Hati Zea bagai diremas-remas mendengar ucapan Zevanya. Seharusnya dia senang, jika Zayyan dan Ar membenci dirinya karena memang itu yang dia mau. Namun, kenapa rasanya begitu sakit dan menusuk? "Makanya, jadi wanita itu jangan terlalu percaya diri, Zea. Kau lihat 'kan sekarang? Akibat menjadi pelakor, kau berada dalam ambang kehancuran!" tekan Zevanya yang sengaja memanas-manasi adiknya itu. "Kedua orang tua kita meninggal, semua karena ulahmu," sambungnya kemudian. Zea menunduk dengan air mata berderai. Jari-jemarinya meremas ujung gaun yang dia pakai. Rasanya sangat perih dan luka mendengar ucapan tersebut. Apakah benar dia penyebab kematian kedua orang tuanya? Zevanya tersenyum penuh kemenangan ketika melihat adiknya menangis. Memang ini yang dia mau. Melihat kehancuran Zea dan membuat wanita itu menderita hingga mendarah daging. Zevanya melenggang masuk ke dalam mobil setelah membuat adiknya seperti mati berdiri. Dalam hidup dan hatinya berjanji, tidak akan membiarkan Zea hidu
"Kau serius ingin mengambil anak-anak Zea?" tanya Samuel yang masih setengah tak percaya dengan jalan pikiran Zayyan. "Apa aku pernah bercanda dengan ucapanku?" Lelaki itu masih terlihat tenang dengan wajah yang datar, nyaris tak berekspresi. "Tapi untuk apa? Kau ingin membuat Zea menderita?" tanya Samuel lagi. Zayyan tersenyum sinis, memang itu yang dia inginkan. Agar Zea merasakan apa sebenarnya kehilangan itu? Awalnya, dia hanya sebatas benci dan tidak ada niat balas dendam, tetapi tidak ada salahnya untuk membalaskan semua rasa sakitnya. Agar Zea memahami, bagaimana rasanya ditinggal pergi oleh orang yang dicintai. "Itu tujuanku. Agar dia merasakan rasa sakitku, selama enam tahun ini," sahut Zayyan. Samuel menggelengkan kepalanya salut. Dia memang tahu bahwa Zayyan ini pria kejam yang tak memiliki perasaan sama sekali. Namun, apakah dia tega menyakiti wanita yang dia cintai selama ini. "Bukankah kau mencintainya?" tanya Samuel lagi. "Itu dulu dan sekarang, dia bukan lagi or
Sean dan Zavier melihat ketiga anak kembar itu yang tengah sibuk dengan komputer mereka masing-masing. Bermain game seperti menjadi salah satu keahlian ketiganya. Bahkan orang dewasa saja bisa dikalahkan. "Aku menyesal telah mengajari mereka bermain e-sport," ucap Zavier seraya menarik napas sedalam mungkin. Sean terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu. Apalagi jika Zavier dikalahkan oleh ketiganya dan kadang tak bisa bergerak sama sekali. "Kak, kau yang menahan!" teriak Ziva. "Jangan gegabah, Ziva. Lawan kita ada tiga, kembalilah ke Middle Lane!" ujar Zean. "Bukan masalah. Selang meleka!" titah gadis kecil itu. Sementara Zayn hanya diam seraya terus saja melakukan penyerangan. Sean dan Zavier hanya bisa saling melihat satu sama lain. Bagaimana bisa mereka melarang si kembar bermain e-sport? Sementara ketiga anak itu benar-benar menjadi dunia olahraga profesional tersebut. "Aku bahkan tak mengerti apa yang mereka bicarakan," bisik Sean yang memang tak paham masalah dunia game
"Apa kau sudah siap?" tanya Zavier saat Zea berjalan ke arah mobil. "Kak, bagaimana dengan penampilanku?" tanya Zea seraya memperbaiki bajunya yang setengah bergeser."Cantik," sahut Zavier tersenyum hangat. "Seperti mau bertemu pacar saja?" goda lelaki itu terkekeh pelan. "Hem, mana ada begitu, Kak," kilah Zea gugup. Dia juga tidak tahu kenapa jantungnya berdebar saat hendak bertemu dengan Zayyan. Zavier tertawa pelan. Dia gemas sendiri melihat wajah merona miliki Zea. Zavier yakin, jika wanita ini masih mencintai mantan suami palsunya. Terlihat sekali dari senyuman sumringgah yang Zea tunjukkan. "Kak, apa kak Zayyan mau bertemu denganku?" tanya Zea ragu. "Kenapa dia tidak mau?" "Bukannya kak Zayyan sangat membenciku?" ujar Zea dengan helaan napas panjang. "Sudahlahh jangan dibahas! Ayo masuk!" Zavier membuka pintu mobil agar wanita cantik itu masuk ke dalam. Zea tampak duduk dengan gelisah dan tak tenang. Tak bisa dia pungkiri, bertemuu dengan Zayyan berbagai perasaan yang s
Zea tertegun mendengar ucapan yang terlontar dari mulut lelaki itu. Seketika seluruh tubuhnya melemah dan darah-darah yang mengalir seakan berhenti kian pekat. Zea menatap Zayyan tak percaya, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata yang sedari tadi dia tahan, luruh begitu saja, air mata ketakutan dan kerapuhan. Padahal hatinya sudah berbunga-bunga karena dipertemukan kembali dengan lelaki ini. Akan tetapi, siapa yang menyangka jika yang dia dapatkan adalah sesuatu yang membuat darahnya mendesir. "Aku ingin merawat anak-anakku," sambungnya kemudian. "Jangan ambil mereka, Kak!" mohon Zea. Wanita itu tak bisa bayangkan, seperti apa hidupnya tanpa si kembar. Sebab, ketiga anak itu yang membuatnya bertahan hingga kini. "Mereka juga anakku, aku memiliki hak atas mereka. Dan kau, kau hanya seorang ibu yang melahirkan mereka. Aku akan bayar uang ganti rugi yang kau keluarkan selama melahirkan dan merawat mereka," jawab Zayyan dengan enteng. Lelaki itu masih beranggapan jika uang b
Zea menyadarkan kepalanya di pintu mobil dengan tatapan yang tertuju di luar jendela. Sayup-sayup angin yang masuk melambaikan rambut sebahunya. Apalagi kaca mobil memang sengaja tidak ditutup. "Zea," panggil Zavier mengenggam tangan wanita itu. Zea menoleh dan tersenyum pada lelaki yang sudah banyak menolongnya itu. "Kenapa?" tanyanya. "Jangan melamun, nanti kemasukan bagaimana?" celetuk Zavier terkekeh. Zea bangkit, lalu duduk dengan tegap sembari menarik napasnya sedalam mungkin. "Memikirkan tawaran kak Zayyan?" tebak Zavier. Zea membalas dengan anggukan kepala. Jujur saja dia terkejut ketika Zayyan memintanya untuk menikah dengan lelaki itu. Bukankah selama ini Zayyan sangat membencinya, lalu kenapa tiba-tiba saja lelaki itu memberikan tawaran yang tidak akan bisa Zea terima? "Apa kau masih mencintai kak Zayyan?" tanya Zavier penuh selidik. Zea malah bingung, terlihat wanita itu beberapa kali menelan salivanya. Wajahnya tampak gugup dan juga merona. Zea tak bisa berbohong,
"Mau ke mana Grace?" gumam Leigh yang tidak sengaja melihat istrinya itu masuk ke dalam mobil. "Nyonya seperti terlihat buru-buru, Tuan," ujar Riley. "Ikuti dia, Rey!" titah Leigh. "Baik, Tuan," jawab Riley menancapkan gas mobilnya. Beberapa hari ini gerak-gerik Grace memang sangat mencurigakan. Wanita itu seperti pencuri yang terlihat mengendap-endap dan penuh ketakutan. Sebenarnya apa yang disembunyikan oleh Grace? Kenapa dia terlihat sangat takut? "Rey, selama ini aku memang telah lengah tidak memintamu menyelidiki kematian istriku. Entah kenapa, setelah puluhan tahun aku bath menyadari hal ini? Aku yakin jika Jane bukan mati karena penyakit, pasti ada sesuatu yang terjadi padanya saat aku perjalanan bisnis ke Jerman. Tolong selidiki, Rey! Walau ini sudah berlalu cukup lama!" perintah Leigh pada asistennya itu. "Iya, Tuan," jawab Riley mengangguk seraya masih fokus menyetir. Pria berusia itu menarik napas sedalam mungkin. Kenangannya bersama almarhum sang istri masih saja te
Zea terduduk melamun di kamarnya. Pertemuan singkatnya dengan Zayyan tadi benar-benar membuat hatinya seketika goyah. Kembali pada lelaki itu? Ah, rasanya tak pernah terbayangkan dalam hidup Zea. Bahkan tujuan dia datang ke Indonesia bukanlah untuk membuat hubungan mereka kembali, dia benar-benar hanya ingin bertemu sang ayah minta maaf pada lelaki yang sudah dia tinggalkan tersebut. "Ayah, aku harus bagaimana?" Jika berbicara tentang perasaan, tentu Zea senang jika akhirnya bisa menikah dengan Zayyan. Namun, lagi-lagi tak ada egois yang bisa dia simpan. Halangannya masih tetap sama yaitu Zevanya. Sang kakak, masih seperti dulu mengancam dan terus mengancam dirinya. Jika dulu, Zea terkesan tak peduli walau akhirnya tetap pergi. Namun, berbeda dengan Sekarang. Ada anak-anak yang harus dia lindungi. Apalagi Zea tahu seberapa nekad sang kakak jika menginginkan sesuatu yang benar-benar dia incar. "Aku takut, Ayah," ucapnya. Zea pejamkan mata sejenak. "Aku mencintai lelaki itu. Tapi, ba
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur