Kreess!
Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?" "Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!" Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya." Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu saja tanpa asbab. "Tidak perlu. Tanah memang tempat tinggal mereka dan aku yang sudah mengganggu kehidupan mereka. Jadi sebenarnya akulah yang harus menyingkir bukan semut-semut itu," ucapku menekan. Megan hanya diam saja sembari melihat kakiku yang sedang kuelus-elus lembut agar tidak meninggalkan bekas luka. Jika dia cerdas, dia pasti bisa menangkap ucapanku. Bahwa di sini dia harus tahu diri. Dia adalah pembantu, jangan coba-coba sedikit saja memposisikan diri sebagai nyonya di sini. Sama seperti sikapnya yang meminta anak-anakku memanggilnya dengan sebutan Mama adalah fatal bagiku. "Jadi kamu sudah menikah?" tanyaku datar. Meski cukup banyak detik yang terlewat, terdengar juga suara Megan. "Iya, Nyonya. Saya sudah menikah." "Masyalloh. Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal? Lalu ... Mbok Mar juga, kenapa tak ada undangan atau sekedar pemberitahuan? Ini mengejutkan, Megan!" seruku antusias karena benar-benar kaget. "Ma-maaf, Nyonya. Sa-saya sungkan. Acara kecil-kecilan," ucapnya terbata-bata. "Duh, tak perlu sungkan begitu. Aku sama Mbokmu sudah sangat dekat. Jadi, suamimu tidak masalah kamu kerja di sini? Menjalani LDM?" Megan mengerutkan alisnya seperti bingung. "LDR maksud Nyonya?" "Kalau LDR itu biasanya untuk yang belum menikah, Long Distance Relationship. Kalau LDM buat yang sudah Merried, nikah," jelasku. "Oh, iya, Nyah," ujarnya seperti masih sungkan padaku. Mungkin Megan takut aku memecatnya karena dia sudah menikah. Tapi justru aku sedikit lebih lega karena rupanya dia wanita bersuami. Meskipun tidak menjamin tapi ada sedikit ruang kelegaan. "Ya sudah, lanjut aja. Aku ke kamar, ya," ujarku. Megan mengangguk. Aku melenggang masuk meninggalkannya. Sempat aku menoleh ke belakang hanya sekejap, sekedar tersenyum, rupanya dia sedang menatapku kaku. Wanita itu aneh sekali. Nomor yang Anda tuju sedang dalam panggilan lain .... Bibirku berlipat, menatap nomor WA suamiku yang gagal kuhubungi. Jam 10 malam begini, dia bicara dengan siapa? Mungkin ibu mertua kali, ya. Biasanya sebelum tidur, Mama mertua sering menelpon. Aku memutuskan ke dapur untuk mengambil salad buah. Kulihat Megan masih di taman sembari menelpon. Hemm .... Sambil scrolling i*******m, tak terasa salad buahku habis. Aku berniat kembali ke kamar bersamaan Megan pun masuk rumah. Dia hanya tersenyum kecil padaku lalu menghilang dari padangan. Tiba-tiba ponselku berdering. Mas Danang menelpon. "Mas, tadi ngomong sama siapa? Gak bisa masuk panggilanku," tanyaku. "Sama teman, Bun. Besok janjian mau berangkat bareng," jawab Mas Danang tanpa ada keraguan. "Ooh, iya." Obrolan kami pun berlanjut sekedar menanyakan kondisi anak-anak. Hingga sampai ... "Aku kayaknya selama di sini gak bisa telpon full, Bun. Mau fokus kerja karena proyeknya ini cukup besar," ujar Mas Danang. "Ooh gitu. Gak apa-apa, Mas. Kalau ada kendala, aku bisa bantu," sambutku. Memang aku sering membantunya menyelesaikan pekerjaan kantornya. Sebagai sekretaris, aku selalu dia bisa andalkan dalam pekerjaannya sebagai kepala staf administrasi. Tumben-tumben ini dia tidak konsultasi denganku tentang pekerjaannya. "Iya, Sayang. Aku bisa melakukannya sendiri, kok. Masa setiap ada pekerjaan, kamu saja yang repot," ucapnya terdengar manis. "Aku kan istrimu, Sayang," ucapku manja. "Iya. Istriku yang paaaaling kusayang." "Iiiih 'paling?!' memangnya ada istri lain apa?" ucapku mengerucutkan mulut seolah dia di depanku. Aku hanya menggodanya. "Eeeh, Bunda. Bisa aja," ucapnya terdengar tertawa kecil. Aku pun tersenyum. Kami sedikit berbincang lalu memutuskan untuk tidur. Aku bahagia sekali memiliki suami seperti Mas Danang. Dia nyaris sempurna menjadi suami dan sosok ayah. Mas Danang banyak mengalah dan menuruti semua keputusanku. Keesokannya, sebelum Rio dan Amira bangun tidur, Megan rupanya sudah menungguku selesai sholat subuh. Rumahku memiliki satu space khusus untuk sholat. Mas Danang sering memimpinku dan dua anak kami untuk sholat. Seperti potret keluarga kencil impian setiap wanita, keluarga cemara, tak memiliki cela. "Kenapa, Megan? Sudah sholat?" tanyaku sembari melipat mukenahku. "Sudah, Nyonya." "Syukurlah. Kenapa? Katakan." "Saya minta izin 3 hari saja buat pulang ke kampung. Mbok lagi kumat parah." "Ooh ya, Allah." Aku tidak bisa berkata apa pun. Pasalnya bagaimana aku mengurus rumah dan dua anakku tanpa art? Apalagi Mas Danang tugas ke luar kota. Tapi mendengar keadaan Mbok Mar parah, aku jadi tak tega. "Kamu bisa menemani Mbok Mar sampai sembuh, Megan. Lama-lama juga tak masalah. Mungkin nanti aku cari asisten yang baru saja." "Nyonya, saya hanya minta waktu 3 hari saja. Bukan berarti saya mau berhenti. Saya butuh uang buat pengobatan Mbok." Megan sepertinya panik. "Hemmm ... ya sudah. Jangan lebih, ya." Megan mengangguk antusias. Berbinar kedua bola matanya bagai bulan purnama. "Terimakasih banyak, Nyonya. Nanti setelah siapkan anak-anak sekolah, saya langsung pamit." "Oke," jawabku berusaha santai. Amira dan Rio satu sekolah meski beda jenjang. Setiap pagi ada mobil yang datang menjemput mereka. Khusus kusewa setiap hari untuk mengantar dan menjemput mereka. Sedangkan urusan dapur, aku sering masak karena aku suka, kadang juga beli online. Megan juga kerap masak karena itu memang tugasnya. Masak dan menjaga anak-anakku adalah tugas utamanya. Kalau laundry, setiap sekali dua hari orang datang menjemput dan mengantarkan pakaian. Sedangkan untuk kebersihan rumah, sesantai kami saja. Kadang aku yang menyapu setelah aku sholat subuh. Bahkan Mas Danang sering juga menyapu. Aku juga tak jarang memanggil jasa bersih-bersih rumah yang hitungan jam. Tiga hari kujalani hari tanpa Megan dan tentu saja aku keteteran. Mempersiapkan dua anak itu cukup menyita waktuku untuk mempersiapkan diriku sendiri menuju kantor. Dan pada hari keempat, sore hari saat aku menyisir rambut Amira. Terdengar .... "Assalamu'alaikum!" "Waalaikumsalam!" jawabku. Mas Danang pulang. Karena suara tivi, aku tidak mendengar suara mobilnya. Amira langsung menghambur memeluk ayahnya. Rio yang sedang bermain game di tabku langsung mencium punggung tangan ayahnya takzim. Tak ketinggalan aku juga memeluk dan menyambut kedatangan suamiku dengan senyum kebahagiaan. Serasa tiga hari itu begitu lama dan berat tanpanya. Masih suasana riuh gembira kedua anakku yang membuka hadiah dari ayahnya, tiba-tiba Megan membuka gerbang, memasuki halaman. Hatiku tiba-tiba berdesir aneh .... Kok bisa kedatangan Megan hampir bersamaan dengan suamiku?Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin
"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s
"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin