Berkali-kali aku pulang dengan rambut dan pakaian yang acak-acakan. Kakakku hanya menatapku dengan ekspresi dingin, lalu menarikku dan bertanya, "Yovita, kamu buat macam-macam di luar? Kamu itu belum genap 18 tahun, kamu nggak malu sama Ibu?"Aku menahan tangisku dan berusaha diam. Namun, rasa sakit di tubuh dan hatiku tak bisa kutahan. Aku ingin memberi tahu kakakku. Akan tetapi, Safira dan beberapa teman laki-laki di kelas telah menelanjangiku dan mengambil foto-foto yang tidak senonoh.Dengan senyum tak berdosa di wajahnya yang cantik, Safira berkata, "Yovita, kalau kamu berani ngadu, aku akan sebarkan foto-foto ini. Kalau sampai itu terjadi, kita lihat saja apa yang dipikirkan kakakmu nanti tentang kamu."Apakah ada gunanya mengadu? Aku tidak tahu. Sejak saat itu, aku mulai minum obat. Rambutku mulai rontok dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, tidak ada yang berubah.Pada akhirnya, aku pergi ke psikolog. Seorang terapis wanita mengelus kepalaku dengan tatapan penuh kasih dan kele
Sejak sakit, temperamenku menjadi sangat buruk. Sikapku terhadap Safira dan Maxim juga semakin buruk dibandingkan sebelumnya.Pada ujian bulanan waktu itu, nilaiku jadi menurun karena sakit. Meski demikian, nilaiku tetap saja lebih bagus dibandingkan Safira. Aku merasa senang karena setidaknya dalam hal akademis, aku lebih unggul darinya.Saat menatapnya, aku melihat kilatan matanya yang dipenuhi kebencian. Kemudian, sudut bibirnya menyunggingkan senyuman licik. Awalnya, aku tidak mengerti maksud dari senyuman tersebut ... sampai dia membawa beberapa orang keluar.Tak lama setelah itu, di seluruh kelas beredar rumor bahwa aku adalah pembawa sial yang menyebabkan kematian ibuku. Saat kembali dari jam istirahat, aku menemukan bangkai ular dan laba-laba beracun diselipkan di mejaku.Meja dan kursiku juga diganti dengan yang rusak dan tak bisa digunakan lagi. Rupanya penghinaan fisik saja tidak cukup bagi Safira. Dia mulai menyerang mental dan emosiku.Di jalan keluar dari sekolah, dia mel
Di tengah masa-masa yang sulit ini, aku bertemu dengannya. Jiwaku telah tercabik hingga mencapai batasnya. Tubuh dan pikiranku sangat lelah Bibirku kering pecah-pecah, lingkaran hitam di bawah mataku sangat jelas, rambutku mulai menipis dan kering.Kepalaku terasa berat dan langkahku kelimpungan. Aku tidak tahu ke mana harus pergi. Pada akhirnya, aku berhenti di sebuah jembatan penyeberangan yang jarang dilewati orang.Aku melihat ke bawah. Tidak banyak orang di sana. Syukurlah, setidaknya tidak akan menimbulkan kehebohan besar.Dia pernah berkata, "Waktu pertama kali aku melihatmu, kesan pertama adalah 'jelek'. Bukan karena kamu memang jelek, sebaliknya kamu sangat cantik. Hanya saja kondisimu sangat buruk.""Kesannya seperti hewan yang hampir mati kehausan di gurun atau seperti ikan yang hampir tenggelam di danau."Aku tertawa sambil menepuk tangannya. "Omong kosong. Ikan nggak mungkin tenggelam."Dia mendengus sambil melirikku tajam. "Itu cuma kiasan. Rasanya seperti ... kamu memanc
Setiap hari yang kuhabiskan bersama Lydia adalah hari yang penuh kebahagiaan. Dia benar-benar bagaikan sinar matahari kecil yang membawa kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Setidaknya, dia adalah matahari dalam hidupku.Aku tidak hanya sekali berkata padanya, "Lydia, tanpa kamu, aku pasti sudah mati."Dia menepuk tanganku sambil tersenyum, "Kata-katamu lebih indah daripada semua kebohongan yang pernah diucapkan mantan pacarku."Aku mengangguk karena aku memang tidak berbohong.Setelah terdiam sejenak, dia memegang wajahku dengan lembut dan berkata dengan serius, "Jadi, mulai sekarang ... Yovita, kamu nggak boleh mati tanpa seizinku."Namun, aku melanggar janji itu. Padahal, aku sangat ingin menepatinya. Setelah bersama Lydia, depresiku semakin berkurang. Tak lama kemudian, aku berhenti minum obat.Sebab, Lydia akan selalu mengajakku makan makanan lezat. Saat ulang tahunku, dia menuliskan "Selamat ulang tahun untuk adikku tersayang" di atas kue. Dia membawaku nai
Hari kelima setelah aku meninggal, kerutan di dahi kakakku semakin dalam. Ekspresinya juga mulai menunjukkan sedikit kepanikan. Karena sebelumnya, waktu terlama aku pernah kabur dari rumah hanya tiga hari. Sekarang, aku mulai menantikan bagaimana reaksinya saat tahu aku sudah meninggal.Setelah bersama Kak Lydia, dia pernah berkata padaku bahwa manusia harus hidup dengan bahagia. Kebahagiaan adalah yang paling penting. Sejak saat itu, nilaiku mulai menurun drastis.Saking parahnya, guru-guru di sekolah mulai menegurku dan kemudian memanggil kakakku ke kantor. Setelah pulang sekolah, seperti yang sudah kuduga, Kakak marah padaku."Yovita, kamu sudah 18 tahun. Bisa nggak kamu bersikap lebih dewasa? Menurutmu, menurunkan nilai untuk mencari perhatian itu keren?"Dulu, demi mendapatkan perhatian dari Ayah dan Kakak, aku bahkan menganggap mimisan karena belajar sebagai sesuatu yang berharga. Setidaknya pada saat itu, Ayah dan Kakak akan memperhatikanku lebih dari biasanya.Namun sekarang,
Kak Lydia tidak pernah membiarkanku pulang sendiri. Dia tidak pernah mengizinkanku minum saat mengajakku keluar. Kalau dia mabuk, dia akan menyuruh teman dekatnya mengantarku pulang.Mereka semua bersikap layaknya jentelmen dan jauh lebih baik daripada teman-teman Maxim yang berpakaian rapi itu.Sekarang aku baru mengerti bahwa orang dengan karakter yang sama akan berkumpul bersama. Ini adalah fakta.Di mataku, Maxim sangat kotor. Makanya, teman-temannya mengira aku boleh disentuh sesuka hati. Sementara itu, Kak Lydia memperlakukanku sebagai adik kandungnya, begitu juga teman-temannya.Suatu hari, pernah ada seorang pria menyatakan perasaan kepadaku. Dia bilang dia jatuh cinta sejak pandangan pertama.Kak Lydia memberiku isyarat mata dan membawaku ke samping. Dia menasihatiku, "Kenny pria baik. Dia nggak pernah pacaran. Kalau di luar, dia juga nggak sembarangan. Kalau suka, terima saja dia. Hanya saja, anak perempuan sebaiknya nggak pacaran terlalu cepat."Aku dan Kenny bersama. Dia me
"Yovita, kamu nggak tahu malu sekali. Kamu ingin sekali ditiduri pria?"Ketika mendengar hinaan itu, amarahku berkecamuk. Aku melayangkan tamparan ke wajah Maxim dengan sekuat tenaga.Seketika, terlihat bekas tamparan yang jelas di wajah kakakku. Tatapannya penuh ketidakpercayaan. Ini pertama kali dan terakhir kalinya aku melawannya, karena aku ingin meninggalkan rumah ini."Kak, ini terakhir kalinya aku memanggilmu begini. Kamu membesarkanku selama 18 tahun dan aku menderita selama 18 tahun. Kamu nggak pantas jadi kakakku."Maxim mengernyit dan memicingkan matanya. Dia bak harimau ganas yang berusaha keras menahan emosinya. Saat berikutnya, dia meraih bahuku dan mengguncang tubuhku dengan kuat."Yovita, kamu benar-benar sudah gila. Setelah kamu nyesal, aku nggak bakal maafin kamu atau kasih kamu masuk rumahku lagi."Aku mendengus dan menatap mata Maxim lekat-lekat."Baguslah kalau begitu. Aku yakin ini adalah keputusan terbaik yang kubuat selama 18 tahun ini."Kemudian, aku langsung m
Hari ketujuh setelah aku mati, Maxim akhirnya keluar mencariku untuk pertama kalinya.Namun, Safira menghalanginya. "Kak Yovita pasti di rumah pria itu. Kalau kamu mencarinya, gimana kalau kamu melihat pacarnya ...."Begitu mendengarnya, Maxim langsung duduk di sofa dan melempar kunci mobilnya. Niatnya untuk mencariku pun sirna. Aku bisa melihat senyuman bangga Safira.Kemudian, Maxim menelepon teman-temannya untuk mengeluh tentangku, "Entah ke mana Yovita pergi. Dia sudah tujuh hari nggak pulang.""Tsk, aku pernah melihat adikmu ini di bar beberapa kali. Dia berteman dengan beberapa pria nggak jelas. Aku rasa dia lagi tidur sama pria."Aku mendengar fitnahan itu dengan ekspresi dingin. Ternyata aku wanita seperti itu di mata teman Maxim.Aku terbang ke kejauhan, memandang lampu di jalanan. Tidak ada emosi yang bisa kurasakan. Aku teringat pada Lydia dan Kenny. Di dunia ini, hanya mereka yang peduli padaku.Namun, aku segera merasa sedih kembali. Jika mereka tahu aku sudah mati, bukank