"Adek ingat ya, kalau ada Bunda jangan panggil Mama Megan. Nanti kalau Bunda gak ada, baru panggil Mama. Oke?!" ucap Megan, pembantu baruku. Kulihat Amira putriku langsung mengangguk dan mereka menyilangkan jari kelingking seperti begitu akrab, membuat janji. Dadaku membuncah pecah. "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. *** Safira sangat murka saat mendengar putrinya memanggil pembantunya dengan panggilan Mama. Ia curiga, hal ini berkait dengan hubungan suaminya dengan pembantu muda itu. Bagaimana kehidupan Safira setelah mengetahui bahwa ternyata pembantu itu tidak hanya sebagai pembantu tapi ternyata istri rahasia suaminya?
View MoreDanang dan Megan hanya bisa terpaku tak kuasa bicara apalagi meninggikan suara mereka. Sebab memang mereka sadar bahwa perbuatan suami yang melangsungkan pernikahan poligami tanpa persetujuan istri dan izin pengadilan melanggar ketentuan dalam KUHP atau UU 1/2023 dan diancam dengan ancaman pidana penjara. 'Perempuan sialan. Akan kubalas sakit hatiku ini dengan cara yang lain. Lihat saja' batin Megan hanya bisa mendendam. Ia merasa benar-benar dihimpit. Mantan istri suaminya itu memang bukan wanita sembarangan. "Terserah kamulah. Terserah. Kalau kamu mau lihat dua anak kita malu, lakukan saja sesukamu," ujar Danang menahan perasaan kesal pada dirinya yang tak bisa menundukkan mantan istrinya itu dengan mudah. Ck! "Aku sudah baik padamu, Mas. Bahkan sejak awal aku sangat baik. Kamu mengatakan semua keburukanku. Demi bumi yang menjadi saksi, kamu akan menyadarinya kelak dan menyesal sampai-sampai kamu ingin mengulang waktu. Tapi sayang, Mas. Saat itu tiba, aku sudah sangat ja
FLASH BACK! "Uangku sisa tiga juta, Sayang. Tempat ini sudah kubayar selama seminggu. Sementara kita tinggal di sini dulu," ujar Danang meletakkan kopernya di sebuah kos-kosan. Megan yang masih cemberut terpaksa menggeret kopernya dan meletakkannya begitu saja di samping koper milik Danang. "Kita hanya sementara, jangan manyun gitu, dong, Sayang. Apalagi sekarang, aku sepenuhnya milik kamu." "Iya, Mas. Tapi kamu kok bisa sih sanggupi uang 500 juta untuk Mbak Safira? Enak banget dia." "Ya kan kamu sudah dengar sendiri bagaima alurnya. Memang benar juga yang dikatakan Safira. Selama ini, dia yang mengeluarkan banyak uang. Dia kan kerja juga bisnis. Daripada panjang lebar, kali ini saja aku yang akan ngalah." "Laaah kok gitu sih, Mas? Itu namanya kamu masih dalam kendali dia." Megan menghentakkan kakinya karena kesal. "Safira itu bukan wanita sembarangan, Megan. Dia memiliki banyak koneksi. Apalagi kalau sudah nekat, bisa diambil rumah itu sepenuhnya sama dia. Lagian
Criiiiing! Gelas yang berada di dekat Danang jatuh berserakan. Pria itu sengaja menjatuhkannya karena rasa kesalnya yang luar biasa. Tatapan tajam dan mencekam tertuju pada Safira namun Safira sama sekali tak gentar. Dia punya bukti semua tranferan uangnya ke rekening suaminya itu dan dia memiliki bukti transaksi di kartu member atas namanya di sebuah supermarket. "Mas, kamu gak apa-apa, Sayang?" tanya Megan langsung menghampiri Danang, mengelus wajah suaminya itu. "Its oke," jawab Danang masih menahan emosi. Melihat pemandangan di depannya itu, Safira mendecih merasa lucu. Benar-benar pasangan tak punya malu. "Fix ya, Mas. Aku gak senggol tanah 2 are yang kamu beli di pinggir kota itu lo! Andai aku mau, aku bisa masukkan ke list harta gono gini. Tapi aku kasih kamu full itu, kasian kamu. Jadi total yang kamu harus serahkan padaku, 500 juta. Barulah clear urusan kita kalau kamu gak mau urusan ini panjang." "Yang benar saja kamu, Fir." Megan mendengar nominal angka 500 jut
"Dengarkan aku semua, Safira Indira Putri bukan istriku lagi!" Safira langsung berlari menghambur memeluk ibunya. Wanita itu menangis di sana. "Ibuk ... aku janda sekarang, Buk. Anakmu janda." "Alhamdulillah. Syukuri, Fir. Lepas sudah apa yang sudah membebanimu selama ini." Safira mengangguk. Ia menoleh ke arah Bu Andin dan Pak Rahmat yang masih mematung. Bibir bu Andin bergetar seperti ingin bicara namun Safira membuang wajahnya. Campur aduk perasaan Safira. "Kita pergi saja, Ma. Ayo," ajak Pak Rahmat pada istrinya. Bu Andin hanya bisa mengikuti arahan suaminya. "Ma," sapa Danang. Pak Rahmat langsung mengangkat tangannya. "Kami butuh ketenangan sekarang. Bisa mati kami tiba-tiba kalau begini terus. Lanjutkan hidupmu dengan istri pilihanmu. Maaf, Papa gak bisa bantu apa-apa selain doa. Coba jalani seperti apa jika mengawali semua dengan dia, mungkin saja bisa lebih bahagia." Megan maju dan mengulurkan tangannya pada Pak Rahmat. "Papa bisa tidak menerima saya tapi tol
Semua terkejut sampai tak ada reaksi apa pun. Namun hanya satu orang saja yang langsung beranjak cepat mengambil piring di atas meja lalu melempar ke arah Danang. Dua kali berturut-turut dan itu terjadi sangat cepat. Dialah Bu Sartini, ibu Safira. Matanya menyala memburu marah. Pecah piring itu, hancur terhantam lantai. Sebelumnya sudah berhasil mengenai tubuh Danang. Bahkan nampak ada darah yang mengalir di rahang pria itu. "Danaaaaang!" teriak Bu Andin histeris. Ia langsung berlari, mendorong Safira menjauh lalu memeriksa putranya. Danang diam saja meski nyeri berdenyut hebat di wajahnya. Darah benar-benar menetes. Ia terluka. "Mbak! Danang memang bersalah tapi Mbak sudah melukainya sampai berdarah begitu. Tahan emosinya, Mbak!" seru Pak Rahmat berusaha menjadi penengah. "Papa! Bunda!" teriak Amira sembari menangis melihat ada darah. Amira dan Rio terkejut mendengar suara piring yang terjatuh berturut-turut. Kedua bola mata Rio tak berkedip melihat pemandangan di depa
"Mas, jadi kamu sudah dipecat di kantormu? Ini Rima WA, ngasih tahu kalau kamu nyari lowongan sama suaminya!" Booom! Seperti dihantam keras dada Bu Andin mendengarnya. Suasana semakin hening namun benar-benar semakin mencekam. Jangan ditanya bagaimana kagetnya Danang mendapatkan pertanyaan setajam itu. Pria itu bahkan tak bisa bicara sekata pun. "Ayo bicara, Mas! Kok diam kamu? Kamu sudah dipecat?" Danang menelan salivanya. Namun Safira tidak mau tahu. Dia merasa ini sangat buruk. Napasnya naik turun karena menahan perasaan campur aduk. Takut, kecewa, sedih semuanya. Ia harus memastikannya dengan cepat. "Kamu tak mau jawab? Gampang. Aku tinggal telpon orang-orang di kantormu. Kamu kira aku tak kenal mereka. Salah satunya Diana. Aku akan menelponnya sekarang." Tangan Safira begitu sangat cepat. Tuuuuut .... Danang seperti terhimpit. Ia melihat kedua orang tuanya yang sedang menatapnya kosong. Namun dia sudah makin terjepit. "Ya. Aku sudah dipecat." Safira langsu
Safira berhenti. Ia sudah berada di taman hotel yang begitu luas namun masih terang karena lampu-lampu tanam yang berwarna kuning temaram. "Tidak ada, Bun. Ya Allah dimana Megan?" Safira tak bicara. Dia kembali berjalan menuju area kolam. Danang hanya terus mengikuti karena ia tahu, istrinya adalah wanita modern yang memiliki pergaulan luas dan sering mengunjungi tempat-tenpat seperti ini. Tentu saja Safira tahu seluk beluk hotel itu jauh melebihinya. Tiba di kolam besar, Megan tetap tak terlihat. Danang semakin pias. "Apa perlu lapor polisi, Bun?" "Tenggelam saja kamu, Mas," sindir Safira dengan nada datar. Danang hanya diam dan terus mengikuti langkah istrinya itu. Kali ini lebih dalam lagi, ternyata ada lokasi yang memiliki berugak (sejenis balai-balai beratap rotan, mirip lumbung) dan di bawahnya itu ada kolam ikan koi. Beberapa orang duduk di setiap berugak menikmati suasana malam sembari berbincang satu sama lain. Danang cukup terkejut karena dia baru tahu ada tempa
"Dimana Megan?" tanya Safira setelah turun dari pelaminan. "Pastilah di sekitar sini. Aku gak bisa bawa dia ketemu teman-teman karena tak ingin menambah berita." "Ciih! Berita kamu poligami. Aku akan menyebarkan di medsos. Biar mampus kamu, Mas," celetuk Safira meninggalkan suaminya menuju stand makanan. Danang langsung mengejar istrinya dengan langkah cepat dan lebar. "Yang benar aja kamu, Bun. Ayolah, jangan begitu banget kamu. Biar gimana pun, aku bapaknya anak-anak. Apa gak malu mereka, kalau ayahnya dipermalukan ibunya di media?!" Safira menoleh pada suaminya itu dengan tatapan mengancam. "Kalau perempuan sudah tak sanggup menahan sakit hatinya, siap-siaplah hancur." "Isssh! Ngeri amat kamu, Bun. Macam mafia saja. Damailah kita," rayu Danang menoel pipi istrinya tanpa segan, meskipun mereka sedang di tempat keramaian. Safira memutar bola matanya malas dan kembali fokus menata makanannya. "Kamu ngapain ikutin aku terus, Mas? Sudah sana, cari istrimu. Hilan
Danang mengusap wajahnya kebingungan harus berbuat apa. Sempat ia menoleh pada Megan dan Megan hanya pasang wajah datar. Danang abai. Dalam pikirannya, bagaimana bisa Safira datang bersama bosnya yang seorang duda itu?! Sekarang Danang merasa sangat tidak nyaman. Rasanya di dalam dada seperti ada bara yang menyebabkan panas sampai ke otaknya. Sejenak pria itu masih berdiri tak kedip menatap istrinya yang sedang bicara dengan beberapa orang penting. Terlihat jelas raut wajah istrinya itu begitu riang dan santai. Tidak seperti pikirannya bahwa Safira akan bersedih karena dia berangkat bersama Megan. Safira terlihat sangat serasi berdiri di dekat David yang memakai batik yang dominan bercorak hitam. Sudah seperti couple saja. "Segitunya aku tidak kamu hargai, Fir. Sampai-sampai kamu berani datang bersama pria lain." Di sisi lain, Megan hanya bisa merasakan desiran kecemburuan melihat suaminya tak kedip melihat ke arah kakak madunya itu. Unt
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments