Share

Bab 5

Kakakku tidak pernah meneleponku lagi. Ya, wajar saja. Bagi kakakku, satu panggilan telepon sudah merupakan batas terakhir dari kesabarannya untukku.

Aku ingat pertama kali kami bertengkar hebat. Urat-urat di tangannya menonjol saat dia menunjuk ke luar pintu, dalam kegelapan yang pekat. Di luar tampak begitu gelap hingga tidak terlihat apa pun.

"Yovita, pergi dari rumah ini. Aku nggak punya adik sepertimu."

Aku mengusap air mataku dan berteriak padanya, "Kamu pikir aku ingin punya kakak seperti kamu? Maxim, aku benci kamu!"

Dia menamparku. Pipiku yang merah dan perih langsung membengkak. Aku berlari keluar rumah dan meringkuk di pinggir jalan, berharap dia akan keluar mencariku. Angin malam sangat dingin dan aku hanya mengenakan baju tidur dari sutra.

Dalam waktu singkat, bibirku mulai membiru dan tubuhku menggigil tak terkendali. Dengan penuh kekecewaan, akhirnya aku menyadari bahwa kakakku tidak akan mencariku. Dia tidak keluar dari rumah sama sekali.

Karena kedinginan dan tidak punya uang, aku terpaksa pergi ke rumah seorang teman yang masih agak dekat denganku dan tinggal beberapa malam di sana.

Akhirnya, dia meneleponku. Aku pikir dia akhirnya peduli padaku. Hatiku menunggu dengan penuh harapan kakakku akan datang menjemputku. Aku berpikir, dia akan memelukku saat melihatku.

Namun nyatanya, dia justru menamparku lebih keras dari sebelumnya. Aku terjatuh, tidak bisa berdiri dengan tegak. Sambil memegangi wajahku yang perih, aku menatapnya dengan air mata yang menggenang.

Dia berdiri di tempat dengan angkuh dan sorot matanya dipenuhi kebencian.

"Yovita, kalau kamu hilang seperti ini lagi, jangan pernah kembali lagi. Kamu pikir, kalau bukan karena Ayah, aku mau merawatmu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status