Setiap hari yang kuhabiskan bersama Lydia adalah hari yang penuh kebahagiaan. Dia benar-benar bagaikan sinar matahari kecil yang membawa kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Setidaknya, dia adalah matahari dalam hidupku.Aku tidak hanya sekali berkata padanya, "Lydia, tanpa kamu, aku pasti sudah mati."Dia menepuk tanganku sambil tersenyum, "Kata-katamu lebih indah daripada semua kebohongan yang pernah diucapkan mantan pacarku."Aku mengangguk karena aku memang tidak berbohong.Setelah terdiam sejenak, dia memegang wajahku dengan lembut dan berkata dengan serius, "Jadi, mulai sekarang ... Yovita, kamu nggak boleh mati tanpa seizinku."Namun, aku melanggar janji itu. Padahal, aku sangat ingin menepatinya. Setelah bersama Lydia, depresiku semakin berkurang. Tak lama kemudian, aku berhenti minum obat.Sebab, Lydia akan selalu mengajakku makan makanan lezat. Saat ulang tahunku, dia menuliskan "Selamat ulang tahun untuk adikku tersayang" di atas kue. Dia membawaku nai
Hari kelima setelah aku meninggal, kerutan di dahi kakakku semakin dalam. Ekspresinya juga mulai menunjukkan sedikit kepanikan. Karena sebelumnya, waktu terlama aku pernah kabur dari rumah hanya tiga hari. Sekarang, aku mulai menantikan bagaimana reaksinya saat tahu aku sudah meninggal.Setelah bersama Kak Lydia, dia pernah berkata padaku bahwa manusia harus hidup dengan bahagia. Kebahagiaan adalah yang paling penting. Sejak saat itu, nilaiku mulai menurun drastis.Saking parahnya, guru-guru di sekolah mulai menegurku dan kemudian memanggil kakakku ke kantor. Setelah pulang sekolah, seperti yang sudah kuduga, Kakak marah padaku."Yovita, kamu sudah 18 tahun. Bisa nggak kamu bersikap lebih dewasa? Menurutmu, menurunkan nilai untuk mencari perhatian itu keren?"Dulu, demi mendapatkan perhatian dari Ayah dan Kakak, aku bahkan menganggap mimisan karena belajar sebagai sesuatu yang berharga. Setidaknya pada saat itu, Ayah dan Kakak akan memperhatikanku lebih dari biasanya.Namun sekarang,
Kak Lydia tidak pernah membiarkanku pulang sendiri. Dia tidak pernah mengizinkanku minum saat mengajakku keluar. Kalau dia mabuk, dia akan menyuruh teman dekatnya mengantarku pulang.Mereka semua bersikap layaknya jentelmen dan jauh lebih baik daripada teman-teman Maxim yang berpakaian rapi itu.Sekarang aku baru mengerti bahwa orang dengan karakter yang sama akan berkumpul bersama. Ini adalah fakta.Di mataku, Maxim sangat kotor. Makanya, teman-temannya mengira aku boleh disentuh sesuka hati. Sementara itu, Kak Lydia memperlakukanku sebagai adik kandungnya, begitu juga teman-temannya.Suatu hari, pernah ada seorang pria menyatakan perasaan kepadaku. Dia bilang dia jatuh cinta sejak pandangan pertama.Kak Lydia memberiku isyarat mata dan membawaku ke samping. Dia menasihatiku, "Kenny pria baik. Dia nggak pernah pacaran. Kalau di luar, dia juga nggak sembarangan. Kalau suka, terima saja dia. Hanya saja, anak perempuan sebaiknya nggak pacaran terlalu cepat."Aku dan Kenny bersama. Dia me
"Yovita, kamu nggak tahu malu sekali. Kamu ingin sekali ditiduri pria?"Ketika mendengar hinaan itu, amarahku berkecamuk. Aku melayangkan tamparan ke wajah Maxim dengan sekuat tenaga.Seketika, terlihat bekas tamparan yang jelas di wajah kakakku. Tatapannya penuh ketidakpercayaan. Ini pertama kali dan terakhir kalinya aku melawannya, karena aku ingin meninggalkan rumah ini."Kak, ini terakhir kalinya aku memanggilmu begini. Kamu membesarkanku selama 18 tahun dan aku menderita selama 18 tahun. Kamu nggak pantas jadi kakakku."Maxim mengernyit dan memicingkan matanya. Dia bak harimau ganas yang berusaha keras menahan emosinya. Saat berikutnya, dia meraih bahuku dan mengguncang tubuhku dengan kuat."Yovita, kamu benar-benar sudah gila. Setelah kamu nyesal, aku nggak bakal maafin kamu atau kasih kamu masuk rumahku lagi."Aku mendengus dan menatap mata Maxim lekat-lekat."Baguslah kalau begitu. Aku yakin ini adalah keputusan terbaik yang kubuat selama 18 tahun ini."Kemudian, aku langsung m
Hari ketujuh setelah aku mati, Maxim akhirnya keluar mencariku untuk pertama kalinya.Namun, Safira menghalanginya. "Kak Yovita pasti di rumah pria itu. Kalau kamu mencarinya, gimana kalau kamu melihat pacarnya ...."Begitu mendengarnya, Maxim langsung duduk di sofa dan melempar kunci mobilnya. Niatnya untuk mencariku pun sirna. Aku bisa melihat senyuman bangga Safira.Kemudian, Maxim menelepon teman-temannya untuk mengeluh tentangku, "Entah ke mana Yovita pergi. Dia sudah tujuh hari nggak pulang.""Tsk, aku pernah melihat adikmu ini di bar beberapa kali. Dia berteman dengan beberapa pria nggak jelas. Aku rasa dia lagi tidur sama pria."Aku mendengar fitnahan itu dengan ekspresi dingin. Ternyata aku wanita seperti itu di mata teman Maxim.Aku terbang ke kejauhan, memandang lampu di jalanan. Tidak ada emosi yang bisa kurasakan. Aku teringat pada Lydia dan Kenny. Di dunia ini, hanya mereka yang peduli padaku.Namun, aku segera merasa sedih kembali. Jika mereka tahu aku sudah mati, bukank
Siapa sangka, Lydia datang ke rumahku. Dia sangat membenci kakakku. Dia tidak akan datang ke pinggiran kota terpencil ini kalau bukan untuk mengantarku pulang. Masalahnya adalah sudah tujuh hari aku tidak menjawab teleponnya.Maxim membuka pintu dan menatap orang yang datang. Tato di tulang selangka, gimbal yang khas. Maxim langsung mengernyit. Dia ingin bertanya, tetapi Lydia bersuara duluan, "Di mana Yovita?"Alis Maxim berkerut makin hebat. Dia menyahut dengan nada meremehkan, "Bukannya dia bersama kalian?"Maxim selalu begitu. Dia tidak menyukai orang yang punya hubungan baik denganku. Maxim boleh menghinaku, tetapi aku tidak akan membiarkannya menghina teman-temanku.Lydia sontak terbelalak. Dia termangu sesaat sebelum bertanya dengan ekspresi dingin, "Kamu ini manusia atau bukan? Adikmu hilang tujuh hari, tapi kamu nggak cari dia? Kamu nggak takut terjadi sesuatu padanya?"Maxim menggenggam pegangan pintu dengan erat hingga tangannya memucat. Aku bisa melihat ketakutan pada sorot
Maxim berkali-kali berpikir, apa hasilnya akan berbeda jika dirinya mengikuti suara hatinya dan mencari adiknya di luar malam itu?Namun, begitu kakinya tiba di depan pintu, Maxim mengurungkan niatnya. Dia yakin adiknya akan pulang.Tidak peduli bagaimana Maxim memarahi Yovita, Yovita tetap adiknya. Maxim adalah satu-satunya keluarganya di dunia ini. Ke mana Yovita bisa pergi kalau bukan pulang?Maxim pergi ke kantor polisi untuk melapor. Polisi bertanya seperti biasa, "Sudah hilang berapa hari?""Tujuh hari," sahut Maxim dengan perasaan bersalah."Kamu kakak kandungnya? Adikmu hilang tujuh hari, tapi kamu baru lapor sekarang?" Polisi menatap Maxim dengan saksama. Nada bicaranya terdengar kesal.Kegelisahan menjadi makin kuat di hati Maxim. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ada suara yang terus terngiang di benaknya. "Kamu nggak takut sesuatu terjadi padanya?"Aku melayang di udara, menyaksikan kakakku mencari ke sana sini dengan panik. Ini hal yang baru untukku. Dia tidak pernah
Polisi melewatkan bagian itu. Kemudian, di CCTV pinggir jalan, mereka melihatku yang linglung ditabrak oleh mobil.Para polisi hanya bisa menepuk bahu Maxim dengan penuh simpati. Mereka tidak bisa mengatakan apa pun.Maxim terduduk lemas di lantai. Tatapannya hampa, wajahnya cemas. Ini seperti Maxim yang baru berusia 10 tahun. Saat itu, dia hanya bisa menatap adik yang baru lahir dan orang tuanya yang baru meninggal. Hatinya terasa sakit.Tubuhku ditemukan dengan cepat. Aku berbaring dengan tenang di tanah. Tubuhku sudah kaku dan dingin.Orang-orang di rumah sakit merasa iba padaku. "Kasihan sekali. Kudengar usianya baru 18 tahun."Ada juga yang mengeluh, "Sudah berhari-hari lewat, tapi keluarganya baru mencarinya."Orang-orang menatap Maxim dengan kesal. Ya, bisa dibilang Maxim dan Safira yang mencelakaiku selama ini. Sebagian besar penyebab penderitaanku adalah Maxim. Kedua bersaudara ini memang pembunuh.Maxim memeluk jenazahku sambil bergumam, "Yovita, Kakak bawa kamu pulang. Kamu
Aku menatap Maxim yang wajahnya terlihat ramah dengan heran. Maxim merentangkan kedua tangannya sambil mendekatiku."Yovita, adikku, akhirnya kita bertemu lagi."Aku buru-buru berbalik untuk menghindar."Maxim, sudah kubilang. Aku nggak bakal panggil kamu kakak lagi. Aku juga bukan adikmu lagi."Kegembiraan pada tatapan Maxim berangsur menghilang. Kedua tangannya juga terkulai lemas. Dia bertanya dengan lirih, "Kalau aku mati, apa kamu bakal senang?"Aku bisa mendengar harapan pada nada bicaranya."Nggak bakal. Kalau bisa, aku harap kamu ...."Maxim mendengar dengan tenang. Tampak senyuman tulus di wajahnya."Aku harap kamu panjang umur dan hidup sebatang kara sampai akhir hayatmu."Senyuman Maxim membeku. "Yovita, apa yang kamu katakan?""Aku bilang aku nggak mau kamu mati. Karena aku nggak ingin melihatmu. Maxim, aku nggak ingin melihatmu untuk selamanya!"Hari ketika aku meninggalkan dunia fana, aku pergi mengunjungi Kenny dan Lydia. Mereka berdua berdiri di depan makamku, mengenang
Seperti mendengar suara hatiku, kakakku tiba-tiba datang ke kamarku yang kosong melompong. Kamar ini sangat bersih, seolah-olah tidak pernah ditempati siapa pun. Wajar saja. Apa yang dimiliki Safira tidak dimiliki olehku."Yovita, apa kamu masih di sini? Aku terus merasakan keberadaanmu," gumam kakakku yang duduk dengan lemas.Parmi menghampiri dan menghela napas. "Maxim, kamu harus jaga kesehatan. Yovita sangat sayang padamu. Dulu kalau kamu mabuk, dia yang masak bubur dan sup pereda pengar.""Barang-barang di mejamu, termasuk pelindung mata, juga disiapkan Yovita. Yovita juga menyetrika pakaianmu."Maxim teringat saat dirinya pulang dalam keadaan mabuk. Dia melihat Yovita menjulurkan kepalanya dari kamar samping sambil menatapnya dengan takut. Saat itu, Yovita baru SMP 1. Maxim sibuk menghadiri pertemuan bisnis demi perusahaannya.Namun, Maxim malah berkata, "Kalau bukan karena kamu, aku nggak perlu capek-capek begini. Aku membencimu, Yovita."Ketika melihat mata Yovita berkaca-kaca,
