"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun.
"Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sini. Terlihat dia keluar menggandeng Rio sembari menenteng tas putraku itu. Aku tadi sudah pamit sama Rio, tapi ingin rasanya aku mencium pipinya yang putih bersih itu. Pastilah sekarang aromanya harum segar. Meski aku sebenarnya sangat buru-buru, tak mampu kutahan kakiku untuk tidak melangkah mendekati putraku yang tampan. "Mama Megan kok lama banget, sih?!" sungut Amira yang membuat aku langsung berhenti karena amat terkejut. Mama Megan? Jadi dari tadi, putriku memanggil Mama itu untuk Megan, pembantuku? Megan tersenyum salah tingkah, menoleh ke arahku lalu kembali tersipu. "Maaf, Nyonya. Kebawa-bawa pas main drama kemarin. Ceritanya saya jadi mama dalam skenario." Aku yang semula tegang jadi langsung tenang. Ooh ternyata begitu. "Amira! Kalau lagi gak main drama, tidak perlu panggil Mama sama Mbak Megan, ya." "Tapi kemarin kan Mbak Megan suruh aku sama Abang Rio panggil Mama," sambung Amira seperti tak mau disalahkan. "Iya, kan lagi main," sanggah Megan salah tingkah. "Pas lagi gak main juga kan, Abang ya?!" Amira masih tak mau disalahkan. Rio sendiri tidak bicara. Putraku itu memang pendiam, so cool memang pembawaannya. Dia tak akan bicara kalau tidak penting menurut dia. Aku melihat jam di tanganku sudah sangat mepet sekali. Kalau sampai benar-benar terlambat, bos galakku pasti tak akan ragu memecatku. "Ya sudah, main yang aman ya. Mama pergi dulu." Sekali lagi aku mengecup pipi kedua anakku dan kali ini benar-benar kakiku melangkah cepat. Di kantor aku langsung disambut wajah kecut Tasya. Dia sahabat kentalku. "Boss sudah mencarimu, mampuslah kamu sekarang." "Ya Allah, serius? Ini baru jam 8 kurang 5 menit lo. Belum terlambat," sungutku melihat jam tanganku. "Oh ya? Lihat saja." Baru saja aku duduk, boss sudah keluar. "Safira, masuk ruangan saya!" Rupanya benar saja, aku ditegurnya dan ditumpuki beberapa pekerjaan yang menurutku tidak urgent. Dengan wajah masam aku keluar dari ruangannya. Padahal meeting masih 30 menit lagi dan menurutku semua bahan sudah siap. Dasar bos gila. "Kamu kenapa sih bisanya terlambat?" tanya Tasya. "Aku gak terlambat, loh! Masih lima menit lagi menuju jam 8!" sungutku kesal. "Bagi boss itu sama saja. Lagian tahu kalau ada rapat gini, boss itu pengennya kita standbye 1 jam sebelumnya. Ada apaan? Tumben juga kamu agak mepet." "Gak ada sih. Cuma tadi aku sempat tersita waktu karena kaget dengar Amira panggil Mama. Kukira dia panggil aku karena pengaruh temannya, tapi ternyata dia panggil Megan, ART-ku." "Yang dulu pernah nginep di rumahmu, jenguk ibunya itu?" "Iya. Megan, anaknya Mbok Mar." "Aduh ... yang serius kamu?" Wajah Tasya langsung tegang berlipat gitu. Aneh sekali responnya. Terlalu berlebihan. "Iya. Rupanya kebawa pas cosplay gitu. Mereka main sandiwara," ujarku santai membuka laptop, memastikan batrai laptopku full. "Kamu harus hati-hati, lo." "Hati-hati gimana?" "Ya, kita gak tahu. Takutnya nanti jadi Mama beneran." Pluuuk! Aku langsung melempari Tasya dengan bola-bola kertas yang belum kubuang kemarin. "Ucapan adalah doa!" seruku melotot padanya gemas. "Aku cuma ingetin kamu buat hati-hati aja." "Ya," timpalku dengan senyum dan kembali fokus mempersiapkan file yang akan kugunakan untuk presentasi. Tasya ada-ada saja. Aku tidak mengindahkan ucapan Tasya. Megan itu anak dari pembantu lama yang sudah mengabdi di keluargaku sudah puluhan tahun. Sejak aku menikah, Mbok Mar ikut denganku. Karena Si Mbok sedang kumat parah asam uratnya, jadi dia pulang rehat dan digantikan anaknya untuk sementara waktu. Mbok tidak mau diberhentikan jadilah aku menerima kehadiran Megan. Katanya cukup satu bulan saja, mumpung Megan lagi libur tinggal tunggu wisuda. "Hati-hati aja, Fir. Pokoknya hati-hati," ucap Tasya lagi saat kami berpisah di parkiran. "Iya. InsyaAllah aman lah," ujarku santai sembari cupika cupiki. Hari ini aku pulang lebih awal karena tugas sudah selesai sesuai target. Aku membayangkan bisa tidur siang di rumah, itu menyenangkan. Aku cukup kaget karena mobil Mas Danang sudah terparkir. Seharusnya kan dia pulang ashar. "Assalamualaikum!" salamku langsung membuka pintu. Aku cukup kaget melihat Megan sedang di ruang tamu bersama Mas Danang. Megan duduk di lantai, tak jauh dari kaki suamiku. "Waalaikumsalam. Tumben pulang cepat, Bun." Megan terlihat bangkit dan langsung bergegas menjauh. Kuabaikan ucapan suamiku. "Tunggu di sini Megan!" seruku. Wanita itu diam di tempat dengan menunduk. "Ngapain kalian di ruang tamu berdua gini?" cecarku tajam. "Aku minta dibuatin kopi sama Megan, Bun. Ayo kemarilah, rehat dulu. Buatin Nyonya teh hijau kesukaannya, Dik!" perintah suamiku. Mas Danang memang memanggil Megan adik, dan aku tidak mempermasalahkannya. Menurutku itu panggilan umum. Aku diam saja dan membiarkan wanita muda itu ke dapur. Kembali terngiang ucapan Tasya tadi. Hati-hati. Kulirik kopi di atas meja. Seperti sudah tak beruap lagi. Aku sengaja pura-pura meletakkan tasku di samping cangkir itu dan tanganku sedikit menyentuhnya. Deghh ... Tiba-tiba saja jantungku berdegub. Kopinya dingin. Itu artinya kopi ini sudah dibuat sedari tadi, tapi kenapa Megan masih di dekat suamiku? "Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa tumben pulang siang, Sayang?" "Kami menang tender, jadi Boss bolehkan pulang lebih awal," ujarku masih berpikir. Sekarang ucapan Tasya seperti udara yang mengelilingiku. Aku harus hati-hati dan waspada. Segala sesuatu bisa saja terjadi, bukan? "Terus kenapa kamu sudah di rumah jam seginian, Mas? Kamu sering ya pulang cepat gini tanpa sepengetahuanku?" cecarku balik. Aku berusaha mencari ekspresi mencurigakan dan kaku juga gugup dari wajah suamiku tapi dia terlihat begitu tenang. "Gaklah, Sayang. Tumben ini. Perusahaan berikan aku surat tugas buat dinas ke luar kota selama 3 hari. Jadi dikasih waktu pulang lebih awal. Aku izin besok pagi-pagi berangkatnya, ya!" Aku sedikit mengangguk namun mulutku tetap diam. Tak mood, aku langsung ke dapur mencari air putih. Tiba-tiba di lorong dekat ruang mushola aku mendengar .... "Adek ingat ya, kalau ada Bunda jangan panggil Mama Megan. Nanti kalau Bunda gak ada, baru panggil Mama. Oke?!" Kulihat Amira putriku langsung mengangguk dan mereka menyilangkan jari kelingking seperti begitu akrab, membuat janji. Dadaku membuncah pecah. "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi."Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain
Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s
Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s
"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin