Maxim berkali-kali berpikir, apa hasilnya akan berbeda jika dirinya mengikuti suara hatinya dan mencari adiknya di luar malam itu?Namun, begitu kakinya tiba di depan pintu, Maxim mengurungkan niatnya. Dia yakin adiknya akan pulang.Tidak peduli bagaimana Maxim memarahi Yovita, Yovita tetap adiknya. Maxim adalah satu-satunya keluarganya di dunia ini. Ke mana Yovita bisa pergi kalau bukan pulang?Maxim pergi ke kantor polisi untuk melapor. Polisi bertanya seperti biasa, "Sudah hilang berapa hari?""Tujuh hari," sahut Maxim dengan perasaan bersalah."Kamu kakak kandungnya? Adikmu hilang tujuh hari, tapi kamu baru lapor sekarang?" Polisi menatap Maxim dengan saksama. Nada bicaranya terdengar kesal.Kegelisahan menjadi makin kuat di hati Maxim. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ada suara yang terus terngiang di benaknya. "Kamu nggak takut sesuatu terjadi padanya?"Aku melayang di udara, menyaksikan kakakku mencari ke sana sini dengan panik. Ini hal yang baru untukku. Dia tidak pernah
Polisi melewatkan bagian itu. Kemudian, di CCTV pinggir jalan, mereka melihatku yang linglung ditabrak oleh mobil.Para polisi hanya bisa menepuk bahu Maxim dengan penuh simpati. Mereka tidak bisa mengatakan apa pun.Maxim terduduk lemas di lantai. Tatapannya hampa, wajahnya cemas. Ini seperti Maxim yang baru berusia 10 tahun. Saat itu, dia hanya bisa menatap adik yang baru lahir dan orang tuanya yang baru meninggal. Hatinya terasa sakit.Tubuhku ditemukan dengan cepat. Aku berbaring dengan tenang di tanah. Tubuhku sudah kaku dan dingin.Orang-orang di rumah sakit merasa iba padaku. "Kasihan sekali. Kudengar usianya baru 18 tahun."Ada juga yang mengeluh, "Sudah berhari-hari lewat, tapi keluarganya baru mencarinya."Orang-orang menatap Maxim dengan kesal. Ya, bisa dibilang Maxim dan Safira yang mencelakaiku selama ini. Sebagian besar penyebab penderitaanku adalah Maxim. Kedua bersaudara ini memang pembunuh.Maxim memeluk jenazahku sambil bergumam, "Yovita, Kakak bawa kamu pulang. Kamu
Kenny dan Lydia sama-sama mencari Maxim untuk meminta abuku. Mata mereka berdua terlihat bengkak karena menangis.Menurutku, perasaan manusia tidak bisa diukur dengan waktu. Contoh saja aku dan kakakku yang hidup bersama selama 18 tahun. Kakakku tidak pernah memelukku ataupun memberiku cinta kasih.Sebagian besar cinta kasih yang kurasakan di dunia ini berasal dari Kenny dan Lydia. Aku mati pada malam aku berlari menuju kehidupan baruku."Serahkan abu Yovita pada kami. Yovita nggak ingin bersamamu. Hal terakhir yang dia lakukan adalah meninggalkanmu. Benar, 'kan?" ucap Lydia dengan wajah sedingin es.Kini, Lydia tidak terlihat seperti biasanya saat memaki kakakku. Dia berusaha bersikap sopan karena tidak ingin aku dipandang rendah hanya karena berteman dengan orang yang suka cakap kotor."Maxim, aku tahu kamu benci Yovita," ujar Lydia menatap Maxim lekat-lekat.Maxim hanya bisa menunduk, memeluk guci abuku. Dia tidak menanggapi apa pun. Tidak ada yang perlu diherankan. Lagi pula, apa y
Maxim menyelidiki semua hal yang terjadi padaku semasa hidupku. Dia baru tahu Safira telah melakukan begitu banyak hal jahat di belakangnya.Ternyata Maxim tidak tahu apa-apa selama ini. Kukira dia tahu. Aku menyaksikan Safira yang sedang menyimak pelajaran, dipanggil keluar dan ditarik ke toilet wanita.Seperti yang kualami, Safira juga ditindas, bahkan beberapa orang itu mengambil foto telanjangnya. Kemudian, seseorang mengunggahnya di forum sekolah secara anonim. Selain itu, kebenaran tentang Safira yang menyebarkan rumor tentangku dan membawa orang menindasku di kampus akhirnya terungkap.Begitu semuanya terungkap, dampaknya menjadi makin besar. Safira menjadi sasaran publik. Penderitaan yang dialaminya ratusan kali lipat lebih parah dariku. Dia berlutut di depan pintu, memohon pada Maxim untuk mengampuninya.Safira sungguh tidak mengerti. Maxim jelas-jelas begitu membenciku. Bukankah Maxim seharusnya gembira setelah aku mati?Lantas, kenapa Maxim malah menyelidiki semua yang terja
