"Kamu jangan nangis lagi, Rio. Ada banyak anak yang sudah pernah mengalami yang seperti kamu alami. Bahkan, di tengah kemiskinan," ujar Arini dengan nada berat. Itu curahan hatinya.
"Kamu tenang aja. Mbak pelakor itu akan mendapatkan ganjarannya," tambah Pricillia optimis. "Kamu jangan memberikan ide gila lagi. Gara-gara idemu itu, kita semua kena getahnya," ketus Arini. Dia sedih sekali melihat Rio dimarah bahkan hampir mau dipukul. Memang persis seperti yang ayahnya lakukan dulu padanya. Tapi beruntung, Rio punya bunda yang punya kekuatan. Kalau ibunya, justru ikut dipukul. Mengingat itu, Arini hanya bisa menahan sakit batinnya yang masih mungil. Bahkan bekas pukulan tangan ayahnya masih ada. Belum sempat Pricilia menimpali, Rio sudah membuka mulut untuk membelanya. "Sudah, kamu jangan salahin Pricilia. Papaku memang jahat. Aku bahkan ingin dia benar-benar memukulku agar aku makin benci padanya," timpal Rio. "Rio ...." desis Arini dan Pricilia bersamaan, merasa ikut sedih. Tok! Tok! "Pricilia! Arini! Jemputannya, Nak!" seru Safira dari luar pintu kamar Rio. "Ya, Tante!" "Percayalah, kita akan bisa mengusir nenek sihir itu, Rio! Aku akan memikirkan cara terbaiknya!" bisik Pricilia mengusap pundak Rio lalu segera beranjak. "Aku akan mengerjakan PR bahasa Inggrismu buat besok. Jangan pikirkan apa pun, ya!" lanjut Arini segera memakai sepatunya. Rio hanya mengangguk, mengusap air matanya. Ia memang lebih nyaman bermain dengan kedua gadis kecil itu karena hanya keduanya yang paham dan menerimanya yang tak terlalu pandai bergaul. Kebanyakan teman laki-lakinya senang bermain kasar dan keras, dan Rio tidak suka. "Aku peringatkan, jangan usulkan ide aneh lagi," ujar Arini di dalam mobil. Keduanya dijemput sopir Pricilia. Rumah Pricilla masih satu komplek dengan Rio, tapi Pricilla bertanggungjawab mengantar Arini pulang. "Tidak ada yang bisa melarangku. Nenek sihir itu harus mendapatkan balasannya karena sudah jadi pelakor," sanggah Pricilia. "Tapi Rio sampai dikasari Papanya begitu kan kasian, Pricilia." "Sesekali gak apalah. Rio jangan lembek-lenbek amat jadi anak cowok. Masa sudah mau masuk SMP, dia belum pernah berantem sama teman laki? Aku aja kan sudah dua kali pukul teman laki-laki. Jadi gak apa-apa dia dikasarin dikit. Biar jadi laki-laki tulen." "Eeeh apa maksudmu? Laki tulen itu apa?" Arini benar-benar bingung dengan bahasa Pricilia. "Laki-laki asli. Macho." "Loh, memangnya Rio tidak jadi laki-laki asli? Apa pula ma-maco?" "Haiiih! Kamu kan pinter! Gitu doang gak paham. Malas ah ngasih tahu." Pricilia sampai meremas tangannya sendiri karena gemas. Ia membuang wajahnya kesal. Karena memiliki kakak-kakak perempuan yang sudah remaja, dia banyak tahu. Apalagi dia memiliki banyak waktu bermain handphone. Baginya Arini boleh saja juara kelas, tapi sebenarnya tidak lebih pintar darinya. Masa cowok macho saja tidak paham. "Menurutmu, lebih baik ibunya Rio tahu atau tidak tentang Papa Rio yang nakal?" "Cepat atau lambat pasti ketahuan, kok. Bangkai mana ada yang bertahan tak tercium aromanya. Kita bersiap saja untuk jadi pendengar dan penghibur Rio. Masalah besar akan segera tiba," jawab Pricilia menatap jejeran pepohonan besar yang terlewati. "Kamu membuatku takut, Pricilia," lirih Arini. *** Safira mendekati Rio lalu mengelus-elus kepala putranya itu dengan lembut. "Maafkan Papamu, Nak. Dia hanya tidak ingin Abang jadi anak yang suka membulli. Perbuatanmu mengerjai Mbak Megan itu tidak patut." "Aku sudah minta maaf, Bunda. Jadi Bunda tak perlu bicara lagi. Aku mau tidur. Ngantuk." "Iya, Sayang. Cuma Bunda mau tanya, kenapa Abang melakukan itu?" Rio diam. Batinnya berkecamuk. Lintasan-lintasan ingatan saat ia melihat ayahnya memeluk, mencium bahkan membawa pembantu muda itu ke dalam kamar membuatnya sakit hati luar biasa. Tapi kalau ibunya tahu, pasti akan membuat ibunya sakit juga. Dia tak mau bundadarinya sedih. Benar-benar tak mau. "Kan Mbak Megan baik sama Abang, sama adik. Kok dijahilin, sih?" cecar Safira lagi. "Iseng aja, Bun. Cari sasaran," jawab Rio menelan kebohongannya. "Ooh ya Allah, Nak. Jangan gitu, dong. Kasihan lo Mbak Megan. Cukup ini saja ya, Sayang. Jangan pernah mengganggu orang lain karena Rasulullah juga melarang kita. Ciri muslim yang sejati adalah bila muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Paham maksud Bunda?" Rio mengangguk dan langsung memeluk pinggang ibunya. Dadanya bergemuruh. Ibunya baik sekali. Bunda mengajarkannya banyak hal bahkan hadis. Di mata Rio, ibunya adalah wanita yang sempurna. Cantik dan pintar. Bundadarinya. 'Apa ada yang sedang kamu sembunyikan, Nak? Bunda tahu kamu bukan anak yang jahil' batin Safira. Safira mencium kepala putranya. Ia tak ingin terlalu mencecar putranya karena takut Rio tidak nyaman. Ia bertekad akan mencari tahu sendiri. Selama tiga hari, Safira diam-diam terus mengecek cctv yang dia pasang di ruang tamu dan lorong menuju kamar Megan tapi tak ada tanda-tanda pergerakan yang aneh. "Apa selama ini, hanya perasaanku saja ya?" lirih Safira sendirian. Bahkan sampai satu minggu tak ada terlihat interaksi Megan dan suaminya. "Sepertinya memang tidak ada apa-apa dan aku yang terlalu paranoid," ucap Safira menutup laptopnya. Sebelum pulang, Safira mampir ke toko buah dan membeli buah pir. Ia tahu, Megan suka sekali dengan buah pir. Dia berpikir untuk meminta maaf pada wanita itu. Mungkin dia terlalu sensitif pada wanita itu. Tepat ketika dia sampai rumah dan turun untuk membuka gerbang, seorang kurir sedang memarkir motornya. Safira mengernyitkan alis. Pasalnya dia tidak pernah memesan barang secara online. Apa suaminya? "Paket siapa, Mas?" "Atas nama Megan Pertiwi, Bu." "Ooh ya? Oke lah. Kebetulan dia kerja sama saya. Biar saya saja yang kasih," ujar Safira meraih paket itu. "Terimakasih, Bu," ucap kurir setelah menfotonya. Safira hanya mengangguk kecil karena ia sedang fokus melihat keterangan isi paket itu. Sebuah paket krim kecantikan yang biasa dia pakai. "Mampu juga, ya Megan beli ini? Satu paket ini kan hampir gaji dia sebulan," desis Safira antara kagum dan heran. Kalau Megan mampu untuk membeli paket perawatan sampai jutaan yang hampir setara gajinya sebulan, untuk apa dia kerja sebagai pembantu di tempatnya? Dibelikan suami? Kalau suaminya mampu, kenapa dia biarkan istrinya kerja sebagai pembantu? Katanya kan dia butuh biaya untuk Mboknya yang sakit keras kok beli skincare sampai seharga 2 juta 500. Safira benar-benar dibuat tergelitik heran tak habis pikir. "Ya Allah, aku sangat kebingungan, juga diliputi rasa was-was dan prasangka yang semakin pekat. Jika ada tirai yang menutup kebenaran, tolong sibakkan untukku. Aku tidak tahu harus meminta kepada siapa selain padaMU, Tuhanku. Aku hanya seorang istri dan ibu," lirih Safira merekatkan tangannya menggenggam paket krim kecantikan mahal itu."Kamu harus hati-hati, Sayang. Bundanya anak-anak sudah mulai curiga," ujar Danang menelpon Megan dengan nomor lain dan tentu saja ponsel lain. Ponsel itu selalu dia simpan di kantornya, tak pernah dia bawa pulang. Memang akal bulus buaya muara."Iya, Sayang. Aku akan hati-hati. Untung saja kan aku melihat orang yang pasang cctv. Dikira aku bodoh apa. Katanya tukang rumput, tau-taunya malah masang kamera tersembunyi di ruang tamu. Aku gak tahu di mana lagi istrimu itu memasang kamera tersembunyi. Jadinya sekarang kita gak bisa dekat-dekatan lagi. Iiih Mama kangen, Yank! Sayangku! Kangen!""Sabar, sayang. Papa juga kangen Mama. Kan tiap hari kita ketemu.""Tapi kan gak bisa peluk dan cium apalagi itu itu lagi sama Sayangku ini. Memangnya gak kangen apa sama ini ini ini kesukaanmu?" gerutu Megan mendesah sendiri di dalam selimut.Dia tahu, Danang pasti mengerti arah ucapannya. Pria itu hanya mengecap menahan hasrat. Benar, Safira itu masih cantik dan mandiri tapi yang baru dan ranum itu
FLASH BACK! "Nyonya, saya rindu sekali dengan Megan," ujar Mbok Mar pada Safira. "Megan? Anaknya Mbok itu kan?""Iya, Nyonya. Boleh gak dia ke sini dan tinggal di sini seminggu aja? Mumpung dia libur semester.""Ooh, boleh dong, Mbok. Gak apa-apa," ujar Safira rela. Mbok Mar tersenyum senang. Selang dua hari, seorang gadis manis dengan kulit kuning langsat sudah hadir di rumah itu. Semua menyambut dengan suka rela termasuk Nyonya rumah."Makan apa yang ada, ya Megan. Jangan sungkan," ujar Safira saat duduk makan malam bersama suami dan anak-anaknya. "Terimakasih banyak, Nyonya," jawab Megan sungkan apalagi melihat ibunya juga ikut duduk di meja makan. "Mbok Mar sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri jadi dia memang makan bersama dengan kami seperti ini," tambah Safira. Danang yang berada di sampingnya hanya diam. Dia tak terlalu memperhatikan gadis desa yang baru sampai di rumahnya itu. Criiing! Sendok Megan jatuh. Refleks gadis itu menunduk. Sendok itu berada di dekat kak
"Kok bengong?" cecar Bu Andin. "Maaf, Bu. Hanya Nyonya Safira yang berhak memecat saya," timpal Megan lalu berbalik menjauhi Bu Andin. Eh?! Terdengar suara deruman mobil dari arah gerbang. Bu Andin menoleh. Itu menantunya. Wanita berhijab lebar itu mengerucutkan mulutnya kesal. Dia bahkan tidak menunggu menantunya masuk rumah. Dengan cepat langkahnya mendekati Safira yang sedang keluar dari mobil. "Mama? Kapan sampainya? MasyaAllah, aku rindu sekali," sapa Safira menutup pintu mobil. Bu Andin baru pulang dari menemai putrinya yang melahirkan di luar provinsi selama empat bulan lebih. Itu mengapa dia baru mengunjungi rumah Danang. "Kamu ya. Kok ada wanita muda tinggal di rumah ini? Apa gak takut Danang digoda, hah?!""Takutlah, Ma. Cuma gini ceritanya, Ma. Jangan emosi dulu, ah.""Gimana Mama gak emosi. Mama gak suka, Safira."Safira meraih tangan mertuanya, menatapnya dengan senyuman. Jika banyak mengatakan mertua adalah saingan, bagi Safira, mertuanya adalah sudah seperti ibunya
"Aaaakh!!! Sakit, Nyai!!!""Karena belas kasihanku pada ibumu makanya aku terus merayu putriku agar tetap menerimamu bekerja di sini. Tapi kamu rupanya menjelma menjadi pagar makan tanaman."Safira tersenyum sinis melihat Megan dijambak ibunya. Ia merasa memang ibunya adalah yang paling berhak sebab ibunya itulah tempat asal Mbok Mar mengabdi. Karena desakan ibunya pula ia masih mempertahankan Megan lebih-lebih hasutan suaminya. Ia mengira Danang tulus rupanya .... "Tolong lepaskan saya, Nyai! Lepaskan!"Megan memberontak dan mendorong Bu Sartini. Ia berhasil melepaskan dirinya dan menghentak angkuh. "Apa pun kesalahanku, kalian tidak berhak untuk memperlakukanku seperti ini. Karena tidak hanya aku yang melakukan perselingkuhan tapi juga Mas Danang! Kami sama-sama mau!""Ya, sebelum dia kucincang, kau yang akan lebih dulu kumutilasi!" seru Bu Sartini terengah-engah. "Tak perlu, Mbak! Biar aku yang cincang anak laki-lakiku yang tak guna ini! Bagaimana bisa dia tergoda wanita rendaha
"Apa pun itu! Kamu juga ada andil! Mama tegaskan, tidak ada perceraian! Kasihan kedua cucuku! Ini baru saja kok! Anggap saja kesalahan pertama! Seandainya tidak terjadi hal ini pastilah kamu akan terus menerima kehadiran perempuan murahan itu kan di rumah ini?!"Safira diam dan air matanya kembali jatuh lagi lebih deras. Matanya refleks menoleh ke arah Megan dengan rambut yang sudah acak-acakkan karena tangan ibunya. "Dalam hal ini, saya yang paling salah. Jadi salahkan saja saya, Mbak. Saya yang membujuk Safira agar terus menerima Megan padahal Fira sudah bilang keberatan."Bu Sartini mengelus pundak putrinya. Ia benar-benar kasihan pada Safira yang mendapatkan omelan dari mertuanya bahkan setelah suaminya jelas-jelas selingkuh. "Itulah Mbak. Sebagai orang tua, kita harus menjaga rumah tangga anak-anak. Saya pun menyanyangkan ada wanita muda berkeliaran di sini. Sebagai laki-laki, akan sangat sulit memang menjaga pandangan apalagi di rumah sendiri."Pak Rahmat menambahkan. Biar bag
FLASH BACK! Pukul 11 malam. "Mbok, aku dilamar!" seru Megan lewat telepon. "Ya Allah, yang serius kamu, Megan? Kok tiba-tiba ada yang lamar, sih?" tanya Mbok Mar langsung hilang ngantuknya. "Aku memang suruh kamu nikah biar ada yang nemenin kamu setelah lulus kuliah. Bisa bantuin kamu cari kerjaan dan ada yang jagain, Nak. Tapi ini kan belum wisuda, Megan. Jadi selama ini kamu gak kuliah, malah sibuk pacaran, ya?" cecar Mbok Mar. "Mbok tenang dulu. Calon suamiku ini jelas orang kaya, bukan perintis. Dia pun sudah mapan dengan pekerjaan yang mapan pula, Mbok.""Serius? Kaget aku, Megan!""Kami memang baru kenal tapi dia bilang serius sama aku, Mbok.""Aduh, bikin penasaran. Orang mana? Kamu gak pernah cerita-cerita.""Dia ...."Tok! Tok! "Mbok? Sudah tidur?""Belum, Non!" jawab Mbok Mar cepat. "Sebentar ya, Megan. Nyonya panggil."Ponsel dibiarkan menyala. Mbok Mar langsung membuka pintu. "Belum, Non. Kenapa?""Ini Amira rewel, Mbok. Pegang dulu, ya. Aku kebelet ke toilet! Mas D
"Mbok, duduklah! Kita harus bicara dengan cepat," ujar Danang membimbing Mbok Mar duduk di depan cafe samping supermarket. "Jangan tegang gitu akh, Mbok! Semua baik-baik saja!" seru Megan berbinar. Mbok Mar melihat ke arah punggung tangan Megan yang sudah berhena. Ada cincin juga. Lemas rasa persendiannya membayangkan apa yang akan dia dengar. "Maaf, Mbok. Saya nekat menikahi Megan karena saya merasa sudah jatuh cinta padanya. Saya menikahinya secara siri, dinikahkan oleh Paman Wan. Saksinya lima orang termasuk istri paman Wan.""Lailahaillah. Pak, bagaimana saya menyimpan wajah saya di depan Bu Sartini? Di hadapan Nona Fira? Ini pengkhianatan namanya, Pak.""Jadi Mbok tetap gak suka saya jadi mantu Mbok?" tantang Danang yang membuat Mbok Mar kehilangan kosa kata. Refleks wanita itu menggeleng. "Saya akan menjamin hidup Mbok dan Megan. Mbok tenang saja. Selama semua lancar, semua akan indah. Saya janji, enam bulan ke depan saya akan umrohkan Mbok. Pangkat saya di kantor makin tingg
"Jangan pernah kecewakan Mama lagi, Danang. Ini yang pertama dan terakhir kamu gini. Mama tak ingin rumah tangga yang baru seumuran jagung ini hancur." "Safira juga punya andil." Danang menggerutu memang dari hatinya. Andai istrinya tidak membiarkan Megan bekerja di rumah itu, takkan terjadi hal seperti ini. Di luar, dia sering bertemu wanita cantik tapi beda sekali suasananya ketika wanita muda ada di rumahnya sendiri. Beda, pokoknya beda! "Ya, tapi kamu harusnya punya iman! Mama juga sudah menasehati Safira. Sekarang kalian harus memulai dari 0 lagi. Wanita kalau sudah kecewa sulit untuk kembali seperti semula. Tugasmu membuat Safira kembali seperti dulu," ujar Bu Andin lalu menghentak masuk ke ruang keluarga. "Fir, Mama minta maaf. Tapi Mama ingin kamu dan Danang benar-benar serius untuk memperbaiki semuanya," ujar Bu Sartini. Safira hanya diam. "Ya sudah, kami pulang dulu. Kalian baik-baik berumah tangga. Dalam rumah tangga, masalah besar harus diperkecil dan masalah kec
Sedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Apa katamu, Mas?!!!" Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "Ka
"Kalau kamu menentangku, kita bisa bicara di pengadilan biar jelas. Ibu bapakmu sudah menganggapku anak jadi jangan macam-macam kamu. Aku masih bertahan dalam pernikahan ini karena mereka. Tapi jika aku sudah tak sanggup, tak ada seorang pun bisa mencegahku. Aku wanita merdeka, Mas. Ingat itu." Safira meraih handuk yang bersusun di laci tempel di dinding dekat kamar mandi. Ia lalu meletakkannya di atas dada suaminya dengan sentakan hingga pria itu sedikit terdorong. Danang hanya bisa menangkap handuk itu dan berusaha berdiri tegak. Pria itu menoleh pada Safira yang melenggang keluar kamar. 'Ooh Allah, seharusnya semua berjalan mulus. Aku memilih poligami daripada berzina. Aku memilih yang halal tapi kenapa makin dipersulit?' batin Danang mengerutu masih mematung. Pria itu tidak sadar bahwa pertanyaan hatinya itu bukan hanya dua itu yang menjadi pilihan. Tapi ada yang ke-tiga. Mengapa tidak menundukkan pandangan?
"Safira!" seru Danang tak terima dengan ucapan istri pertamanya itu. "Jangan berteriak memanggil namaku, Mas. Kalau kamu tidak setuju dengan perintahku, silahkan bawa dia pergi dari sini." "Jangan asal kamu bicara. Ini juga rumahku dan aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh tinggal di sini." "Ooh jelas. Tapi ingat, ada uangku di rumah ini juga. Posisiku lebih kuat di sini karena aku lah istri pertamamu dan sudah 13 tahun berada di rumah ini. Kamu mau bawa ke pengadilan? Ayo. Aku jabanin." "Pakailah hatimu, Safira," desis Danang berusaha melembut. Dia sungguh nelangsa. "Kan kamu yang mengajariku tak punya hati, Mas. Andai kamu punya hati, tak akan kamu seperti ini. Dan satu lagi, jika kamu menentangku maka aku akan mengadukan ini pada kedua orang tuamu. Menurutmu bagaimana?" Danang kikuk kebingungan. Melawan Safira saat
Rio langsung menggeret tangan adiknya agar mau masuk ke dalam kamar. Meski terpaksa, Amira mau mengikuti langkah Abangnya. Bell rumah berdenting dan Safira sudah berada di depan pintu. Ia menarik napasnya kuat-kuat. Safira membuka pintu dengan wajah yang datar. "Assalamu'alaikum, Bun." "Waalaikumsalam." Danang menoleh ke belakang, ke arah mobil. "Bun ...." "Tak ada tempat dia di sini. Pergi bawa gundikmu dari sini, Mas." "Aku minta tolong, Bun. Aku gak pegang uang sama sekali dan semua uang, kamu yang pegang. Aku gak bisa sewain Megan tempat tinggal." "Ya itu urusanmu. Kamu yang punya istri, kok bebani aku?" Safira langsung menutup pintu. Danang segera menahannya dengan tangannya. "Bund ... Jangan gini apa, Bun. Please." "Pergi kamu, Mas! Jangan mentang-mentang kemarin kita tidur bersama, kamu merasa aku nerima kamu apalagi nerima pelacur itu. Tidak seperti yang kamu pikirkan." "Ya. Aku sudah tahu. Kamu gak tulus layanin aku. Kamu sengaja, hanya buat manasin Megan. Dia
