"Kau serius ingin mengambil anak-anak Zea?" tanya Samuel yang masih setengah tak percaya dengan jalan pikiran Zayyan. "Apa aku pernah bercanda dengan ucapanku?" Lelaki itu masih terlihat tenang dengan wajah yang datar, nyaris tak berekspresi. "Tapi untuk apa? Kau ingin membuat Zea menderita?" tanya Samuel lagi. Zayyan tersenyum sinis, memang itu yang dia inginkan. Agar Zea merasakan apa sebenarnya kehilangan itu? Awalnya, dia hanya sebatas benci dan tidak ada niat balas dendam, tetapi tidak ada salahnya untuk membalaskan semua rasa sakitnya. Agar Zea memahami, bagaimana rasanya ditinggal pergi oleh orang yang dicintai. "Itu tujuanku. Agar dia merasakan rasa sakitku, selama enam tahun ini," sahut Zayyan. Samuel menggelengkan kepalanya salut. Dia memang tahu bahwa Zayyan ini pria kejam yang tak memiliki perasaan sama sekali. Namun, apakah dia tega menyakiti wanita yang dia cintai selama ini. "Bukankah kau mencintainya?" tanya Samuel lagi. "Itu dulu dan sekarang, dia bukan lagi or
Sean dan Zavier melihat ketiga anak kembar itu yang tengah sibuk dengan komputer mereka masing-masing. Bermain game seperti menjadi salah satu keahlian ketiganya. Bahkan orang dewasa saja bisa dikalahkan. "Aku menyesal telah mengajari mereka bermain e-sport," ucap Zavier seraya menarik napas sedalam mungkin. Sean terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu. Apalagi jika Zavier dikalahkan oleh ketiganya dan kadang tak bisa bergerak sama sekali. "Kak, kau yang menahan!" teriak Ziva. "Jangan gegabah, Ziva. Lawan kita ada tiga, kembalilah ke Middle Lane!" ujar Zean. "Bukan masalah. Selang meleka!" titah gadis kecil itu. Sementara Zayn hanya diam seraya terus saja melakukan penyerangan. Sean dan Zavier hanya bisa saling melihat satu sama lain. Bagaimana bisa mereka melarang si kembar bermain e-sport? Sementara ketiga anak itu benar-benar menjadi dunia olahraga profesional tersebut. "Aku bahkan tak mengerti apa yang mereka bicarakan," bisik Sean yang memang tak paham masalah dunia game
"Apa kau sudah siap?" tanya Zavier saat Zea berjalan ke arah mobil. "Kak, bagaimana dengan penampilanku?" tanya Zea seraya memperbaiki bajunya yang setengah bergeser."Cantik," sahut Zavier tersenyum hangat. "Seperti mau bertemu pacar saja?" goda lelaki itu terkekeh pelan. "Hem, mana ada begitu, Kak," kilah Zea gugup. Dia juga tidak tahu kenapa jantungnya berdebar saat hendak bertemu dengan Zayyan. Zavier tertawa pelan. Dia gemas sendiri melihat wajah merona miliki Zea. Zavier yakin, jika wanita ini masih mencintai mantan suami palsunya. Terlihat sekali dari senyuman sumringgah yang Zea tunjukkan. "Kak, apa kak Zayyan mau bertemu denganku?" tanya Zea ragu. "Kenapa dia tidak mau?" "Bukannya kak Zayyan sangat membenciku?" ujar Zea dengan helaan napas panjang. "Sudahlahh jangan dibahas! Ayo masuk!" Zavier membuka pintu mobil agar wanita cantik itu masuk ke dalam. Zea tampak duduk dengan gelisah dan tak tenang. Tak bisa dia pungkiri, bertemuu dengan Zayyan berbagai perasaan yang s
Zea tertegun mendengar ucapan yang terlontar dari mulut lelaki itu. Seketika seluruh tubuhnya melemah dan darah-darah yang mengalir seakan berhenti kian pekat. Zea menatap Zayyan tak percaya, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata yang sedari tadi dia tahan, luruh begitu saja, air mata ketakutan dan kerapuhan. Padahal hatinya sudah berbunga-bunga karena dipertemukan kembali dengan lelaki ini. Akan tetapi, siapa yang menyangka jika yang dia dapatkan adalah sesuatu yang membuat darahnya mendesir. "Aku ingin merawat anak-anakku," sambungnya kemudian. "Jangan ambil mereka, Kak!" mohon Zea. Wanita itu tak bisa bayangkan, seperti apa hidupnya tanpa si kembar. Sebab, ketiga anak itu yang membuatnya bertahan hingga kini. "Mereka juga anakku, aku memiliki hak atas mereka. Dan kau, kau hanya seorang ibu yang melahirkan mereka. Aku akan bayar uang ganti rugi yang kau keluarkan selama melahirkan dan merawat mereka," jawab Zayyan dengan enteng. Lelaki itu masih beranggapan jika uang b
Zea menyadarkan kepalanya di pintu mobil dengan tatapan yang tertuju di luar jendela. Sayup-sayup angin yang masuk melambaikan rambut sebahunya. Apalagi kaca mobil memang sengaja tidak ditutup. "Zea," panggil Zavier mengenggam tangan wanita itu. Zea menoleh dan tersenyum pada lelaki yang sudah banyak menolongnya itu. "Kenapa?" tanyanya. "Jangan melamun, nanti kemasukan bagaimana?" celetuk Zavier terkekeh. Zea bangkit, lalu duduk dengan tegap sembari menarik napasnya sedalam mungkin. "Memikirkan tawaran kak Zayyan?" tebak Zavier. Zea membalas dengan anggukan kepala. Jujur saja dia terkejut ketika Zayyan memintanya untuk menikah dengan lelaki itu. Bukankah selama ini Zayyan sangat membencinya, lalu kenapa tiba-tiba saja lelaki itu memberikan tawaran yang tidak akan bisa Zea terima? "Apa kau masih mencintai kak Zayyan?" tanya Zavier penuh selidik. Zea malah bingung, terlihat wanita itu beberapa kali menelan salivanya. Wajahnya tampak gugup dan juga merona. Zea tak bisa berbohong,
"Mau ke mana Grace?" gumam Leigh yang tidak sengaja melihat istrinya itu masuk ke dalam mobil. "Nyonya seperti terlihat buru-buru, Tuan," ujar Riley. "Ikuti dia, Rey!" titah Leigh. "Baik, Tuan," jawab Riley menancapkan gas mobilnya. Beberapa hari ini gerak-gerik Grace memang sangat mencurigakan. Wanita itu seperti pencuri yang terlihat mengendap-endap dan penuh ketakutan. Sebenarnya apa yang disembunyikan oleh Grace? Kenapa dia terlihat sangat takut? "Rey, selama ini aku memang telah lengah tidak memintamu menyelidiki kematian istriku. Entah kenapa, setelah puluhan tahun aku bath menyadari hal ini? Aku yakin jika Jane bukan mati karena penyakit, pasti ada sesuatu yang terjadi padanya saat aku perjalanan bisnis ke Jerman. Tolong selidiki, Rey! Walau ini sudah berlalu cukup lama!" perintah Leigh pada asistennya itu. "Iya, Tuan," jawab Riley mengangguk seraya masih fokus menyetir. Pria berusia itu menarik napas sedalam mungkin. Kenangannya bersama almarhum sang istri masih saja te
Zea terduduk melamun di kamarnya. Pertemuan singkatnya dengan Zayyan tadi benar-benar membuat hatinya seketika goyah. Kembali pada lelaki itu? Ah, rasanya tak pernah terbayangkan dalam hidup Zea. Bahkan tujuan dia datang ke Indonesia bukanlah untuk membuat hubungan mereka kembali, dia benar-benar hanya ingin bertemu sang ayah minta maaf pada lelaki yang sudah dia tinggalkan tersebut. "Ayah, aku harus bagaimana?" Jika berbicara tentang perasaan, tentu Zea senang jika akhirnya bisa menikah dengan Zayyan. Namun, lagi-lagi tak ada egois yang bisa dia simpan. Halangannya masih tetap sama yaitu Zevanya. Sang kakak, masih seperti dulu mengancam dan terus mengancam dirinya. Jika dulu, Zea terkesan tak peduli walau akhirnya tetap pergi. Namun, berbeda dengan Sekarang. Ada anak-anak yang harus dia lindungi. Apalagi Zea tahu seberapa nekad sang kakak jika menginginkan sesuatu yang benar-benar dia incar. "Aku takut, Ayah," ucapnya. Zea pejamkan mata sejenak. "Aku mencintai lelaki itu. Tapi, ba
"Brengsek!" pekik Leigh memukul kuat jok mobil. "Jadi, selama ini yang membunuh Jane adalah Grace?" Rahang lelaki tua itu mengeras seketika. Bahkan urat-urat lehernya terlihat begitu jelas. "Benar, Tuan. Semua juga atas rencana kedua orang tua Anda, Tuan," jelas Riley. "Rencana kedua orang tuaku?" Leigh menatap asistennya tak percaya. "Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, memang ayah Anda yang sudah meminta nyonya Grace untuk terlibat pembunuhan atas kematian nyonya Jane, Tuan," tukas Riley lagi menjelaskan. Pupil mata Leigh seperti hendak keluar dari kelopak matanya. Ada marah serta kebencian yang terlihat jelas dari netra tajamnya. Dia berusaha mengontrol diri agar mampu mengendalikannya emosi. Sebab, jika amarahnya sudah meledak. Maka dia akan berubah menjadi manusia paling kegam di muka bumi ini. Tak pernah dia sangka jika orang tua yang begitu dirinya hormati dan sayangi, adalah penyebab dari segala penderitaannya. "Tangkap wanita iblis itu. Jangan biarkan lolos!" tita