“Yang salah kakakku, kenapa aku yang harus menerima penderitaan ini?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam oleh isaknya sendiri.
Tangannya gemetar saat mengusap air matanya, mencoba memberi dirinya ketegaran yang terus menguap.
Tatapan pria di depannya penuh kekejian, seperti iblis yang baru saja menikmati kekejaman yang dilakukannya.
Felix menyeringai, tatapannya menusuk ke dalam jiwa Emily yang rapuh. Tubuh wanita itu terbungkus selimut tebal, seolah berusaha melindungi dirinya dari dingin sekaligus kebengisan pria itu.
“I don’t care, Emily.” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman yang terpendam. “Kau adalah bagian dari keluarga Harland. Dia sendiri—ayahmu—yang menjodohkanku dengan Marsha. Namun, nyatanya wanita itu malah berselingkuh sebelum kami menikah.”
Kata-kata itu menghantam Emily seperti gelombang dingin. Dia menelan ludah dengan susah payah, mencoba mengendalikan gemetar tubuhnya.
“Marsha meninggalkanmu karena tahu sifat gilamu ini, Felix!” ucapnya dengan getir, suaranya pecah di tengah kalimat.
Tatapan Felix berubah lebih gelap. Dalam satu gerakan cepat, dia meremas pundak Emily, membuat wanita itu meringis kesakitan.
“Begitu, ya?” bisiknya dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri. “Baiklah, aku akan memperlihatkan sisi jahatku di depanmu, Emily. Aku akan membunuh satu per satu orang—”
“Jangan! Aku mohon jangan lakukan itu.” Suaranya menggema, mengguncang ruangan yang tiba-tiba terasa lebih sempit. Isaknya semakin deras, rasa takutnya tak lagi bisa ia sembunyikan.
Felix terdiam sejenak, lalu tersenyum. Senyum itu bukan senyum manusia, tetapi sesuatu yang menyeramkan, seperti predator yang tengah menikmati ketakutan mangsanya.
“Aku sudah menikah denganmu. Keluargaku tidak mempermalukan keluargamu di depan tamu yang datang. Tolong bebaskan mereka,” ucapnya akhirnya menyerah, menyerahkan sisa keberanian yang ia miliki demi keluarganya.
Felix memiringkan kepalanya, seakan berpikir, lalu menyeringai lagi.
“Memohonlah sekali lagi, Emily. Aku sangat menyukai wanita lemah lembut sepertimu,” bisiknya, setiap kata terasa seperti belati yang menusuk perlahan.
Emily menatap pria itu, tatapannya penuh dengan keputusasaan.
“Apa lagi yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba menahan kehancurannya.
Felix mendekat, matanya berbinar seakan menikmati setiap detik ketakutan Emily.
“Turuti saja perintahku, Emily,” suara Felix mengalir seperti racun manis, menusuk telinga Emily dengan dinginnya.
“Apa itu? Kau ingin aku berbuat apa?” tanya Emily, suaranya bergetar seperti daun rapuh yang tertiup angin malam.
“Oh!” Felix mendengus, senyumnya samar namun penuh arti, seperti serigala yang mengintai mangsanya.
“Tampaknya istri kecilku ini sudah tidak sabar dengan permainan yang akan kumainkan.” Kata-katanya adalah belati yang melukai, menyusup ke dalam benak Emily, meninggalkan jejak ketakutan.
Padahal dalam hatinya, Emily hanya ingin tahu rencana gila apa lagi yang mungkin akan Felix lakukan untuk menghancurkan keluarganya—rencana gelap yang terjalin dari benang dendam.
“Apa kau bersedia melakukan apa saja untukku, gadis manis?” tanya Felix, suaranya rendah dan penuh ancaman, sementara tangannya yang dingin seperti es menggenggam dagu Emily, memaksanya menatap ke dalam mata yang seperti jurang tanpa dasar.
Tubuh Emily bergetar, kepasrahannya seperti lilin yang hampir padam di tengah badai. Dengan napas yang tertahan, ia mengangguk perlahan. “Ya. Aku bersedia.”
“Good!” Felix menyeringai, seringainya seperti lengkung bulan sabit di malam yang tak berbelas kasihan.
Bibirnya menari dengan kejam, membuat bulu kuduk Emily berdiri seolah disentuh oleh bayangan kematian.
“Aku ingin menghabiskan malam pertama kita sampai pagi buta. Aku ingin menikmati tubuh mungilmu sampai kau lemas dan tidak berdaya. Itu adalah kepuasanku, Emily, untuk menghapus dendam yang telah bersarang di hatiku—dendam atas ulah kakakmu!”
Emily membelalak, wajahnya memucat seperti kertas yang direnggut cahaya. “Apa kau gila? Aku… aku bisa mati jika kau melakukan itu padaku, Felix!”
Felix menatapnya dengan dingin, tatapan yang menusuk seperti pisau yang memburu mangsa terakhirnya. “Bukankah suatu saat kau pasti akan menjemput ajalmu, hum?”
Emily menelan ludah, tenggorokannya terasa sekeras batu. “Kau ingin membunuhku?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Ya,” jawabnya dengan santai, seolah ia tengah membicarakan cuaca. “Jika kau berani bertemu keluargamu tanpa seizinku, kau akan mati di tanganku, Emily.”
“K—kau … ingin membunuhku?” suara Emily nyaris tak terdengar, bibirnya bergetar seperti kelopak bunga yang diterpa angin dingin di penghujung musim gugur.Matanya membulat, ketakutan merayap di sela-sela tulang belakangnya, mengigit setiap urat nadinya dengan kebengisan yang tak terlihat.“Ya.” Suara Felix jatuh bagaikan belati yang mengiris keheningan. “Aku akan membunuhmu jika kau berani membangkang, tidak menurut, dan mencoba kabur dari rumah ini.”Tatapan Felix menancap tajam di wajah Emily, seperti elang yang mengunci mangsanya sebelum menyergap dengan cakarnya yang tajam.Cahaya lampu yang redup membuat bayangan lelaki itu semakin mengerikan, menciptakan siluet hitam yang seakan melahap setiap harapan yang masih berusaha bernafas di dalam diri Emily.Tak ada jalan keluar. Tak ada secercah cahaya di ujung lorong gelap bernama kehidupan ini. Dia hanya bisa diam, membiarkan kesedihan menyusup ke rongga dadanya, mengakar dalam dan menghisap habis mimpi-mimpinya.“Kecuali denganku,”
Denting halus dering ponsel memecah keheningan di pagi itu, merayap masuk ke dalam kesadaran Emily yang masih terperangkap dalam sisa-sisa mimpi yang samar.Kelopak matanya yang berat terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan temaram cahaya kamar.Tangannya terulur, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Namun, begitu matanya menangkap nama yang tertera di layar, kantuknya seketika menguap.“Mama?”Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang nyaris terlupakan menyusup ke dalam dadanya.Rindu yang selama ini ia kubur dalam diam mendadak meletup, memenuhi rongga dadanya dengan desir harapan yang rapuh.“Mama?” suaranya bergetar pelan.Di seberang sana, suara lembut yang telah lama dirindukannya menyapa, “Apa kau baik-baik saja di sana, Nak?” tanya Mala dengan nada cemas.Emily menelan ludah. Ia ingin menangis, ingin memeluk ibunya, ingin kembali ke tempat yang penuh kehangatan. Namun, kenyataan menjebaknya dalam kebisuan. Ia menggigit bibirnya, menahan g
“Aku tidak akan segan-segan menghancurkan hidupmu jika berani mengusik rumah tanggaku dengan Emily.”Kata-kata itu meluncur di bibir Felix ketika menemui Harland di kantornya. Ruangan itu menjadi cukup menegangkan setelah mendengar ucapan Felix tadi. "Di mana anak kesayanganmu itu berada, Harland?" suara Felix merayap di udara seperti belati yang baru diasah, menusuk langsung ke dalam ketenangan malam yang sekarat. Sorot matanya yang hitam menembus wajah Harland, mencabik-cabik keberaniannya yang sudah compang-camping."A—aku … aku tidak tahu, Felix. Bahkan sampai saat ini nomornya tidak bisa dihubungi. Mungkin dia masih bersembunyi entah di mana," ucap Harland dengan suara yang lebih mirip desisan angin sebelum badai. Jari-jarinya yang gemetar meremas ujung jasnya, seolah mencari perlindungan dari hawa kematian yang menjalar dari tatapan Felix.Wajah Felix kini adalah pahatan dari kebencian yang membara, sesuatu yang tidak pernah Harland lihat sebelumnya. Sejak pernikahannya deng
"Hi, Felix!"Felix hanya menatapnya dengan datar, tanpa sedikit pun ketertarikan menyambut keberadaan pria yang berdiri di hadapannya—Noah, sepupunya yang tampaknya datang tanpa diundang dan tanpa memahami batas."Mau apa kau kemari? Tidak ada yang perlu kau periksa di sini, tidak ada yang sakit."Nada Felix datar, nyaris malas, seolah kedatangan Noah hanyalah gangguan kecil yang tak berarti.Noah menaikkan alisnya, menyandarkan tubuhnya pada pintu dengan santai. "Aku belum memberimu selamat untuk pernikahanmu dengan Marsha. Jadi—"Felix memotongnya sebelum kalimat itu sempat menggantung terlalu lama. "Aku tidak menikahinya."Ekspresi Noah berubah seketika. Sepupunya yang satu ini memang terkenal impulsif, tapi ini? Ini benar-benar tak terduga."Why? Lalu, siapa wanita yang menggantikan Marsha? Dan kenapa kau tidak jadi menikahinya?" tanya Noah, matanya menyipit, mencoba membaca sesuatu di balik wajah tak terbaca Felix.Felix menyeringai tipis, tetapi senyum itu lebih menyerupai kilat
"Kau mau pergi ke mana?" suara Emily bergetar ketika melihat Felix bersiap-siap untuk pergi. Matanya mencari kepastian di wajah lelaki itu, tetapi yang didapatinya hanyalah tatapan dingin.Felix tidak menjawab, hanya menghentikan langkahnya sejenak sebelum berkata dengan suara rendah namun mengandung ancaman, "Tetap di rumah, dan jangan sekali pun kau berpikir untuk kabur dariku!"Dada Emily terasa sesak. Seakan ada tangan tak kasat mata yang mencekiknya, membuatnya sulit bernapas.Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, mencoba meredam gemetar yang mulai menjalari tubuhnya.Ia hanya bisa menelan ludah dan mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi ribuan tanya yang tak berani ia ucapkan."Apa kau tidak akan pulang hari ini?" suaranya lirih, hampir seperti bisikan ketakutan.Namun, Felix hanya diam. Tanpa menoleh, ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan kasar. Suara itu bergema di ruangan, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak
"Nyonya, makan malam sudah siap," suara lembut Ammy, pelayan setianya, membuyarkan lamunannya.Emily mengangkat wajahnya, menatap Ammy dengan tatapan kosong sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apakah Felix sudah pulang, Ammy?"Pelayan itu menggeleng pelan, senyum simpati terlukis di wajahnya. "Belum, Nyonya. Tapi, Tuan berpesan pada saya agar menyiapkan segala kebutuhan Nyonya selama Tuan tidak ada."Emily menghela napas panjang, seolah berat untuk menghembuskannya kembali. Matanya kembali menerawang ke luar jendela, menatap gelapnya langit yang mulai diselimuti bintang.Ke mana sebenarnya pria itu? Kenapa hingga kini dia belum juga kembali?Saat ia melangkah menuju ruang makan, langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di pikirannya.Saat duduk di kursi panjang yang berhadapan dengan meja makan yang megah, ia kembali menoleh pada Ammy, ingin tahu lebih banyak."Apakah dia selalu pergi dan tidak pulang ke rumah, Ammy?" tanyanya, suaranya terdengar lelah.Ammy melet
