Seorang wanita tengah menatap ketiga anaknya yang bermain kejar-kejaran di taman belakang rumah mewah mereka. Wanita itu tengah duduk santai mengaduk tiga gelas susu di sebuah meja yang terletak tidak jauh di tengah-tengah taman. "Maafkan Mommy, Nak," ucapnya. Terbesit rasa bersalah karena terus menjadikan ketiga anaknya sebagai korban. Seharusnya sebagai seorang ibu, dia bisa menyediakan kebahagiaan lebih untuk tiga balita kembar itu. "Semoga ini pilihan terbaik untuk kita berempat. Maafkan Mommy yang selalu membawa kalian dalam masalah!" Ada rasa bersalah di hatinya karena sudah kembali ke Indonesia. Harusnya sejak awal dia tidak perlu menerima tawaran dua lelaki itu untuk kembali. Seharusnya sejak awal, dia memilih tetap berada di sini, walau harus menikmati setiap siksaan rindu yang terasa mencengkeram dalam dada. "Mommy!" Ketiga bocah kembar itu berhambur ke arah sang ibu. Ketiganya seperti sudah puas bermain kejar-kejaran karena terlibat dari keringat yang mengucur di dahi
"Kakak!" Sean menoleh ke arah pintu masuk. Lelaki itu memutar bola matanya malas, melihat siapa yang datang? "Ada apa?" ketusnya. "Dih, setelah kak Zea pergi. Kakak kembali jadi kulkas?" sindir Shania masuk ke dalam ruangan kakaknya itu. "Kakak lagi malas berdebat, Shania," ucap Sean malas. Shania terkekeh dan duduk di depan kursi meja kakaknya itu. Dokter tampan ini masih saja jomblo meski sudah berusia cukup dewasa. "Ini, aku bawakan makanan buat Kakak!" Shania meletakkan rantang nasi di atas meja Sean. "Dalam rangka apa?" Sean menatap adiknya itu curiga. Sebab dia tahu gerak-gerik Shania, kalau sudah baik beginj pasti ada maunya. "Tidak dalam rangka apa-apa. Hanya sedang berbaik hati saja pada Kakak ku yang tidak laku-laku ini," celetuk Shania tertawa lebar melihat wajah kesal Sean. Sean tak menanggapi. Dia mengambil makanan yang dibawakan adiknya karena jujur saja dia lapar. Setelah Zea dan ketiga anaknya pergi, Sean merasa sangat kehilangan. Sehingga dia tak menjaga pola
Zayyan terduduk dengan tatapan kosong mengarah ke arah jendela kaca ruangannya. "Kau benar-benar meninggalkan aku, Zea! Aku tak menyangka kau sejahat ini," ujarnya dengan senyuman miris. Tak Zayyan sangka bahwa Zea akan menepati semua kata-katanya. Lelaki arogan berwajah tampan itu mengigit bibir bawahnya menahan sesak di dalam dada. Kenapa soal perasaan dia sangat rapuh? Seharusnya dia tak perlu memikirkan Zea hingga membuat nadinya seperti berdenyut sakit. Sudah cukup segala luka yang Zea turihkan di dalam dadanya. Namun, entah kenapa Zayyan tak bisa berhenti mencintai wanita itu. Hal pertama, Zea menyamar jadi Zevanya dan membohongi Zayyan, seakan wanita itu menawarkan kebahagiaan. Lalu Zea tiba-tiba hilang membawa benih yang Zayyan tanam di rahimnya. Tak hanya sampai di situ, setelah enam tahun berlalu wanita itu datang lagi. Seakan meminta untuk kembali, tetapi pada kenyataannya hanya menanamkan luka di hati. "Apa salahku, Zea? Apa dosa yang sudah aku perbuat, sehingga kau te
Zea keluar dari ruangan dokter dengan tatapan kosong. Air mata wanita itu menetes membasahi pipinya. Namun, dirinya seperti patung hidup yang tak bisa berbuat apa-apa. Wanita itu menghampiri ranjang anaknya yang masih di ruangan UGD. Seketika tubuh Zea terasa lemas, melihat Ziva yang masih terbaring di sana dengan selang infuse dan oksigen yang menempel di hidungnya. "Mom!" panggil Zayn menghampiri Zea. "Son." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan pria kecil itu. "Mommy kenapa?" tanyanya menatap ada gelagat aneh dari sang ibu. "Tidak apa-apa," kilah Zea. "Boleh Mommy peluk Zayn sebentar?" pinta Zea terdengar lirih. "Tentu, Mom!" Zayn merentangkan tangan kecilnya agar sang ibu segera masuk ke dalam pelukan hangatnya. Zea memeluk putra sulungnya tersebut. Wanita itu menangis dalam diam. Air mata berderai membahasi pipinya. Dia tak bisa berkata apa-apa. Tak bisa berbicara apa-apa. Saat ini dirinya sangat lelah, dia benar-benar lelah dan butuh sekali sosok yang mampu men
"Kak, kita mau ke mana sih?" protes Zean yang sedari tadi mereka berdua terus saja berjalan. "Menemui dokter," jawab Zayn singkat, padat dan jelas. "Mau apa, Kak?" tanyanya dengan kening mengerut, heran. "Ikuti saja, Zean. Jangan banyak bertanya!" ketus Zayn yang mulai kesal karena adiknya itu tak mau diam. "Tapi Zean penasaran, Kak," ucapnya seraya menghembuskan napas kasar. "Makanya diam!" ujar Zayn. Kedua pria kecil itu berjalan menuju ruangan dokter. Entah apa yang akan mereka lakukan? ekspresi wajah Zayn tampak seperti pria dewasa yang terlibat datar dan begitu dingin. "Paman Dokter," sapa Zayn. Dokter berkacamata tebal yang tengah asyik berkutat dengan berkas pasien di atas mejanya. Sontak mengangkat kepala dan menatap kedua bocah itu dengan kening mengerut heran. "Paman Dokter," panggil Zayn sekali lagi. Tanpa permisi lelaki kecil itu naik di kursi depan meja sang dokter. Zean mengikuti sang kakak. "Kalian siapa?" tanya dokter muda itu yang masih bingung melihat dua a
Zea mengusap kepala putri kecilnya yang terlelap. Beberapa selang mengalir di bagian tubuh Ziva. Dia menatap lama wajah gadis kecil itu. Duplikat dirinya di waktu kecil tergambar jelas di wajah anak perempuannya itu. "Kau harus kuat ya, Girl. Demi Mommy. Kau segalanya untuk Mommy," ucapnya dengan lirihan pelan. "Mommy berjanji akan menjadi ibu dan ayah untukmu," sambungnya lagi. "Semoga badai ini segera berlalu dan kita bahagia lagi seperti kemarin," ucapnya lagi. Akibat kemoterapi itu menghilangkan rambut panjang Ziva, tubuh kecilnya juga mudah drop-dropan. Beberapa obat terbaik sudah Sandy berikan agar daya tahan tubuhnya kuat."Nyonya!" Erwin masuk ke dalam ruangan rawat Ziva. "Iya, Dok?" Zea memaksakan senyum. Terkadang dia kagum dengan cara Tuhan menolongnya. Dokter tampan seperti Erwin yang notabene orang tak dikenal, tetapi begitu baik pada Zea dan ketiga anaknya. Bahkan dokter tersebut menolong semua perawatan Ziva dan membantu Zea menjaga gadis kecil tersebut. "Makan dulu
"Mommy," panggil Ziva dengan suara lirihnya. "Sayang." Zea dan kedua putranya berhambur ke arah ranjang gadis kecil itu. "Zizi," panggil Zayn dan Zean bersamaan. Kedua bocah tampan itu tampak terharu karena akhirnya adik mereka bisa bangun dan kemabli tersenyum seperti sediakala. Mata gadis kecil itu tampak menelisik seluruh ruangan rawat inapnya. Di beberapa bagian tubuhnya masih dipasang selang-selang lainnya. "Di mana yang sakit, Nak?" tanya Zea dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut sakit melihat wajah pucat sang anak. "Di cini, Mom!" Ziva menunjuk bagian dadanya. "Sesak napas," sambungnya kemudian dengan lelehan bening yang mengalir di pipi lembutnya. Zea mengenggam tangan gadis kecil itu. Dia berusaha menahan tangis yang terasa ingin pecah. Andai bisa, dia ingin sekali menggantikan posisi Ziva dan merasakan sakit yang menggerogoti tubuh anaknya itu. Tidak lama kemudian, Erwin dan beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Ziva. Pria muda nan tampan itu tersenyum simpul
Zayyan sontak berdiri mendengar penjelasan Josua. "Putri kecilku terbaring sakit?" tanyanya sekali lagi memastikan. "Iya, Zayyan," jawab Josua. "Menurut keterangan anak buah kita, nona kecil menderita leukemia stadium lanjut," jelasnya lagi. Tubuh Zayyan membeku di tempatnya. Aliran darah seolah berhenti mengalir. Dia menatap Josua tak percaya seraya menggelengkan kepala."Sam, persiapkan keberangkatanku ke Canada, sekarang!" titah Zayyan. "Baik." Zayyan berjalan menuju mobil dengan langkah tergesa-gesa. Tatapan mata pria tampan itu terlihat panik dan penuh dengan kekhawatiran. "Girl, tunggu Daddy, Nak. Daddy datang untuk menemuimu, Daddy sangat menyayangimu," ujarnya. Zayyan memang belum pernah memeluk putri kecilnya itu. Namun, baru bicara beberapa kata saja dengan Ziva sudah membuat dadanya berdebar kian kencang. "Maafkan Daddy!" ucapnya dengan penuh perasaan bersalah. Zayyan pikir melepaskan Zea pergi adalah jalan terbaik demi kebahagiaan wanita itu. Namun, ternyata hal y