Seperti mendengar suara hatiku, kakakku tiba-tiba datang ke kamarku yang kosong melompong. Kamar ini sangat bersih, seolah-olah tidak pernah ditempati siapa pun. Wajar saja. Apa yang dimiliki Safira tidak dimiliki olehku."Yovita, apa kamu masih di sini? Aku terus merasakan keberadaanmu," gumam kakakku yang duduk dengan lemas.Parmi menghampiri dan menghela napas. "Maxim, kamu harus jaga kesehatan. Yovita sangat sayang padamu. Dulu kalau kamu mabuk, dia yang masak bubur dan sup pereda pengar.""Barang-barang di mejamu, termasuk pelindung mata, juga disiapkan Yovita. Yovita juga menyetrika pakaianmu."Maxim teringat saat dirinya pulang dalam keadaan mabuk. Dia melihat Yovita menjulurkan kepalanya dari kamar samping sambil menatapnya dengan takut. Saat itu, Yovita baru SMP 1. Maxim sibuk menghadiri pertemuan bisnis demi perusahaannya.Namun, Maxim malah berkata, "Kalau bukan karena kamu, aku nggak perlu capek-capek begini. Aku membencimu, Yovita."Ketika melihat mata Yovita berkaca-kaca,
Aku menatap Maxim yang wajahnya terlihat ramah dengan heran. Maxim merentangkan kedua tangannya sambil mendekatiku."Yovita, adikku, akhirnya kita bertemu lagi."Aku buru-buru berbalik untuk menghindar."Maxim, sudah kubilang. Aku nggak bakal panggil kamu kakak lagi. Aku juga bukan adikmu lagi."Kegembiraan pada tatapan Maxim berangsur menghilang. Kedua tangannya juga terkulai lemas. Dia bertanya dengan lirih, "Kalau aku mati, apa kamu bakal senang?"Aku bisa mendengar harapan pada nada bicaranya."Nggak bakal. Kalau bisa, aku harap kamu ...."Maxim mendengar dengan tenang. Tampak senyuman tulus di wajahnya."Aku harap kamu panjang umur dan hidup sebatang kara sampai akhir hayatmu."Senyuman Maxim membeku. "Yovita, apa yang kamu katakan?""Aku bilang aku nggak mau kamu mati. Karena aku nggak ingin melihatmu. Maxim, aku nggak ingin melihatmu untuk selamanya!"Hari ketika aku meninggalkan dunia fana, aku pergi mengunjungi Kenny dan Lydia. Mereka berdua berdiri di depan makamku, mengenang
Kakak laki-lakiku membenciku, bahkan berharap aku mati. Sambil menangis, aku bertanya padanya, "Apa aku bukan adik kandungmu?"Dia menjawab sambil tertawa sinis, "Aku nggak punya adik."Malam itu, aku tiba-tiba ditabrak mobil dan meninggal. Namun, dia malah jadi gila.Aku sudah mati. Yovita meninggal di usia 18 tahun, saat kehidupannya tampak paling cemerlang. Rasa sakit yang hebat menyerangku dalam sekejap, aku bersyukur karena kematianku cepat. Namun, tubuhku terlihat sangat buruk.Aku melayang di udara, melihat orang-orang yang lewat satu per satu menggelengkan kepala mereka sambil menghela napas. Aku mengikuti jasadku ke rumah sakit.Setelah menjalani beberapa prosedur, tubuhku didorong ke kamar mayat. Dokter memeriksa pakaianku yang compang-camping. Mereka mencari dengan cermat, tapi tidak menemukan benda apa pun yang bisa membuktikan identitasku."Kasihan sekali. Anak gadis yang cantik ini sepertinya belum dewasa. Entah betapa sedih keluarganya nanti."Benar juga. Dompet, kartu i
Aku melayang kembali ke rumah.Sebuah vila mewah berdiri tegak di pinggiran kota. Dalam kegelapan, vila itu tampak bagaikan binatang buas yang bersembunyi dan tidak pernah memberikan kehangatan sama sekali. Seperti itulah rumahku.Cahaya lampu meja menerangi wajah kakakku yang tegas. Dia sedang menangani urusan perusahaan dan alisnya berkerut tajam. Dia melihat jam di ponselnya, wajahnya menunjukkan sedikit ketidaksabaran. Sepertinya dia sedang marah lagi.Tak lama kemudian, dia membuka ponselnya dan mencoba menelepon seseorang. Tampaknya, panggilan itu tidak terhubung.Dia mengumpat lalu menutup teleponnya dengan kasar. Dengan emosi, dia menyingkirkan semua barang di atas meja. Aku tahu, temperamen kakakku memang selalu buruk."Yovita, besar sekali nyalimu sekarang. Kamu bahkan memblokir nomor dan WhatsApp-ku!"Kakakku melempar barang-barang dengan marah."Kalau berani, jangan pernah kembali lagi seumur hidup. Mati saja di luar sana!"Hidungku terasa perih. Meski aku sudah mati, mende