Seperti mendengar suara hatiku, kakakku tiba-tiba datang ke kamarku yang kosong melompong. Kamar ini sangat bersih, seolah-olah tidak pernah ditempati siapa pun. Wajar saja. Apa yang dimiliki Safira tidak dimiliki olehku."Yovita, apa kamu masih di sini? Aku terus merasakan keberadaanmu," gumam kakakku yang duduk dengan lemas.Parmi menghampiri dan menghela napas. "Maxim, kamu harus jaga kesehatan. Yovita sangat sayang padamu. Dulu kalau kamu mabuk, dia yang masak bubur dan sup pereda pengar.""Barang-barang di mejamu, termasuk pelindung mata, juga disiapkan Yovita. Yovita juga menyetrika pakaianmu."Maxim teringat saat dirinya pulang dalam keadaan mabuk. Dia melihat Yovita menjulurkan kepalanya dari kamar samping sambil menatapnya dengan takut. Saat itu, Yovita baru SMP 1. Maxim sibuk menghadiri pertemuan bisnis demi perusahaannya.Namun, Maxim malah berkata, "Kalau bukan karena kamu, aku nggak perlu capek-capek begini. Aku membencimu, Yovita."Ketika melihat mata Yovita berkaca-kaca,
Aku menatap Maxim yang wajahnya terlihat ramah dengan heran. Maxim merentangkan kedua tangannya sambil mendekatiku."Yovita, adikku, akhirnya kita bertemu lagi."Aku buru-buru berbalik untuk menghindar."Maxim, sudah kubilang. Aku nggak bakal panggil kamu kakak lagi. Aku juga bukan adikmu lagi."Kegembiraan pada tatapan Maxim berangsur menghilang. Kedua tangannya juga terkulai lemas. Dia bertanya dengan lirih, "Kalau aku mati, apa kamu bakal senang?"Aku bisa mendengar harapan pada nada bicaranya."Nggak bakal. Kalau bisa, aku harap kamu ...."Maxim mendengar dengan tenang. Tampak senyuman tulus di wajahnya."Aku harap kamu panjang umur dan hidup sebatang kara sampai akhir hayatmu."Senyuman Maxim membeku. "Yovita, apa yang kamu katakan?""Aku bilang aku nggak mau kamu mati. Karena aku nggak ingin melihatmu. Maxim, aku nggak ingin melihatmu untuk selamanya!"Hari ketika aku meninggalkan dunia fana, aku pergi mengunjungi Kenny dan Lydia. Mereka berdua berdiri di depan makamku, mengenang
Kakak laki-lakiku membenciku, bahkan berharap aku mati. Sambil menangis, aku bertanya padanya, "Apa aku bukan adik kandungmu?"Dia menjawab sambil tertawa sinis, "Aku nggak punya adik."Malam itu, aku tiba-tiba ditabrak mobil dan meninggal. Namun, dia malah jadi gila.Aku sudah mati. Yovita meninggal di usia 18 tahun, saat kehidupannya tampak paling cemerlang. Rasa sakit yang hebat menyerangku dalam sekejap, aku bersyukur karena kematianku cepat. Namun, tubuhku terlihat sangat buruk.Aku melayang di udara, melihat orang-orang yang lewat satu per satu menggelengkan kepala mereka sambil menghela napas. Aku mengikuti jasadku ke rumah sakit.Setelah menjalani beberapa prosedur, tubuhku didorong ke kamar mayat. Dokter memeriksa pakaianku yang compang-camping. Mereka mencari dengan cermat, tapi tidak menemukan benda apa pun yang bisa membuktikan identitasku."Kasihan sekali. Anak gadis yang cantik ini sepertinya belum dewasa. Entah betapa sedih keluarganya nanti."Benar juga. Dompet, kartu i
Aku melayang kembali ke rumah.Sebuah vila mewah berdiri tegak di pinggiran kota. Dalam kegelapan, vila itu tampak bagaikan binatang buas yang bersembunyi dan tidak pernah memberikan kehangatan sama sekali. Seperti itulah rumahku.Cahaya lampu meja menerangi wajah kakakku yang tegas. Dia sedang menangani urusan perusahaan dan alisnya berkerut tajam. Dia melihat jam di ponselnya, wajahnya menunjukkan sedikit ketidaksabaran. Sepertinya dia sedang marah lagi.Tak lama kemudian, dia membuka ponselnya dan mencoba menelepon seseorang. Tampaknya, panggilan itu tidak terhubung.Dia mengumpat lalu menutup teleponnya dengan kasar. Dengan emosi, dia menyingkirkan semua barang di atas meja. Aku tahu, temperamen kakakku memang selalu buruk."Yovita, besar sekali nyalimu sekarang. Kamu bahkan memblokir nomor dan WhatsApp-ku!"Kakakku melempar barang-barang dengan marah."Kalau berani, jangan pernah kembali lagi seumur hidup. Mati saja di luar sana!"Hidungku terasa perih. Meski aku sudah mati, mende
Bukan tidak ada alasannya Kakak bisa begitu membenciku. Sesuai dengan apa yang dikatakannya, akulah orang yang menyebabkan kematian ayah dan ibuku.Beberapa hari sebelum Ibu melahirkan, tiba-tiba dia ingin pergi ke mal untuk membelikanku pakaian. Di sana, dia tertabrak mobil. Ketika dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah sangat kritis. Mereka melakukan operasi caesar untuk menyelamatkanku, tapi tidak bisa menyelamatkan Ibu.Ibu meninggal di hari kelahiranku.Meskipun demikian, kata-kata terakhir Ibu kepada Ayah sebelum meninggal adalah, "Jaga baik-baik Yovita, katakan padanya bahwa Ibu mencintainya."Ayah menyampaikan kata-kata itu padaku saat dia mabuk. Namun setelah itu, Ayah tetap tidak memedulikanku. Kecuali saat mabuk, kadang-kadang Ayah berbicara beberapa patah kata di telingaku.Di waktu lainnya, dia selalu memasang wajah ketus, seolah-olah aku tidak pernah ada di rumah ini. Belum lama ini, Ayah yang selama ini tidak acuh padaku juga meninggal karena bunuh diri.Ayah meninggalk
Kehidupan kakakku cukup berat, dia 10 tahun lebih tua dariku.Setelah ayah mengalami depresi, perusahaan keluarga kami mulai mengalami kemunduran. Kakakku memang pandai dalam hal akademis dan sering akselerasi ke kelas yang lebih tinggi. Pada usia 20 tahun, dia sudah lulus dari universitas dan langsung masuk ke perusahaan untuk mengambil alih tanggung jawab.Dari seorang pemuda yang baru mengenal dunia kerja, dia perlahan berubah menjadi CEO Grup Salim. Perjalanan hidupnya tidaklah mudah. Itulah sebabnya aku sangat peduli padanya.Saat dia terpaksa minum alkohol hingga larut malam demi urusan bisnis, aku akan diam-diam membuatkan sup penawar alkohol untuknya, lalu meletakkannya di atas meja.Di pagi hari, aku akan bangun lebih awal untuk membuatkan bubur yang baik untuk kesehatan lambungnya.Ketika kakakku yang kelelahan menggosok-gosok matanya, aku segera menggunakan uang sakuku yang sudah kutabung selama sebulan untuk mengganti lampu mejanya yang menyilaukan. Aku juga meletakkan obat
Kakakku tidak pernah meneleponku lagi. Ya, wajar saja. Bagi kakakku, satu panggilan telepon sudah merupakan batas terakhir dari kesabarannya untukku.Aku ingat pertama kali kami bertengkar hebat. Urat-urat di tangannya menonjol saat dia menunjuk ke luar pintu, dalam kegelapan yang pekat. Di luar tampak begitu gelap hingga tidak terlihat apa pun."Yovita, pergi dari rumah ini. Aku nggak punya adik sepertimu."Aku mengusap air mataku dan berteriak padanya, "Kamu pikir aku ingin punya kakak seperti kamu? Maxim, aku benci kamu!"Dia menamparku. Pipiku yang merah dan perih langsung membengkak. Aku berlari keluar rumah dan meringkuk di pinggir jalan, berharap dia akan keluar mencariku. Angin malam sangat dingin dan aku hanya mengenakan baju tidur dari sutra.Dalam waktu singkat, bibirku mulai membiru dan tubuhku menggigil tak terkendali. Dengan penuh kekecewaan, akhirnya aku menyadari bahwa kakakku tidak akan mencariku. Dia tidak keluar dari rumah sama sekali.Karena kedinginan dan tidak pun
Aku melihat wajah kakakku yang muram terbenam di sofa, kini akhirnya menampakkan sedikit senyuman. Aku tahu, itu karena jam pulang sekolah adik perempuanku sudah hampir tiba.Saat aku masih duduk di sekolah dasar, adik perempuan yang tidak memiliki hubungan darah denganku ini datang ke rumah kami. Katanya, wajah adik itu lumayan mirip dengan almarhum ibuku.Mungkin itulah alasan kakakku bersikap baik padanya. Aku sering berpikir, seandainya saja aku bisa sedikit mirip dengan Ibu, mungkin keadaannya akan lebih baik. Setidaknya, Ayah dan Kakak tidak akan begitu membenciku.Safira melompat-lompat mendekati mobil kakakku dengan mengenakan gaun putih seperti seorang putri. Dengan senyuman manis di wajahnya dan hidungnya yang sedikit memerah, penampilannya membuat orang merasa simpati padanya. Senyumannya tampak begitu cerah.Safira adalah seorang putri yang dimanja. Dia sangat pandai menyenangkan hati Kakak dan Ayah, serta mendapatkan kasih sayang semua orang. Tidak seperti aku yang tidak p