai. Di bagian tubuh yang tertutup pakaian, mereka menendang dan memukulku.Sakit, tapi tidak meninggalkan bekas luka. Mereka sangat ahli, bahkan memar pun tidak terlihat."Kak Yovita, jangan benci aku. Kalau mau benci, bencilah kakakmu. Semua yang kulakukan padamu ... itu karena dia mengizinkannya. Kalau bukan karena restu kakakmu, kamu pikir anak angkat sepertiku berani bertindak searogan ini?"Ya, kalau bukan karena kakakku yang memberi izin, m
Berkali-kali aku pulang dengan rambut dan pakaian yang acak-acakan. Kakakku hanya menatapku dengan ekspresi dingin, lalu menarikku dan bertanya, "Yovita, kamu buat macam-macam di luar? Kamu itu belum genap 18 tahun, kamu nggak malu sama Ibu?"Aku menahan tangisku dan berusaha diam. Namun, rasa sakit di tubuh dan hatiku tak bisa kutahan. Aku ingin memberi tahu kakakku. Akan tetapi, Safira dan beberapa teman laki-laki di kelas telah menelanjangiku dan mengambil foto-foto yang tidak senonoh.Dengan senyum tak berdosa di wajahnya yang cantik, Safira berkata, "Yovita, kalau kamu berani ngadu, aku akan sebarkan foto-foto ini. Kalau sampai itu terjadi, kita lihat saja apa yang dipikirkan kakakmu nanti tentang kamu."Apakah ada gunanya mengadu? Aku tidak tahu. Sejak saat itu, aku mulai minum obat. Rambutku mulai rontok dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, tidak ada yang berubah.Pada akhirnya, aku pergi ke psikolog. Seorang terapis wanita mengelus kepalaku dengan tatapan penuh kasih dan kele
Sejak sakit, temperamenku menjadi sangat buruk. Sikapku terhadap Safira dan Maxim juga semakin buruk dibandingkan sebelumnya.Pada ujian bulanan waktu itu, nilaiku jadi menurun karena sakit. Meski demikian, nilaiku tetap saja lebih bagus dibandingkan Safira. Aku merasa senang karena setidaknya dalam hal akademis, aku lebih unggul darinya.Saat menatapnya, aku melihat kilatan matanya yang dipenuhi kebencian. Kemudian, sudut bibirnya menyunggingkan senyuman licik. Awalnya, aku tidak mengerti maksud dari senyuman tersebut ... sampai dia membawa beberapa orang keluar.Tak lama setelah itu, di seluruh kelas beredar rumor bahwa aku adalah pembawa sial yang menyebabkan kematian ibuku. Saat kembali dari jam istirahat, aku menemukan bangkai ular dan laba-laba beracun diselipkan di mejaku.Meja dan kursiku juga diganti dengan yang rusak dan tak bisa digunakan lagi. Rupanya penghinaan fisik saja tidak cukup bagi Safira. Dia mulai menyerang mental dan emosiku.Di jalan keluar dari sekolah, dia mel
Di tengah masa-masa yang sulit ini, aku bertemu dengannya. Jiwaku telah tercabik hingga mencapai batasnya. Tubuh dan pikiranku sangat lelah Bibirku kering pecah-pecah, lingkaran hitam di bawah mataku sangat jelas, rambutku mulai menipis dan kering.Kepalaku terasa berat dan langkahku kelimpungan. Aku tidak tahu ke mana harus pergi. Pada akhirnya, aku berhenti di sebuah jembatan penyeberangan yang jarang dilewati orang.Aku melihat ke bawah. Tidak banyak orang di sana. Syukurlah, setidaknya tidak akan menimbulkan kehebohan besar.Dia pernah berkata, "Waktu pertama kali aku melihatmu, kesan pertama adalah 'jelek'. Bukan karena kamu memang jelek, sebaliknya kamu sangat cantik. Hanya saja kondisimu sangat buruk.""Kesannya seperti hewan yang hampir mati kehausan di gurun atau seperti ikan yang hampir tenggelam di danau."Aku tertawa sambil menepuk tangannya. "Omong kosong. Ikan nggak mungkin tenggelam."Dia mendengus sambil melirikku tajam. "Itu cuma kiasan. Rasanya seperti ... kamu memanc