"Brengsek!" pekik Leigh memukul kuat jok mobil. "Jadi, selama ini yang membunuh Jane adalah Grace?" Rahang lelaki tua itu mengeras seketika. Bahkan urat-urat lehernya terlihat begitu jelas. "Benar, Tuan. Semua juga atas rencana kedua orang tua Anda, Tuan," jelas Riley. "Rencana kedua orang tuaku?" Leigh menatap asistennya tak percaya. "Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, memang ayah Anda yang sudah meminta nyonya Grace untuk terlibat pembunuhan atas kematian nyonya Jane, Tuan," tukas Riley lagi menjelaskan. Pupil mata Leigh seperti hendak keluar dari kelopak matanya. Ada marah serta kebencian yang terlihat jelas dari netra tajamnya. Dia berusaha mengontrol diri agar mampu mengendalikannya emosi. Sebab, jika amarahnya sudah meledak. Maka dia akan berubah menjadi manusia paling kegam di muka bumi ini. Tak pernah dia sangka jika orang tua yang begitu dirinya hormati dan sayangi, adalah penyebab dari segala penderitaannya. "Tangkap wanita iblis itu. Jangan biarkan lolos!" tita
"Menikahlah denganku, Zea!" pinta Zayyan dengan tatapan mata yang serius. "Mari kita rawat anak-anak kita bersama," ujarnya. Zea masih diam dan sesekali menelan saliva dengan susah payah. Keputusan yang saat ini belum bisa Zea ambil. Entah apa yang membuat dirinya begitu berat menerima lamaran Zayyan. "Kak." Lidah Zea terasa kelu. "Apa kau menolakku lagi, Zea?" tanya Zayyan. "Seharusnya aku membencimu karena kau sudah meninggalkan aku tanpa berpamitan. Tapi, kenapa aku tidak bisa membencimu? Karena aku mencintaimu, sangat!" jelasnya kemudian. Lelaki itu menatap iris mata coklat Zea yang selalu membuat dadanya berdebar. Pesona wanita ini selalu tak bisa membuat dirinya berpaling sama sekali. Zea menunduk dengan jari-jemari yang saling meremas satu sama lain. Keringat dingin membasahi dahinya. Sementara Zayyan tersenyum kecut. Sudah dia duga, wanita ini sama sekali tak berubah dan masih enggan menatap dirinya. Apa yang kurang dari Zayyan? Dia begitu tampan dan juga kaya raya. Zayya
Kejuaraan nasional OPL musim semi telah tiba. Tak ada yang bisa Zavier dan Sean lakukan untuk mencegah si kembar ikut bertanding. Sebab, mereka berdua tidak mau membunuh mimpi anak-anak Zea. Walaupun ada perasaan takut yang sedikit demi sedikit terkikis karena Zayyan tidak mungkin menyakiti anak-anaknya sendiri. Begitu juga dengan Zea yang tampak tak tenang. Setelah penolakannya pada Zayyan saat itu. Lelaki tersebut benar-benar menghilang dan tak pernah lagi datang memberi kabar. Zea berjongkok menatap ketiga anaknya. Mau tak mau dia harus ikut ke Tiongkok dan menemani si kembar untuk ikut pertandingan. "Kalian semangat ya, doa Mommy selalu menyertai!" ucapnya mengecup satu persatu kening ketiga bocah kembar itu. "Mommy jangan sedih lagi!" Jari-jemari mungil Ziva mengusap pipi lembut sang ibu. "Terima kasih, Sayang." Zea memeluk anaknya dengan perasaan hancur. Merasa bersalah karena tidak bisa menyediakan kebahagiaan yang sesungguhnya untuk mereka. "Maafkan Mommy." Zavier dan Se
"Apa yang kau lakukan, Leigh?!" teriak Grace berusaha memberontak ketika para anak buah sang suami malah memasung dirinya seperti pencuri. "Apa yang aku lakukan?" Leigh tertawa mengejek.Lelaki paruh baya yang masih tampan meski sudah berusia itu, berjalan menghampiri istrinya. Tak dia sangka wanita yang dikira baik seperti Grace, ternyata adalah duri yang menusuk-nusuk hatinya hingga mengeluarkan banyak darah. "Kau pikir aku tidak tahu bahwa kaulah yang membunuh Jane!" DegSeketika tubuh Grace bergetar hebat dengan wajah pucat tanpa darah. Wanita itu berusaha menyangkal dengan beberapa kali menggelengkan kepalanya, seolah tak mau mengakui semua perbuatannya. "B-bag-aimana ka-u bisa tahu?" tanya Grace gugup. Tak lupa wajah ketakutan terlihat jelas dari ekspresinya. Sebab dia tahu sekejam apa lelaki yang berstatus suaminya itu. "Kau lupa siapa aku?" Leigh mengangkat dagu istrinya itu. "Katakan padaku, apa kau bekerjasama dengan kedua orang tuaku?" tanyanya. Grace terdiam seraya m
"Mommy ke mana sih? Kok belum pulang?" Sejak tadi Ruth berjalan mondar-mandir seperti tidak tenang. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak dan selalu terpikirkan pada sang ibu? Tak biasanya wanita tua itu berpergian tanpa berpamitan padanya. "Apa mommy bertemu daddy?" gumamnya lagi. Walaupun hubungan Grace dan Ruth tak sebaik ibu dan anak pada umumnya. Bahkan sering berdebat atau bertengkar karena hal-hal kecil, tetapi Ruth sangat menyayangi ibunya. Apalagi selama ini dia memang hanya tumbuh bersama Grace tanpa sosok sang ayah yang dia rindukan kehadirannya. "Ponselnya juga tidak diangkat," ucapnya lagi yang sibuk dengan benda pipih di tanahnya. Beberapa kali wanita itu menghembuskan napas kasar dengan sesekali berdiri dan sesekali duduk, seolah sedang berusaha menetralisir pikiran yang mulai tak tenang. "Apa aku cari saja ya? Atau aku lacak saja keberadaan mommy?" Wanita itu mengotak-atik ponselnya. Keningnya mengerut ketika melihat titik di ponselnya. "Lah, apa yang m
"Zea dan anak-anaknya sudah kembali ke luar negeri?" ulang Zevanya. "Iya, Nyonya," jawab salah satu anak buahnya. "Bagus, bagus!" Zevanya tertawa penuh kemenangan. Wanita itu mengambil tas dan kunci mobil miliknya. Lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya. Jika dulu Zevanya seorang model papan atas, maka sekarang dia adalah pengusaha muda. Zevanya meneruskan perusahaan Miko yang dikembalikan oleh Zayyan. Tentu hal itu tidak akan dia sia-siakan demi mendapatkan apa yang dia mau. Uang adalah segalanya, dengan uang Zevanya bisa kembali pada Zayyan. Dia akan gunakan uang sebagai salah satu sarana agar lelaki itu kembali ke dalam dekapannya. Saat wanita itu membuka pintu ruangan dia terkejut kejut melihat siapa yang datang. "Marvin?" "Hai, Sayang!" sapa lelaki tampan yang sudah berdiri manis di depan pintu. Ekspresi wajah Zevanya langsung berubah menjadi dingin. Dia masih ingat bagaimana lelaki ini meninggalkannya seorang diri, sehingga Zevanya dengan terpaksa membunuh jani
Seorang wanita tengah menatap ketiga anaknya yang bermain kejar-kejaran di taman belakang rumah mewah mereka. Wanita itu tengah duduk santai mengaduk tiga gelas susu di sebuah meja yang terletak tidak jauh di tengah-tengah taman. "Maafkan Mommy, Nak," ucapnya. Terbesit rasa bersalah karena terus menjadikan ketiga anaknya sebagai korban. Seharusnya sebagai seorang ibu, dia bisa menyediakan kebahagiaan lebih untuk tiga balita kembar itu. "Semoga ini pilihan terbaik untuk kita berempat. Maafkan Mommy yang selalu membawa kalian dalam masalah!" Ada rasa bersalah di hatinya karena sudah kembali ke Indonesia. Harusnya sejak awal dia tidak perlu menerima tawaran dua lelaki itu untuk kembali. Seharusnya sejak awal, dia memilih tetap berada di sini, walau harus menikmati setiap siksaan rindu yang terasa mencengkeram dalam dada. "Mommy!" Ketiga bocah kembar itu berhambur ke arah sang ibu. Ketiganya seperti sudah puas bermain kejar-kejaran karena terlibat dari keringat yang mengucur di dahi
"Kakak!" Sean menoleh ke arah pintu masuk. Lelaki itu memutar bola matanya malas, melihat siapa yang datang? "Ada apa?" ketusnya. "Dih, setelah kak Zea pergi. Kakak kembali jadi kulkas?" sindir Shania masuk ke dalam ruangan kakaknya itu. "Kakak lagi malas berdebat, Shania," ucap Sean malas. Shania terkekeh dan duduk di depan kursi meja kakaknya itu. Dokter tampan ini masih saja jomblo meski sudah berusia cukup dewasa. "Ini, aku bawakan makanan buat Kakak!" Shania meletakkan rantang nasi di atas meja Sean. "Dalam rangka apa?" Sean menatap adiknya itu curiga. Sebab dia tahu gerak-gerik Shania, kalau sudah baik beginj pasti ada maunya. "Tidak dalam rangka apa-apa. Hanya sedang berbaik hati saja pada Kakak ku yang tidak laku-laku ini," celetuk Shania tertawa lebar melihat wajah kesal Sean. Sean tak menanggapi. Dia mengambil makanan yang dibawakan adiknya karena jujur saja dia lapar. Setelah Zea dan ketiga anaknya pergi, Sean merasa sangat kehilangan. Sehingga dia tak menjaga pola