"Adek ingat ya, kalau ada Bunda jangan panggil Mama Megan. Nanti kalau Bunda gak ada, baru panggil Mama. Oke?!" ucap Megan, pembantu baruku. Kulihat Amira putriku langsung mengangguk dan mereka menyilangkan jari kelingking seperti begitu akrab, membuat janji. Dadaku membuncah pecah. "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. *** Safira sangat murka saat mendengar putrinya memanggil pembantunya dengan panggilan Mama. Ia curiga, hal ini berkait dengan hubungan suaminya dengan pembantu muda itu. Bagaimana kehidupan Safira setelah mengetahui bahwa ternyata pembantu itu tidak hanya sebagai pembantu tapi ternyata istri rahasia suaminya?
Lihat lebih banyakSedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Apa katamu, Mas?!!!" Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "Ka
"Kalau kamu menentangku, kita bisa bicara di pengadilan biar jelas. Ibu bapakmu sudah menganggapku anak jadi jangan macam-macam kamu. Aku masih bertahan dalam pernikahan ini karena mereka. Tapi jika aku sudah tak sanggup, tak ada seorang pun bisa mencegahku. Aku wanita merdeka, Mas. Ingat itu." Safira meraih handuk yang bersusun di laci tempel di dinding dekat kamar mandi. Ia lalu meletakkannya di atas dada suaminya dengan sentakan hingga pria itu sedikit terdorong. Danang hanya bisa menangkap handuk itu dan berusaha berdiri tegak. Pria itu menoleh pada Safira yang melenggang keluar kamar. 'Ooh Allah, seharusnya semua berjalan mulus. Aku memilih poligami daripada berzina. Aku memilih yang halal tapi kenapa makin dipersulit?' batin Danang mengerutu masih mematung. Pria itu tidak sadar bahwa pertanyaan hatinya itu bukan hanya dua itu yang menjadi pilihan. Tapi ada yang ke-tiga. Mengapa tidak menundukkan pandangan?
"Safira!" seru Danang tak terima dengan ucapan istri pertamanya itu. "Jangan berteriak memanggil namaku, Mas. Kalau kamu tidak setuju dengan perintahku, silahkan bawa dia pergi dari sini." "Jangan asal kamu bicara. Ini juga rumahku dan aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh tinggal di sini." "Ooh jelas. Tapi ingat, ada uangku di rumah ini juga. Posisiku lebih kuat di sini karena aku lah istri pertamamu dan sudah 13 tahun berada di rumah ini. Kamu mau bawa ke pengadilan? Ayo. Aku jabanin." "Pakailah hatimu, Safira," desis Danang berusaha melembut. Dia sungguh nelangsa. "Kan kamu yang mengajariku tak punya hati, Mas. Andai kamu punya hati, tak akan kamu seperti ini. Dan satu lagi, jika kamu menentangku maka aku akan mengadukan ini pada kedua orang tuamu. Menurutmu bagaimana?" Danang kikuk kebingungan. Melawan Safira saat
Rio langsung menggeret tangan adiknya agar mau masuk ke dalam kamar. Meski terpaksa, Amira mau mengikuti langkah Abangnya. Bell rumah berdenting dan Safira sudah berada di depan pintu. Ia menarik napasnya kuat-kuat. Safira membuka pintu dengan wajah yang datar. "Assalamu'alaikum, Bun." "Waalaikumsalam." Danang menoleh ke belakang, ke arah mobil. "Bun ...." "Tak ada tempat dia di sini. Pergi bawa gundikmu dari sini, Mas." "Aku minta tolong, Bun. Aku gak pegang uang sama sekali dan semua uang, kamu yang pegang. Aku gak bisa sewain Megan tempat tinggal." "Ya itu urusanmu. Kamu yang punya istri, kok bebani aku?" Safira langsung menutup pintu. Danang segera menahannya dengan tangannya. "Bund ... Jangan gini apa, Bun. Please." "Pergi kamu, Mas! Jangan mentang-mentang kemarin kita tidur bersama, kamu merasa aku nerima kamu apalagi nerima pelacur itu. Tidak seperti yang kamu pikirkan." "Ya. Aku sudah tahu. Kamu gak tulus layanin aku. Kamu sengaja, hanya buat manasin Megan. Dia
"Jangan pergi Safira. Papa mohon. Bertahanlah demi Rio dan Amira. Mereka butuh orang tua yang utuh. Melihat kamu dan Danang satu kamar lagi, mereka senang sekali. Tidur mereka pun nyenyak." "Tapi aku tak pernah tidur nyenyak sejak Mas Danang ketahuan menikah lagi, Pa." Safira menengadah menatap langit-langit ruang tamu. Dia sedang di rumah mertuanya, menjemput kedua anaknya yang ingin bermain di rumah mbah. "Kami paham perasaanmu, Nak. Mungkin kalau Mama di posisimu tak akan setegar kamu. Bisa langsung gila, Mama. Tapi Mama minta banget sama kamu, Safira. Pertahankan putraku jadi suamimu." Bu Andin ikut bicara menahan kesedihan. Salah satu do'anya adalah melihat anak-anaknya harmonis tapi justru doanya jadi ujiannya. Pernikahan putra kesayangannya di ambang kehancuran. Ia tahu, menjadi Safira memang sangat sulit. "Aku gak bisa, Ma. Aku akan tetap melaya
"Kenapa kamu marah-marah padaku, Mas? Kamu yang gila! Kenapa gak peduli padaku lagi?! Sekedar menelpon atau membalas cepat WA ku kamu gak bisa. Biarkan saja aku mati. " "Sinting. Benar-benar sinting. Aku sibuk mencari nafkah! Kamu tahu kondisiku saat ini. Uangku di Safira, sekarang aku harus mendapatkan uang baru untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu malah seperti anak kecil begini!" Sekali lagi, Danang meraih kursi plastik hijau itu lalu melemparkannya ke arah dinding lagi hingga menimbulkan suara yang cukup memekak. Sekarang, dia baru ingat, dia telah meninggalkan rapat yang penting dan dia tahu, banyak konsekuensi buruk yang sedang dia timbulkan. Hanya karena istri mudanya yang merajuk tanpa pikir. Danang frustasi dan dia merasa sangat nelangsa. "Kamu tega sama aku, Mas. Teganya kamu mengabaikanku!" "Aku kerja! Paham bahasa tidak?" "Tidak! Kamu sibuk tidur sama Mbah Safira. Ini fotomu! Apa maksudnya i
Bergetar bibir Megan membaca pesan itu. Dia langsung membuang hp itu, bersamaan dengan jantungnya yang bergemuruh hebat. Hanya gemeletuk giginya yang terdengar karena menahan amarah. Bagaimana bisa Mas Danangnya bisa sepulas itu tidur? Servis seperti apa yang kakak madunya telah berikan. "Kurang ajar. Tak ada malu. Perempuan sialan!" Hati Megan benar-benar seperti dibakar hidup-hidup. Panas luar biasa. Sakit luar biasa sakit, sampai-sampai merah matanya. Menggenang air mata Megan menahan sakit hati. Logikanya tahu bahwa Safira adalah istri Danang, tapi melihat pria itu telanjang begitu membuatnya membara. Dia merasa sedang dikhianati, sedang dipermainkan dan diejek. "Seharusnya aku tak perlu sesakit ini. Seharusnya ...." Megan berusaha mengafirmasi dirinya bahwa semua itu bukan menjadi masalah namun susah sekali baginya. Kelebat bayangan saat Danang sangat bernafsu mencumbunya tanpa jeda, membuat M
"Abang jangan mikir yang aneh-aneh. Abang fokus sembuh aja ya, Nak. Biar cepat bisa main sama teman-temannya lagi," ucap Safira sekuat tenaga menahan perasaannya yang hancur. "Kami baik-baik saja, Nak. Tidak ada yang berubah," tambah Danang. "Kalian tidur bersama-sama lagi. Jangan pisah kamar lagi." "Iya. Nanti Papa tidur sama Bundamu. Kamu tenang saja." "Tidur di sini," ucap Rio lagi. "Bunda harus temani adek, kan, Nak? Adek juga lagi sakit." Safira menyanggah dengan cepat. Sama sekali tak ada minatnya seranjang lagi dengan suaminya. Malah ia merasa jijik karena tubuh Danang sudah tersentuh Megan. Bahkan membayangkan dirinya disentuh suaminya lagi, itu cukup membuatnya mual. "Adek bawa ke sini. Kita tidur sama-sama lagi." Tak punya pilihan, Danang dan Safira mengikuti keinginan putra mereka. Mereka menggelar hamb
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen