"Aaaakh!!! Sakit, Nyai!!!""Karena belas kasihanku pada ibumu makanya aku terus merayu putriku agar tetap menerimamu bekerja di sini. Tapi kamu rupanya menjelma menjadi pagar makan tanaman."Safira tersenyum sinis melihat Megan dijambak ibunya. Ia merasa memang ibunya adalah yang paling berhak sebab ibunya itulah tempat asal Mbok Mar mengabdi. Karena desakan ibunya pula ia masih mempertahankan Megan lebih-lebih hasutan suaminya. Ia mengira Danang tulus rupanya .... "Tolong lepaskan saya, Nyai! Lepaskan!"Megan memberontak dan mendorong Bu Sartini. Ia berhasil melepaskan dirinya dan menghentak angkuh. "Apa pun kesalahanku, kalian tidak berhak untuk memperlakukanku seperti ini. Karena tidak hanya aku yang melakukan perselingkuhan tapi juga Mas Danang! Kami sama-sama mau!""Ya, sebelum dia kucincang, kau yang akan lebih dulu kumutilasi!" seru Bu Sartini terengah-engah. "Tak perlu, Mbak! Biar aku yang cincang anak laki-lakiku yang tak guna ini! Bagaimana bisa dia tergoda wanita rendaha
"Apa pun itu! Kamu juga ada andil! Mama tegaskan, tidak ada perceraian! Kasihan kedua cucuku! Ini baru saja kok! Anggap saja kesalahan pertama! Seandainya tidak terjadi hal ini pastilah kamu akan terus menerima kehadiran perempuan murahan itu kan di rumah ini?!"Safira diam dan air matanya kembali jatuh lagi lebih deras. Matanya refleks menoleh ke arah Megan dengan rambut yang sudah acak-acakkan karena tangan ibunya. "Dalam hal ini, saya yang paling salah. Jadi salahkan saja saya, Mbak. Saya yang membujuk Safira agar terus menerima Megan padahal Fira sudah bilang keberatan."Bu Sartini mengelus pundak putrinya. Ia benar-benar kasihan pada Safira yang mendapatkan omelan dari mertuanya bahkan setelah suaminya jelas-jelas selingkuh. "Itulah Mbak. Sebagai orang tua, kita harus menjaga rumah tangga anak-anak. Saya pun menyanyangkan ada wanita muda berkeliaran di sini. Sebagai laki-laki, akan sangat sulit memang menjaga pandangan apalagi di rumah sendiri."Pak Rahmat menambahkan. Biar bag
FLASH BACK! Pukul 11 malam. "Mbok, aku dilamar!" seru Megan lewat telepon. "Ya Allah, yang serius kamu, Megan? Kok tiba-tiba ada yang lamar, sih?" tanya Mbok Mar langsung hilang ngantuknya. "Aku memang suruh kamu nikah biar ada yang nemenin kamu setelah lulus kuliah. Bisa bantuin kamu cari kerjaan dan ada yang jagain, Nak. Tapi ini kan belum wisuda, Megan. Jadi selama ini kamu gak kuliah, malah sibuk pacaran, ya?" cecar Mbok Mar. "Mbok tenang dulu. Calon suamiku ini jelas orang kaya, bukan perintis. Dia pun sudah mapan dengan pekerjaan yang mapan pula, Mbok.""Serius? Kaget aku, Megan!""Kami memang baru kenal tapi dia bilang serius sama aku, Mbok.""Aduh, bikin penasaran. Orang mana? Kamu gak pernah cerita-cerita.""Dia ...."Tok! Tok! "Mbok? Sudah tidur?""Belum, Non!" jawab Mbok Mar cepat. "Sebentar ya, Megan. Nyonya panggil."Ponsel dibiarkan menyala. Mbok Mar langsung membuka pintu. "Belum, Non. Kenapa?""Ini Amira rewel, Mbok. Pegang dulu, ya. Aku kebelet ke toilet! Mas D
"Mbok, duduklah! Kita harus bicara dengan cepat," ujar Danang membimbing Mbok Mar duduk di depan cafe samping supermarket. "Jangan tegang gitu akh, Mbok! Semua baik-baik saja!" seru Megan berbinar. Mbok Mar melihat ke arah punggung tangan Megan yang sudah berhena. Ada cincin juga. Lemas rasa persendiannya membayangkan apa yang akan dia dengar. "Maaf, Mbok. Saya nekat menikahi Megan karena saya merasa sudah jatuh cinta padanya. Saya menikahinya secara siri, dinikahkan oleh Paman Wan. Saksinya lima orang termasuk istri paman Wan.""Lailahaillah. Pak, bagaimana saya menyimpan wajah saya di depan Bu Sartini? Di hadapan Nona Fira? Ini pengkhianatan namanya, Pak.""Jadi Mbok tetap gak suka saya jadi mantu Mbok?" tantang Danang yang membuat Mbok Mar kehilangan kosa kata. Refleks wanita itu menggeleng. "Saya akan menjamin hidup Mbok dan Megan. Mbok tenang saja. Selama semua lancar, semua akan indah. Saya janji, enam bulan ke depan saya akan umrohkan Mbok. Pangkat saya di kantor makin tingg
"Jangan pernah kecewakan Mama lagi, Danang. Ini yang pertama dan terakhir kamu gini. Mama tak ingin rumah tangga yang baru seumuran jagung ini hancur." "Safira juga punya andil." Danang menggerutu memang dari hatinya. Andai istrinya tidak membiarkan Megan bekerja di rumah itu, takkan terjadi hal seperti ini. Di luar, dia sering bertemu wanita cantik tapi beda sekali suasananya ketika wanita muda ada di rumahnya sendiri. Beda, pokoknya beda! "Ya, tapi kamu harusnya punya iman! Mama juga sudah menasehati Safira. Sekarang kalian harus memulai dari 0 lagi. Wanita kalau sudah kecewa sulit untuk kembali seperti semula. Tugasmu membuat Safira kembali seperti dulu," ujar Bu Andin lalu menghentak masuk ke ruang keluarga. "Fir, Mama minta maaf. Tapi Mama ingin kamu dan Danang benar-benar serius untuk memperbaiki semuanya," ujar Bu Sartini. Safira hanya diam. "Ya sudah, kami pulang dulu. Kalian baik-baik berumah tangga. Dalam rumah tangga, masalah besar harus diperkecil dan masalah kec
"Hanya dekat biasa seperti itu saja, Bun. Gak lebih." "Tiga hari alasan ke luar kota, zonk. Kamu gak ada tugas dinas. Kamu juga sedang ditangguhkan jabatanmu sebagai kepala staf karena dana 10 juta yang kamu selundupkan. Semua itu karena Megan kan?" Beku telinga Danang mendengarnya. Darimana Safira tahu informasi ini? Gagap lidah Danang untuk bicara. Jika dia tahu ini pembahasan yang keluar dari mulut istrinya, ia memilih tak akan mengajak wanita di depannya itu bicara. "Tak perlu dijawab, aku sudah tahu, Mas. Bagaimana nantinya, entahlah." "Bun, jangan bicara begitu, Sayang. Aku serius mau berubah. Soal 10 juta itu, nanti akan dipotong gajiku jadi aku minta maaf, jatah bulananmu ...." Safira mendecih seperti mengejek suaminya. Ia meletakkan sendoknya lalu berdiri. "Kalau sampai kamu masih terus mendustaiku, Mas maka bukan hanya 10 juta yang lenyap tapi kamu akan kehilangan semuanya. Semuany
"Gugurkan, Megan. Aku tidak mau kehadirannya makin buat runyam." "Gila kamu, Mas! Aku gak mau! Aku akan kasih tahu Mbak Safira tentang janin ini! Biar sama-sama hancur kita!" seru Megan memberang dengan mata merah dan basah. "Berani saja kamu melakukan itu!" Wuuusssh! Tubuh Megan terdorong keras di kasur hingga membuatnya terjungkal. Hening dunia wanita itu karena amat terkejut mendapatkan perlakukan sekasar itu dari sosok yang sebenarnya adalah suaminya. Mulutnya terkunci rapat karena seperti hilang kemampuannya bicara. "Maaf, Sayang. Maaf ...." Danang meraih kedua pipi Megan yang terasa dingin. "Aku minta maaf, Sayang. Aku gak bermaksud kasar. Aku hanya gak mau kamu membuat kerunyaman." Megan masih bergeming. "Kalau sampai Safira tahu semua ini, dia bisa bertindak nekat, Sayang. Dia memilik
Mbok Mar terjungkal karena sekarang tak kalah terkejutnya. Apa itu artinya pernikahan Pak Danang dan putrinya belum terbongkar dan baru saja, dia sendiri yang sudah membongkarnya? Mbok Mar menggeleng keras dengan wajah pucat. "Katakan kebenarannya atau aku luluh lantakan rumah ini, Mar!" "Maafkan saya, Nyonya. Ya Allah, maafkan saya!" Mbok Mar bersujud dengan tangisannya yang menyeruak. "Aku tidak butuh tangisanmu, tak butuh permohonan maafmu. Aku butuh kejujuranmu. Katakan semasih sabarku masih ada. Apa yang sudah terjadi?" "Awal mula tak ada niat apa pun saya mengundang Megan ke rumah Nona Safira. Dan Nyonya tahu itu karena saya sudah izin pada kalian berdua. Namun rupanya selama dua minggu di sana, Mee-megan dan Pak Danang ada ... ada rasa. Setelah Megan pulang, rupanya mereka masih berhubungan pakai hp. Lalu setelah itu Pak Danang melamar Megan tapi saya tidak setuju, Nyonya! Demi Allah saya tidak setuj
Sedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Apa katamu, Mas?!!!" Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "Ka
"Kalau kamu menentangku, kita bisa bicara di pengadilan biar jelas. Ibu bapakmu sudah menganggapku anak jadi jangan macam-macam kamu. Aku masih bertahan dalam pernikahan ini karena mereka. Tapi jika aku sudah tak sanggup, tak ada seorang pun bisa mencegahku. Aku wanita merdeka, Mas. Ingat itu." Safira meraih handuk yang bersusun di laci tempel di dinding dekat kamar mandi. Ia lalu meletakkannya di atas dada suaminya dengan sentakan hingga pria itu sedikit terdorong. Danang hanya bisa menangkap handuk itu dan berusaha berdiri tegak. Pria itu menoleh pada Safira yang melenggang keluar kamar. 'Ooh Allah, seharusnya semua berjalan mulus. Aku memilih poligami daripada berzina. Aku memilih yang halal tapi kenapa makin dipersulit?' batin Danang mengerutu masih mematung. Pria itu tidak sadar bahwa pertanyaan hatinya itu bukan hanya dua itu yang menjadi pilihan. Tapi ada yang ke-tiga. Mengapa tidak menundukkan pandangan?
"Safira!" seru Danang tak terima dengan ucapan istri pertamanya itu. "Jangan berteriak memanggil namaku, Mas. Kalau kamu tidak setuju dengan perintahku, silahkan bawa dia pergi dari sini." "Jangan asal kamu bicara. Ini juga rumahku dan aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh tinggal di sini." "Ooh jelas. Tapi ingat, ada uangku di rumah ini juga. Posisiku lebih kuat di sini karena aku lah istri pertamamu dan sudah 13 tahun berada di rumah ini. Kamu mau bawa ke pengadilan? Ayo. Aku jabanin." "Pakailah hatimu, Safira," desis Danang berusaha melembut. Dia sungguh nelangsa. "Kan kamu yang mengajariku tak punya hati, Mas. Andai kamu punya hati, tak akan kamu seperti ini. Dan satu lagi, jika kamu menentangku maka aku akan mengadukan ini pada kedua orang tuamu. Menurutmu bagaimana?" Danang kikuk kebingungan. Melawan Safira saat
Rio langsung menggeret tangan adiknya agar mau masuk ke dalam kamar. Meski terpaksa, Amira mau mengikuti langkah Abangnya. Bell rumah berdenting dan Safira sudah berada di depan pintu. Ia menarik napasnya kuat-kuat. Safira membuka pintu dengan wajah yang datar. "Assalamu'alaikum, Bun." "Waalaikumsalam." Danang menoleh ke belakang, ke arah mobil. "Bun ...." "Tak ada tempat dia di sini. Pergi bawa gundikmu dari sini, Mas." "Aku minta tolong, Bun. Aku gak pegang uang sama sekali dan semua uang, kamu yang pegang. Aku gak bisa sewain Megan tempat tinggal." "Ya itu urusanmu. Kamu yang punya istri, kok bebani aku?" Safira langsung menutup pintu. Danang segera menahannya dengan tangannya. "Bund ... Jangan gini apa, Bun. Please." "Pergi kamu, Mas! Jangan mentang-mentang kemarin kita tidur bersama, kamu merasa aku nerima kamu apalagi nerima pelacur itu. Tidak seperti yang kamu pikirkan." "Ya. Aku sudah tahu. Kamu gak tulus layanin aku. Kamu sengaja, hanya buat manasin Megan. Dia
"Jangan pergi Safira. Papa mohon. Bertahanlah demi Rio dan Amira. Mereka butuh orang tua yang utuh. Melihat kamu dan Danang satu kamar lagi, mereka senang sekali. Tidur mereka pun nyenyak." "Tapi aku tak pernah tidur nyenyak sejak Mas Danang ketahuan menikah lagi, Pa." Safira menengadah menatap langit-langit ruang tamu. Dia sedang di rumah mertuanya, menjemput kedua anaknya yang ingin bermain di rumah mbah. "Kami paham perasaanmu, Nak. Mungkin kalau Mama di posisimu tak akan setegar kamu. Bisa langsung gila, Mama. Tapi Mama minta banget sama kamu, Safira. Pertahankan putraku jadi suamimu." Bu Andin ikut bicara menahan kesedihan. Salah satu do'anya adalah melihat anak-anaknya harmonis tapi justru doanya jadi ujiannya. Pernikahan putra kesayangannya di ambang kehancuran. Ia tahu, menjadi Safira memang sangat sulit. "Aku gak bisa, Ma. Aku akan tetap melaya
"Kenapa kamu marah-marah padaku, Mas? Kamu yang gila! Kenapa gak peduli padaku lagi?! Sekedar menelpon atau membalas cepat WA ku kamu gak bisa. Biarkan saja aku mati. " "Sinting. Benar-benar sinting. Aku sibuk mencari nafkah! Kamu tahu kondisiku saat ini. Uangku di Safira, sekarang aku harus mendapatkan uang baru untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu malah seperti anak kecil begini!" Sekali lagi, Danang meraih kursi plastik hijau itu lalu melemparkannya ke arah dinding lagi hingga menimbulkan suara yang cukup memekak. Sekarang, dia baru ingat, dia telah meninggalkan rapat yang penting dan dia tahu, banyak konsekuensi buruk yang sedang dia timbulkan. Hanya karena istri mudanya yang merajuk tanpa pikir. Danang frustasi dan dia merasa sangat nelangsa. "Kamu tega sama aku, Mas. Teganya kamu mengabaikanku!" "Aku kerja! Paham bahasa tidak?" "Tidak! Kamu sibuk tidur sama Mbah Safira. Ini fotomu! Apa maksudnya i
Bergetar bibir Megan membaca pesan itu. Dia langsung membuang hp itu, bersamaan dengan jantungnya yang bergemuruh hebat. Hanya gemeletuk giginya yang terdengar karena menahan amarah. Bagaimana bisa Mas Danangnya bisa sepulas itu tidur? Servis seperti apa yang kakak madunya telah berikan. "Kurang ajar. Tak ada malu. Perempuan sialan!" Hati Megan benar-benar seperti dibakar hidup-hidup. Panas luar biasa. Sakit luar biasa sakit, sampai-sampai merah matanya. Menggenang air mata Megan menahan sakit hati. Logikanya tahu bahwa Safira adalah istri Danang, tapi melihat pria itu telanjang begitu membuatnya membara. Dia merasa sedang dikhianati, sedang dipermainkan dan diejek. "Seharusnya aku tak perlu sesakit ini. Seharusnya ...." Megan berusaha mengafirmasi dirinya bahwa semua itu bukan menjadi masalah namun susah sekali baginya. Kelebat bayangan saat Danang sangat bernafsu mencumbunya tanpa jeda, membuat M
"Abang jangan mikir yang aneh-aneh. Abang fokus sembuh aja ya, Nak. Biar cepat bisa main sama teman-temannya lagi," ucap Safira sekuat tenaga menahan perasaannya yang hancur. "Kami baik-baik saja, Nak. Tidak ada yang berubah," tambah Danang. "Kalian tidur bersama-sama lagi. Jangan pisah kamar lagi." "Iya. Nanti Papa tidur sama Bundamu. Kamu tenang saja." "Tidur di sini," ucap Rio lagi. "Bunda harus temani adek, kan, Nak? Adek juga lagi sakit." Safira menyanggah dengan cepat. Sama sekali tak ada minatnya seranjang lagi dengan suaminya. Malah ia merasa jijik karena tubuh Danang sudah tersentuh Megan. Bahkan membayangkan dirinya disentuh suaminya lagi, itu cukup membuatnya mual. "Adek bawa ke sini. Kita tidur sama-sama lagi." Tak punya pilihan, Danang dan Safira mengikuti keinginan putra mereka. Mereka menggelar hamb