Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping.
"Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut telingaku. Apa aku sedang paranoid, ya? Aku mengecap mulutku yang terasa kering. Hanya anggukan kecil yang bisa kutunjukkan pada pembantuku yang masih muda itu. Megan pun pamit ke kamarnya meninggalkanku dengan perasaan tak karuan. Ada apa dengan perasaanku ini? Malamnya .... "Sayang," sapaku dengan lingerie putih yang memiliki renda. Dirancang begitu menantang dan mampu mencubit gairah setiap pria dewasa. Apalagi aku dan Mas Danang sudah seminggu belum bersatu padu. "Kamu cantik banget, Bun. Tapi maaf banget ya, aku kecapean banget. Benar-benar letih. Maaf, ya." "Biar aku saja yang aktif," bisikku menggoda. "Maaf, ya, Sayang. Aku benar-benar ngantuk." Mas Danang langsung membelakangiku. Liurku yang mengental kutelan paksa. Terasa tercekat di tenggorokan. "Oooh," ucapku malu sendiri. Aku pun menarik selimut, menutupi tubuhku yang terbuka di mana-mana. Selama menikah, untuk pertama kalinya Mas Danang menolakku. Biasanya dia yang mengajakku lebih dulu apalagi sudah hampir seminggu kami tidak melakukannya. 'Ada apa dengan suamiku, ya Allah? Apa benar-benar lelah atau dia memiliki alasan yang lain?' batinku meringis menahan rasa sedih ditolak begitu saja. Hari-hari selanjutnya aku mencoba bersikap biasa saja. Mas Danang juga memperlakukanku dengan baik. Namun hal yang aneh muncul saat sore itu, saat pulang kantor. Wajahnya kusut dan tidak enak dilihat. Pasti sesuatu sedang terjadi. Dia menghempaskan begitu saja tas kantornya dan melepas dasinya dengan ekspresi kecut. "Kenapa, Mas? Ada kendala?" tanyaku berusaha menyentuhnya namun dia sedikit bergeser. "Kecapean aja, Sayang. Aku ke kamar mandi dulu," ujarnya. Saat kudengar gemericik air, dengan cepat aku memeriksa tas kantornya namun tak ada yang aneh. Hanya ada berkas biasa. Tidak ada rencana pengajuan proyek yang biasanya membuat dia mumet. Lalu apa, ya? Ponselnya bergetar. Kucek. Ternyata pesan dari kartu. Aku memeriksa semua foto, wa, medsos, tidak ada yang mencurigakan. Mungkin benar, suamiku benar-benar sedang lelah. Tiba-tiba sebuah notif WA masuk. [Sabar ya, Pak. Baru SP 1. Bapak bisa kok dapatkan kembali kursi kepala lagi. Kan ini hanya sementara yang penting bisa kembali perbaiki kinerja. Semangat, ya!] Diana Alisnya langsung mengkerut heran. SP 1? Sosok serajin suamiku dapat SP ? Aku masih menyimpan pikiran bahwa Diana, staf devisi suamiku salah kirim. Otakku langsung bekerja. Aku mengirim nomor Diana ke nomorku lalu segera kuhapus riwayat chatnya. Syukur tanganku terampil tidak sampai membuka pop up pesan Diana. Aku segera keluar dan mencari ruang. Syukurnya Diana langsung mengangkat telponku. Setelah kukenalkan diri, kucecar dia langsung. "Aduh, Bu. Maaf. Saya merasa tidak pantas menyampaikan apa pun yang Pak Danang belum sampaikan pada ibu. Saya hanya anak buah biliau. Apalagi mungkin masalah ini ada sangkut pautnya dengan hubungan rumah tangga kalian. Saya sungkan, Bu. Saya mohon maaf." "Katakan Diana. Kesalahan apa yang dilakukan suamiku hingga dia dapat SP 1?" "Saya minta maaf, Bu. Saya tidak bisa menyampaikannya." "Oke. Kalau begitu, esok aku yang akan ke kantormu dan mencari tahu langsung. Aku kenal presdirmu. Aku bisa mendapatkan informasiku secara langsung juga kemungkinan surat pemecatan tanpa alasan untukmu." Suara gemerisik terdengar dari ponsel Diana. Aku harus terus menekan wanita itu. "Baik, Bu. Tapi tolong janji jaga kerahasiaan identitas saya." "Baik," jawabku tegas. "Pak Danang menggelapkan uang event promosi, Bu. Sejumlah 10 juta. Katanya kesalahan teknis dan Boss meminta segera diganti." Aku mengusap hidungku yang sebenarnya tidak terasa gatal. Suami sengaja korupsi atau benar kesalahan hitung? Aku benar-benar mulai diliputi perasaan tidak nyaman. "Satu bulan terakhir ini juga, Pak Danang sering pulang lebih cepat. Malah tiga hari berturut-turut, dua hari yang lalu malah datang terlambat sekali. Rapat sudah mau selesai sedangkan dia baru saja datang. Alasannya ...." "Sebentar, sebentar, Diana. Apa katamu tadi? Tiga hari berturut-turut Mas Danang datang terlambat? Kapan tanggal pastinya." "Tanggal 12, 13 dan 14 bulan ini, Bu. Alasannya anak sakit." "Astaghfirullahalazim ...." Aku menutup mulutku. Apa yang telah terjadi pada suamiku ya, Allah? Bukankah tanggal segitu dia sedang dinas luar kota dan seharusnya memang tidak ngantor. Ohh Allah sandiwara apa yang sedang dimainkan suamiku? "Bagaimana keadaan Ananda, Bu?" "Ssu-sudah sehat. Terimakasih banyak Diana." "Baik, Bu. Tolong bantu saya agar tidak membahas ini pada Bapak jika beliau tidak menyampaikan langsung. Saya takut dicurigai, Bu. Saya minta tolong, ya." Aku mengiyakan ucapan Diana. Dia sudah mau berbagi informasi penting ini padaku dan aku memang harus menjaganya. Jadi aku tidak bisa langsung mencecar Mas Danang. Aku harus mencari tahu, selama tiga hari ini dia kemana? Alasannya ke luar kota tapi ternyata dia masih ke kantor dan terlambat. Apa ada kaitannya dengan uang 10 juta yang dia selundupkan? Ooh suamiku sudah pintar bermain-main rupanya. Hmmm ... "Nyonya, Amira terbangun dan sekarang dia di kamar saya," ujar Megan. Aku menoleh tanpa mengucapkan apapun. Sejenak kuperhatikan pembantuku itu. Dia sekarang cantik, kulitnya terlihat lebih jernih dibandingkan saat tahun lalu dia mengunjungi ibunya ke sini. Apa karena sudah punya suami jadi dia berubah lebih glow up? Lalu tiga hari ini dia cuti. Kenapa hampir bersamaan dia tidak ada di rumah ini dengan suamiku dan kembalinya juga hampir bersamaan? Apa aku sedang terlalu overthinking atau ini .... Firasat? "Nyonya?" tegur Megan membuyarkan pikiranku. "Ooh iya, Megan. Gimana?" "Amira tidur di kamar saya, Nyonya." "Kenapa dia tidur di kamarmu? Seharusnya dia di kamarku." "Amira datang sendiri ke kamar saya, Nyonya. Mungkin terlalu lama nunggu Nyonya yang sedang di kamar utama bersama Tuan." "Lain kali, langsung tuntun dia ke kamarnya lagi supaya dia tidak kebiasaan. Jangan biasakan anak-anakku atau suamiku dekat denganmu sehingga tak ada batasan siapa kamu di sini," ujarku menekan suaraku. Megan diam saja sembari tertunduk. Kakiku mendekat dan terus mendekat. "Bawa Amira kembali ke kamarku," lirihku terdengar mengintimidasi. Entah kenapa perasaanku ini benar-benar membingungkanku. Apakah wanita ini memiliki skandal dengan suamiku? Meskipun dia sudah bersuami, segala sesuatu bisa saja terjadi, bukan? Tapi pantaskan aku curiga pada Megan sebab jelas ibunya sendiri mengaku wanita itu ada bersamanya. Apakah ada persekongkolan di sini? Seperti aku berada di dalam labirin dan dihadapkan ribuan teka teki dan kecurigaan. "Baik, Nyoya." Megan mengangguk lalu pergi begitu saja. Aku menatap setiap lekukan tubuhnya yang menjauh dan jelas, aku menghirup aroma parfum yang lembut terbawa oleh angin malam. Seorang pembantu, menggunakan parfum semenggairahkan itu di dalam rumahku? "Aku harus memastikan tidak ada ulat jahannam yang sedang menggerogoti daun rumah tanggaku," desisku sendirian lalu menghubungi kawanku yang bekerja di toko elektronik yang menjual kamera CCTV."Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Kamu jangan nangis lagi, Rio. Ada banyak anak yang sudah pernah mengalami yang seperti kamu alami. Bahkan, di tengah kemiskinan," ujar Arini dengan nada berat. Itu curahan hatinya. "Kamu tenang aja. Mbak pelakor itu akan mendapatkan ganjarannya," tambah Pricillia optimis. "Kamu jangan memberikan ide gila lagi. Gara-gara idemu itu, kita semua kena getahnya," ketus Arini. Dia sedih sekali melihat Rio dimarah bahkan hampir mau dipukul. Memang persis seperti yang ayahnya lakukan dulu padanya. Tapi beruntung, Rio punya bunda yang punya kekuatan. Kalau ibunya, justru ikut dipukul. Mengingat itu, Arini hanya bisa menahan sakit batinnya yang masih mungil. Bahkan bekas pukulan tangan ayahnya masih ada. Belum sempat Pricilia menimpali, Rio sudah membuka mulut untuk membelanya. "Sudah, kamu jangan salahin Pricilia. Papaku memang jahat. Aku bahkan ingin dia benar-benar memukulku agar aku makin benci padanya," timpal Rio. "Rio ...." desis Arini dan Pricilia bersamaan, merasa ikut sedih. To
"Kamu harus hati-hati, Sayang. Bundanya anak-anak sudah mulai curiga," ujar Danang menelpon Megan dengan nomor lain dan tentu saja ponsel lain. Ponsel itu selalu dia simpan di kantornya, tak pernah dia bawa pulang. Memang akal bulus buaya muara."Iya, Sayang. Aku akan hati-hati. Untung saja kan aku melihat orang yang pasang cctv. Dikira aku bodoh apa. Katanya tukang rumput, tau-taunya malah masang kamera tersembunyi di ruang tamu. Aku gak tahu di mana lagi istrimu itu memasang kamera tersembunyi. Jadinya sekarang kita gak bisa dekat-dekatan lagi. Iiih Mama kangen, Yank! Sayangku! Kangen!""Sabar, sayang. Papa juga kangen Mama. Kan tiap hari kita ketemu.""Tapi kan gak bisa peluk dan cium apalagi itu itu lagi sama Sayangku ini. Memangnya gak kangen apa sama ini ini ini kesukaanmu?" gerutu Megan mendesah sendiri di dalam selimut.Dia tahu, Danang pasti mengerti arah ucapannya. Pria itu hanya mengecap menahan hasrat. Benar, Safira itu masih cantik dan mandiri tapi yang baru dan ranum itu
FLASH BACK! "Nyonya, saya rindu sekali dengan Megan," ujar Mbok Mar pada Safira. "Megan? Anaknya Mbok itu kan?""Iya, Nyonya. Boleh gak dia ke sini dan tinggal di sini seminggu aja? Mumpung dia libur semester.""Ooh, boleh dong, Mbok. Gak apa-apa," ujar Safira rela. Mbok Mar tersenyum senang. Selang dua hari, seorang gadis manis dengan kulit kuning langsat sudah hadir di rumah itu. Semua menyambut dengan suka rela termasuk Nyonya rumah."Makan apa yang ada, ya Megan. Jangan sungkan," ujar Safira saat duduk makan malam bersama suami dan anak-anaknya. "Terimakasih banyak, Nyonya," jawab Megan sungkan apalagi melihat ibunya juga ikut duduk di meja makan. "Mbok Mar sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri jadi dia memang makan bersama dengan kami seperti ini," tambah Safira. Danang yang berada di sampingnya hanya diam. Dia tak terlalu memperhatikan gadis desa yang baru sampai di rumahnya itu. Criiing! Sendok Megan jatuh. Refleks gadis itu menunduk. Sendok itu berada di dekat kak
"Kok bengong?" cecar Bu Andin. "Maaf, Bu. Hanya Nyonya Safira yang berhak memecat saya," timpal Megan lalu berbalik menjauhi Bu Andin. Eh?! Terdengar suara deruman mobil dari arah gerbang. Bu Andin menoleh. Itu menantunya. Wanita berhijab lebar itu mengerucutkan mulutnya kesal. Dia bahkan tidak menunggu menantunya masuk rumah. Dengan cepat langkahnya mendekati Safira yang sedang keluar dari mobil. "Mama? Kapan sampainya? MasyaAllah, aku rindu sekali," sapa Safira menutup pintu mobil. Bu Andin baru pulang dari menemai putrinya yang melahirkan di luar provinsi selama empat bulan lebih. Itu mengapa dia baru mengunjungi rumah Danang. "Kamu ya. Kok ada wanita muda tinggal di rumah ini? Apa gak takut Danang digoda, hah?!""Takutlah, Ma. Cuma gini ceritanya, Ma. Jangan emosi dulu, ah.""Gimana Mama gak emosi. Mama gak suka, Safira."Safira meraih tangan mertuanya, menatapnya dengan senyuman. Jika banyak mengatakan mertua adalah saingan, bagi Safira, mertuanya adalah sudah seperti ibunya
"Aaaakh!!! Sakit, Nyai!!!""Karena belas kasihanku pada ibumu makanya aku terus merayu putriku agar tetap menerimamu bekerja di sini. Tapi kamu rupanya menjelma menjadi pagar makan tanaman."Safira tersenyum sinis melihat Megan dijambak ibunya. Ia merasa memang ibunya adalah yang paling berhak sebab ibunya itulah tempat asal Mbok Mar mengabdi. Karena desakan ibunya pula ia masih mempertahankan Megan lebih-lebih hasutan suaminya. Ia mengira Danang tulus rupanya .... "Tolong lepaskan saya, Nyai! Lepaskan!"Megan memberontak dan mendorong Bu Sartini. Ia berhasil melepaskan dirinya dan menghentak angkuh. "Apa pun kesalahanku, kalian tidak berhak untuk memperlakukanku seperti ini. Karena tidak hanya aku yang melakukan perselingkuhan tapi juga Mas Danang! Kami sama-sama mau!""Ya, sebelum dia kucincang, kau yang akan lebih dulu kumutilasi!" seru Bu Sartini terengah-engah. "Tak perlu, Mbak! Biar aku yang cincang anak laki-lakiku yang tak guna ini! Bagaimana bisa dia tergoda wanita rendaha
"Apa pun itu! Kamu juga ada andil! Mama tegaskan, tidak ada perceraian! Kasihan kedua cucuku! Ini baru saja kok! Anggap saja kesalahan pertama! Seandainya tidak terjadi hal ini pastilah kamu akan terus menerima kehadiran perempuan murahan itu kan di rumah ini?!"Safira diam dan air matanya kembali jatuh lagi lebih deras. Matanya refleks menoleh ke arah Megan dengan rambut yang sudah acak-acakkan karena tangan ibunya. "Dalam hal ini, saya yang paling salah. Jadi salahkan saja saya, Mbak. Saya yang membujuk Safira agar terus menerima Megan padahal Fira sudah bilang keberatan."Bu Sartini mengelus pundak putrinya. Ia benar-benar kasihan pada Safira yang mendapatkan omelan dari mertuanya bahkan setelah suaminya jelas-jelas selingkuh. "Itulah Mbak. Sebagai orang tua, kita harus menjaga rumah tangga anak-anak. Saya pun menyanyangkan ada wanita muda berkeliaran di sini. Sebagai laki-laki, akan sangat sulit memang menjaga pandangan apalagi di rumah sendiri."Pak Rahmat menambahkan. Biar bag
Sedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Apa katamu, Mas?!!!" Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "Ka
"Kalau kamu menentangku, kita bisa bicara di pengadilan biar jelas. Ibu bapakmu sudah menganggapku anak jadi jangan macam-macam kamu. Aku masih bertahan dalam pernikahan ini karena mereka. Tapi jika aku sudah tak sanggup, tak ada seorang pun bisa mencegahku. Aku wanita merdeka, Mas. Ingat itu." Safira meraih handuk yang bersusun di laci tempel di dinding dekat kamar mandi. Ia lalu meletakkannya di atas dada suaminya dengan sentakan hingga pria itu sedikit terdorong. Danang hanya bisa menangkap handuk itu dan berusaha berdiri tegak. Pria itu menoleh pada Safira yang melenggang keluar kamar. 'Ooh Allah, seharusnya semua berjalan mulus. Aku memilih poligami daripada berzina. Aku memilih yang halal tapi kenapa makin dipersulit?' batin Danang mengerutu masih mematung. Pria itu tidak sadar bahwa pertanyaan hatinya itu bukan hanya dua itu yang menjadi pilihan. Tapi ada yang ke-tiga. Mengapa tidak menundukkan pandangan?
"Safira!" seru Danang tak terima dengan ucapan istri pertamanya itu. "Jangan berteriak memanggil namaku, Mas. Kalau kamu tidak setuju dengan perintahku, silahkan bawa dia pergi dari sini." "Jangan asal kamu bicara. Ini juga rumahku dan aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh tinggal di sini." "Ooh jelas. Tapi ingat, ada uangku di rumah ini juga. Posisiku lebih kuat di sini karena aku lah istri pertamamu dan sudah 13 tahun berada di rumah ini. Kamu mau bawa ke pengadilan? Ayo. Aku jabanin." "Pakailah hatimu, Safira," desis Danang berusaha melembut. Dia sungguh nelangsa. "Kan kamu yang mengajariku tak punya hati, Mas. Andai kamu punya hati, tak akan kamu seperti ini. Dan satu lagi, jika kamu menentangku maka aku akan mengadukan ini pada kedua orang tuamu. Menurutmu bagaimana?" Danang kikuk kebingungan. Melawan Safira saat
Rio langsung menggeret tangan adiknya agar mau masuk ke dalam kamar. Meski terpaksa, Amira mau mengikuti langkah Abangnya. Bell rumah berdenting dan Safira sudah berada di depan pintu. Ia menarik napasnya kuat-kuat. Safira membuka pintu dengan wajah yang datar. "Assalamu'alaikum, Bun." "Waalaikumsalam." Danang menoleh ke belakang, ke arah mobil. "Bun ...." "Tak ada tempat dia di sini. Pergi bawa gundikmu dari sini, Mas." "Aku minta tolong, Bun. Aku gak pegang uang sama sekali dan semua uang, kamu yang pegang. Aku gak bisa sewain Megan tempat tinggal." "Ya itu urusanmu. Kamu yang punya istri, kok bebani aku?" Safira langsung menutup pintu. Danang segera menahannya dengan tangannya. "Bund ... Jangan gini apa, Bun. Please." "Pergi kamu, Mas! Jangan mentang-mentang kemarin kita tidur bersama, kamu merasa aku nerima kamu apalagi nerima pelacur itu. Tidak seperti yang kamu pikirkan." "Ya. Aku sudah tahu. Kamu gak tulus layanin aku. Kamu sengaja, hanya buat manasin Megan. Dia
"Jangan pergi Safira. Papa mohon. Bertahanlah demi Rio dan Amira. Mereka butuh orang tua yang utuh. Melihat kamu dan Danang satu kamar lagi, mereka senang sekali. Tidur mereka pun nyenyak." "Tapi aku tak pernah tidur nyenyak sejak Mas Danang ketahuan menikah lagi, Pa." Safira menengadah menatap langit-langit ruang tamu. Dia sedang di rumah mertuanya, menjemput kedua anaknya yang ingin bermain di rumah mbah. "Kami paham perasaanmu, Nak. Mungkin kalau Mama di posisimu tak akan setegar kamu. Bisa langsung gila, Mama. Tapi Mama minta banget sama kamu, Safira. Pertahankan putraku jadi suamimu." Bu Andin ikut bicara menahan kesedihan. Salah satu do'anya adalah melihat anak-anaknya harmonis tapi justru doanya jadi ujiannya. Pernikahan putra kesayangannya di ambang kehancuran. Ia tahu, menjadi Safira memang sangat sulit. "Aku gak bisa, Ma. Aku akan tetap melaya
"Kenapa kamu marah-marah padaku, Mas? Kamu yang gila! Kenapa gak peduli padaku lagi?! Sekedar menelpon atau membalas cepat WA ku kamu gak bisa. Biarkan saja aku mati. " "Sinting. Benar-benar sinting. Aku sibuk mencari nafkah! Kamu tahu kondisiku saat ini. Uangku di Safira, sekarang aku harus mendapatkan uang baru untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu malah seperti anak kecil begini!" Sekali lagi, Danang meraih kursi plastik hijau itu lalu melemparkannya ke arah dinding lagi hingga menimbulkan suara yang cukup memekak. Sekarang, dia baru ingat, dia telah meninggalkan rapat yang penting dan dia tahu, banyak konsekuensi buruk yang sedang dia timbulkan. Hanya karena istri mudanya yang merajuk tanpa pikir. Danang frustasi dan dia merasa sangat nelangsa. "Kamu tega sama aku, Mas. Teganya kamu mengabaikanku!" "Aku kerja! Paham bahasa tidak?" "Tidak! Kamu sibuk tidur sama Mbah Safira. Ini fotomu! Apa maksudnya i
Bergetar bibir Megan membaca pesan itu. Dia langsung membuang hp itu, bersamaan dengan jantungnya yang bergemuruh hebat. Hanya gemeletuk giginya yang terdengar karena menahan amarah. Bagaimana bisa Mas Danangnya bisa sepulas itu tidur? Servis seperti apa yang kakak madunya telah berikan. "Kurang ajar. Tak ada malu. Perempuan sialan!" Hati Megan benar-benar seperti dibakar hidup-hidup. Panas luar biasa. Sakit luar biasa sakit, sampai-sampai merah matanya. Menggenang air mata Megan menahan sakit hati. Logikanya tahu bahwa Safira adalah istri Danang, tapi melihat pria itu telanjang begitu membuatnya membara. Dia merasa sedang dikhianati, sedang dipermainkan dan diejek. "Seharusnya aku tak perlu sesakit ini. Seharusnya ...." Megan berusaha mengafirmasi dirinya bahwa semua itu bukan menjadi masalah namun susah sekali baginya. Kelebat bayangan saat Danang sangat bernafsu mencumbunya tanpa jeda, membuat M
"Abang jangan mikir yang aneh-aneh. Abang fokus sembuh aja ya, Nak. Biar cepat bisa main sama teman-temannya lagi," ucap Safira sekuat tenaga menahan perasaannya yang hancur. "Kami baik-baik saja, Nak. Tidak ada yang berubah," tambah Danang. "Kalian tidur bersama-sama lagi. Jangan pisah kamar lagi." "Iya. Nanti Papa tidur sama Bundamu. Kamu tenang saja." "Tidur di sini," ucap Rio lagi. "Bunda harus temani adek, kan, Nak? Adek juga lagi sakit." Safira menyanggah dengan cepat. Sama sekali tak ada minatnya seranjang lagi dengan suaminya. Malah ia merasa jijik karena tubuh Danang sudah tersentuh Megan. Bahkan membayangkan dirinya disentuh suaminya lagi, itu cukup membuatnya mual. "Adek bawa ke sini. Kita tidur sama-sama lagi." Tak punya pilihan, Danang dan Safira mengikuti keinginan putra mereka. Mereka menggelar hamb