FLASH BACK! Pukul 11 malam. "Mbok, aku dilamar!" seru Megan lewat telepon. "Ya Allah, yang serius kamu, Megan? Kok tiba-tiba ada yang lamar, sih?" tanya Mbok Mar langsung hilang ngantuknya. "Aku memang suruh kamu nikah biar ada yang nemenin kamu setelah lulus kuliah. Bisa bantuin kamu cari kerjaan dan ada yang jagain, Nak. Tapi ini kan belum wisuda, Megan. Jadi selama ini kamu gak kuliah, malah sibuk pacaran, ya?" cecar Mbok Mar. "Mbok tenang dulu. Calon suamiku ini jelas orang kaya, bukan perintis. Dia pun sudah mapan dengan pekerjaan yang mapan pula, Mbok.""Serius? Kaget aku, Megan!""Kami memang baru kenal tapi dia bilang serius sama aku, Mbok.""Aduh, bikin penasaran. Orang mana? Kamu gak pernah cerita-cerita.""Dia ...."Tok! Tok! "Mbok? Sudah tidur?""Belum, Non!" jawab Mbok Mar cepat. "Sebentar ya, Megan. Nyonya panggil."Ponsel dibiarkan menyala. Mbok Mar langsung membuka pintu. "Belum, Non. Kenapa?""Ini Amira rewel, Mbok. Pegang dulu, ya. Aku kebelet ke toilet! Mas D
"Mbok, duduklah! Kita harus bicara dengan cepat," ujar Danang membimbing Mbok Mar duduk di depan cafe samping supermarket. "Jangan tegang gitu akh, Mbok! Semua baik-baik saja!" seru Megan berbinar. Mbok Mar melihat ke arah punggung tangan Megan yang sudah berhena. Ada cincin juga. Lemas rasa persendiannya membayangkan apa yang akan dia dengar. "Maaf, Mbok. Saya nekat menikahi Megan karena saya merasa sudah jatuh cinta padanya. Saya menikahinya secara siri, dinikahkan oleh Paman Wan. Saksinya lima orang termasuk istri paman Wan.""Lailahaillah. Pak, bagaimana saya menyimpan wajah saya di depan Bu Sartini? Di hadapan Nona Fira? Ini pengkhianatan namanya, Pak.""Jadi Mbok tetap gak suka saya jadi mantu Mbok?" tantang Danang yang membuat Mbok Mar kehilangan kosa kata. Refleks wanita itu menggeleng. "Saya akan menjamin hidup Mbok dan Megan. Mbok tenang saja. Selama semua lancar, semua akan indah. Saya janji, enam bulan ke depan saya akan umrohkan Mbok. Pangkat saya di kantor makin tingg
"Jangan pernah kecewakan Mama lagi, Danang. Ini yang pertama dan terakhir kamu gini. Mama tak ingin rumah tangga yang baru seumuran jagung ini hancur." "Safira juga punya andil." Danang menggerutu memang dari hatinya. Andai istrinya tidak membiarkan Megan bekerja di rumah itu, takkan terjadi hal seperti ini. Di luar, dia sering bertemu wanita cantik tapi beda sekali suasananya ketika wanita muda ada di rumahnya sendiri. Beda, pokoknya beda! "Ya, tapi kamu harusnya punya iman! Mama juga sudah menasehati Safira. Sekarang kalian harus memulai dari 0 lagi. Wanita kalau sudah kecewa sulit untuk kembali seperti semula. Tugasmu membuat Safira kembali seperti dulu," ujar Bu Andin lalu menghentak masuk ke ruang keluarga. "Fir, Mama minta maaf. Tapi Mama ingin kamu dan Danang benar-benar serius untuk memperbaiki semuanya," ujar Bu Sartini. Safira hanya diam. "Ya sudah, kami pulang dulu. Kalian baik-baik berumah tangga. Dalam rumah tangga, masalah besar harus diperkecil dan masalah kec
"Hanya dekat biasa seperti itu saja, Bun. Gak lebih." "Tiga hari alasan ke luar kota, zonk. Kamu gak ada tugas dinas. Kamu juga sedang ditangguhkan jabatanmu sebagai kepala staf karena dana 10 juta yang kamu selundupkan. Semua itu karena Megan kan?" Beku telinga Danang mendengarnya. Darimana Safira tahu informasi ini? Gagap lidah Danang untuk bicara. Jika dia tahu ini pembahasan yang keluar dari mulut istrinya, ia memilih tak akan mengajak wanita di depannya itu bicara. "Tak perlu dijawab, aku sudah tahu, Mas. Bagaimana nantinya, entahlah." "Bun, jangan bicara begitu, Sayang. Aku serius mau berubah. Soal 10 juta itu, nanti akan dipotong gajiku jadi aku minta maaf, jatah bulananmu ...." Safira mendecih seperti mengejek suaminya. Ia meletakkan sendoknya lalu berdiri. "Kalau sampai kamu masih terus mendustaiku, Mas maka bukan hanya 10 juta yang lenyap tapi kamu akan kehilangan semuanya. Semuany
"Gugurkan, Megan. Aku tidak mau kehadirannya makin buat runyam." "Gila kamu, Mas! Aku gak mau! Aku akan kasih tahu Mbak Safira tentang janin ini! Biar sama-sama hancur kita!" seru Megan memberang dengan mata merah dan basah. "Berani saja kamu melakukan itu!" Wuuusssh! Tubuh Megan terdorong keras di kasur hingga membuatnya terjungkal. Hening dunia wanita itu karena amat terkejut mendapatkan perlakukan sekasar itu dari sosok yang sebenarnya adalah suaminya. Mulutnya terkunci rapat karena seperti hilang kemampuannya bicara. "Maaf, Sayang. Maaf ...." Danang meraih kedua pipi Megan yang terasa dingin. "Aku minta maaf, Sayang. Aku gak bermaksud kasar. Aku hanya gak mau kamu membuat kerunyaman." Megan masih bergeming. "Kalau sampai Safira tahu semua ini, dia bisa bertindak nekat, Sayang. Dia memilik
Mbok Mar terjungkal karena sekarang tak kalah terkejutnya. Apa itu artinya pernikahan Pak Danang dan putrinya belum terbongkar dan baru saja, dia sendiri yang sudah membongkarnya? Mbok Mar menggeleng keras dengan wajah pucat. "Katakan kebenarannya atau aku luluh lantakan rumah ini, Mar!" "Maafkan saya, Nyonya. Ya Allah, maafkan saya!" Mbok Mar bersujud dengan tangisannya yang menyeruak. "Aku tidak butuh tangisanmu, tak butuh permohonan maafmu. Aku butuh kejujuranmu. Katakan semasih sabarku masih ada. Apa yang sudah terjadi?" "Awal mula tak ada niat apa pun saya mengundang Megan ke rumah Nona Safira. Dan Nyonya tahu itu karena saya sudah izin pada kalian berdua. Namun rupanya selama dua minggu di sana, Mee-megan dan Pak Danang ada ... ada rasa. Setelah Megan pulang, rupanya mereka masih berhubungan pakai hp. Lalu setelah itu Pak Danang melamar Megan tapi saya tidak setuju, Nyonya! Demi Allah saya tidak setuj
"Kenapa Mas? Kaget betul kamu." Danang gagap. Udara sulit sekali rasanya dia tarik. Ia berusaha mengendalikan dirinya. Susah payah dia tersenyum di depan Safira. "Sayang, aku kaget sekali. Ini anugerah!" "Ya, kuharap begitu." Suara Safira datar. Mungkin beda responnya jika belum mengetahui pengkhianatan suaminya. Sekali pecah, hati wanita sulit sekali kembali seperti semula. Memang begitu faktanya. "Bunda! Ada Mbah Putri!" seru Rio dari ruangan keluarga. "Ibuk! Syukurlah." Safira antusias meraih hasil tespek itu dari tangan suaminya lalu bergegas keluar. Ia langsung menyalami ibunya. Dingin tangan Bu Sartini. Wajahnya juga sembab. "Ibuk baik-baik saja?" tanya Safira. Ia khawatir gula darah ibunya naik. Bu Sartini mengangguk lemah. "Bener?" "Iya, cuman telat tidur semalam," kilahnya. "Mana suamimu?" "Di dalam, lagi gendong Amira." Bu Sartini diam. Ingin sekali rasanya ia menghambur masuk lalu mematahkan leher menantunya sendiri. Tiba-tiba Safira meletakkan
"Ya Allah, Mbak. Pasti ini hanya berita hoax, Mbak!" "Aku sudah mendengar langsung dari mulut Mar dan Danang. Sekarang kamu tanyakan langsung pada putramu. Assalamu'alaikum." Bu Sartini langsung memutuskan panggilan. Air matanya jatuh berderai deras. Kasihan sekali dia pada putrinya. Tak sanggup ia membayangkan nanti saat Safira tahu fakta ini. Apalagi dia sendiri yang akan memberitahu putrinya, sungguh dia kehilangan kemampuannya untuk bicara. "Awas saja, jika sampai tiga hari Danang masih memperistri wanita setan itu, aku yang akan mencincangnya langsung. Tidak akan kubiarkan putriku menderita." Di sisi lain, Bu Andin langsung duduk dengan sekujur tubuh yang terasa dingin. Ia menggeleng berkali-kali. Tidak mungkin, tidak mungkin putranya menikah lagi. Pak Rahmat yang baru pulang dari masjid, langsung bergegas menghampiri istrinya yang sedang menangis dengan wajah yang pucat.
"Mama?" Tanpa ragu, Safira langsung memeluk Bu Andin. Pak Rahmat mengelus-elus kepala Safira sembari menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia sangat prihatin atas kehancuran rumah tangga putranya. "Meskipun kamu bukan lagi menantu kami, kamu tetap anak kami, Fir," ujar Pak Rahmat. "Kamu jangan khawatir. Kami yang akan membayar biaya persalinannya. Karena itu sudah jadi tanggung jawab kami," ujar Pak Rahmat bijak. "Kalian pasti tahu, ini bukan soal harga," ujar Safira mengusap air matanya. "Sabar, ya, Fir. Tadi kami sudah cari Danang ke rumah, tapi dia gak ada," ujar Bu Andin. "Kemana ya, dia?" desis Safira melihat layar ponselnya yang tak bosan menelpon dan mengirim pesan. Tiba-tiba terlihat salah satu tim medis mengabarkan bahwa bayi sudah berhasil dikeluarkan dan berjenis kelamin laki-laki, sekarang sedang di ruang NICU. "Kenapa dibawa ke NICU?" tanya Bu Sartini sedangkan Bu Andin setengah tidak peduli. "Bayinya sakit, Bu. Bayinya kuning, Bu." "Ma-maaf,
FLASH BACK! "Nyonya! Nyonya!" "Kamu kenapa, Mi?!" "Megan sakit perutnya. Ada darah bercampur air yang keluar dari selangkangannya, Nyonya!" seru Mimi dengan wajah panik. "Astaghfirullah! Dimana dia?" "Masih di luar. Beberapa meter dari sini." "Ooh ya, Allah! Cepat kembali, temani dia, Mimi!" Anggukan kepala Mimi terlihat tegang. Ia kembali berlari keluar. Bu Sartini segera masuk rumah menggedor kamar Safira. "Fir! Fira!" Safira diam saja, malas menimpali ibunya. Pipinya masih basah. Luka hatinya dibuat kembali terbuka. Jika bertemu Danang, ia merasa dendam tapi bertemu Megan, seperti berlipat-lipat perasaan sakit hatinya. Safira mengabaikan panggilan ibunya, justru makin memeluk diri sendiri di dalam selimut tebal. Kedua telinganya ditutup rekat-rekat. "Safira! Megan mau melahirkan! Dia sedang kesakitan di pinggir jalan itu, Fir!" Seketika kedua bola mata Safira terbuka. Perlahan tangannya turun dari telinganya. "Fir, jika kamu dendam pada Megan, tak apa-a
Danang meraung meresapi penyesalannya. Ia ingin segera menemui Megan. Dengan susah payah dia berdiri, membawa kursi kayu yang terikat dengannya. Namun baru saja beberapa saat berdiri, kakinya terasa seperti ditusuk belati. "Aaakhhhhhh!" Tiba-tiba pintu terbuka. Byuuuurr! Seember air es mengguyur utuh ke seluruh tubuh Danang. Perih dingin terasa menyengat kulitnya. "Berisik!" Danang enggap-engapan. "Tolong, Bang. Lepaskan saya. Saya harus menemui istri saya, Bang!" "Selama tidak ada perintah dari bos, mana bisa kami lepaskan." Pintu ditutup. "Megan ...!" teriak Danang dengan penyesalan memenuhi seluruh hatinya. "Maafkan aku, Safira. Maafkan aku Megan," lirih Danang menggigil. Sekarang dia menyadari bahwa semua bencana yang dialaminya saat ini adalah bermula karena dia. Andai dia mensyukuri apa yang dia miliki, tentu dia tidak akan mencari nikmat lain yang membuatnya kehilangan nikmat sebelumnya. "Rio ... Amira ...." Wajah kedua putra putrinya bergela
Seorang laki-laki bule tinggi dengan otot-otot terlatih keluar dari mobil hitam itu. Sorot matanya tajam menatap ke arah Danang yang sudah lebih dulu keluar. Danang sedang mendekat untuk meminta kedua mobil itu menyingkir namun dia langsung bergeming saat melihat pria bule itu. "Jangan biarkan dia mendekat, tapi seret dia kemari," desis Gerald menyalakan rokoknya. Empat anak buahnya langsung berjalan cepat mendekati Danang. Sekarang Danang sadar, ini bukan peristiwa kebetulan tapi dia memang sedang diincar! Pria itu berbalik, berlari menuju mobilnya berada. "Mereka penjahat! Kita harus segera pergi dari sini!" teriak Danang meloncat masuk ke dalam mobilnya. Jantungnya berdebar hebat. Ia yakin, itu perampok. "Dimana kuncinya?!" teriak Danang menatap pada Ambar. Dia sangat panik. Namun wanita yang bersamanya itu terlihat santai saja menatap layar ponselnya. Dia diam, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Danang tak percaya dengan situasi yang sedang dia hadapi. Belum sempa
"Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya." Makin keras isak tangis Megan. Ia bingung mau memproduksi kalimat yang pantas untuk Safira. Megan hanya terus terisak sembari bersujud. Bu Sartini mendekatinya lalu mengangkat bahu wanita itu. "Bangunlah. Kasihan bayi di perutmu, kamu bawa nangis terus," lirih Bu Sartini berusaha bijak. "Tak ada gunanya kamu minta maaf sekarang, Megan. Kamu begini karena suamimu sudah mengkhianatimu kan? Aku sudah tahu. Tempo hari dia bersama seorang wanita kaya. Pria itu memang suka wanita kaya. Seharusnya kamu merasa hebat lo, bisa merebutnya dariku hanya dengan modal lemah lembut dan ready 24 jam." "Nyonya ...," lirih Megan menyiapkan dirinya menerima semua cercaan Safira yang lebih menyayat hati. Dia merasakan yang sekarang baru permulaan. "Setelah mengetahui suamimu selingkuh dan memilih wanita kaya, kamu bisa ngamuk juga, ya, rupanya? Seharusnya kamu tetap lemah lembut dan legowo. Kan itu jargon andalanmu sehingga aku begitu terlihat kasar. Se
Safira keluar dari mobil sembari memijit-mijit tengkuknya. "Assalamu'alaikum, Ibuk!" "Waalaikumsalam." "Tumben di luar? Nungguin aku?" "Iya. Ada yang mau Ibu bicarakan, Fir." "Soal jemput anak-anak? Aku sudah telpon mereka tadi. Katanya besok pulang ke sini. Masih betah mereka. Tahulah mbahnya suka manjain mereka, turutin semua mau mereka. Kadang gak kira-kira," sungut Safira terus melangkah. Bu Sartini menangkap tangan putrinya itu. "Fir!" Safira menoleh ke belakang, merasa heran. "Aku serius. Ada hal penting yang ibumu ini mau bicarakan." Safira sempurna membalikkan tubuhnya menghadap Bu Sartini. "Segitu pentingnya sampai gak bisa ngomong di dalam, Buk?" Tatapan mata Bu Sartini mengatakan iya. "Di dalam ada Megan." "Apa?!" Kedua bola mata Safira membelalak lebar. Kalimat yang barusan dia dengar itu seperti membawa trauma untuk dirinya. "Untuk apa dia di sini?!!! Apa lagi yang dia mau rebut dariku?!" Safira tegang. Nada bicaranya pun meninggi.
Bu Sartini yang sedang di gudang kain langsung terkesiap. Ia takut salah dengar dengan sebutan itu. Hanya Megan yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Telingaku makin kehilangan kemampuannya," lirih Bu Sartini sendirian. "Nyaiiii ...." Bu Sartini menoleh dan langsung mundur, menjatuhkan roll kain yang sedang berdiri di dekatnya. Belum bisa keluar kalimat dari mulutnya, Megan langsung menyungkur di depan kaki Bu Sartini. "Maafkan saya, Nyai. Maafkan saya! Saya salah, Nyai. Saya siap dihukum meskipun hukuman mati!" Megan terisak-isak. Bu Sartini menjauhkan kakinya. "Kamu kenapa, Megan? Heeei! Bangun! Bangun!" Megan bersujud. "Saya salah, Nyai. Saya salah sudah merebut kebahagiaan Nyonya. Saya memang babu! Benar. Saya hanya alas kaki kalian!" Bu Sartini terus memperhatikan. Megan mengangkat kepalanya. "Hei! Kamu kenapa?! Jangan bicara yang aneh-aneh!" "Saya salah, Nyai. Saya salah!" Megan terisak-isak hebat. "Apa suamimu tahu, kamu ke sini?" tanya Bu Sartin
"Mana kunci mobilku?!" tanya Danang sembari memasukkan ponsel, parfum ke dalam tasnya. Perlengkapan untuk pesta makan malam di bawah langit berbintang sudah ia siapkan dalam godie bag. Sebuah rencana dan hidup yang sempurna. Megan yang ditanya diam saja, pura-pura tidur. Dia sudah melempar kunci itu ke belakang. Entah dimana jatuhnya, dia tidak mau tahu. "Dimana kunci mobilku?!" Suara Danang makin meninggi. "Aku tidak tahu, Mas. Cari saja di mana kamu biasa simpan." "Aku selalu simpan di sini. Kamu jangan bodohi aku, Megan. Dimana kunci mobilku?!" Danang membuka selimut yang menutupi tubuh Megan. "Bangun! Kamu pasti yang sembunyikan kunci mobilku?!" "Apaan sih?!" Megan menepis tangan suaminya. Danang langsung menarik lengan Megan hingga jatuh wanita itu ke lantai. "Aaaaakh!!!!" Megan merasakan perutnya terasa menghentak. "Sakit, Mas!" "Dimana kunci mobilku?!" "Berhenti menemui wanita itu! Sejak kamu bersamanya, kamu menjadi orang yang tidak kukenali!"
"Fantastik! Tapi ini mahal, Sayang!" "Aku hanya ingin kamu senang," ujar Ambar tersenyum. Danang sangat gembira bahkan dia langsung melupakan hal yang sedari tadi dipikirkannya itu. Persetan dengan dia sedang bersama wanita bersuami atau tidak, dia tidak mau peduli lagi. Yang penting, dia sudah memiliki mobil baru yang harganya mendekati 500 juta. "Aku harus membalas kebaikanmu dengan apa, Sayang?" "Malam ini, habiskan waktumu bersamaku." Danang tersenyum dan mengangguk cepat. Ponselnya langsung dia matikan tak peduli ada puluhan pesan dan panggilan dari siapa pun. Keesokan harinya, membawa matanya yang sembab bersama hatinya yang hancur lebur, Megan sampai di rumah besar kediaman Ambar. "Mana Mas Danang, Pak?" tanya Megan pada satpam. "Belum pulang, Mbak." "Kan itu mobil yang dibawa?!" Megan mulai emosi. Tak karuan perasaannya. Ia menduga, satpam itu menyembunyikan keberadaan suaminya. "Kemarin sore balik sama Boss. Terus ada mobil baru nyusul. Lalu, mereka