"Mama?" Tanpa ragu, Safira langsung memeluk Bu Andin. Pak Rahmat mengelus-elus kepala Safira sembari menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia sangat prihatin atas kehancuran rumah tangga putranya. "Meskipun kamu bukan lagi menantu kami, kamu tetap anak kami, Fir," ujar Pak Rahmat. "Kamu jangan khawatir. Kami yang akan membayar biaya persalinannya. Karena itu sudah jadi tanggung jawab kami," ujar Pak Rahmat bijak. "Kalian pasti tahu, ini bukan soal harga," ujar Safira mengusap air matanya. "Sabar, ya, Fir. Tadi kami sudah cari Danang ke rumah, tapi dia gak ada," ujar Bu Andin. "Kemana ya, dia?" desis Safira melihat layar ponselnya yang tak bosan menelpon dan mengirim pesan. Tiba-tiba terlihat salah satu tim medis mengabarkan bahwa bayi sudah berhasil dikeluarkan dan berjenis kelamin laki-laki, sekarang sedang di ruang NICU. "Kenapa dibawa ke NICU?" tanya Bu Sartini sedangkan Bu Andin setengah tidak peduli. "Bayinya sakit, Bu. Bayinya kuning, Bu." "Ma-maaf,
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin
"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain
Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s
Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Kamu jangan nangis lagi, Rio. Ada banyak anak yang sudah pernah mengalami yang seperti kamu alami. Bahkan, di tengah kemiskinan," ujar Arini dengan nada berat. Itu curahan hatinya. "Kamu tenang aja. Mbak pelakor itu akan mendapatkan ganjarannya," tambah Pricillia optimis. "Kamu jangan memberikan ide gila lagi. Gara-gara idemu itu, kita semua kena getahnya," ketus Arini. Dia sedih sekali melihat Rio dimarah bahkan hampir mau dipukul. Memang persis seperti yang ayahnya lakukan dulu padanya. Tapi beruntung, Rio punya bunda yang punya kekuatan. Kalau ibunya, justru ikut dipukul. Mengingat itu, Arini hanya bisa menahan sakit batinnya yang masih mungil. Bahkan bekas pukulan tangan ayahnya masih ada. Belum sempat Pricilia menimpali, Rio sudah membuka mulut untuk membelanya. "Sudah, kamu jangan salahin Pricilia. Papaku memang jahat. Aku bahkan ingin dia benar-benar memukulku agar aku makin benci padanya," timpal Rio. "Rio ...." desis Arini dan Pricilia bersamaan, merasa ikut sedih. To
"Mama?" Tanpa ragu, Safira langsung memeluk Bu Andin. Pak Rahmat mengelus-elus kepala Safira sembari menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia sangat prihatin atas kehancuran rumah tangga putranya. "Meskipun kamu bukan lagi menantu kami, kamu tetap anak kami, Fir," ujar Pak Rahmat. "Kamu jangan khawatir. Kami yang akan membayar biaya persalinannya. Karena itu sudah jadi tanggung jawab kami," ujar Pak Rahmat bijak. "Kalian pasti tahu, ini bukan soal harga," ujar Safira mengusap air matanya. "Sabar, ya, Fir. Tadi kami sudah cari Danang ke rumah, tapi dia gak ada," ujar Bu Andin. "Kemana ya, dia?" desis Safira melihat layar ponselnya yang tak bosan menelpon dan mengirim pesan. Tiba-tiba terlihat salah satu tim medis mengabarkan bahwa bayi sudah berhasil dikeluarkan dan berjenis kelamin laki-laki, sekarang sedang di ruang NICU. "Kenapa dibawa ke NICU?" tanya Bu Sartini sedangkan Bu Andin setengah tidak peduli. "Bayinya sakit, Bu. Bayinya kuning, Bu." "Ma-maaf,
FLASH BACK! "Nyonya! Nyonya!" "Kamu kenapa, Mi?!" "Megan sakit perutnya. Ada darah bercampur air yang keluar dari selangkangannya, Nyonya!" seru Mimi dengan wajah panik. "Astaghfirullah! Dimana dia?" "Masih di luar. Beberapa meter dari sini." "Ooh ya, Allah! Cepat kembali, temani dia, Mimi!" Anggukan kepala Mimi terlihat tegang. Ia kembali berlari keluar. Bu Sartini segera masuk rumah menggedor kamar Safira. "Fir! Fira!" Safira diam saja, malas menimpali ibunya. Pipinya masih basah. Luka hatinya dibuat kembali terbuka. Jika bertemu Danang, ia merasa dendam tapi bertemu Megan, seperti berlipat-lipat perasaan sakit hatinya. Safira mengabaikan panggilan ibunya, justru makin memeluk diri sendiri di dalam selimut tebal. Kedua telinganya ditutup rekat-rekat. "Safira! Megan mau melahirkan! Dia sedang kesakitan di pinggir jalan itu, Fir!" Seketika kedua bola mata Safira terbuka. Perlahan tangannya turun dari telinganya. "Fir, jika kamu dendam pada Megan, tak apa-a
Danang meraung meresapi penyesalannya. Ia ingin segera menemui Megan. Dengan susah payah dia berdiri, membawa kursi kayu yang terikat dengannya. Namun baru saja beberapa saat berdiri, kakinya terasa seperti ditusuk belati. "Aaakhhhhhh!" Tiba-tiba pintu terbuka. Byuuuurr! Seember air es mengguyur utuh ke seluruh tubuh Danang. Perih dingin terasa menyengat kulitnya. "Berisik!" Danang enggap-engapan. "Tolong, Bang. Lepaskan saya. Saya harus menemui istri saya, Bang!" "Selama tidak ada perintah dari bos, mana bisa kami lepaskan." Pintu ditutup. "Megan ...!" teriak Danang dengan penyesalan memenuhi seluruh hatinya. "Maafkan aku, Safira. Maafkan aku Megan," lirih Danang menggigil. Sekarang dia menyadari bahwa semua bencana yang dialaminya saat ini adalah bermula karena dia. Andai dia mensyukuri apa yang dia miliki, tentu dia tidak akan mencari nikmat lain yang membuatnya kehilangan nikmat sebelumnya. "Rio ... Amira ...." Wajah kedua putra putrinya bergela
Seorang laki-laki bule tinggi dengan otot-otot terlatih keluar dari mobil hitam itu. Sorot matanya tajam menatap ke arah Danang yang sudah lebih dulu keluar. Danang sedang mendekat untuk meminta kedua mobil itu menyingkir namun dia langsung bergeming saat melihat pria bule itu. "Jangan biarkan dia mendekat, tapi seret dia kemari," desis Gerald menyalakan rokoknya. Empat anak buahnya langsung berjalan cepat mendekati Danang. Sekarang Danang sadar, ini bukan peristiwa kebetulan tapi dia memang sedang diincar! Pria itu berbalik, berlari menuju mobilnya berada. "Mereka penjahat! Kita harus segera pergi dari sini!" teriak Danang meloncat masuk ke dalam mobilnya. Jantungnya berdebar hebat. Ia yakin, itu perampok. "Dimana kuncinya?!" teriak Danang menatap pada Ambar. Dia sangat panik. Namun wanita yang bersamanya itu terlihat santai saja menatap layar ponselnya. Dia diam, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Danang tak percaya dengan situasi yang sedang dia hadapi. Belum sempa
"Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya." Makin keras isak tangis Megan. Ia bingung mau memproduksi kalimat yang pantas untuk Safira. Megan hanya terus terisak sembari bersujud. Bu Sartini mendekatinya lalu mengangkat bahu wanita itu. "Bangunlah. Kasihan bayi di perutmu, kamu bawa nangis terus," lirih Bu Sartini berusaha bijak. "Tak ada gunanya kamu minta maaf sekarang, Megan. Kamu begini karena suamimu sudah mengkhianatimu kan? Aku sudah tahu. Tempo hari dia bersama seorang wanita kaya. Pria itu memang suka wanita kaya. Seharusnya kamu merasa hebat lo, bisa merebutnya dariku hanya dengan modal lemah lembut dan ready 24 jam." "Nyonya ...," lirih Megan menyiapkan dirinya menerima semua cercaan Safira yang lebih menyayat hati. Dia merasakan yang sekarang baru permulaan. "Setelah mengetahui suamimu selingkuh dan memilih wanita kaya, kamu bisa ngamuk juga, ya, rupanya? Seharusnya kamu tetap lemah lembut dan legowo. Kan itu jargon andalanmu sehingga aku begitu terlihat kasar. Se
Safira keluar dari mobil sembari memijit-mijit tengkuknya. "Assalamu'alaikum, Ibuk!" "Waalaikumsalam." "Tumben di luar? Nungguin aku?" "Iya. Ada yang mau Ibu bicarakan, Fir." "Soal jemput anak-anak? Aku sudah telpon mereka tadi. Katanya besok pulang ke sini. Masih betah mereka. Tahulah mbahnya suka manjain mereka, turutin semua mau mereka. Kadang gak kira-kira," sungut Safira terus melangkah. Bu Sartini menangkap tangan putrinya itu. "Fir!" Safira menoleh ke belakang, merasa heran. "Aku serius. Ada hal penting yang ibumu ini mau bicarakan." Safira sempurna membalikkan tubuhnya menghadap Bu Sartini. "Segitu pentingnya sampai gak bisa ngomong di dalam, Buk?" Tatapan mata Bu Sartini mengatakan iya. "Di dalam ada Megan." "Apa?!" Kedua bola mata Safira membelalak lebar. Kalimat yang barusan dia dengar itu seperti membawa trauma untuk dirinya. "Untuk apa dia di sini?!!! Apa lagi yang dia mau rebut dariku?!" Safira tegang. Nada bicaranya pun meninggi.
Bu Sartini yang sedang di gudang kain langsung terkesiap. Ia takut salah dengar dengan sebutan itu. Hanya Megan yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Telingaku makin kehilangan kemampuannya," lirih Bu Sartini sendirian. "Nyaiiii ...." Bu Sartini menoleh dan langsung mundur, menjatuhkan roll kain yang sedang berdiri di dekatnya. Belum bisa keluar kalimat dari mulutnya, Megan langsung menyungkur di depan kaki Bu Sartini. "Maafkan saya, Nyai. Maafkan saya! Saya salah, Nyai. Saya siap dihukum meskipun hukuman mati!" Megan terisak-isak. Bu Sartini menjauhkan kakinya. "Kamu kenapa, Megan? Heeei! Bangun! Bangun!" Megan bersujud. "Saya salah, Nyai. Saya salah sudah merebut kebahagiaan Nyonya. Saya memang babu! Benar. Saya hanya alas kaki kalian!" Bu Sartini terus memperhatikan. Megan mengangkat kepalanya. "Hei! Kamu kenapa?! Jangan bicara yang aneh-aneh!" "Saya salah, Nyai. Saya salah!" Megan terisak-isak hebat. "Apa suamimu tahu, kamu ke sini?" tanya Bu Sartin
"Mana kunci mobilku?!" tanya Danang sembari memasukkan ponsel, parfum ke dalam tasnya. Perlengkapan untuk pesta makan malam di bawah langit berbintang sudah ia siapkan dalam godie bag. Sebuah rencana dan hidup yang sempurna. Megan yang ditanya diam saja, pura-pura tidur. Dia sudah melempar kunci itu ke belakang. Entah dimana jatuhnya, dia tidak mau tahu. "Dimana kunci mobilku?!" Suara Danang makin meninggi. "Aku tidak tahu, Mas. Cari saja di mana kamu biasa simpan." "Aku selalu simpan di sini. Kamu jangan bodohi aku, Megan. Dimana kunci mobilku?!" Danang membuka selimut yang menutupi tubuh Megan. "Bangun! Kamu pasti yang sembunyikan kunci mobilku?!" "Apaan sih?!" Megan menepis tangan suaminya. Danang langsung menarik lengan Megan hingga jatuh wanita itu ke lantai. "Aaaaakh!!!!" Megan merasakan perutnya terasa menghentak. "Sakit, Mas!" "Dimana kunci mobilku?!" "Berhenti menemui wanita itu! Sejak kamu bersamanya, kamu menjadi orang yang tidak kukenali!"
"Fantastik! Tapi ini mahal, Sayang!" "Aku hanya ingin kamu senang," ujar Ambar tersenyum. Danang sangat gembira bahkan dia langsung melupakan hal yang sedari tadi dipikirkannya itu. Persetan dengan dia sedang bersama wanita bersuami atau tidak, dia tidak mau peduli lagi. Yang penting, dia sudah memiliki mobil baru yang harganya mendekati 500 juta. "Aku harus membalas kebaikanmu dengan apa, Sayang?" "Malam ini, habiskan waktumu bersamaku." Danang tersenyum dan mengangguk cepat. Ponselnya langsung dia matikan tak peduli ada puluhan pesan dan panggilan dari siapa pun. Keesokan harinya, membawa matanya yang sembab bersama hatinya yang hancur lebur, Megan sampai di rumah besar kediaman Ambar. "Mana Mas Danang, Pak?" tanya Megan pada satpam. "Belum pulang, Mbak." "Kan itu mobil yang dibawa?!" Megan mulai emosi. Tak karuan perasaannya. Ia menduga, satpam itu menyembunyikan keberadaan suaminya. "Kemarin sore balik sama Boss. Terus ada mobil baru nyusul. Lalu, mereka