Share

BAB 6

Penulis: Rora Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-22 01:28:06

"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"

Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah.

"Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan.

"Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira.

Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah.

"Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!"

"Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuatku curiga."

"Curiga apaan sih?! Punyalah rasa empati pada orang lain, Fir!" seru Danang masih melotot. Sekarang pria itu bahkan memanggil nama istrinya.

Safira hanya mendengkus. Ia tahu, memang tak seharusnya dia bicara begitu tapi melihat respon suaminya yang seperti orang kesetanan untuk membela pembantu muda itu membuatnya benar-benar di luar kendali.

"Minta maaf sama Mbak Megan," ujar Safira menoleh pada ketiga anak itu.

Ketiganya saling menoleh.

"Ayo!" seru Safira.

"Maaf," ujar Rio datar. Bahkan ia tidak memandang ke arah pembantu itu.

"Hanya iseng saja," ujar Pricilia dengan wajah ketus. Bahkan ia membuang wajahnya langsung.

"Maafkan kami Mbak. Maaf," ujar Arini terdengar lebih serius dan dari dalam hati.

Danang mendekati putranya. Wajahnya masih tegang.

"Minta maaf yang tulus, Rio. Kamu sudah salah. Kamu bisa dicontoh sama adikmu. Sekarang salim cium tangan Mbak Megan."

Safira langsung menarik baju putranya yang akan bergerak.

"Tak perlu. Tak usah. Sudah, kalian lanjutkan PR nya," ujar Safira dengan wajah yang pasti.

Mulut Danang akan terbuka ingin Menimpali istrinya namun Safira seolah tidak mengizinkan pria itu bicara.

"Dan kamu, Megan, balik kamarmu sekarang! Tak perlu kamu ketakutan begitu sampai-sampai lupa di sini itu kamu siapa."

Safira mendengar suara deringan hpnya lalu melenggang pergi masuk kamar. Danang menoleh pada Megan. Merah urat-urat bola matanya yang besar itu. Megan meneteskan air mata tanpa suara. Dia menunduk lalu menengadah melihat Danang. Sorot matanya menunjukkan kemarahan yang besar, yang terpendam dan tak bisa dia ungkapan. Dan Danang paham itu. Ia ingin mendekat namun Megan langsung bergegas ke kamarnya. Bahkan suara pintu kamarnya yang ditutup dengan keras terdengar menghantam.

"Papa mau bicara sama kamu Rio. Ikut Papa!"

Tak bicara apa pun, Rio melangkah tanpa ragu. Ia yakin, Papanya tidak akan menyakitinya sebab bundanya selalu siap membelanya. Danang membawa putranya menjauh, ke taman belakang tepat di bawah pohon jambu batu.

"Kenapa kamu menyimpan hamster itu di kamar Mbak Megan? Kamu tahu itu sangat salah, Rio. Kamu sudah buat keonaran. Kasihan Mbak Megan sampai gemetar begitu ketakutan."

Rio diam saja.

"Ayo bicara, Nak! Jangan buat Papa kembali marah. Papa gak mau kamu tumbuh jadi anak yang nakal."

Rio masih diam.

"Bicara, Rio! Berikan Papa alasan yang logis kenapa kamu sampai buli Mbak Megan?! Dia itu sudah ngurus kamu dan adikmu dengan tulus!"

"Apa itu tulus, Pa? Tulus karena dia selingkuhan Papa?"

Seperti tersambar ribuan kilat sehingga membuat Danang menjadi kaku. Ia langsung menoleh kiri kanan lalu duduk berjongkok sejajar dengan putranya. Danang langsung meraih pundak Rio. Anak laki-laki usia 12 tahun itu membuang wajahnya, tak ingin melihat ayahnya. Sejujurnya ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Rio ingin menangis.

"Lihat Papa, Rio. Lihat Papa."

Danang menarik rahang wajah putranya namun Rio menyampingkan wajahnya. Danang menggeser posisinya agar bisa berhadapan dengan mata Rio namun dengan cepat Rio mengalihkan pandangannya yang sudah buram.

"Papa minta kamu jelasin maksud ucapanmu tadi. Apa yang kamu ketahui, Nak?"

Rio masih bergeming bertahan tidak mau bicara. Hatinya sangat sakit. Kenapa Papanya jahat sekali sekarang?! Kenapa harus Papanya?!

"Rio!"

Tangan besar Danang mencengkram bahu kecil Rio.

"Apa?! Kenapa? Memangnya apa yang akan Papa lakukan kalau aku memang sudah tahu? Beberapa kali aku lihat Papa cium dia saat Bunda di kamar. Papa peluk dia! Papa bahkan masuk kamar dia! Kenapa Papa jahat sama aku? Sama adek? Papa sudah jahatin Bundaku!"

"Selama ini aku diam karena aku takut sekali Bundaku sakit hatinya dan menjadi sedih. Sampai aku berpikir biar aku sendiri yang sedih jangan Buunda sama adek. Tapi kenapa Papa begitu sama Bundaku? Bunda itu ibu yang sangat baik dan sangat cantik di mataku. Dia wanita yang paling cantik di dunia ini. Bagaimana bisa Papa mencium dan memeluk wanita lain?! Papa jahat sekali melebihi seluruh penjahat di dunia ini karena sudah mengkhianati bundaku!"

Rio berusaha melepaskan diri dari cengkraman ayahnya. Jantung Danang berdegub kencang mendangar ucapan putranya. Baru pertama kali ia mendengar Rio yang irit bicara sampai bicara sebanyak itu. Pria itu memaksa lidahnya untuk bicara meskipun tercekat.

"De-de-dengarkan Papa, Nak. Ini tidak seperti yang kamu kira."

"Aku tidak selalu tetap jadi anak kecil, Pa. Aku sudah besar. Aku sudah mengerti apa yang sedang terjadi. Kalau Papa gak mau usir wanita itu dari rumah ini, aku akan bilang sama Bunda!" ancam Rio dengan sorot mata tajam.

"Jangan, Nak. Papa bisa jelaskan ini."

"Lepasin! Aku benci sama Papa! Papa jahat!"

Danang semakin mencengkram bahu putranya. Ia harus memastikan Rio tidak bicara apa pun pada istrinya. Bisa hancur berantakan rumah tangganya dengan Safira. Wanita itu bukanlah wanita yang bisa ditekan dan Danang tahu itu.

"Lepasin aku, Pa!"

"Dengarkan Papa dulu!" bentak Danang.

"Mas! Lepasin!" teriak Safira mendekat dengan langkah cepat.

Rio berhasil lepas dan langsung lari menjauh. Pricilia dan Arini yang mengintip langsung mengejar Rio yang berlari ke arah kamarnya.

"Kamu kenapa sih, Mas?! Sampai bikin anak ketakutan gitu. Belum puas tadi kamu sudah mau pukul dia sekarang kamu cari tempat lain buat menekan putraku?"

"Dia putraku juga, Fir. Kamu kalau ngomong suka gak saring."

"Ya, karena orang tua yang bijak itu tidak mudah berbuat kasar pada anak, Mas. Rio itu sudah besar. Bentar lagi dia masuk SMP. Kamu jangan berlebihan, deh. Bela pembantu segitu banget. Bisa kan anak diajak bicara baik-baik," omel Safira.

"Ini semua karena kamu terlalu memanjakannya, membelanya tanpa berpikir. Sudah tahu anak salah, masih dibela! Aku gak mau dia kebiasan nanti bulli orang lain!"

Danang berusaha berkilah. Ia tak ingin istrinya curiga kalau memang dia sangat mengkhawatirkan Megan. Megan yang cantik, muda dan pandai memperlakukannya sebagai lelaki dewasa.

"Kalau bukan Megan yang diisengin Rio, apakah responmu akan setegang ini, Mas?" cecar Safira tak berkedip menatap suaminya.

"Apaan sih pertanyaanmu itu, gak mutu. Udah akh, aku capek. Didik anakmu itu supaya tidak mudah membulli orang lain!"

Danang ketus dan masam untuk menutupi ketidak mampuannya menjawab pertanyaan istrinya. Ia pun melangkah cepat meninggalkan Safira seorang diri di halaman rumah itu.

"Cepat atau lambat, aku akan mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi, Mas."

"Cepat atau lambat ...," desis Safira berulang.

Bab terkait

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 1

    "Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 2

    "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 3

    Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 4

    Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 5

    "Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16

Bab terbaru

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 6

    "Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 5

    "Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 4

    Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 3

    Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 2

    "Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain

  • KETIKA ART-KU DIPANGGIL MAMA OLEH ANAKKU   BAB 1

    "Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status