Emily menganggukkan kepalanya dengan pelan. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan membuatnya semakin sulit untuk bernapas dengan tenang."Ya. Aku ingin tahu. Tapi, jika kau keberatan untuk memberitahuku, maka jangan diberitahu," ucapnya dengan suara yang nyaris bergetar.Felix tersenyum miring, ekspresinya bak seekor serigala yang tengah menikmati ketakutan mangsanya. Tatapannya tajam, menelanjangi kegelisahan yang berusaha disembunyikan oleh Emily."Jadi, kau ingin tahu atau tidak, hm?" suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada permainan dalam ucapannya—seolah ia sedang menggoda Emily, namun dengan cara yang justru menambah ketegangan di udara.Emily menggigit bibirnya, jari-jarinya mengepal di atas meja. Ia tidak tahu harus menjawab apa.Rasa penasaran dan ketakutan bertarung dalam pikirannya, sementara pria di hadapannya terus menunggu dengan sabar, menikmati setiap detik kebingungan yang ia alami."Lihat aku, Emily!"Nada suara Felix tiba-tiba berubah dingin, menusuk hingga ke tul
Setelah berjam-jam perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Yunani.Langit malam yang jernih bertabur bintang menyambut kedatangan mereka, sementara cahaya lampu kota berpadu dengan lautan luas, menciptakan pemandangan yang nyaris seperti lukisan.Emily membelalakkan mata, terpesona oleh keindahan yang terbentang di hadapannya. Angin malam berembus lembut, membawa aroma laut yang menyegarkan ke dalam paru-parunya."Wow!" gumamnya, nyaris tanpa suara, matanya terus mengamati pemandangan yang seolah tidak nyata."Aku tidak menyangka akan pergi ke negara seindah ini," lanjutnya lirih, suaranya mengandung decak kagum yang tulus.Namun, kekagumannya terhenti seketika ketika tiba-tiba lengan kekar Felix melingkar di pinggangnya. Emily tersentak, tubuhnya menegang karena sentuhan yang datang begitu tiba-tiba.Ia menoleh, mendapati wajah Felix begitu dekat dengannya. Pria itu menatapnya dengan mata tajam, dingin, dan penuh arti."Kau menyukai tempat ini, hm?" suara beratnya
Keesokan harinya, setelah kepastian kehamilan Emily diumumkan oleh dokter, suasana di rumah menjadi berbeda.Felix berubah menjadi sosok yang sangat protektif, namun tetap dengan cara yang khas dirinya—tegas, dingin, dan penuh aturan.Di dalam kamar mereka yang luas dan elegan, Emily sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan bantal-bantal empuk menopangnya.Felix berdiri di hadapannya, tangan disilangkan di dada, matanya menatap tajam seolah sedang menyusun strategi perang.“Kau harus makan makanan bergizi, minum vitamin secara rutin, dan jangan lupa susu ibu hamil setiap pagi dan malam,” ucapnya tegas.“Istirahat cukup. Tidak boleh tidur larut. Dan yang paling penting, kau dilarang melakukan pekerjaan berat. Selama kau hamil, kau hanya perlu menjalankan tugasmu sebagai ibu hamil.”Emily menghela napas berat. Suara Felix yang seperti perintah militer itu membuatnya lelah, meskipun niatnya jelas karena perhatian. Ia tahu, tak ada ruang untuk perdebatan jika pria itu sudah
Malam itu, suasana ruang makan dipenuhi aroma masakan hangat dan cahaya lampu gantung yang temaram. Felix dan Emily duduk berhadapan di meja makan, namun suasana di antara mereka terasa kaku.Di depan mereka, hidangan favorit Emily tersaji rapi, namun wanita itu hanya memandangi makanannya tanpa benar-benar berniat menyentuhnya.Felix melirik istrinya. Dia menyadari bahwa sejak mereka duduk, Emily belum banyak bicara.“Sudah. Makan saja,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan.”Emily mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap dalam ke arah suaminya, lalu dengan suara lirih ia berkata, “Maaf…”Felix tak membalas. Ia hanya menunduk, kembali menyendok makanannya dengan wajah datar. Tak ada senyum. Tak ada kata-kata penghiburan.Emily masih menatapnya. Hatinya terasa sesak.Padahal… saat dia baru sadar dari pingsannya siang tadi, Felix begitu perhatian. Tatapannya lembut, suaranya hangat, bahkan menggenggam tangannya tanpa ragu.Tapi
“Ibumu sudah pulang?” suara Felix pelan, tapi jelas, saat ia menghampiri Emily yang sedang berdiri diam di depan jendela kamar mereka.Cahaya senja menyorot separuh wajah perempuan itu, membuat bayangannya tampak rapuh.Emily menoleh pelan, dan mengangguk. “Ya. Sudah sejak dua jam yang lalu. Terima kasih, sudah memberi Mama tumpangan, Felix.” Senyumnya lembut, namun di baliknya tampak sisa-sisa kelelahan yang belum sepenuhnya reda.Felix memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana hitamnya. Langkahnya tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang ia simpan sejak siang tadi.Ia berdiri di sisi Emily, menyamakan tinggi pandangan mereka ke luar jendela, seakan mencoba membaca isi hati sang istri melalui pantulan kaca.“Apa saja yang dikatakan oleh Mark padamu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh ketegangan.Emily terdiam. Hening menggantung cukup lama hingga bunyi detak jarum jam terdengar seperti dentuman. Ia akhirnya menghela napas, berat.“Dia… dia menginginkank
“Untuk yang pertama dan terakhir kalinya?” tanya Emily dengan suara pelan namun penuh dorongan rasa ingin tahu yang tak bisa ia bendung lagi.Hatinya bergolak, seolah jawaban itu akan menentukan bagaimana ia memandang seluruh masa lalunya bersama Felix.Mala mengangguk pelan. “Aku rasa begitu. Karena setelah itu, Marsha pergi. Tidak kembali dan menggunakan uang yang diberikan Felix untuk kabur. Dan Felix tidak tahu ke mana perginya Marsha.”Emily menatap ibunya lekat-lekat, mencoba membaca tiap gestur yang mungkin menyimpan sesuatu yang belum diucapkan.Ia bisa melihat dari sorot mata ibunya—betapa getir dan rumitnya masa lalu yang kini perlahan terbongkar di hadapannya.Bayangan akan hari pernikahan yang batal, akan gadis yang seharusnya menggantikan dirinya berdiri di altar, kini terasa lebih menyakitkan.Di saat pernikahan sudah di depan mata, Marsha memilih pergi begitu saja… meninggalkan kekacauan yang pada akhirnya harus ia tanggung sendiri.“Aku ingin tahu… apakah Felix sempat
"Ya. Dia tahu dariku," ucap Mala dengan nada pelan, seolah kata-kata itu membawa kembali kenangan pahit yang selama ini ia simpan sendiri."Dia sempat menanyakan kenapa ayahmu meninggal. Lalu, aku memberitahunya semuanya."Emily terdiam. Bibirnya mengatup, sementara pikirannya melayang pada percakapan terdahulu bersama Felix.Perlahan, ia menghela napas panjang—sebuah napas yang terdengar berat, seperti membawa seluruh beban hatinya."Pantas saja dia bertanya padaku tentang hal yang membuatku bingung saat mendengarnya," ucap Emily, suaranya pelan, nyaris seperti gumaman.Mala menoleh cepat, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya yang penuh kekhawatiran. "Apa yang dia tanyakan padamu, Nak?"Emily menatap ibunya. Ada luka yang tampak samar di balik matanya—bukan luka fisik, melainkan luka yang tak terlihat, namun terasa begitu menyakitkan."Apakah aku akan berpaling dari Felix jika ada orang yang mencintaiku," jawabnya akhirnya.Pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Waktu it
"Aku harus pergi," ucap Felix dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, setelah dengan lembut menyuapi Emily hingga suapan terakhir.Tangannya menggenggam sendok, namun tatapannya seolah ingin menahan waktu agar tak berjalan."Pergi? Kau mau pergi ke mana, Felix?" tanya Emily dengan nada pelan, namun jelas terdengar ada kegelisahan dalam suaranya.Matanya menatap Felix dengan dalam, seolah ingin menembus lapisan-lapisan misteri yang selama ini menyelubungi pria itu."Ada yang harus aku selesaikan. Selama dua hari ini aku tidak pergi ke mana-mana karena menunggumu siuman. Aku juga ingin terus menemanimu. Tapi... aku harus pergi dulu," jawab Felix dengan nada datarnya.Emily terdiam. Matanya menunduk, menyembunyikan kekecewaan kecil yang datang begitu saja. Ia tahu, Felix punya tanggung jawab besar. Tapi mengapa hatinya merasa kosong saat mendengar kepergian itu?"Aku tidak akan lama. Hanya memantau situasi saja. Ada pengiriman barang ke New York dan aku harus memeriksanya," lanjut Fe
Sayup-sayup, kelopak mata Emily bergerak, perlahan seperti tirai yang tersibak angin pagi.Dunia tampak buram di hadapannya, seakan realitas masih berselimut kabut dan waktu belum benar-benar mengizinkannya terjaga.Kepalanya berat, seolah menyimpan seluruh beban dari mimpi buruk yang belum selesai.“Sst… di mana ini? Aku di mana?” gumamnya lemah, suaranya rapuh seperti bisikan dedaunan yang digoyang angin.Tangan mungilnya meraba pelipis, mencoba menangkap kembali rasa sadar yang menguap entah ke mana.Ia menyandarkan tubuhnya perlahan, lalu mengedarkan pandang, menatap ruangan yang belum sepenuhnya dikenalnya.“Emily?” suara itu memecah keheningan, lembut namun menggetarkan.Felix, duduk tak jauh darinya, menatap dengan mata yang penuh kelegaan dan kecemasan yang belum sempat pergi. “Akhirnya kau siuman juga.”Mata Emily membulat. Seakan baru sadar, ia melesat maju dan mendekap tubuh Felix seerat mungkin.Pelukannya adalah pelarian, tempat ia menumpahkan semua ketakutan yang membatu
“Emily!” Suara Felix menerobos kesunyian yang membeku, menembus kabut pekat ketakutan yang menyelimuti ruang sempit itu.Di sudut ruangan, cahaya redup mengguratkan bayangan pada wajah yang nyaris kehilangan hidup—Emily, dengan luka memar menghiasi pipinya bak tanda luka dari malam yang bengis.Samar-samar, kelopak matanya yang berat terbuka, menatap Felix seakan menatap mimpi yang gentayangan.Ia tidak tahu, tidak sadar, bahwa yang kini berlutut di hadapannya adalah pria yang dulu pernah ia panggil “rumah.”“Tolong aku,” bisiknya. Suaranya serupa daun kering yang diterbangkan angin musim gugur—nyaris tak terdengar, namun menyayat.“Aku di sini. Aku akan membawamu pulang.” Dengan segenap kerinduan dan kegentingan yang menyatu, Felix mengangkat tubuh Emily yang begitu ringkih, seakan tulangnya terbuat dari kaca dan jiwanya hampir tercerabut dari raganya.Ia menggigil. Dingin menggigit tulang, namun demam membakar dagingnya. Peluh bercampur air mata mengalir di pelipisnya, sementara tub
DUAR!!!Ledakan itu memecah keheningan seperti dentum gendang neraka yang dibunyikan di ujung dunia.Langit malam seketika menyala merah darah, memantulkan kobaran api yang melahap markas besar milik Mark yang berdiri tak jauh dari pelabuhan tua—sebuah tempat terlupakan yang kini menjadi saksi kehancuran.Asap pekat membumbung tinggi, menari liar di angin laut yang asin dan lembap, seakan roh-roh para pengkhianat menjerit dari dalam kobaran.“Bos! Markas kita dibom!” teriak salah satu anak buah Mark lewat sambungan telepon, suaranya tercekat oleh ketakutan.Mark yang duduk di dalam ruang gelap langsung berdiri, tubuhnya gemetar menahan gelombang kemarahan yang membuncah seperti air bah.“Argh! Sialan! Kenapa bisa terjadi?! Apa yang kalian lakukan di sana sampai tidak mengetahui semuanya, hah?!” teriaknya, suaranya menggelegar seperti badai yang menabrak tebing.Dengan tangan bergetar, ia membuka monitor pengawas. Gambar yang terpampang di layar membuat darahnya mendidih. Api. Asap. Re