"Jangan pergi Safira. Papa mohon. Bertahanlah demi Rio dan Amira. Mereka butuh orang tua yang utuh. Melihat kamu dan Danang satu kamar lagi, mereka senang sekali. Tidur mereka pun nyenyak." "Tapi aku tak pernah tidur nyenyak sejak Mas Danang ketahuan menikah lagi, Pa." Safira menengadah menatap langit-langit ruang tamu. Dia sedang di rumah mertuanya, menjemput kedua anaknya yang ingin bermain di rumah mbah. "Kami paham perasaanmu, Nak. Mungkin kalau Mama di posisimu tak akan setegar kamu. Bisa langsung gila, Mama. Tapi Mama minta banget sama kamu, Safira. Pertahankan putraku jadi suamimu." Bu Andin ikut bicara menahan kesedihan. Salah satu do'anya adalah melihat anak-anaknya harmonis tapi justru doanya jadi ujiannya. Pernikahan putra kesayangannya di ambang kehancuran. Ia tahu, menjadi Safira memang sangat sulit. "Aku gak bisa, Ma. Aku akan tetap melaya
"Kenapa kamu marah-marah padaku, Mas? Kamu yang gila! Kenapa gak peduli padaku lagi?! Sekedar menelpon atau membalas cepat WA ku kamu gak bisa. Biarkan saja aku mati. " "Sinting. Benar-benar sinting. Aku sibuk mencari nafkah! Kamu tahu kondisiku saat ini. Uangku di Safira, sekarang aku harus mendapatkan uang baru untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu malah seperti anak kecil begini!" Sekali lagi, Danang meraih kursi plastik hijau itu lalu melemparkannya ke arah dinding lagi hingga menimbulkan suara yang cukup memekak. Sekarang, dia baru ingat, dia telah meninggalkan rapat yang penting dan dia tahu, banyak konsekuensi buruk yang sedang dia timbulkan. Hanya karena istri mudanya yang merajuk tanpa pikir. Danang frustasi dan dia merasa sangat nelangsa. "Kamu tega sama aku, Mas. Teganya kamu mengabaikanku!" "Aku kerja! Paham bahasa tidak?" "Tidak! Kamu sibuk tidur sama Mbah Safira. Ini fotomu! Apa maksudnya i
Bergetar bibir Megan membaca pesan itu. Dia langsung membuang hp itu, bersamaan dengan jantungnya yang bergemuruh hebat. Hanya gemeletuk giginya yang terdengar karena menahan amarah. Bagaimana bisa Mas Danangnya bisa sepulas itu tidur? Servis seperti apa yang kakak madunya telah berikan. "Kurang ajar. Tak ada malu. Perempuan sialan!" Hati Megan benar-benar seperti dibakar hidup-hidup. Panas luar biasa. Sakit luar biasa sakit, sampai-sampai merah matanya. Menggenang air mata Megan menahan sakit hati. Logikanya tahu bahwa Safira adalah istri Danang, tapi melihat pria itu telanjang begitu membuatnya membara. Dia merasa sedang dikhianati, sedang dipermainkan dan diejek. "Seharusnya aku tak perlu sesakit ini. Seharusnya ...." Megan berusaha mengafirmasi dirinya bahwa semua itu bukan menjadi masalah namun susah sekali baginya. Kelebat bayangan saat Danang sangat bernafsu mencumbunya tanpa jeda, membuat M
"Abang jangan mikir yang aneh-aneh. Abang fokus sembuh aja ya, Nak. Biar cepat bisa main sama teman-temannya lagi," ucap Safira sekuat tenaga menahan perasaannya yang hancur. "Kami baik-baik saja, Nak. Tidak ada yang berubah," tambah Danang. "Kalian tidur bersama-sama lagi. Jangan pisah kamar lagi." "Iya. Nanti Papa tidur sama Bundamu. Kamu tenang saja." "Tidur di sini," ucap Rio lagi. "Bunda harus temani adek, kan, Nak? Adek juga lagi sakit." Safira menyanggah dengan cepat. Sama sekali tak ada minatnya seranjang lagi dengan suaminya. Malah ia merasa jijik karena tubuh Danang sudah tersentuh Megan. Bahkan membayangkan dirinya disentuh suaminya lagi, itu cukup membuatnya mual. "Adek bawa ke sini. Kita tidur sama-sama lagi." Tak punya pilihan, Danang dan Safira mengikuti keinginan putra mereka. Mereka menggelar hamb