Maxim menyelidiki semua hal yang terjadi padaku semasa hidupku. Dia baru tahu Safira telah melakukan begitu banyak hal jahat di belakangnya.Ternyata Maxim tidak tahu apa-apa selama ini. Kukira dia tahu. Aku menyaksikan Safira yang sedang menyimak pelajaran, dipanggil keluar dan ditarik ke toilet wanita.Seperti yang kualami, Safira juga ditindas, bahkan beberapa orang itu mengambil foto telanjangnya. Kemudian, seseorang mengunggahnya di forum sekolah secara anonim. Selain itu, kebenaran tentang Safira yang menyebarkan rumor tentangku dan membawa orang menindasku di kampus akhirnya terungkap.Begitu semuanya terungkap, dampaknya menjadi makin besar. Safira menjadi sasaran publik. Penderitaan yang dialaminya ratusan kali lipat lebih parah dariku. Dia berlutut di depan pintu, memohon pada Maxim untuk mengampuninya.Safira sungguh tidak mengerti. Maxim jelas-jelas begitu membenciku. Bukankah Maxim seharusnya gembira setelah aku mati?Lantas, kenapa Maxim malah menyelidiki semua yang terja
Kenny dan Lydia sama-sama mencari Maxim untuk meminta abuku. Mata mereka berdua terlihat bengkak karena menangis.Menurutku, perasaan manusia tidak bisa diukur dengan waktu. Contoh saja aku dan kakakku yang hidup bersama selama 18 tahun. Kakakku tidak pernah memelukku ataupun memberiku cinta kasih.Sebagian besar cinta kasih yang kurasakan di dunia ini berasal dari Kenny dan Lydia. Aku mati pada malam aku berlari menuju kehidupan baruku."Serahkan abu Yovita pada kami. Yovita nggak ingin bersamamu. Hal terakhir yang dia lakukan adalah meninggalkanmu. Benar, 'kan?" ucap Lydia dengan wajah sedingin es.Kini, Lydia tidak terlihat seperti biasanya saat memaki kakakku. Dia berusaha bersikap sopan karena tidak ingin aku dipandang rendah hanya karena berteman dengan orang yang suka cakap kotor."Maxim, aku tahu kamu benci Yovita," ujar Lydia menatap Maxim lekat-lekat.Maxim hanya bisa menunduk, memeluk guci abuku. Dia tidak menanggapi apa pun. Tidak ada yang perlu diherankan. Lagi pula, apa y
Polisi melewatkan bagian itu. Kemudian, di CCTV pinggir jalan, mereka melihatku yang linglung ditabrak oleh mobil.Para polisi hanya bisa menepuk bahu Maxim dengan penuh simpati. Mereka tidak bisa mengatakan apa pun.Maxim terduduk lemas di lantai. Tatapannya hampa, wajahnya cemas. Ini seperti Maxim yang baru berusia 10 tahun. Saat itu, dia hanya bisa menatap adik yang baru lahir dan orang tuanya yang baru meninggal. Hatinya terasa sakit.Tubuhku ditemukan dengan cepat. Aku berbaring dengan tenang di tanah. Tubuhku sudah kaku dan dingin.Orang-orang di rumah sakit merasa iba padaku. "Kasihan sekali. Kudengar usianya baru 18 tahun."Ada juga yang mengeluh, "Sudah berhari-hari lewat, tapi keluarganya baru mencarinya."Orang-orang menatap Maxim dengan kesal. Ya, bisa dibilang Maxim dan Safira yang mencelakaiku selama ini. Sebagian besar penyebab penderitaanku adalah Maxim. Kedua bersaudara ini memang pembunuh.Maxim memeluk jenazahku sambil bergumam, "Yovita, Kakak bawa kamu pulang. Kamu
Maxim berkali-kali berpikir, apa hasilnya akan berbeda jika dirinya mengikuti suara hatinya dan mencari adiknya di luar malam itu?Namun, begitu kakinya tiba di depan pintu, Maxim mengurungkan niatnya. Dia yakin adiknya akan pulang.Tidak peduli bagaimana Maxim memarahi Yovita, Yovita tetap adiknya. Maxim adalah satu-satunya keluarganya di dunia ini. Ke mana Yovita bisa pergi kalau bukan pulang?Maxim pergi ke kantor polisi untuk melapor. Polisi bertanya seperti biasa, "Sudah hilang berapa hari?""Tujuh hari," sahut Maxim dengan perasaan bersalah."Kamu kakak kandungnya? Adikmu hilang tujuh hari, tapi kamu baru lapor sekarang?" Polisi menatap Maxim dengan saksama. Nada bicaranya terdengar kesal.Kegelisahan menjadi makin kuat di hati Maxim. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ada suara yang terus terngiang di benaknya. "Kamu nggak takut sesuatu terjadi padanya?"Aku melayang di udara, menyaksikan kakakku mencari ke sana sini dengan panik. Ini hal yang baru untukku. Dia tidak pernah
Siapa sangka, Lydia datang ke rumahku. Dia sangat membenci kakakku. Dia tidak akan datang ke pinggiran kota terpencil ini kalau bukan untuk mengantarku pulang. Masalahnya adalah sudah tujuh hari aku tidak menjawab teleponnya.Maxim membuka pintu dan menatap orang yang datang. Tato di tulang selangka, gimbal yang khas. Maxim langsung mengernyit. Dia ingin bertanya, tetapi Lydia bersuara duluan, "Di mana Yovita?"Alis Maxim berkerut makin hebat. Dia menyahut dengan nada meremehkan, "Bukannya dia bersama kalian?"Maxim selalu begitu. Dia tidak menyukai orang yang punya hubungan baik denganku. Maxim boleh menghinaku, tetapi aku tidak akan membiarkannya menghina teman-temanku.Lydia sontak terbelalak. Dia termangu sesaat sebelum bertanya dengan ekspresi dingin, "Kamu ini manusia atau bukan? Adikmu hilang tujuh hari, tapi kamu nggak cari dia? Kamu nggak takut terjadi sesuatu padanya?"Maxim menggenggam pegangan pintu dengan erat hingga tangannya memucat. Aku bisa melihat ketakutan pada sorot
Hari ketujuh setelah aku mati, Maxim akhirnya keluar mencariku untuk pertama kalinya.Namun, Safira menghalanginya. "Kak Yovita pasti di rumah pria itu. Kalau kamu mencarinya, gimana kalau kamu melihat pacarnya ...."Begitu mendengarnya, Maxim langsung duduk di sofa dan melempar kunci mobilnya. Niatnya untuk mencariku pun sirna. Aku bisa melihat senyuman bangga Safira.Kemudian, Maxim menelepon teman-temannya untuk mengeluh tentangku, "Entah ke mana Yovita pergi. Dia sudah tujuh hari nggak pulang.""Tsk, aku pernah melihat adikmu ini di bar beberapa kali. Dia berteman dengan beberapa pria nggak jelas. Aku rasa dia lagi tidur sama pria."Aku mendengar fitnahan itu dengan ekspresi dingin. Ternyata aku wanita seperti itu di mata teman Maxim.Aku terbang ke kejauhan, memandang lampu di jalanan. Tidak ada emosi yang bisa kurasakan. Aku teringat pada Lydia dan Kenny. Di dunia ini, hanya mereka yang peduli padaku.Namun, aku segera merasa sedih kembali. Jika mereka tahu aku sudah mati, bukank
"Yovita, kamu nggak tahu malu sekali. Kamu ingin sekali ditiduri pria?"Ketika mendengar hinaan itu, amarahku berkecamuk. Aku melayangkan tamparan ke wajah Maxim dengan sekuat tenaga.Seketika, terlihat bekas tamparan yang jelas di wajah kakakku. Tatapannya penuh ketidakpercayaan. Ini pertama kali dan terakhir kalinya aku melawannya, karena aku ingin meninggalkan rumah ini."Kak, ini terakhir kalinya aku memanggilmu begini. Kamu membesarkanku selama 18 tahun dan aku menderita selama 18 tahun. Kamu nggak pantas jadi kakakku."Maxim mengernyit dan memicingkan matanya. Dia bak harimau ganas yang berusaha keras menahan emosinya. Saat berikutnya, dia meraih bahuku dan mengguncang tubuhku dengan kuat."Yovita, kamu benar-benar sudah gila. Setelah kamu nyesal, aku nggak bakal maafin kamu atau kasih kamu masuk rumahku lagi."Aku mendengus dan menatap mata Maxim lekat-lekat."Baguslah kalau begitu. Aku yakin ini adalah keputusan terbaik yang kubuat selama 18 tahun ini."Kemudian, aku langsung m