"Adek ingat ya, kalau ada Bunda jangan panggil Mama Megan. Nanti kalau Bunda gak ada, baru panggil Mama. Oke?!" ucap Megan, pembantu baruku. Kulihat Amira putriku langsung mengangguk dan mereka menyilangkan jari kelingking seperti begitu akrab, membuat janji. Dadaku membuncah pecah. "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. *** Safira sangat murka saat mendengar putrinya memanggil pembantunya dengan panggilan Mama. Ia curiga, hal ini berkait dengan hubungan suaminya dengan pembantu muda itu. Bagaimana kehidupan Safira setelah mengetahui bahwa ternyata pembantu itu tidak hanya sebagai pembantu tapi ternyata istri rahasia suaminya?
Lihat lebih banyak"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun.
"Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sini. Terlihat dia keluar menggandeng Rio sembari menenteng tas putraku itu. Aku tadi sudah pamit sama Rio, tapi ingin rasanya aku mencium pipinya yang putih bersih itu. Pastilah sekarang aromanya harum segar. Meski aku sebenarnya sangat buru-buru, tak mampu kutahan kakiku untuk tidak melangkah mendekati putraku yang tampan. "Mama Megan kok lama banget, sih?!" sungut Amira yang membuat aku langsung berhenti karena amat terkejut. Mama Megan? Jadi dari tadi, putriku memanggil Mama itu untuk Megan, pembantuku? Megan tersenyum salah tingkah, menoleh ke arahku lalu kembali tersipu. "Maaf, Nyonya. Kebawa-bawa pas main drama kemarin. Ceritanya saya jadi mama dalam skenario." Aku yang semula tegang jadi langsung tenang. Ooh ternyata begitu. "Amira! Kalau lagi gak main drama, tidak perlu panggil Mama sama Mbak Megan, ya." "Tapi kemarin kan Mbak Megan suruh aku sama Abang Rio panggil Mama," sambung Amira seperti tak mau disalahkan. "Iya, kan lagi main," sanggah Megan salah tingkah. "Pas lagi gak main juga kan, Abang ya?!" Amira masih tak mau disalahkan. Rio sendiri tidak bicara. Putraku itu memang pendiam, so cool memang pembawaannya. Dia tak akan bicara kalau tidak penting menurut dia. Aku melihat jam di tanganku sudah sangat mepet sekali. Kalau sampai benar-benar terlambat, bos galakku pasti tak akan ragu memecatku. "Ya sudah, main yang aman ya. Mama pergi dulu." Sekali lagi aku mengecup pipi kedua anakku dan kali ini benar-benar kakiku melangkah cepat. Di kantor aku langsung disambut wajah kecut Tasya. Dia sahabat kentalku. "Boss sudah mencarimu, mampuslah kamu sekarang." "Ya Allah, serius? Ini baru jam 8 kurang 5 menit lo. Belum terlambat," sungutku melihat jam tanganku. "Oh ya? Lihat saja." Baru saja aku duduk, boss sudah keluar. "Safira, masuk ruangan saya!" Rupanya benar saja, aku ditegurnya dan ditumpuki beberapa pekerjaan yang menurutku tidak urgent. Dengan wajah masam aku keluar dari ruangannya. Padahal meeting masih 30 menit lagi dan menurutku semua bahan sudah siap. Dasar bos gila. "Kamu kenapa sih bisanya terlambat?" tanya Tasya. "Aku gak terlambat, loh! Masih lima menit lagi menuju jam 8!" sungutku kesal. "Bagi boss itu sama saja. Lagian tahu kalau ada rapat gini, boss itu pengennya kita standbye 1 jam sebelumnya. Ada apaan? Tumben juga kamu agak mepet." "Gak ada sih. Cuma tadi aku sempat tersita waktu karena kaget dengar Amira panggil Mama. Kukira dia panggil aku karena pengaruh temannya, tapi ternyata dia panggil Megan, ART-ku." "Yang dulu pernah nginep di rumahmu, jenguk ibunya itu?" "Iya. Megan, anaknya Mbok Mar." "Aduh ... yang serius kamu?" Wajah Tasya langsung tegang berlipat gitu. Aneh sekali responnya. Terlalu berlebihan. "Iya. Rupanya kebawa pas cosplay gitu. Mereka main sandiwara," ujarku santai membuka laptop, memastikan batrai laptopku full. "Kamu harus hati-hati, lo." "Hati-hati gimana?" "Ya, kita gak tahu. Takutnya nanti jadi Mama beneran." Pluuuk! Aku langsung melempari Tasya dengan bola-bola kertas yang belum kubuang kemarin. "Ucapan adalah doa!" seruku melotot padanya gemas. "Aku cuma ingetin kamu buat hati-hati aja." "Ya," timpalku dengan senyum dan kembali fokus mempersiapkan file yang akan kugunakan untuk presentasi. Tasya ada-ada saja. Aku tidak mengindahkan ucapan Tasya. Megan itu anak dari pembantu lama yang sudah mengabdi di keluargaku sudah puluhan tahun. Sejak aku menikah, Mbok Mar ikut denganku. Karena Si Mbok sedang kumat parah asam uratnya, jadi dia pulang rehat dan digantikan anaknya untuk sementara waktu. Mbok tidak mau diberhentikan jadilah aku menerima kehadiran Megan. Katanya cukup satu bulan saja, mumpung Megan lagi libur tinggal tunggu wisuda. "Hati-hati aja, Fir. Pokoknya hati-hati," ucap Tasya lagi saat kami berpisah di parkiran. "Iya. InsyaAllah aman lah," ujarku santai sembari cupika cupiki. Hari ini aku pulang lebih awal karena tugas sudah selesai sesuai target. Aku membayangkan bisa tidur siang di rumah, itu menyenangkan. Aku cukup kaget karena mobil Mas Danang sudah terparkir. Seharusnya kan dia pulang ashar. "Assalamualaikum!" salamku langsung membuka pintu. Aku cukup kaget melihat Megan sedang di ruang tamu bersama Mas Danang. Megan duduk di lantai, tak jauh dari kaki suamiku. "Waalaikumsalam. Tumben pulang cepat, Bun." Megan terlihat bangkit dan langsung bergegas menjauh. Kuabaikan ucapan suamiku. "Tunggu di sini Megan!" seruku. Wanita itu diam di tempat dengan menunduk. "Ngapain kalian di ruang tamu berdua gini?" cecarku tajam. "Aku minta dibuatin kopi sama Megan, Bun. Ayo kemarilah, rehat dulu. Buatin Nyonya teh hijau kesukaannya, Dik!" perintah suamiku. Mas Danang memang memanggil Megan adik, dan aku tidak mempermasalahkannya. Menurutku itu panggilan umum. Aku diam saja dan membiarkan wanita muda itu ke dapur. Kembali terngiang ucapan Tasya tadi. Hati-hati. Kulirik kopi di atas meja. Seperti sudah tak beruap lagi. Aku sengaja pura-pura meletakkan tasku di samping cangkir itu dan tanganku sedikit menyentuhnya. Deghh ... Tiba-tiba saja jantungku berdegub. Kopinya dingin. Itu artinya kopi ini sudah dibuat sedari tadi, tapi kenapa Megan masih di dekat suamiku? "Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa tumben pulang siang, Sayang?" "Kami menang tender, jadi Boss bolehkan pulang lebih awal," ujarku masih berpikir. Sekarang ucapan Tasya seperti udara yang mengelilingiku. Aku harus hati-hati dan waspada. Segala sesuatu bisa saja terjadi, bukan? "Terus kenapa kamu sudah di rumah jam seginian, Mas? Kamu sering ya pulang cepat gini tanpa sepengetahuanku?" cecarku balik. Aku berusaha mencari ekspresi mencurigakan dan kaku juga gugup dari wajah suamiku tapi dia terlihat begitu tenang. "Gaklah, Sayang. Tumben ini. Perusahaan berikan aku surat tugas buat dinas ke luar kota selama 3 hari. Jadi dikasih waktu pulang lebih awal. Aku izin besok pagi-pagi berangkatnya, ya!" Aku sedikit mengangguk namun mulutku tetap diam. Tak mood, aku langsung ke dapur mencari air putih. Tiba-tiba di lorong dekat ruang mushola aku mendengar .... "Adek ingat ya, kalau ada Bunda jangan panggil Mama Megan. Nanti kalau Bunda gak ada, baru panggil Mama. Oke?!" Kulihat Amira putriku langsung mengangguk dan mereka menyilangkan jari kelingking seperti begitu akrab, membuat janji. Dadaku membuncah pecah. "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi."Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf
"Jangan sampai kamu menyakiti Megan, ya Hasan. Bisa kusunat kamu dua kali," celetuk Bu Sartini yanh disambut riuh tawa. Megan mengusap air matanya. Ia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berubah setelah melakukan tindakan yang buruk. Setiap orang memang memiliki kesempatan itu dan tidak ada yang lebih baik daripada usaha untuk terus memperbaiki diri. Dua minggu kemudian, barulah Safira datang menjenguk Danang. "Maaf, Mas. Aku baru datang sekarang." "Kamu sibuk acara nikahan kali," ketus Danang. "Iya. Megan menikah dan aku sedikit membantunya dengan kebaya buatanku. Lucunya, malah sekarang dicari-cari orang model seperti yang dia pakai." Danang membatu saat mendengar penuturan Safira yang begitu ringan. "Megan menikah, Fir?" "Iya. Dia gak mau rujuk sama kamu, padahal aku sudah sarankan. Yaa wajar juga sih, kamunya jahat." "Ya Allah, Fir. Kok gak ada yang kabari aku?" "Ya ...." Safira mengendikkan bahunya, pertanda kebingungan mau menanggapi apa.
"Ambil ini. Ini hakmu karena pernah menjadi istrinya Mas Danang. Jika sudah mantap dengan pilihanmu, menikahlah. Ridhoku menyertaimu." "Nyonya ...." Deras air mata Megan sembari memeluk betis Safira. "Bangunlah," ujar Safira menyentuh bahu Megan dengan lembut. Perlahan ia mengangkat tubuh Megan agar berdiri. "Nyonya ...." Megan tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tidak tahu, definisi memaafkan itu seperti apa, Megan. Tapi aku berusaha ikhlas dengan takdir yang telah terjadi dalam kehidupanku. Rumah tanggaku hancur. Aku kehilangan suami dan anak-anakku harus menyaksikan perpisahan kami. Aku sudah ikhlas. Tak pantas aku sebagai makhluk, masih bertanya mengapa terjadi. Aku akan berusaha terus untuk menjalaninya dan pasrah pada alur hidupku." "Maafkan saya, Nyonya. Maaf," lirih Megan berkali-kali. "Aku berusaha melupakan keburukanmu padaku itu semata-mata bukan karenamu. Tapi untuk diriku sendiri. Kalau terus kusimpan dendam ini, justru akan terus menggerogotiku, Megan.
Sorenya, tiba-tiba penjaga penjara datang menjemput Danang kembali. Danang cukup terkejut sebab kloter pertama, Safira sudah datang. Dan dua hari yang lalu, orang tuanya sudah datang. Apa sekarang Megan? "Siapa, Pak?" "Nanti tahu sendiri." Danang sangat terkejut ketika dia duduk, di hadapannya, di balik jeruji besi putih itu ada wajah David yang sedang tersenyum padanya. "Bagaimana kabarnya Pak Danang?" "Tak perlu resmi lagi. Panggil saja Danang. Tidak terlalu penting juga kamu bertanya kabar pada seorang narapidana." David mencoba tetap mempertahankan wajah tenang. Ia mengetuk-ngetuk pelan keramik yang menjadi meja penghubung. "Maaf, jika kedatanganku ini membuatmu tidak nyaman. Meskipun kita bukan teman dekat sebelumnya, kuharap mulai sekarang kita bisa jadi teman." "Katakan apa niatmu?" "Kenapa kau begitu ketus padaku?" tanya David dengan nada dingin. Danang membuang wajahnya. Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai orang lain. "Apa karena aku dekat denga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen