"Mommy," panggil Ziva dengan suara lirihnya. "Sayang." Zea dan kedua putranya berhambur ke arah ranjang gadis kecil itu. "Zizi," panggil Zayn dan Zean bersamaan. Kedua bocah tampan itu tampak terharu karena akhirnya adik mereka bisa bangun dan kemabli tersenyum seperti sediakala. Mata gadis kecil itu tampak menelisik seluruh ruangan rawat inapnya. Di beberapa bagian tubuhnya masih dipasang selang-selang lainnya. "Di mana yang sakit, Nak?" tanya Zea dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut sakit melihat wajah pucat sang anak. "Di cini, Mom!" Ziva menunjuk bagian dadanya. "Sesak napas," sambungnya kemudian dengan lelehan bening yang mengalir di pipi lembutnya. Zea mengenggam tangan gadis kecil itu. Dia berusaha menahan tangis yang terasa ingin pecah. Andai bisa, dia ingin sekali menggantikan posisi Ziva dan merasakan sakit yang menggerogoti tubuh anaknya itu. Tidak lama kemudian, Erwin dan beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Ziva. Pria muda nan tampan itu tersenyum simpul
Zayyan sontak berdiri mendengar penjelasan Josua. "Putri kecilku terbaring sakit?" tanyanya sekali lagi memastikan. "Iya, Zayyan," jawab Josua. "Menurut keterangan anak buah kita, nona kecil menderita leukemia stadium lanjut," jelasnya lagi. Tubuh Zayyan membeku di tempatnya. Aliran darah seolah berhenti mengalir. Dia menatap Josua tak percaya seraya menggelengkan kepala."Sam, persiapkan keberangkatanku ke Canada, sekarang!" titah Zayyan. "Baik." Zayyan berjalan menuju mobil dengan langkah tergesa-gesa. Tatapan mata pria tampan itu terlihat panik dan penuh dengan kekhawatiran. "Girl, tunggu Daddy, Nak. Daddy datang untuk menemuimu, Daddy sangat menyayangimu," ujarnya. Zayyan memang belum pernah memeluk putri kecilnya itu. Namun, baru bicara beberapa kata saja dengan Ziva sudah membuat dadanya berdebar kian kencang. "Maafkan Daddy!" ucapnya dengan penuh perasaan bersalah. Zayyan pikir melepaskan Zea pergi adalah jalan terbaik demi kebahagiaan wanita itu. Namun, ternyata hal y
Zayyan keluar dari mobil. Dia menatap rumah sakit mewah yang ada di depannya. Dadanya berdegup kian kencang. Beberapa kali dia menarik napas dalam seakan berusaha menetralisir emosi yang terasa membuncah dalam dada. Lelaki itu melangkah lebar menelusuri koridor rumah sakit. Sebenarnya kaki Zayyan terasa sulit dilangkahkan, entah kenapa rasanya dia tidak sanggup melihat wajah sang anak? Ada perasaan bersalah yang terselip di antara rongga dadanya. Zayyan pun merasa dirinya terlalu egois tanpa memikirkan keselamatan anak-anaknya. "Semoga kau baik-baik saja, Girl," gumamnya penuh harap dengan perasaan gelisah yang tak karuan. Zayyan belum pernah berbicara panjang lebar dengan ketiga anaknya, bahkan pertemuan pertama mereka terkesan begitu dingin. Apakah ada rasa marah yang terselip di hati ketiga anaknya karena sikap Zayyan selama ini? Lelaki itu berdiri di depan sebuah ruangan mewah atas petunjuk suster yang mengantarkan mereka ke ruangan rawat Ziva. Zavier dan Sean mengekor dari
"Hai putri kecilnya Papa," sapa Zavier tersenyum pada Ziva seraya tersenyum hangat. "Mau makan?" tanyanya duduk di samping ranjang gadis kecil itu. "Mommy di mana, Pa?" Gadis itu celingak-celinguk mencari sang Ibu"Mommy pulang sebentar Sayang," jawab Zavier. "Ayah di mana?" Gerra tak melihat Sean biasanya, Ayahnya itu selalu ada."Ayah sedang ada urusan sebentar." Zavier tersenyum hangat. Gadis kecil ini memang cerewet. "Ziva, makan yuk, Nak!" ajak Zavier"Pa, Ziva ingin ketemu daddy. ziva penasalan Daddy seperli apa orangnya. Kata kak Zean, daddy olang baik," pinta Ziva. Dia memang belum pernah berbicara sedekat mungkin dengan Zayyan. Waktu terlalu singkat, hingga tak ada waktu untuk sekedar berbagi cerita. Zavier menghela napas panjang lalu memaksakan senyumnya. Ikatan batin antara ayah dan anak tidak bisa dihilangkan."Tapi–""Papa, jangan bilang pada mommy. Nanti mommy sedih lagi. Ziva hanya ingin beltemu daddy. Ziva ingin makan disuapin daddy, Pa," pintanya dengan mata berkac
Zea duduk dengan tatapan kosong. Mendengar penjelasan dari Erwin dan Sean seolah membuat dadanya seketika sesak. "Demi anakmu, Zea!" ujar Sean. Zea membalas dengan anggukan kepala. Kali ini dia akan mengorbankan perasaannya agar Ziva tetap bertahan hidup. "Apa kau masih takut akan ancaman Zevanya?" tanya Sean menatap penuh selidik wanita cantik anak tiga itu. "Iya, Kak. Aku takut kak Zeva menyakiti anak-anakku," jawab Zea yang tak bisa membendung semua perasaan takut yang terasa mencengkeram bagian dadanya. "Apa kau meragukan kekuasaan Zayyan?" tanya Sean lagi. "Bukan begitu," kilah Zea. Dia sama sekali tidak meragukan penjagaan dari lelaki itu. Hanya saja dia takut terlalu berharap, nanti malah dirinya dihempaskan oleh kenyataan. "Kalau begitu, terima lah tawaran Zayyan. Kakak yakin dia laki-laki baik yang bisa menjagamu dan anak-anak," saran Sean sambil mengenggam tangan Zea, seolah menyalurkan kekuatan pada wanita cantik ini. Zea terdiam sejenak seraya menelan salivanya. Ap
Transplantasi sumsum tulang adalah prosedur untuk memperbarui sumsum tulang yang rusak dan tidak lagi mampu memproduksi sel darah yang sehat. Transplantasi sumsum tulang disebut juga transplantasi sel induk atau sel punca atau sistem cell. Sumsum tulang adalah jaringan yang terdapat di dalam beberapa tulang, seperti tulang panggul dan tulang paha. Sumsum tulang ini berfungsi menghasilkan sel darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan sel keping darah atau trombosit. Sumsum tulang dapat rusak akibat penyakit, seperti kanker dan infeksi, atau karena pengobatan kanker, seperti kemoterapi dan radioterapi. Sumsum tulang yang rusak dapat mengganggu produksi sel darah. Sel darah yang dihasilkan oleh sumsum tulang yang rusak juga mungkin tidak sehat atau tidak berfungsi normal.Transplantasi sumsum tulang bertujuan untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang yang rusak. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan sel punca sehat ke dalam tubuh pasien. Sel punca yang sehat ini
"Kak!" Zavier dan Sean masuk kedalam ruangan rawat inap Zayyan. Tampak lelaki itu masih dengan posisi tengkurap sebab luka bekas operasi nya masih sakit."Bagaimana keadaan putriku, Sean?" tanya Zayyan tanpa basa-basi. Lelaki itu sekali meringgis kesakitan. Dia belum bisa berbaring atau duduk masih dalam posisi tengkurap di atas ranjang. Bekas operasinya yang belum kering dan benang jahitan juga masih terlihat basah. Sean menarik napas dalam. Berbicara dengan Zayyan harus hati-hati. Bisa-bisa dia terkena semprot. Apalagi jika bersangkutan dengan putri kecilnya dan juga Zea. "Ziva masih dalam pengaruh obat bius. Tapi dia baik-baik saja," jawab Sean. Zayyan bernapas lega. Dia berharap bahwa putri kecilnya itu akan baik-baik saja dan segera sembuh. Zayyan ingin mengajak putrinya jalan-jalan, lalu membeli banyak boneka dan bandana. "Kak," panggil Zavier. Kali ini lelaki tersebut seperti yakin bahwa Zayyan memang begitu mencintai Zea dan ketiga anaknya, hingga rela melakukan apa saja.
Ar tengah asyik bermain game seperti biasa. Selain sekolah, kegiatannya sehari-hari juga dihabiskan untuk bermain game. "Ar!" panggil suara terdengar menghampirinya. Pria berusia 11 tahun itu menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya langsung sumringah melihat siapa yang datang. "Opa!" seru Ar. Leigh berjalan menghampiri cucu kesayangannya. Dia baru mendapat kabar bahwa Ar sekarang tinggal dengan Zevanya. Namun yang membuat dirinya bertanya-tanya di mana Zayyan? Kenapa putranya itu membiarkan cucu kesayangannya tinggal bersama sang ibu?"Opa!" Ar berhambur memeluk Leigh yang tinggi tubuh mereka hampir sama. "Apa kabar, Son?" tanya Leigh membalas pelukan hangat cucunya itu. "Ar baik, Opa," balas Ar seraya melepaskan pelukan sang kakek. "Kau semakin tampan saja," puji Leigh terkekeh pelan seraya mengusap kepala cucunya dengan sentuhan sayang. "Ar memang tampan, Dad," sahut Ar dengan senyum percaya diri. Tidak lama kemudian Zevanya datang. Wanita itu seketika terkejut melihat kedat