Emily Charlotte Harland, wanita malang yang harus menjadi pengantin pengganti kakaknya sendiri mendapat perlakuan kejam dari sang suami--Felix Anthony. Pria kejam berusia tiga puluh tahun itu menjadikan Emily sebagai alat dendamnya pada keluarga Harland yang telah menipunya. Bahkan gadis berusia dua puluh tiga tahun itu dijadikan pemuas hasrat Felix. Antara amarah, dendam dan juga gairah yang tiba-tiba menggebu dalam diri Felix, mampukah Emily bertahan dalam rumah tangga yang tidak seharusnya ia jalani?
View More“Untuk yang pertama dan terakhir kalinya?” tanya Emily dengan suara pelan namun penuh dorongan rasa ingin tahu yang tak bisa ia bendung lagi.Hatinya bergolak, seolah jawaban itu akan menentukan bagaimana ia memandang seluruh masa lalunya bersama Felix.Mala mengangguk pelan. “Aku rasa begitu. Karena setelah itu, Marsha pergi. Tidak kembali dan menggunakan uang yang diberikan Felix untuk kabur. Dan Felix tidak tahu ke mana perginya Marsha.”Emily menatap ibunya lekat-lekat, mencoba membaca tiap gestur yang mungkin menyimpan sesuatu yang belum diucapkan.Ia bisa melihat dari sorot mata ibunya—betapa getir dan rumitnya masa lalu yang kini perlahan terbongkar di hadapannya.Bayangan akan hari pernikahan yang batal, akan gadis yang seharusnya menggantikan dirinya berdiri di altar, kini terasa lebih menyakitkan.Di saat pernikahan sudah di depan mata, Marsha memilih pergi begitu saja… meninggalkan kekacauan yang pada akhirnya harus ia tanggung sendiri.“Aku ingin tahu… apakah Felix sempat
"Ya. Dia tahu dariku," ucap Mala dengan nada pelan, seolah kata-kata itu membawa kembali kenangan pahit yang selama ini ia simpan sendiri."Dia sempat menanyakan kenapa ayahmu meninggal. Lalu, aku memberitahunya semuanya."Emily terdiam. Bibirnya mengatup, sementara pikirannya melayang pada percakapan terdahulu bersama Felix.Perlahan, ia menghela napas panjang—sebuah napas yang terdengar berat, seperti membawa seluruh beban hatinya."Pantas saja dia bertanya padaku tentang hal yang membuatku bingung saat mendengarnya," ucap Emily, suaranya pelan, nyaris seperti gumaman.Mala menoleh cepat, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya yang penuh kekhawatiran. "Apa yang dia tanyakan padamu, Nak?"Emily menatap ibunya. Ada luka yang tampak samar di balik matanya—bukan luka fisik, melainkan luka yang tak terlihat, namun terasa begitu menyakitkan."Apakah aku akan berpaling dari Felix jika ada orang yang mencintaiku," jawabnya akhirnya.Pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Waktu it
"Aku harus pergi," ucap Felix dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, setelah dengan lembut menyuapi Emily hingga suapan terakhir.Tangannya menggenggam sendok, namun tatapannya seolah ingin menahan waktu agar tak berjalan."Pergi? Kau mau pergi ke mana, Felix?" tanya Emily dengan nada pelan, namun jelas terdengar ada kegelisahan dalam suaranya.Matanya menatap Felix dengan dalam, seolah ingin menembus lapisan-lapisan misteri yang selama ini menyelubungi pria itu."Ada yang harus aku selesaikan. Selama dua hari ini aku tidak pergi ke mana-mana karena menunggumu siuman. Aku juga ingin terus menemanimu. Tapi... aku harus pergi dulu," jawab Felix dengan nada datarnya.Emily terdiam. Matanya menunduk, menyembunyikan kekecewaan kecil yang datang begitu saja. Ia tahu, Felix punya tanggung jawab besar. Tapi mengapa hatinya merasa kosong saat mendengar kepergian itu?"Aku tidak akan lama. Hanya memantau situasi saja. Ada pengiriman barang ke New York dan aku harus memeriksanya," lanjut Fe
Sayup-sayup, kelopak mata Emily bergerak, perlahan seperti tirai yang tersibak angin pagi.Dunia tampak buram di hadapannya, seakan realitas masih berselimut kabut dan waktu belum benar-benar mengizinkannya terjaga.Kepalanya berat, seolah menyimpan seluruh beban dari mimpi buruk yang belum selesai.“Sst… di mana ini? Aku di mana?” gumamnya lemah, suaranya rapuh seperti bisikan dedaunan yang digoyang angin.Tangan mungilnya meraba pelipis, mencoba menangkap kembali rasa sadar yang menguap entah ke mana.Ia menyandarkan tubuhnya perlahan, lalu mengedarkan pandang, menatap ruangan yang belum sepenuhnya dikenalnya.“Emily?” suara itu memecah keheningan, lembut namun menggetarkan.Felix, duduk tak jauh darinya, menatap dengan mata yang penuh kelegaan dan kecemasan yang belum sempat pergi. “Akhirnya kau siuman juga.”Mata Emily membulat. Seakan baru sadar, ia melesat maju dan mendekap tubuh Felix seerat mungkin.Pelukannya adalah pelarian, tempat ia menumpahkan semua ketakutan yang membatu
“Emily!” Suara Felix menerobos kesunyian yang membeku, menembus kabut pekat ketakutan yang menyelimuti ruang sempit itu.Di sudut ruangan, cahaya redup mengguratkan bayangan pada wajah yang nyaris kehilangan hidup—Emily, dengan luka memar menghiasi pipinya bak tanda luka dari malam yang bengis.Samar-samar, kelopak matanya yang berat terbuka, menatap Felix seakan menatap mimpi yang gentayangan.Ia tidak tahu, tidak sadar, bahwa yang kini berlutut di hadapannya adalah pria yang dulu pernah ia panggil “rumah.”“Tolong aku,” bisiknya. Suaranya serupa daun kering yang diterbangkan angin musim gugur—nyaris tak terdengar, namun menyayat.“Aku di sini. Aku akan membawamu pulang.” Dengan segenap kerinduan dan kegentingan yang menyatu, Felix mengangkat tubuh Emily yang begitu ringkih, seakan tulangnya terbuat dari kaca dan jiwanya hampir tercerabut dari raganya.Ia menggigil. Dingin menggigit tulang, namun demam membakar dagingnya. Peluh bercampur air mata mengalir di pelipisnya, sementara tub
DUAR!!!Ledakan itu memecah keheningan seperti dentum gendang neraka yang dibunyikan di ujung dunia.Langit malam seketika menyala merah darah, memantulkan kobaran api yang melahap markas besar milik Mark yang berdiri tak jauh dari pelabuhan tua—sebuah tempat terlupakan yang kini menjadi saksi kehancuran.Asap pekat membumbung tinggi, menari liar di angin laut yang asin dan lembap, seakan roh-roh para pengkhianat menjerit dari dalam kobaran.“Bos! Markas kita dibom!” teriak salah satu anak buah Mark lewat sambungan telepon, suaranya tercekat oleh ketakutan.Mark yang duduk di dalam ruang gelap langsung berdiri, tubuhnya gemetar menahan gelombang kemarahan yang membuncah seperti air bah.“Argh! Sialan! Kenapa bisa terjadi?! Apa yang kalian lakukan di sana sampai tidak mengetahui semuanya, hah?!” teriaknya, suaranya menggelegar seperti badai yang menabrak tebing.Dengan tangan bergetar, ia membuka monitor pengawas. Gambar yang terpampang di layar membuat darahnya mendidih. Api. Asap. Re
"Bagaimana, Emily?" Suara Mark mengalun pelan. "Apa kau masih percaya pada suami tercintamu itu?"Ia melipat tangannya di dada, senyum sarkastik mengambang di bibirnya, seolah kalimatnya adalah racun manis yang sengaja diteteskan perlahan-lahan ke dalam luka yang masih menganga.Emily menatap datar wajah pria itu—tatapan yang menyerupai cermin yang menolak memantulkan sosok di hadapannya."Tapi Felix tidak mencintai Marsha," ucapnya tenang, namun suaranya bergetar, seperti senar biola yang dipetik dengan penuh luka.Mark mendecih pelan, lalu bersandar di dinding, memainkan ujung jarinya di permukaan meja kayu yang retak."Lalu, kau pikir Felix akan mencintaimu?" tanyanya seraya mencondongkan tubuh, suaranya melembut namun tajam seperti belati berlapis sutra."Tidak, kan? Kau tidak jauh berbeda dengan Marsha, Emily. Hanya dijadikan budak dari nafsu liarnya."Senyum tipis kembali tersungging di wajah Mark, namun kali ini senyum itu lebih mirip sayatan—datar, menyakitkan, tanpa jiwa.Tan
“Aku tidak sudi menjadi milikmu!” ucap Emily, suaranya datar namun mengandung lautan getir yang tak tertanggungkan.Plak! Tamparan Mark melayang seperti cambuk takdir yang menghantam pipi Emily, menyisakan jejak merah yang bukan sekadar rasa sakit, melainkan penghinaan yang menggores harga diri. Tubuhnya tersentak, dan tangannya secara refleks mencengkeram pundak yang kini digenggam erat oleh Mark—erat seperti jerat tak kasatmata yang perlahan mencekiknya.“Apa bedanya aku dengan Felix, hah?” Mark bertanya, suaranya seperti pisau yang menguliti luka lama. “Sama-sama hidup di bayang-bayang dunia gelap... tapi aku—aku lebih tulus mencintaimu!” serunya dengan keyakinan yang menusuk, seperti panah dilepaskan tanpa ampun.Emily menatap matanya, dan di sana—di balik sorot mata yang penuh obsesif dan gelap itu—ia tidak melihat cinta, hanya ego yang haus akan kepemilikan. Entah mengapa, dalam kekacauan yang menyelimuti ruang itu, pikirannya justru terbang pada Felix. Felix yang dingin, na
“Sebenarnya, aku tak ingin berurusan denganmu, Emily,” ucap Mark dengan nada yang mengalir pelan, dingin seperti embun dini hari yang menusuk kulit.Ia mengepulkan asap rokoknya ke udara, membiarkannya melayang dan menari di antara cahaya lampu temaram yang menggantung lesu di langit-langit ruangan.“Namun, setelah tahu kau menikah dengan Felix… entah mengapa, tiba-tiba saja aku semakin ingin menghancurkan pria itu. Mengoyaknya, pelan-pelan, seperti serigala lapar yang menguliti mangsanya.”Mata Emily menatap tajam, seperti dua mata pisau yang diselubungi amarah dan kehancuran. Ia tahu Mark memang pernah mengaguminya—dulu, di masa yang terasa seperti bayangan mimpi yang telah pudar.Namun ia tak pernah menyangka, bara perasaan itu masih menyala—tidak lagi berupa cinta, tapi api obsesi yang membakar segala logika.“Jangan macam-macam dengan Felix, Mark,” suara Emily terdengar parau namun tajam, seperti sayatan belati tipis. “Kau tahu dia sangat kejam, bukan? Dia bisa saja membunuhmu… t
"Pernikahan akan tetap dilaksanakan. Emily, anak bungsu si tua bangka itu, akan menjadi pengganti Marsha.”Di tengah keramaian, Felix Anthony, pria tampan berusia tiga puluh tahun, seorang mafia yang terkenal kejam dan berkuasa di kota itu, dengan jas hitam elegan, berdiri tegak di depan altar.Wajahnya terlihat dingin dan penuh amarah setelah mendengar pengakuan Marsha bahwa ia mencintai pria lain dan menolak melanjutkan pernikahan.Felix mengarahkan pandangannya ke arah Emily, adik bungsu Marsha, yang berdiri tak jauh darinya. Emily, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu, mengenakan gaun putih sederhana, awalnya hanya berniat hadir sebagai tamu. Namun, nasib berkata lain.Emily sontak menoleh dengan mata membelalak. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Aku tidak mau menikah denganmu, Felix!”Tatapan Felix semakin tajam. "Aku tidak memberi pilihan, Emily. Jika kau menolak, kau tahu apa yang akan terjadi pada keluargamu," desisnya pelan, tetapi cukup jelas untuk memb...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments