"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi.
Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!" "Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana." Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?" "Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira." Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain dengan sebutan Mama. Meskipun mereka menikmati dan senang. Ini ranahnya sensitif, Megan. Sekarang berhenti bermain sandiwara begitu dengan anak-anakku yang membuat mereka harus memanggilmu dengan gelar yang tak pantas untukmu. Paham?" "Paham, Nyonya." Megan menunduk "Kapan Mbokmu balik?" tanyaku. Megan langsung mendongak seperti kaget mendengar pertanyaanku. Kenapa? Ada yang salah? Kok dia sekaget itu. "Mbok ... masih sakit, Nyonya," ujar Megan kembali menunduk. Suaranya parau. "Kalau begitu, aku akan mencari pembantu lain." Megan kembali menatapku dan kali ini tatapannya jauh lebih serius. "Maaf Nyonya, izinkan saya tetap menggantikan Mbok saya. Saya butuh uang untuk pengobatan Mbok." "Loh, kamu kan kuliah. Katanya sebentar lagi mau wisuda. Masa iya mau tetap jadi pembantu?" "Saya siap, Nyonya. Saya sudah nyaman di sini. Amira dan Rio sudah saya anggap seperti anak saya sendiri." Kalimat itu terdengar bagus dengan diiringi nada lembut dari mulut Megan. Tapi sampai hatiku, terasa sangat tidak nyaman. Aku tidak suka. Apalagi tadi melihat dia di dekat suamiku, aku jadi panaroid. "Tapi aku ...." Belum sempat aku bicara lagi, terdengar suara Mas Danang mendekat. "Loh ditungguin kok diem di sini, Sayang?" "Tehnya saya simpan di ruang tamu, ya, Nyonya." Megan langsung melipir menjauh dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Padahal aku belum selesai bicara. Aku tidak ingin dia tetap di sini kalau selamanya! "Yuk! Kita rehat di kamar, yuk!" ajak Mas Danang. "Aku ingin memulangkan Megan, Mas," ujarku dengan napas mendengkus. Tiba-tiba saja aku nekat. Wajah suamiku langsung kaget sekali. Dia langsung memegang bahuku yang mungkin terasa hangat sebab hatiku tiba-tiba jadi panas. Entah mungkin karena cemburu melihat suamiku satu ruangan dengan art muda itu atau karena mendengar putriku memanggil Mama padanya. Intinya aku tidak suka situasi ini. "Astaghfirullah. Bun, kok tiba-tiba gitu? Anak-anak sudah mulai betah lo sama Megan. Dia telaten." "Ya, tapi aku gak suka ada wanita muda di rumah ini. Banyak fitnahnya! Katanya cuman seminggu, terus jadi sebulan, terus minta jadi dua bulan, sekarang sudah lebih mau masuk tiga bulan lo!" "Ya, kan dia gantiin ibunya, Sayang. Kasihan Mbok Mar kalau kita minta dia balik sedangkan dia sudah tua dan sakit-sakitan." "Ya udah, aku cari pembantu lain aja, Mas." Mas Danang langsung menutup bibirku dengan telunjuknya. Seperti tak ingin sekali dia mendengar ucapanku. "Stop ya, Bun. Kasihan lo anaknya Mbok Mar. Ibunya sudah mengabdi di keluargamu sampai puluhan tahun kan? Masa sekarang main pecat gitu. Bukan apa-apa ya, Sayang. Aku hanya gak enak aja sama Mbok. Selama ini kan dia baik banget sama kita." Aku membuang wajahku. "Kamu jangan mikir yang aneh-aneh tentang dia. Setidaknya sampai Mbok Mar lebih sehatlah biar dia gak kepikiran tiba-tiba kamu pecat anaknya. Padahal anaknya tak melakukan kesalahan apa pun." Tak ada yang bisa aku ucapkan. Apakah perasaanku ini tanpa alasan? Aaah aku jadi bingung sendiri. "Ayo ke kamar, yuk! Aku pijitin," rayu suamiku mencoba mengelus pinggangku. Aku menepis tangan suamiku. "Aku ke kamarnya Amira dulu. Tadi aku minta dia tunggu aku," ucapku datar Entah kenapa aku jadi malas sama suamiku sendiri. Ucapan-ucapannya barusan seperti dia ingin pembantu itu untuk tetap di sini. Tapi bila dipikirkan lagi, ada benarnya juga. Mbok Mar memang sudah hampir 25 tahun mengabdi di keluargaku. Saat aku masih SD dia hadir. Ada beberapa kali aku bertemu Si Megan ini tapi tak terlalu kuhiraukan. Mbok Mar waktu itu sedang hamilkan Si Megan ini saat bekerja di rumahku. Kebetulan suaminya adalah tukang kebun di komplek kami. Sudah 10 tahun suaminya itu meninggal dunia. Dan selama ini, Megan diasuh oleh nenek dan paman bibinya. "Mira mau kan ikuti omongannya, Bunda?" tanyaku mencoba mengelus rambut lurus putriku. Ia menatapku lekat-lekat lalu mengangguk pasti. Aku tersenyum lalu memeluknya erat. Di telinganya kubisikkan bahwa aku sangat mencintainya dan tak ingin dia memanggil orang lain dengan sebutan Mama lagi. "Gak boleh lagi ya, panggil Mbak Megan itu Mama. Karena sebutan Mama itu hanya untuk wanita yang melahirkan Mira dan Bang Rio. Dan wanita itu hanya satu yaitu Bunda," ucapku memperjelas. "Meskipun main-main?" tanya Amira nampak serius. Aku menarik napasku dalam-dalam. "Ya. Meskipun main-main. Cari peran yang lain aja. Mbak Megan bisa jadi bu guru, polwan, bu dokter, dan lain-lain. Tak usah jadi Mamanya Mira." "Tapi Mbak Megan pengen jadi Mamanya aku sama Abang." Alisku langsung mengekerut cepat. "Oh ya?" "Iya. Mbak Megan bilang sama Papa, kalau ... Mbak Megan mau jadi Mamaku!" Seperti ada guntur menggelegar di telingaku. Apa yang sedang dikatakan Amira? Tak mungkin dia mengarang cerita. Aku kembali ingin membuka mulutku untuk mencecar Amira namun tiba-tiba sebuah tangan sedang mengelus pundakku. "Iya, Megan bilang kalau suatu hari ingin punya anak sepintar dan selucu Amira." "Mas?" sapaku masih kebingungan, lebih tepatnya kaget berkali-kali. "Amira salah tangkap ucapan Megan," lanjutnya lagi. Aku hanya bisa menelan salivaku makin gamang. Apa benar ucapan Amira tadi itu hanya salah tangkap saja? "Kamu yang jujur sama aku, Mas. Kamu gak ada sembunyikan apa pun kan sama aku?" "Iya, Sayang. Gak ada. Periksa aja semua hpku. Bukankah dari dulu aku gak ada rahasiakan apa pun dari kamu?" Aku mengangguk mengiyakan. Tapi tetap saja makin tak karuan perasaanku. Esoknya, Mas Danang pamit untuk tugas ke luar kota. "Jangan tinggalkan sholat ya, Mas. Itu aja permintaanku." "Terimakasih, Sayang. Baik-baik di rumah sama anak-anak, ya. Aku cuma tiga hari aja, kok!" Aku mengangguk lalu melepas kepergian suamiku itu. Kebetulan hari ini hari Minggu, jadi suamiku nanti punya waktu rehat di kota lain sebelum terjun bekerja esoknya. Perjalanannya cukup jauh, karena beda provinsi. Malamnya, aku melihat Megan sedang duduk di taman samping sembari main ponsel. Aku dekati saja dia, niatnya akan mengejutkannya. Aku mengendap-endap tapi setelah dekat tiba-tiba ponselnya berdering. Aku langsung diam di tempat, tepat di belakangnya. "Hallo, Papa. Mama kangen banget, Sayang." ... Aku langsung mematung. Megan sudah menikah? Serius? Kok aku baru tahu?Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s
Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin
"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!""Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuat
"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio. Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood.""Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.'"Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!"Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser
Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping. "Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut te
Kreess! Ada semut yang menggigit kakiku dan aku terpaksa bergerak hingga menimbulkan suara gesekan. Megan refleks berbalik dan matanya sampai melotot begitu saat melihatku. Sekaget itu dia. "Nyo-nyonya?""Iya. Aku mau gabung duduk. Gabut di dalam," ujarku salah tingkah juga. Aku menggaruk kakiku yang tersengat semut. Gatal sekali. Sepertinya ada lubangnya yang kuinjak. Sial betul. "Saya ambilkan minyak kayu putih dulu, Nyonya. Tunggu sebentar!"Aku berniat mencegahnya tapi Megan langsung berlari masuk rumah dengan hpnya yang masih menyala tentunya. Tak lama dia kembali dan aku langsung mengobati bentol-bentol di kakiku. "Rupanya ada juga lubang semut di sini," ucapku meringis masih menahan gatal. "Besok saya semprot pakai baygon biar mati semuanya, Nyonya."Aku langsung menoleh padanya. Kalimat itu cukup kejam di telingaku. Bahkan setahuku, semut adalah salah satu hewan yang spesial di dalam Al Quran. Sampai diabadikan dalam sebuah surat AN-NAML. Jadi tidak boleh dibunuh begitu s
"Apa maksudmu bicara begitu pada putriku, Megan?!" teriakku tanpa basa basi. Megan langsung melepaskan tangan Amira. Putriku itu langsung berlari dan memelukku. "Bunda!""Bunda mau bicara sama Mira, tapi Mira ke kamar dulu. Tunggu bunda di sana."Kepala kecil itu mengangguk. Amira langsung melesat menuju kamarnya. Sekarang aku menatap runcing pada wanita muda di depanku itu. Dia rupanya sudah membuatkanku teh hijau tapi dia lebih mementingkan memperingati putriku agar tidak memanggilnya Mama di depanku. Apa tujuan wanita ini?! "Jawab aku, kenapa kamu meminta putriku memanggilmu Mama?""Karena ... karena Amira senang main drama sama saya, Nyonya. Dia bahagia jadi saya menjaga kebahagiaannya. Saya ... saya hanya ingin menjaga perasaan Nyonya makanya saya pesan begitu sama Amira."Suara Megan terdengar gugup, jelas aku tahu dia sedang gugup. Aku terus menatapnya dengan tatapan intimidasi. Dia harus tahu, adia coba untuk dipermainkan. "Aku tidak suka anak-anakku memanggil wanita lain
"Bunda, aku mau pakai jepit rambut yang kuda poni pink ungu!" seru Amira, putri kecilku yang baru berusia enam tahun."Ya Allah, Mira. Bunda takut terlambat ini, Nak. Sudah mepet waktunya. Minta tolong Mbak Megan, ya. Bunda berangkat dulu. Jadi anak baik di sekolah, jangan ganggu teman," ucapku mengecup kening putriku. Aku ada rapat penting di kantorku. Aku adalah sekretaris di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion. "Mama! Mama!" Langkahku yang semula terburu-buru jadi seketika berhenti. Mama? Sejak kapan aku dipanggil Mama oleh putriku sendiri? Aku berbalik dengan senyum. Pastilah karena mendengar temannya di sekolah TK memanggil Mama jadilah ikut-ikutan panggil Mama. "Bekalnya dihabisin ya, Dek!" seruku sembari tersenyum lebar. Putriku hanya menolehku sekejap lalu pandangannya ke arah kamar abangnya, Rio yang berusia 12 tahun, kelas 6 SD. Putraku itu agak lama tadi mandinya, jadinya sekarang dia sedang disiapkan oleh Megan, art-ku yang sudah dua bulan bekerja di sin