"Apa yang kau lakukan, Leigh?!" teriak Grace berusaha memberontak ketika para anak buah sang suami malah memasung dirinya seperti pencuri. "Apa yang aku lakukan?" Leigh tertawa mengejek.Lelaki paruh baya yang masih tampan meski sudah berusia itu, berjalan menghampiri istrinya. Tak dia sangka wanita yang dikira baik seperti Grace, ternyata adalah duri yang menusuk-nusuk hatinya hingga mengeluarkan banyak darah. "Kau pikir aku tidak tahu bahwa kaulah yang membunuh Jane!" DegSeketika tubuh Grace bergetar hebat dengan wajah pucat tanpa darah. Wanita itu berusaha menyangkal dengan beberapa kali menggelengkan kepalanya, seolah tak mau mengakui semua perbuatannya. "B-bag-aimana ka-u bisa tahu?" tanya Grace gugup. Tak lupa wajah ketakutan terlihat jelas dari ekspresinya. Sebab dia tahu sekejam apa lelaki yang berstatus suaminya itu. "Kau lupa siapa aku?" Leigh mengangkat dagu istrinya itu. "Katakan padaku, apa kau bekerjasama dengan kedua orang tuaku?" tanyanya. Grace terdiam seraya m
"Mommy ke mana sih? Kok belum pulang?" Sejak tadi Ruth berjalan mondar-mandir seperti tidak tenang. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak dan selalu terpikirkan pada sang ibu? Tak biasanya wanita tua itu berpergian tanpa berpamitan padanya. "Apa mommy bertemu daddy?" gumamnya lagi. Walaupun hubungan Grace dan Ruth tak sebaik ibu dan anak pada umumnya. Bahkan sering berdebat atau bertengkar karena hal-hal kecil, tetapi Ruth sangat menyayangi ibunya. Apalagi selama ini dia memang hanya tumbuh bersama Grace tanpa sosok sang ayah yang dia rindukan kehadirannya. "Ponselnya juga tidak diangkat," ucapnya lagi yang sibuk dengan benda pipih di tanahnya. Beberapa kali wanita itu menghembuskan napas kasar dengan sesekali berdiri dan sesekali duduk, seolah sedang berusaha menetralisir pikiran yang mulai tak tenang. "Apa aku cari saja ya? Atau aku lacak saja keberadaan mommy?" Wanita itu mengotak-atik ponselnya. Keningnya mengerut ketika melihat titik di ponselnya. "Lah, apa yang m
"Zea dan anak-anaknya sudah kembali ke luar negeri?" ulang Zevanya. "Iya, Nyonya," jawab salah satu anak buahnya. "Bagus, bagus!" Zevanya tertawa penuh kemenangan. Wanita itu mengambil tas dan kunci mobil miliknya. Lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya. Jika dulu Zevanya seorang model papan atas, maka sekarang dia adalah pengusaha muda. Zevanya meneruskan perusahaan Miko yang dikembalikan oleh Zayyan. Tentu hal itu tidak akan dia sia-siakan demi mendapatkan apa yang dia mau. Uang adalah segalanya, dengan uang Zevanya bisa kembali pada Zayyan. Dia akan gunakan uang sebagai salah satu sarana agar lelaki itu kembali ke dalam dekapannya. Saat wanita itu membuka pintu ruangan dia terkejut kejut melihat siapa yang datang. "Marvin?" "Hai, Sayang!" sapa lelaki tampan yang sudah berdiri manis di depan pintu. Ekspresi wajah Zevanya langsung berubah menjadi dingin. Dia masih ingat bagaimana lelaki ini meninggalkannya seorang diri, sehingga Zevanya dengan terpaksa membunuh jani
Seorang wanita tengah menatap ketiga anaknya yang bermain kejar-kejaran di taman belakang rumah mewah mereka. Wanita itu tengah duduk santai mengaduk tiga gelas susu di sebuah meja yang terletak tidak jauh di tengah-tengah taman. "Maafkan Mommy, Nak," ucapnya. Terbesit rasa bersalah karena terus menjadikan ketiga anaknya sebagai korban. Seharusnya sebagai seorang ibu, dia bisa menyediakan kebahagiaan lebih untuk tiga balita kembar itu. "Semoga ini pilihan terbaik untuk kita berempat. Maafkan Mommy yang selalu membawa kalian dalam masalah!" Ada rasa bersalah di hatinya karena sudah kembali ke Indonesia. Harusnya sejak awal dia tidak perlu menerima tawaran dua lelaki itu untuk kembali. Seharusnya sejak awal, dia memilih tetap berada di sini, walau harus menikmati setiap siksaan rindu yang terasa mencengkeram dalam dada. "Mommy!" Ketiga bocah kembar itu berhambur ke arah sang ibu. Ketiganya seperti sudah puas bermain kejar-kejaran karena terlibat dari keringat yang mengucur di dahi
"Kakak!" Sean menoleh ke arah pintu masuk. Lelaki itu memutar bola matanya malas, melihat siapa yang datang? "Ada apa?" ketusnya. "Dih, setelah kak Zea pergi. Kakak kembali jadi kulkas?" sindir Shania masuk ke dalam ruangan kakaknya itu. "Kakak lagi malas berdebat, Shania," ucap Sean malas. Shania terkekeh dan duduk di depan kursi meja kakaknya itu. Dokter tampan ini masih saja jomblo meski sudah berusia cukup dewasa. "Ini, aku bawakan makanan buat Kakak!" Shania meletakkan rantang nasi di atas meja Sean. "Dalam rangka apa?" Sean menatap adiknya itu curiga. Sebab dia tahu gerak-gerik Shania, kalau sudah baik beginj pasti ada maunya. "Tidak dalam rangka apa-apa. Hanya sedang berbaik hati saja pada Kakak ku yang tidak laku-laku ini," celetuk Shania tertawa lebar melihat wajah kesal Sean. Sean tak menanggapi. Dia mengambil makanan yang dibawakan adiknya karena jujur saja dia lapar. Setelah Zea dan ketiga anaknya pergi, Sean merasa sangat kehilangan. Sehingga dia tak menjaga pola
Zayyan terduduk dengan tatapan kosong mengarah ke arah jendela kaca ruangannya. "Kau benar-benar meninggalkan aku, Zea! Aku tak menyangka kau sejahat ini," ujarnya dengan senyuman miris. Tak Zayyan sangka bahwa Zea akan menepati semua kata-katanya. Lelaki arogan berwajah tampan itu mengigit bibir bawahnya menahan sesak di dalam dada. Kenapa soal perasaan dia sangat rapuh? Seharusnya dia tak perlu memikirkan Zea hingga membuat nadinya seperti berdenyut sakit. Sudah cukup segala luka yang Zea turihkan di dalam dadanya. Namun, entah kenapa Zayyan tak bisa berhenti mencintai wanita itu. Hal pertama, Zea menyamar jadi Zevanya dan membohongi Zayyan, seakan wanita itu menawarkan kebahagiaan. Lalu Zea tiba-tiba hilang membawa benih yang Zayyan tanam di rahimnya. Tak hanya sampai di situ, setelah enam tahun berlalu wanita itu datang lagi. Seakan meminta untuk kembali, tetapi pada kenyataannya hanya menanamkan luka di hati. "Apa salahku, Zea? Apa dosa yang sudah aku perbuat, sehingga kau te
Zea keluar dari ruangan dokter dengan tatapan kosong. Air mata wanita itu menetes membasahi pipinya. Namun, dirinya seperti patung hidup yang tak bisa berbuat apa-apa. Wanita itu menghampiri ranjang anaknya yang masih di ruangan UGD. Seketika tubuh Zea terasa lemas, melihat Ziva yang masih terbaring di sana dengan selang infuse dan oksigen yang menempel di hidungnya. "Mom!" panggil Zayn menghampiri Zea. "Son." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan pria kecil itu. "Mommy kenapa?" tanyanya menatap ada gelagat aneh dari sang ibu. "Tidak apa-apa," kilah Zea. "Boleh Mommy peluk Zayn sebentar?" pinta Zea terdengar lirih. "Tentu, Mom!" Zayn merentangkan tangan kecilnya agar sang ibu segera masuk ke dalam pelukan hangatnya. Zea memeluk putra sulungnya tersebut. Wanita itu menangis dalam diam. Air mata berderai membahasi pipinya. Dia tak bisa berkata apa-apa. Tak bisa berbicara apa-apa. Saat ini dirinya sangat lelah, dia benar-benar lelah dan butuh sekali sosok yang mampu men
"Kak, kita mau ke mana sih?" protes Zean yang sedari tadi mereka berdua terus saja berjalan. "Menemui dokter," jawab Zayn singkat, padat dan jelas. "Mau apa, Kak?" tanyanya dengan kening mengerut, heran. "Ikuti saja, Zean. Jangan banyak bertanya!" ketus Zayn yang mulai kesal karena adiknya itu tak mau diam. "Tapi Zean penasaran, Kak," ucapnya seraya menghembuskan napas kasar. "Makanya diam!" ujar Zayn. Kedua pria kecil itu berjalan menuju ruangan dokter. Entah apa yang akan mereka lakukan? ekspresi wajah Zayn tampak seperti pria dewasa yang terlibat datar dan begitu dingin. "Paman Dokter," sapa Zayn. Dokter berkacamata tebal yang tengah asyik berkutat dengan berkas pasien di atas mejanya. Sontak mengangkat kepala dan menatap kedua bocah itu dengan kening mengerut heran. "Paman Dokter," panggil Zayn sekali lagi. Tanpa permisi lelaki kecil itu naik di kursi depan meja sang dokter. Zean mengikuti sang kakak. "Kalian siapa?" tanya dokter muda itu yang masih bingung melihat dua a
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur