Zayyan terkejut mendengar ucapan putranya itu. Apakah ini anak kembarnya yang dibicarakan oleh ketiga anak buahnya? Seketika jantung Zayyan berdegup kencang, ada rasa panas yang menjalar dari telinga hingga ke mata. "Dad, kenapa diam?" tanya Ar melihat sang ayah yang hanya diam dengan tatapan kosong. "Kenapa mata Daddy memerah?" sambungnya kemudian. "Hem, tidak apa-apa, Son. Hanya kelilipan," jawab Zayyan asal. "Iya sudah ayo kita makan!" ajaknya."Iya, Dad." Ayah dan anak itu berjalan menuju meja makan. Zayyan masih memakai kemeja putih yang dia gulung sampai siku. Keduanya duduk dan Zayyan mengambilkan makanan untuk putranya seperti dulu. Sesibuk apapun urusan kantor, dia tidak pernah lalai dengan waktunya bersama Ar. Bagi Zayyan, waktu bersama putranya itu adalah yang terbaik. Apalagi mereka memang hanya berdua saja dan tak memiliki siapa-siapa lagi. "Dad," panggil Ar di tengah-tengah makannya. "Iya, Son? Kenapa?" tanya Zayyan dengan nada yang begitu lembut. "Ar merindukan m
Saat kehilangan seseorang yang dicintai, air mata tak boleh benar-benar kering. Menangis boleh, malah harus, tetapi ingatlah jangan sampai meratap. Sebab, tak ada orang yang bisa menghindari hal tersebut.Begitu juga dengan Zea, kehilangan sang ayah membuat dia juga hidup tanpa arah dan tujuan. Sekearang, tempatnya untuk bersandar atau sekedar bercerita segala penat juga luka, tak ada lagi di dunia ini. "Mommy!" Ketiga anak kembar itu berhambur ke arah Zea. Zea langsung menoleh dan mengusap pipinya dengan kasar. Dia langsung berjongkok dan menyamakan tingginya dengan ketiga anak kembarnya itu. "Mommy yang kuat!" seu Zayn menyemangati. "Mommy tidak pernah sendirian," sambung Zaen yang juga ikut memberi semangat. "Ada kami, Mommy," ujar Ziva. Zea memaksakan senyumnya. Di titik rapuh dalam hidupnya, dia bersyukur karena memiliki ketiga anak yang hebat dan selalu bisa menghibur dirinya. Setidaknya, luka yang ada dalam dada Zea, sedikit terobati melihat senyum ketiga anaknya itu. "T
"Kak, sebenarnya kita mau apa ke sini?" tanya Shania sambil turun dari mobil. "Hem, ikuti saja. Jangan banyak tanya," jawab Zavier ketus. Shania dari tadi terus saja bertanya. Shania mengangguk. Dia menatap apartemen mewah di depannya. Walapun dia masih belum tahu, kenapa Zavier mengajaknya ke sini? Benarkah mereka mau bertemu Zayyan? Namun, untuk apa? "Ayo masuk!" ajak Zavier. Kedua orang itu masuk ke dalam apartemen mewah Zayyan. Kedatangan mereka sudah disambut oleh para pengawal yang berjaga di sana. Sepertinya memang Zayyan sudah memberitahu orang-orangnya, jika sang adik akan datang. Zavier menarik napas sedalam mungkin. Tak bisa dia pungkiri bahwa ada rasa bersalah yang terselip di antara rongga dadanya karena sudah menyembunyikan Zea dan turut memisahkan wanita itu dari Zayyan. "Kau gugup, Kak?" bisik Shania. "Tidak!" kilah Zavier. "Hem, jujur saja!" Gadis itu mengenggam tangan Zavier. Hal itu membuat Zavier terkejut dan menatap Shania tajam. "Supaya Kakak tidak gugup,
Hati Zea bagai diremas-remas mendengar ucapan Zevanya. Seharusnya dia senang, jika Zayyan dan Ar membenci dirinya karena memang itu yang dia mau. Namun, kenapa rasanya begitu sakit dan menusuk? "Makanya, jadi wanita itu jangan terlalu percaya diri, Zea. Kau lihat 'kan sekarang? Akibat menjadi pelakor, kau berada dalam ambang kehancuran!" tekan Zevanya yang sengaja memanas-manasi adiknya itu. "Kedua orang tua kita meninggal, semua karena ulahmu," sambungnya kemudian. Zea menunduk dengan air mata berderai. Jari-jemarinya meremas ujung gaun yang dia pakai. Rasanya sangat perih dan luka mendengar ucapan tersebut. Apakah benar dia penyebab kematian kedua orang tuanya? Zevanya tersenyum penuh kemenangan ketika melihat adiknya menangis. Memang ini yang dia mau. Melihat kehancuran Zea dan membuat wanita itu menderita hingga mendarah daging. Zevanya melenggang masuk ke dalam mobil setelah membuat adiknya seperti mati berdiri. Dalam hidup dan hatinya berjanji, tidak akan membiarkan Zea hidu
"Kau serius ingin mengambil anak-anak Zea?" tanya Samuel yang masih setengah tak percaya dengan jalan pikiran Zayyan. "Apa aku pernah bercanda dengan ucapanku?" Lelaki itu masih terlihat tenang dengan wajah yang datar, nyaris tak berekspresi. "Tapi untuk apa? Kau ingin membuat Zea menderita?" tanya Samuel lagi. Zayyan tersenyum sinis, memang itu yang dia inginkan. Agar Zea merasakan apa sebenarnya kehilangan itu? Awalnya, dia hanya sebatas benci dan tidak ada niat balas dendam, tetapi tidak ada salahnya untuk membalaskan semua rasa sakitnya. Agar Zea memahami, bagaimana rasanya ditinggal pergi oleh orang yang dicintai. "Itu tujuanku. Agar dia merasakan rasa sakitku, selama enam tahun ini," sahut Zayyan. Samuel menggelengkan kepalanya salut. Dia memang tahu bahwa Zayyan ini pria kejam yang tak memiliki perasaan sama sekali. Namun, apakah dia tega menyakiti wanita yang dia cintai selama ini. "Bukankah kau mencintainya?" tanya Samuel lagi. "Itu dulu dan sekarang, dia bukan lagi or
Sean dan Zavier melihat ketiga anak kembar itu yang tengah sibuk dengan komputer mereka masing-masing. Bermain game seperti menjadi salah satu keahlian ketiganya. Bahkan orang dewasa saja bisa dikalahkan. "Aku menyesal telah mengajari mereka bermain e-sport," ucap Zavier seraya menarik napas sedalam mungkin. Sean terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu. Apalagi jika Zavier dikalahkan oleh ketiganya dan kadang tak bisa bergerak sama sekali. "Kak, kau yang menahan!" teriak Ziva. "Jangan gegabah, Ziva. Lawan kita ada tiga, kembalilah ke Middle Lane!" ujar Zean. "Bukan masalah. Selang meleka!" titah gadis kecil itu. Sementara Zayn hanya diam seraya terus saja melakukan penyerangan. Sean dan Zavier hanya bisa saling melihat satu sama lain. Bagaimana bisa mereka melarang si kembar bermain e-sport? Sementara ketiga anak itu benar-benar menjadi dunia olahraga profesional tersebut. "Aku bahkan tak mengerti apa yang mereka bicarakan," bisik Sean yang memang tak paham masalah dunia game
"Apa kau sudah siap?" tanya Zavier saat Zea berjalan ke arah mobil. "Kak, bagaimana dengan penampilanku?" tanya Zea seraya memperbaiki bajunya yang setengah bergeser."Cantik," sahut Zavier tersenyum hangat. "Seperti mau bertemu pacar saja?" goda lelaki itu terkekeh pelan. "Hem, mana ada begitu, Kak," kilah Zea gugup. Dia juga tidak tahu kenapa jantungnya berdebar saat hendak bertemu dengan Zayyan. Zavier tertawa pelan. Dia gemas sendiri melihat wajah merona miliki Zea. Zavier yakin, jika wanita ini masih mencintai mantan suami palsunya. Terlihat sekali dari senyuman sumringgah yang Zea tunjukkan. "Kak, apa kak Zayyan mau bertemu denganku?" tanya Zea ragu. "Kenapa dia tidak mau?" "Bukannya kak Zayyan sangat membenciku?" ujar Zea dengan helaan napas panjang. "Sudahlahh jangan dibahas! Ayo masuk!" Zavier membuka pintu mobil agar wanita cantik itu masuk ke dalam. Zea tampak duduk dengan gelisah dan tak tenang. Tak bisa dia pungkiri, bertemuu dengan Zayyan berbagai perasaan yang s
Zea tertegun mendengar ucapan yang terlontar dari mulut lelaki itu. Seketika seluruh tubuhnya melemah dan darah-darah yang mengalir seakan berhenti kian pekat. Zea menatap Zayyan tak percaya, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata yang sedari tadi dia tahan, luruh begitu saja, air mata ketakutan dan kerapuhan. Padahal hatinya sudah berbunga-bunga karena dipertemukan kembali dengan lelaki ini. Akan tetapi, siapa yang menyangka jika yang dia dapatkan adalah sesuatu yang membuat darahnya mendesir. "Aku ingin merawat anak-anakku," sambungnya kemudian. "Jangan ambil mereka, Kak!" mohon Zea. Wanita itu tak bisa bayangkan, seperti apa hidupnya tanpa si kembar. Sebab, ketiga anak itu yang membuatnya bertahan hingga kini. "Mereka juga anakku, aku memiliki hak atas mereka. Dan kau, kau hanya seorang ibu yang melahirkan mereka. Aku akan bayar uang ganti rugi yang kau keluarkan selama melahirkan dan merawat mereka," jawab Zayyan dengan enteng. Lelaki itu masih beranggapan jika uang b